04 September 2005 — 9 menit baca

Warisan politik biadab Orde Baru harus segera kita habisi

Adalah sangat perlu bagi kita semua untuk selalu ingat kepada satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa pengalaman puluhan juta orang korban 65 adalah kekayaan seluruh bangsa yang sangat berharga sekali (!!!). Bukan hanya untuk generasi yang sekarang saja, melainkan juga untuk banyak generasi yang akan datang. Paling tidak, 7 turunan (!) sesudah generasi kita sekarang ini perlu tahu bahwa bangsa dan negara kita pernah mengalami masa gelap yang penuh kejahatan terhadap peradaban dan pelanggaran serius terhadap perikemanusiaan yang dilakukan oleh apa yang menamakan diri Orde Baru.

Sebab, kalau sama-sama kita telaah dalam-dalam, dan dengan hati nurani yang bening pula, maka nyatalah DENGAN AMAT JELAS bahwa berbagai kejahatan yang sudah dilakukan oleh Orde Baru selama 32 tahun (dengan memperalat secara licin dan licik atau menyalahgunakan kalangan agama, terutama kalangan agama Islam) terhadap sebagian besar rakyat Indonesia, dan khususnya kejahatan serius terhadap golongan kiri pendukung politik Bung Karno dan PKI, adalah betul-betul merupakan dosa besar yang harus dicatat dengan huruf-huruf tebal sekali dalam sejarah bangsa. Barangkali, dalam sejarah bangsa Indonesia, sampai turun-temurun yang lama sekali di kemudian hari, periode kekuasaan Orde Baru adalah masa yang termasuk paling busuk dan paling biadab.

Permohonan ma’af saya sampaikan kepada siapa saja yang kiranya merasa tersinggung perasaannya karena saya gunakan perkataan “biadab” yang ditujukan kepada Orde Baru. Sebab, tentulah ada saja orang-orang atau kalangan yang tidak senang atau tidak terima, atau marah, atau menganggap “keterlaluan” mendengar kalimat bahwa masa Orde Baru adalah masa yang paling busuk dan PALING BIADAB dalam sejarah bangsa. Apa boleh buat! Tidak bisa lain. Sebab, memang sudah sepatutnya – bahkan, seharusnya !!! – bangsa kita memandang Orde Baru itu biadab, mengingat banyaknya berbagai kejahatan besar yang sudah dilakukan oleh para pendirinya (dan para pendukung setianya).

Apakah Ini Semua Namanya Bukan Kebiadaban ?

Jelasnya begini. Apakah namanya bukan kebiadaban ketika 3 juta orang tidak bersalah apa-apa sama sekali dibunuhi secara kejam dan sewenang-wenang, dan sering di depan mata keluarga atau sanak-saudaranya? Jumlah itu besar sekali. Jadi, masalahnya adalah amat serius. Di mana pun di dunia, membunuh secara sadis dan sewenang-wenang SATU ORANG saja yang tidak bersalah sudah bisa dikatakan biadab. Apalagi 3 juta orang! Sungguh, sangat keterlaluan.

Dan, apakah namanya bukan kebiadaban ketika ratusan ribu orang – yang, juga, sedikit pun tidak bersalah apa-apa (!!!) – dipenjarakan dan dibiarkan mengalami berbagai penderitaaan pedih dalam jangka waktu lama (ada yang sampai puluhan tahun) pula? Di banyak negeri di dunia seorang yang ditahan secara sewenang-wenang oleh aparat negara, walaupun SEHARI saja, bisa mengajukan protes atau menggugat minta ganti kerugian. Di Indonesia, rejim militer Orde Baru sudah dengan seenaknya saja – tanpa proses pengadilan ! – menahan ratusan ribu orang tidak bersalah, dan dalam jangka waktu tahunan pula.

Masih ada lagi! Apakah namanya bukan kebiadaban ketika sekitar sepersepuluh penduduk Indonesia, yaitu 20 juta orang keluarga dan sanak-saudara (dekat dan jauh) para korban pembunuhan peristiwa 65 dan keluarga eks-tapol telah dibikin terus-menerus menderita selama 40 tahun (!!!!!, lima tanda seru) dengan adanya sekitar 30 macam peraturan dan perundang-undangan, yang membatasi hak-hak mereka sebagai warganegara normal?

Dan lagi, apakah namanya bukan kebiadaban ketika jutaan orang korban peristiwa 65 sudah jelas-jelas terbukti tidak bersalah apa-apa itu sampai sekarang ( sekali lagi, selama hampir 40 tahun) masih belum dipulihkan nama baiknya dan dipulihkan hak-hak mereka sepenuhnya sebagai warganegara RI?

Kebiadaban Yang Jarang Tandingannya Di Dunia

Setiap fikiran waras dan setiap hati nurani yang bersih atau setiap iman yang benar akan mengakui bahwa bangsa kita tidak bisa dan tidak pantas sama sekali menamakan diri sebagai bangsa yang beradab, selama belum bisa menghilangkan berbagai aib dan dosa yang begitu monumental besarnya itu. Karena, banyak sekali orang di Indonesia dan juga di mancanegara yang menganggap bahwa apa yang sudah dilakukan oleh rejim militer Orde Bau di bawah pimpinan Suharto (dan didukung oleh sebagian besar pimpinan TNI-AD dan Golkar waktu itu ), selama puluhan tahun itu, adalah betul-betul merupakan kejahatan perikemanusiaan yang jarang tandingannya di dunia. Dan lagi, berbagai kejahatan besar terhadap perikemanusiaan inilah yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan sesudah pemerintahan rejim militer sampai sekarang, termasuk oleh pemerintahan di bawah presiden SBY.

Setiap orang Indonesia yang mempunyai nalar yang sehat dan beradab, walaupun ia tidak menyetujui politik Bung Karno dan tidak suka kepada PKI, pastilah akan menentang kejahatan perikemanusiaan yang sudah sangat keterlaluan kebiadabannya ini. Hanya orang-orang yang keblinger imannya, atau buta-tuli hati nuraninya –jelasnya atau kasarnya : orang-orang biadab ! – yang masih mau terus-menerus membikin berbagai penderitaan kepada begitu banyak para korban peristiwa 65 beserta anak-cucu mereka. Seperti kebanyakan orang tua mereka, anak-cucu para korban ini juga sama sekali tidak tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Namun, mereka toh harus menderita berkepanjangan, disebabkan adanya berbagai perlakuan rejim militer Orde Baru.

Karena itu, adalah kebiadaban namanya, kalau masih ada orang-orang atau golongan yang senang atau menyetujui berlangsungnya terus berbagai kejahatan besar terhadap perikemanusiaan ini. Tidak peduli apakah ia pembesar atau pejabat negara, dan tidak peduli juga apakah ia tokoh partai politik atau tokoh agama atau “orang-orang terkemuka” lainnya, kalau ia tidak ikut aktif melawan ketidakmanusiawian yang sudah berlangsung puluhan tahun ini, maka ia bisa dianggap sekongkol dengan kejahatan yang biadab ini. Dalam menghadapi masalah yang begini serius ini, sikap “cuwek” saja atau “masa bodoh” saja, adalah sikap yang tidak bermoral sama sekali.

Tidak Berhak Lagi Gembar-Gembor Tentang Pancasila

Barangkali, sedikit sekali orang yang bisa membantah bahwa sebagian besar “pemimpin” bangsa kita tidak lagi berhak gembar-gembor setinggi langit menyatakan diri sebagai penjunjung Pancasila, kalau kebiadaban terhadap puluhan juta orang (yang sudah dilakukan selama 40 tahun itu) dibiarkan terus berlangsung. Kalau masih ada tokoh atau “pemimpin” (harap perhatikan bahwa kata pemimpin diberi tanda kutip) yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang beradab dan menjunjung tinggi-tiggi Pancasila, maka jelaslah bahwa mereka bohong besar dan penipu yang tanpa malu sedikit pun.

Yang lebih-lebih menyedihkan sekali yalah bahwa pola berfikir biadab yang sudah berlangsung puluhan tahun ini sudah mempengaruhi banyak sekali orang. Kampanye anti-komunis dan anti Bung Karno serta penyebaran momok “bahaya laten PKI” yang terus-menerus dilancarkan rejim militer Orde Baru (dengan dukungan sebagian golongan agama Islam) adalah salah satu cara untuk melanggengkan kebiadaban ini. Dengan dalih untuk melawan “kebiadaban” PKI mereka justru malahan menjalankan kebiadaban yang jutaan kali jauh lebih besar – dan lebih nyata serta berjangka lama sekali pula! – terhadap puluhan juta orang tidak bersalah.

Cara-cara berfikir biadab ini bukan hanya banyak ditemukan di kalangan pimpinan militer dan pejabat tinggi negara saja, tetapi juga di kalangan tokoh-tokoh agama dan partai politik. Itulah sebabnya maka usaha untuk menuntut rehabilitasi bagi korban peristiwa 65 mengalami banyak kesulitan atau rintangan, baik dari kalangan eksekutif, maupun legislatif dan juga judikatif. Padahal, sekarang sudah bertambah makin jelas bagi siapa pun yang berhati jujur dan bersih, (berkat adanya banyak sekali bukti-bukti dan saksi-saksi hidup), bahwa para korban peristiwa 65 yang jumlahnya jutaan itu sama sekali tidak bersalah apa-apa. Dan karenanya, makin gamblang pulalah bahwa perlakuan kejam terhadap para korban 65 selama ini adalah cermin dari fikiran biadab. Hanya pola berfikir yang biadab sajalah yang masih menganggap bahwa perlakuan yang tidak manusiawi – dan menimbulkan penderitaan berkepanjangan – itu masih perlu diteruskan, entah sampai kapan lagi.

Para Korban Peristiwa 65 Tidaklah Berbahaya

Sekarang ini, sebenarnya sudah terbukti dengan lebih meyakinkan bahwa tidak ada alasan yang masuk akal lagi, atau tidak ada argumentasi yang bisa diterima oleh setiap orang yang berfikiran waras, untuk membenarkan masih diteruskannya perlakuan-perlakuan “gila” terhadap para korban peristiwa 65, yang diwariskan oleh Orde Baru. Sebab, pembesar militer dan sipil yang mana pun, atau tokoh-tokoh politik dan agama yang macam apa pun, sebenarnya tahu betul bahwa para korban peristiwa 65 itu sama sekali (sekali lagi : sama sekali !!!) tidak berbahaya bagi keamanan masyarakat umum atau keselamatan Negara dan Bangsa.

Bisa didugalah kiranya bahwa sebagian terbesar dari para korban peristiwa 65 adalah bukan anggota atau simpatisan PKI. Paling-paling, kebanyakan dari mereka adalah pendukung atau pengagum Bung Karno. Kalaupun di antara para korban itu memang ada anggota atau simpatisan PKI, maka tidak alasan bagi siapa pun yang bernalar sehat – dan yang benar-benar beriman – untuk memperpanjang lebih lama lagi penyiksaan batin (dan jasmani) yang sudah mereka derita selama hampir 40 tahun! Juga tidak ada dasarnya sama sekali untuk mengatakan bahwa mereka perlu terus-menerus diawasi, dan dicurigai, dan dianggap sebagai golongan yang “berbahaya”, seperti menghadapi musuh saja layaknya.

Para pembesar militer dan sipil, dan tokoh-tokoh partai politik dan tokoh agama di Indonesia juga tahu betul bahwa PKI telah dihancurkan oleh pimpinan TNI-AD, sebagai jalan untuk menghancurkan kekuatan politik Bung Karno. Sejarah sudah membuktikan, dan akan membuktikan lebih jelas lagi di kemudian hari, bahwa penghancuran PKI oleh pimpinan TNI-AD , dan kemudian disusul oleh pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno, sama sekali tidak mendatangkan kebaikan bagi bangsa dan negara Indonesia. Bahkan, sebaliknya. Sekarang, banyak orang melihat bahwa penghancuran PKI dan penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh pimpinan TNI-AD yang bersekongkol dengan imperialis AS (dan sekutunya, di kalangan agama) merupakan kerugian yang sangat besar bagi rakyat Indonesia.

Tidak Ada Perlunya Meneruskan Politik Biadab Itu

Jadi, jelaslah bahwa sama sekali tidak ada perlunya , atau tidak ada gunanya sedikit pun, meneruskan politik biadab dan tidak manusiawi yang sudah dipraktekkan begitu lama oleh Orde Baru. Politik biadab Orde Baru yang dijalankan selama puluhan tahun sudah mendatangkan kerusakan moral dan pembusukan jiwa secara sangat parah – dan secara luas sekali – di kalangan bangsa, termasuk di kalangan agama. Paling tidak, atau paling sedikitnya, dua generasi bangsa (yaitu generasi 45 dan generasi 65) sudah dibikin rusak oleh pola berfikir biadab rejim militer ini. Kalau pola berfikir biadab yang dipraktekkan terhadap para korban peristiwa 65 ini masih akan diteruskan juga, maka pengaruh buruknya atau akibat busuknya akan sangat besar sekali bagi generasi yang akan datang, anak-cucu kita. Lalu, apakah jadinya bangsa kita ini nantinya? Kerusakan moral dan pembusukan jiwa anak cucu kita adalah tanggungjawab kita semua juga.

Mengingat itu semuanya, para tokoh bangsa yang mempunyai kedudukan dan peran penting di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan tokoh-tokoh di bidang agama dan masyarakat umumnya, perlu sekali merenungkan tentang sudah makin urgennya untuk menghabisi, setuntas-tuntasnya, sisa-sisa politik biadab Orde Baru yang telah ditrapkan begitu lama terhadap para korban peristiwa 65.

Ini semua adalah demi kepentingan kita semua, demi peradaban bangsa dan demi kebaikan hari kemudian anak-cucu kita.