13 September 2010 — 11 menit baca

Tidak mema’afkan dan tidak melupakan dosa-dosa Suharto dan Orde Barunya

Agaknya, masalah sekitar peristiwa 30 September 1965, akan muncul kembali dalam pembicaraan atau fikiran banyak orang, seperti halnya setiap tahun di masa-masa yang lalu. Hal semacam ini adalah baik sekali, bahkan perlu sekali ! Sebab, masalah sekitar peristiwa 30 September 1965, adalah masalah yang besar sekali, yang luar biasa pentingnya, dan juga yang rumit sekali persoalannya. Karena itu, masalah besar yang menyangkut kepentingan bangsa ini perlu terus direnungkan, dipelajari, atau diselidiki – sebanyak mungkin ! – tentang sebab-sebabnya, kejadiannya, dan juga akibat-akibatnya.

Memang, seperti yang sama-sama kita saksikan, selama 45 tahun yang lalu masalah peristiwa 30 September 1965 ini sudah banyak sekali dibicarakan, dan ditulis, serta dipelajari oleh berbagai kalangan di dalam negeri dan juga luar negeri. Banyak artikel sudah disiarkan oleh media pers dan televisi, dan macam-macam buku sudah diterbitkan, dan seminar atau berbagai bentuk pertemuan juga sudah banyak sekali diselenggarakan.

Itu semuanya adalah baik sekali ! Sebab, bangsa kita perlu sekali – bahkan harus !!! – mengetahui sebanyak mungkin tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965. Segala macam informasi tentang masalah yang besar, penting dan juga rumit ini akan memungkinkan bagi khalayak ramai mendapatkan pandangan yang relatif lebih lengkap, lebih terang, lebih objektif, atau lebih mendekati kebenaran.

Selama 32 tahun dicekoki versi rejim militer Orde Baru

Hal ini kelihatan lebih penting lagi – dan juga lebih perlu lagi – kalau diingat bahwa selama puluhan tahun masalah peristiwa 30 September 1965 ini telah disajikan oleh rejim militer Suharto kepada seluruh bangsa kita dalam bentuknya dan isinya yang serba dipalsu atau serba penuh kebohongan. Dalam jangka lebih dari 32 tahun rakyat kita telah dicekoki terus-menerus, besar-besaran dan meluas, (serta intensif sekali !) dengan segala macam informasi tentang peristiwa 30 September 1965 hanya yang dari versi Orde Baru saja.

Banyak sekali di antara kita yang masih ingat betapa besar ketakutan opini publik (termasuk segala media massa) untuk mengemukakan hal-hal yang berbeda dengan versi rejim militer, apalagi menentangnya. Bolehlah dikatakan bahwa rakyat Indonesia dalam jangka waktu yang lama sekali diborgol tangan dan kakinya, ditutup mulutnya, dibutakan matanya dan ditulikan telinganya, dengan persekusi atau terror yang meluas dan menyeluruh. Arus informasi untuk bangsa hanyalah satu arah, dan itupun hanya informasi yang datang dari sumber rejim militer – dan pendukung-pendukungnya – atau yang disetujuinya.

Sampai sekarang sebagian terbesar kalangan terpelajar bangsa kita di seluruh negeri bisa menjadi saksi hidup bahwa indoktrinasi dan propaganda yang disertai intimidasi ( yang banyak berciri-ciri fasisme Nazi Hitler atau Jepang) telah dilakukan juga lewat saluran-saluran pendidikan dan pengajaran, dari tingkat SD sampai Universitas, kursus-kursus « Pancasila », dan bermacam-macam « penataran » dan « pengarahan ».

Indoktrinasi atau propaganda ini pada umumnya berisi serangan atau fitnahan terhadap PKI beserta ormas-ormas pendukungnya, dan permusuhan terhadap Bung Karno dan ajaran-ajaran revolusionernya. Semua hal yang benar tetapi yang bisa dianggap menguntungkan PKI dan Bung Karno secara sistematis dilarang diedarkan dalam segala bentuk dan cara. Yang bisa dibiarkan beredar secara bebas adalah bahan-bahan atau segala macam infprmasi yang menjelek-jelekkan PKI dan Bung Karno, termasuk segala macam kebohongan, dan fitnahan.

Mereka bungkem tentang masalah-masalah sebenarnya

Sebaliknya, seperti yang diketahui oleh banyak orang sekarang, dalam jangka waktu yang lama sekali, rejim militer Suharto telah berusaha keras menyembunyikan kesalahan-kesalahan besarnya terhadap rakyat dan negara, menutup-nutupi pengkhianatannya terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, menggelapkan dosa-dosanya yang berat sekali terhadap anggota dan simpatisan PKI dan seluruh kekuatan revolusioner atau golongan kiri umumnya.

Oleh karena itulah maka sampai sekarang orang-orang pendukung Suharto beserta Orde Barunya tidak pernah mau bicara terus-terang tentang berbagai kejadian yang sebenarnya dan persoalan-persoalan yang sesungguhnya tentang latar belakang atau sebab-sebab peristiwa 30 September 1965. Mereka tetap bungkem tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengkhianatan terhadap Bung Karno. Mereka juga tidak berani mengungkap secara jelas dan terang-terangan tentang pembunuhan jutaan orang-orang tidak bersalah apa-apa dan pemenjaraan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang kiri pendukung politik Bung Karno.

Bahkan, kejahatan mereka yang lebih katerlaluan lagi adalah usaha mereka untuk menghalang-halangi – dengan segala cara – upaya berbagai orang yang mau membuka atau membongkar itu semuanya untuk diketahui umum. Hal yang demikian itu telah berjalan selama puluhan tahun, sampai jatuhnya Suharto dari kedudukannya dalam tahun 1998. Sejak itulah sedikit demi sedikit – atau sebagian demi sebagian – rakyat mulai mengetahui berbagai hal yang sebenarnya, seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini.

Dan juga baru sejak itulah, maka umum mulai mengetahui serba sedikit tentang betapa besarnya kejahatan atau beratnya dosa-dosa Suharto bersama jenderal-jenderalnya (dan para pendukungnya di berbagai kalangan, termasuk sebagian dari kalangan Islam yang anti Bung Karno dan anti-kiri) dalam pembantaian besar-besaran yang biadab terhadap sejumlah besar sekali bangsa kita sendiri. Begitu besarnya atau luasnya pelanggaran terhadap HAM ini sehingga boleh dikatakan tidak ada provinsi di Indonesia (bahkan juga kabupaten) yang tidak mengalami berbagai kejahatan besar oleh Suharto dan konco-konconya itu.

Watak dan ciri-ciri Suharto dan Orde Baru yang sebenarnya

Banyak sekali dari rakyat Indonesia yang baru mengetahui tentang watak asli dan ciri-ciri yang sebenarnya dari Suharto beserta para pendukungnya hanya setelah Orde Baru runtuh berkat gerakan-gerakan besar-besaran generasi muda di seluruh negeri dalam tahun 1998. Walaupun belum semuanya, atau baru sebagian saja, rakyat Indonesia sudah mulai mengerti bahwa Suharto beserta para jenderalnya adalah pengkhianat terbesar terhadap revolusi rakyat, terhadap cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, terhadap pemimpin besar bangsa Bung Karno, terhadap Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, dan terhadap tujuan masyarakat adil dan makmur.

Sekarang makin jelas bagi banyak sekali kalangan dan golongan masyarakat betapa besarnya perbedaan antara jasa besar Bung Karno untuk bangsa seluruhnya, dengan dosa-dosa dan kejahatan Suharto (beserta pendukung-pendukungnya !). Sekarang juga makin banyak bukti yang bisa dilihat bahwa Suharto dan konco-konconya adalah perusak besar persatuan bangsa, pembunuh jiwa revolusioner rakyat Indonesia yang pernah berkobar dan menyala-nyala tinggi di bawah pimpinan Bung Karno, dan penghancur cita-cita luhur kemerdekaan.

Dari bukti-bukti tentang apa yang dilakukan selama menjadi pimpinan negara sepanjang 32 tahun, dan apa yang dibikinnya sebagai tokoh utama dari Orde Baru, ditambah juga sebagai kepala keluarganya, nyatalah dengan jelas-jelas bahwa Suharto sama sekali bukanlah seorang yang patut disebut sebagai pemimpin negara dan bangsa, dan juga sama sekali bukanlah orang yang patut dihormati dan dikagumi rakyat banyak.

Berbagai peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan cara-caranya memimpin pemerintahan dan memegang kekuasaan (dan juga mengatur kehidupan keluarganya) menunjukkan dengan gamblang sekali kepada umum bahwa Suharto yang pernah dipuja-puja setinggi langit oleh para pendukungnya dan segala macam orang penjilatnya adalah sebenarnya sampah bangsa. Hanya dengan jalan pengkhianatan besarnya terhadap rakyat Indonesia, terhadap Bung Karno, terhadap seluruh kekuatan demokratis dan revolusioner, terhadap Pancasila, ditambah dengan dukungan kekuatan imperialisme (terutama AS) ia dapat menduduki jabatan tertinggi Republik kita selama 32 tahun.

Hanya melalui lautan darah pembantaian massal kurang lebih 3 juta orang kiri, anggota dan simpatisan Bung Karno dan PKI lah Suharto (bersama-sama para jenderalnya) bisa mengangkangi negara, dan menggunakannya untuk menumpuk kekayaan haram sambil sekaligus menindas dan memeras rakyat selama puluhan tahun. Korupsi Suharto beserta keluarga besarnya dan anak-anaknya adalah kejahatan besar terhadap negara dan rakyat, yang sudah tidak perlu lagi dijelaskan secara panjang lebar di sini, karena gamblangnya.

Munculnya Suharto : halaman hitam dalam sejarah bangsa

Dari itu semualah kita bisa dan perlu menilai siapakah dan bagaimanakah sebenarnya Suharto dan merenungkan berbagai masalah yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965 – berikut segala dampak atau akibat-akibatnya di kemudian hari – yang membikin Suharto menemukan dalih untuk melakukan banyak sekali berbagai kejahatan berat dan selama puluhan tahun pula.

Dengan dalih menumpas Gerakan 30 September dan membalas terbunuhnya 6 jenderal, Suharto telah melakukan kejahatan yang terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia selama ini, dengan membunuhi jutaan sesama bangsa sendiri dan memenjarakan ratusan ribu dengan sewenang-wenang, dan menyengsarakan para keluarga mereka selama puluhan tahun (sampai sekarang !!!) Suharto sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Darat (waktu itu) sepenuhnya bertanggungjawab atas apa yang terjadi dalam tragedi nasional yang membikin aib terbesar bangsa dan dosa yang terberat ini.

Mengingat itu semua, patutlah agaknya, bahwa banyak orang menganggap bahwa apa yang dilakukan Suharto (bersama pimpinan militernya) selama puluhan tahun itu adalah tragedi nasional berjangka panjang, dan bahwa kehadiran Suharto sebagai pimpinan negara adalah mala-petaka besar bangsa. Sekarang makin kelihatan lebih nyata – dan lebih meyakinkan banyak orang – bahwa munculnya Suharto sebagai pimpinan Orde Baru akibat peristiwa 30 September 1965 merupakan halaman hitam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Perlu selalu ingat kepada dosa-dosa Suharto dan Orde Baru

Oleh karena itu, adalah merupakan kebaikan bagi kita semua, tidak peduli dari kalangan politik yang mana pun juga, dan dari golongan agama apa pun juga, untuk selalu ingat kepada berbagai kejahatan dan dosa-dosa besar Suharto beserta para pendukungnya. Bangsa Indonesia, baik yang generasi sekarang, maupun generasi-generasi yang akan datang, perlu bersikap tegas dan mempunyai pandangan yang jelas mengenai hal-hal yang terburuk dalam sejarah bangsa kita itu semuanya.

Bermacam-macam kejahatan, pelanggaran HAM, perusakan moral bangsa, dan pembusukan mental banyak kalangan, yang membikin rusaknya negara dan pemerintahan di masa yang lalu – dan yang berlangsung terus di masa kini – patut dihujat sekeras-kerasnya atau dikutuk sekuat-kuatnya oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan..

Terus-menerus mengutuk dan menghujat Suharto dan Orde Barunya sekarang ini adalah masih perlu sekali, walaupun Suharto sudah lama meninggal dan Orde Baru juga sudah runtuh, Sebab, sisa-sisa kekuatan dan pengaruhnya masih bercokol di sana-sini dan masih bisa terus membikin berbagai kerusakan dan pembusukan di berbagai bidang terhadap negara dan bangsa kita.

Selain itu, di antara berbagai pendukung Suharto dan Orde Baru masih banyak sekali yang belum pernah menyatakan penyesalannya – dengan terang-terangan dan setulus-tulusnya – atas macam-macam kesalahan berat atau berbagai kejahatan besar yang pernah dilakukannya terhadap rakyat banyak, terhadap Bung Karno, dan terhadap golongan kiri pada umumnya serta golongan PKI pada khususnya.

Tidak mema’afkan dosa-dosa dan kesalahan Suharto dan Orde Barunya

Oleh karena itu , bisalah kiranya diterima sebagai sikap yang adil, serta sebagai fikiran yang benar, kalau ada orang atau kalangan yang tidak mau mema’afkan begitu saja atas dosa-dosa yang begitu besar yang dilakukan Suharto (sekali lagi : beserta pendukung-pendukungnya !) yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965.

Juga, bisalah dianggap sebagai sikap nalar yang waras kalau ada golongan yang tidak mau atau tidak bisa melupakan begitu saja segala kesalahan dan kejahatan yang begitu monumental yang dibuat oleh Orde Baru terhadap puluhan juta orang dan dalam jangka waktu yang lama sekali pula. Sebagian di antara mereka itu adalah para eks-tapol beserta para keluarganya, yang besar sekali jumlahnya.

Sebaliknya, mema’afkan begitu saja segala dosa-dosa besar dan kejahatan-kejahatan serius sekali Suharto (dan pendukung-pendukungnya) sekitar masalah peristiwa 30 September beserta kelanjutannya adalah sikap politik yang keliru. Demikian juga, melupakan saja segala kebusukan Orde Baru adalah sikap moral yang sesat atau cermin jiwa yang sakit.

Mengutuk sekuat-kuatnya Suharto dan menghujat sekeras-kerasnya Orde Baru tidaklah bisa dianggap hanya sebagai pelampiasan dendam atau balasan sakit hati saja, yang justru adalah soal yang bisa dimengerti dan dianggap wajar oleh setiap orang yang memiliki nalar yang waras dan hati nurani yang bersih. Yang tidak wajar dan yang tidak waras ( !!!) adalah kalau ada kalangan atau golongan yang masih juga terus-menerus menganggap Suharto sebagai guru besar atau pemimpin bangsa yang perlu dihormati atau bahwa Orde Baru adalah baik.

Dalam mengenang kembali dan merenungkan dalam-dalam banyak soal yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965, satu hal yang juga makin jelas sekarang adalah bahwa Suharto beserta Orde Barunya merupakan sumber utama dari berbagai persoalan dan banyak penyakit parah yang akibat-akibatnya telah dan sedang membikin negara dan bangsa dalam keadaan yang rusak dan serba semrawut, dan sangat memprihatinkan, seperti yang sedang sama-sama kita saksikan sendiri dewasa ini.

Jelaslah kiranya bagi kita semua bahwa kerusakan negara dan bangsa yang sedang muncul di depan mata kita bersama sekarang ini, tidak bisa dibiarkan berlangsung terus berlama-lama. Negara kita juga tidak boleh terus-menerus dikangkangi oleh segolongan kecil kaum elite atau sebagian « lapisan atas » yang korup, yang a-moral, yang busuk atau bejat imannya, yang tidak peduli kepada nasib rakyat, yang reaksioner, dan yang pro-neoliberalisme.

Meneruskan Revolusi Rakyat dan Membangun Republik Baru

Karena besarnya kerusakan dan parahnya berbagai penyakit yang dihadapi bangsa, maka agaknya tidaklah mungkin lagi diperbaiki atau dirubah dengan segala macam langkah tambal sulam yang dinamakan reformasi dalam berbagai bidang. Perubahan besar dan fundamental hanya bisa dicapai dengan shock therapy, dengan langkah-langkah istimewa dan luar biasa. Langkah istimewa dan luar biasa ini terdapat dalam jalan yang sudah ditunjukkan Bung Karno, yaitu jalan « Meneruskan Revolusi Rakyat ».

Untuk lebih jelasnya lagi : « Meneruskan Revolusi Rakyat » yaitu dengan bersenjatakan ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, yang telah dicoba dibunuh atau dipendam oleh rejim militer Suharto. Melalui jalan « Meneruskan Revolusi Rakyat » dengan senjata ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno inilah akan terbuka jalan untuk « Membangun Republik Baru » seperti yang digagas oleh berbagai kalangan generasi muda baru-baru ini.