Surat terbuka ke-10 kepada kepala BAKIN

Tentang :

  • Apakah ABRI masih harus terus mendukung presiden Suharto ?
  • Presiden Suharto makin terisolasi dari hati rakyat.
  • Kehadiran Suharto akan terus menimbulkan berbagai kesulitan dan penderitaan.
  • Tempat ABRI adalah di fihak rakyat

Yang terhormat Bapak Letjen TNI (Pur) Mutojib Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Surat ini saya tulis ketika Sidang Umum MPR hampir berakhir, dan ketika banyak peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan dengan jelas bahwa kepercayaan terhadap kepemimpinan presiden Suharto makin jatuh merosot dalam sekali. Berbagai gejala juga sudah muncul yang mengisyaratkan bahwa kehadiran presiden Suharto di puncak pimpinan kekuasaan negeri ini sudah tidak dikehendaki, lebih lama lagi, oleh banyak golongan dalam masyarakat. Dan, seperti yang dapat kita saksikan bersama-sama, landasan dukungan kepada kedudukan politik presiden Suharto juga makin lama makin menciut. Artinya, barisan yang menentang sistem politik presiden Suharto juga makin membesar dan makin panjang akhir-akhir ini. Dan karena situasi politik, ekonomi, sosial pasti akan lebih memburuk di masa depan, maka pastilah juga perlawanan terhadap sistem politik presiden Suharto akan juga makin menggelora . Oleh karenanya, adalah amat penting sekali bagi pimpinan ABRI – termasuk pimpinan BAKIN – untuk memperhitungkan dengan lebih serius dan lebih teliti, tentang perspektif kepemimpinan presiden Suharto, perspektif peran ABRI bagi negeri kita, perspektif aspirasi rakyat akan adanya perobahan. Sebab, masalah-masalah ini berkaitan erat sekali dengan keselamatan republik kita dan kepentingan rakyat Indonesia sebagai keseluruhan.

Mudahlah kiranya untuk dimengerti bahwa BAKIN secara teratur dan lengkap menerima laporan-laporan tentang makin banyaknya aksi-aksi yang dilancarkan oleh mahasiswa-mahasiswa (dan para pengajar) dari berbagai universitas di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Jogja, Semarang, Salatiga, Solo, Kudus, Surabaya, Jember, Bali, Ujungpandang, Padang dll. Mengingat situasi yang makin runyam di bidang politik dan ekonomi-sosial di negeri kita, dapat diramalkan bahwa aksi-aksi semacam ini akan menjalar lebih luas lagi di berbagai universitas lainnya. Situasi yang demikian ini adalah perkembangan baru yang amat penting dalam sejarah Orde Baru. Di samping itu, tentunya BAKIN juga menerima laporan tentang kegiatan politik yang dilakukan bersama-sama oleh organisasi-organisasi pemuda seperti PMII, GMNI, PMKRI, GAMKI, HMI dan yang dilakukan oleh berbagai LSM.

Dasar pokok dan tujuan utama yang menggerakkan bermacam-macam aksi atau kegiatan politik mereka itu pada umumnya menuju satu arah : menolak kepemimpinan presiden Suharto (dan Orde Baru) yang telah menjerumuskan negeri dan rakyat dalam situasi yang penuh dengan berbagai krisis, memprotes memburuknya ekonomi yang disebabkan politik pemerintah, mengkritik berbagai politik „pembangunan“ yang ternyata hanya menguntungkan sejumlah kecil konglomerat, mengutuk korupsi dan kolusi dan nepotisme yang merajalela di kalangan atas. Mereka menuntut adanya pemerintahan yang bersih, dan digantinya sistem politik yang sekarang untuk bisa mengadakan reformasi di berbagai bidang.

Di belakang „gebyar“ presiden suharto tersembunyi segala macam kekotoran

Bapak Letjen (Pur) Mutojib yth,

Perkembangan situasi di negeri kita dewasa ini menunjukkan banyak bukti, dan juga banyak tanda-tanda, bahwa martabat dan kehormatan presiden Suharto sudah makin merosot di banyak mata orang, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Juga dalam hal ini, belum pernah selama 32 tahun ini, kita lihat gejala yang semacam ini. Nama Suharto dan anak-anaknya sudah jadi cemooh dan bahkan makian dalam percakapan sehari-hari. Jalan Cendana sudah dilambangkan sebagai sarang seorang despot yang mengangkangi kekuasaan dan „menjarah“ (dengan cara halus dan canggih) kekayaan yang amat besar, dan memerintah negara ini sebagai raja. (Harap diingat: kulit muka majalah D&R). Yel-yel „Gantung Suharto“ , „Turunkan Suharto“, „Tuntut pertanggungan jawab Suharto atas krisis nasional“, „Kembalikan uang 16 milyar $ kepada rakyat“, „Seret Suharto“, (yang terdengar dalam aksi-aksi mahasiswa dalam banyak kampus dewasa ini) adalah suatu ukuran yang penting tentang njloknya citra presiden Suharto.

Karena berbagai sebab, banyak orang selama 30 tahun mengagung-agungkan atau memuja presiden Suharto sebagai „bapak pembangunan“ dan pemimpin bangsa. Selama 30 tahun, ia menjadi pusat kekuasaan, yang mengendalikan kehidupan politik di negeri ini, dan mempunyai pengaruh dan peran besar dalam pengaturan sistem ekonomi. Begitu besarnya kekuasaan yang dipegangnya, sehingga selama 32 tahun pula ia dapat berbuat seenaknya, tanpa ada kontrol atau perlawanan yang serius dari fihak yang manapun juga. Tetapi, sejak pertengahan tahun 1997, dengan adanya krisis moneter yang kemudian menimbulkan berbagai akibat parah di bidang ekonomi, maka mulailah sedikit demi sedikit kelihatan jelas bagi banyak orang bahwa segala „gebyar“ yang disandang oleh presiden Suharto adalah semu atau palsu. Bahkan, lebih dari itu! Di balik „gebyar“ yang sudah gemerlapan selama 32 tahun itu ternyata bersembunyi segala macam kebusukan dan kekotoran, yang berkaitan dengan korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tetapi, karena besarnya kekuasaan yang dipegangnya, maka ia berhasil dalam jangka lama menutup-nutupi - dengan berbagai cara dan berbagai bentuk - sejumlah besar tindakan-tindakannya (beserta anak-anaknya dan kerabat dekatnya) dalam menumpuk kekayaan yang ditaksir 16 milyar US$. Kekuasaannya yang besar ini juga memungkinkan baginya membentuk jaring-jaringan „mafia“ bersama-sama sejumlah petinggi militer dan konglomerat (pribumi dan non-pri), untuk beramai-ramai memperkaya diri, sambil menimbulkan kerusakan-kerusakan besar di berbagai bidang.

Presiden Suharto makin terisolasi dari rakyat

Patutlah diakui bahwa presiden Suharto termasuk golongan orang yang hebat dalam menggunakan dan menyalahgunakan kekuasannya secara „lihai“, sehingga berhasil mempertahankan begitu lama hegemoni dan dominasi dalam struktur kekuasaan negeri ini. Begitu hebatnya, sehingga banyak orang meramalkan bahwa ia akan tetap menjadi persiden sampai akhir hayatnya, dan tidak akan ada kekuatan yang manapun yang bisa menggulingkannya. Ternyata, sejarah menghendaki dan menentukan jalan yang lain yang harus dilalui oleh presiden Suharto.

Dengan tidak disangka-sangka, muncul bencana anjloknya Rupiah yang kemudian berbuntut dengan lahirnya berbagai problem parah di bidang moneter dan perekonomian. Problem-problem yang bertumpuk-tumpuk dibidang moneter dan ekonomi, yang disebabkan oleh buruknya sistem politik presiden Suharto (Orde Baru), telah membikin kocar-kacirnya perekonomian sehingga menimbulkan penderitaan bagi banyak orang. Kekacauan ekonomi di berbagai sektor dan terjerumusnya puluhan juta orang dalam jurang penderitaan ini telah menimbulkan kemarahan banyak golongan terhadap sistem politik Orde Baru. Kemarahan dan ketidak puasan yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi telah menimbulkan kesedaran politik bagi banyak orang, termasuk di kalangan menengah, dan bahkan dikalangan „kubu“ Orde Baru sendiri. Mata banyak orang makin terbuka, bahwa sumber segala problem politik, ekonomi, sosial dan moral dewasa ini adalah kepemimpinan presiden Suharto yang telah gagal.

Amat pentinglah kiranya untuk sama-sama kita perhatikan bahwa, dewasa ini, golongan menengah dan kaum terpelajar makin lantang menyuarakan keprihatinan hati nurani mereka terhadap segala ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, terhadap pelanggaran HAM dan pencekikan hak-hak demokratis. Kaum pengusaha kecil dan menengah juga merasakan akibat politik buruk pemerintah, karena pabrik-pabrik dan perusahaan mereka terpaksa gulung tikar dan memecati pegawai-pegawai.

Sembako makin langka di banyak tempat, dan pengangkutan juga menjadi sulit. Itulah sebabnya, mahasiswa dan bahkan pelajar-pelajar sekolah lanjutan juga mengadakan aksi-aksi. Walau tanpa hasutan PRD atau SBSI atau „sisa-sisa PKI“ pastilah gelombang aksi-aksi buruh juga akan muncul di mana-mana. Ini tidak bisa dicegah, sebab situasi ekonomi yang makin memburuk terpaksa akan mendorong timbulnya gejolak-gejolak itu.

Dalam situasi yang demikian itu, maka makin banyak orang yang melihat –dan yakin - bahwa sumber banyak problem dewasa ini adalah justru presiden Suharto. Dan karena banyak orang tahu bahwa presiden Suharto (beserta anak-anak dan kerabat dekatnya) menumpuk kekayaan yang luar biasa besarnya, kemarahan mereka ini menjadi sikap politik anti-Suharto dan anti-Orde Baru. Begitulah, jadinya, mengapa presiden Suharto sudah makin terisolasi dari rakyat. Dan, banyak pertanda juga menunjukkan bahwa ia akan lebih terisolasi lagi, berhubung makin terbongkarnya banyak aspek negatif „kepemimpinannya“. Dalam keadaan yang makin sulit bagi sebagian terbesar rakyat kita, maka kesalahan dan dosa Suharto (beserta anak-anak dan kerabatnya) sulit untuk dima’afkan begitu saja oleh banyak orang.

Kehadiran Presiden Suharto akan terus menimbulkan berbagai kesulitan

Bapak Letjen Mutojib yth,

Perkembangan situasi akhir-akhir ini sudah menunjukkan bahwa banyak kesulitan parah di bidang politik, sosial, ekonomi dan moral yang sekarang sedang melanda negeri kita adalah akibat dari sistem politik Orde Baru dan tindakan-tindakan presiden Suharto. Bagi banyak orang (mungkin juga bagi sebagian dari ABRI dan BAKIN sendiri) budi-pekerti „kepala negara“ yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dengan sewenang-wenang itu sudah melampaui batas-batas nalar yang sehat. Adalah menyedihkan sekali bahwa negara republik kita „dipimpin“ atau dikepalai oleh seorang „tokoh“ yang ternyata tidak menghargai dan tidak mementingkan kepentingan negara dan rakyat. Republik kita dikangkangi, diinjak-injak, dibikin semau-maunya, untuk kepentingan dirinya sendiri beserta anak-anak dan kerabatnya. Daftar kekayaan dan ratusan perusahaan yang dipunyai Sigit, Tutut, Bambang, Tommy, Titiek, Probosutedjo, Sudwikatmono adalah, pada hakekatnya, daftar dosa mereka. Demikian juga, daftar begitu banyak „yayasan“ yang didirikan oleh presiden Suharto bersama konco-konconya adalah daftar kejahatan mereka.

Perkembangan di kemudian hari di tanah-air kita akan makin membuktikan bahwa problem-problem gawat dan rumit di bidang politik, ekonomi, sosial dan moral hanyalah bisa berangsur-angsur dibenahi, setelah „tokoh“ yang satu ini sudah tidak bisa ikut campur-tangan lagi dalam urusan-urusan besar negara kita. Adalah ilusi besar yang keluar dari otak yang dungu dan bebal sajalah kalau masih ada yang mengharapkan bahwa perbaikan dan perobahan bisa dilakukan oleh presiden Suharto. Ada CBS atau tidak, ada 50 kesepakatan dengan IMF atau tidak, ada GBHN yang dikeluarkan oleh MPR 1998 atau tidak, kunci persoalannya akan sama saja! Selama presiden Suharto masih berkuasa, maka sulit sekali adanya perobahan menuju perbaikan, bahkan sebaliknya. Reformasi yang diharapkan oleh banyak orang (termasuk para pengusaha dalamnegeri dan investor luarnegeri) akan tidak dijalankan oleh presiden Suharto. Sebab reformasi berarti „bunuh diri“ bagi kepentingan presiden Suharto dan keluarga terdekatnya serta konco-konconya (konglomerat pri dan non-pri).

Singkatnya, kehadiran presiden Suharto di pucak pimpinan negara sangatlah merugikan kepentingan republik kita, dan akan terus-menerus menimbulkan problem-problem serius di bidang politik, sosial, ekonomi dan moral di negeri kita. Kerusakan-kerusakan yang dibikinnya akan bisa menjadi lebih parah lagi dari pada yang sudah kita alami selama ini. Dan, sebagai akibatnya, berbagai penderitaan pahit yang dipikul oleh sebagian terbesar rakyat juga akan terus membesar dan mendalam. Apakah ini akan kita biarkan terus ?

Apakah abri harus terus membela Suharto?

Bapak Letjen (Pur) Mutojib yth,

Barangkali sekarang ini sudah seharusnya, dan juga sudah waktunya, bahwa kita semua merenungkan dengan fikiran yang jernih, dan mempertimbangkan dengan hati yang tulus, masalah kehadiran presiden Suharto di pucuk pimpinan negara kita ini. Sebab, makin jelaslah, sekarang, bahwa republik kita sudah tidak memerlukan lagi „jasa“nya. Makin cepat ia bisa dienyahkan dari kedudukannya, akan makin baik bagi negara dan rakyat kita. Bukan saja ia telah menjadi perusak moral bangsa, ia telah menjadi pencuri kekayaan negara secara besar-besaran. Bukan saja ia menjadi teladan buruk di bidang akhlak, ia telah juga menjadi contoh negatif dalam penyalagunaan kekuasaan dan pelecehan hukum, HAM dan etika politik. Ia telah menjadi kangker ganas bagi tubuh bangsa, dan menjadi sumber berbagai penyakit parah lainnya.

Makin banyak orang yang sekarang menjauhi penyakit ini, dan makin banyak golongan yang meninggalkannya. Tindakan mereka itu tepat. Bahkan, seperti kita saksikan, makin banyak orang dan golongan yang sudah melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk. Makar politik sudah mulai dilancarkan. Pembrontakan moral juga sedang muncul di mana-mana. Sangatlah menggembirakan bahwa kampus-kampus di banyak universitas dewasa ini sedang berobah menjadi tempat kuliah politik dan wadah perjuangan generasi muda dalam melawan sistem politik Suharto. Tindakan mereka itu benar dan juga mulia. Sebab, „tokoh“ ini berbahaya bagi keselamatan republik kita ! (Mungkin, kalimat ini kedengarannya „keterlaluan“. Tetapi, kalau ditinjau secara menyeluruh, maka akan kelihatan jalur kebenarannya).

Kalau sudah begini, apakah ABRI masih harus dan juga masih patut membela kedudukan politik presiden Suharto ? ABRI adalah Bhayangkara negara, artinya : pelindung negara. Bukannya pelindung oknum (atau penjahat-penjahat lainnya) yang merusak kepentingan negara dan kepentingan rakyat. ABRI adalah abdi rakyat, dan rakyatlah yang harus dilindungi dari perbuatan-perbuatan fihak manapun yang menimbulkan penderitaan. Adalah kekeliruan yang besar sekali, kalau ABRI justru melindungi oknum atau sejumlah oknum - yang terang-terangan sudah merugikan negara dan rakyat secara besar-besaran, karena melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan segala macam penyalahgunaan kekuasaan, untuk memperkaya diri tanpa malu sedikitpun juga.

Citra abri merosot di hati rakyat

Selama kekuasaan Orde Baru, dan juga sampai dilangsungkannya SU MPR kali ini, pimpinan ABRI menempatkan diri sebagai pelindung kepentingan politik presiden Suharto. Pimpinan ABRI dengan tegas menyokong dipilihnya kembali presiden Suharto untuk ke-7 kali, dan juga mendukung Habibi sebagai wakil presiden. Padahal, sudah banyak bukti bahwa presiden Suharto telah menjalankan sistem politik yang sekarang ini ternyata gagal dan karenanya menimbulkan berbagai problem gawat yang mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang. Juga sudah banyak bukti bahwa, dari segi moral, presiden Suharto bersama keluarganya melakukan kerusakan yang amat besar bagi kepentingan bangsa dan rakyat. Citra Suharto di luarnegeri sudah rusak sama sekali, dan nama keluarganya („PPP“) sudah busuk dalam kolom-kolom media pers luarnegeri. Buruknya martabat presiden Suharto adalah noda besar bagi bangsa Indonesia. Kita semua harus berusaha menghilangkan noda besar ini, demi nama baik bangsa, dan demi keselamatan republik kita.

Karena pimpinan ABRI (baik karena terpaksa maupun tidak) melindungi kepentingan politik presiden Suharto, maka mau tidak mau, sikap mereka ini bertentangan dengan aspirasi rakyat. Dan karena dalam usaha membela kepentingan sistem politik presiden Suharto ini (Orde Baru) aparat-aparat ABRI telah digunakan – sering sekali dengan cara-cara brutal - untuk „menghadapi“ kegiatan berbagai golongan pro-demokrasi dan pro-perobahan, maka timbullah „bentrokan“ dan bahkan „sikap permusuhan“. Gejala semacam ini sangat menyedihkan, dan patut disayangkan! Sebab, dengan membela kepentingan politik presiden Suharto yang sudah jelas-jelas merugikan kepentingan rakyat, maka citra ABRI, sebagai konsekwensinya, menjadi amat buruk di hati banyak orang. Karena terpaksa membela kedudukan presiden Suharto, yang sudah „diharamkan“ oleh hati-nurani rakyat, maka martabat ABRI sebagai pelindung negara dan pelindung rakyat menjadi rusak sama sekali. Dimata banyak orang, akhirnya ABRI hanya dianggap sebagai anjing penjaga kepentingan keluarga Cendana. Padahal, keluarga Cendana (dan lingkaran terdekatnya) sudah dikenal sebagai pusat korupsi, kolusi, nepotisme, penyalagunaan kekuasaan, manipulasi „pengaruh“, manipulasi intimidasi (kasar maupun halus). Situasi yang semrawut di bidang moneter dan kekalutan ekonomi dewasa ini adalah, pada pokoknya, akibat berbagai politik dan tindakan keluarga Cendana beserta „crony business“nya.

Amatlah memprihatinkan, dan patut juga disesalkan, bahwa di mata banyak orang, citra ABRI sudah begitu jauh merosotnya, sejak berdirinya Orde Baru. Presiden Suharto sudah berhasil memperalat ABRI untuk mendukung kepentingan politiknya dan melindungi kekayaan yang ditumpuknya dengan cara-cara bathil. Presiden Suharto juga sudah berhasil, selama puluhan tahun, menjadikan aparat-aparat ABRI sebagai alat untuk „menggebug“ aspirasi rakyat yang menginginkan tegaknya demokrasi dan dibentuknya pimpinan yang bersih. ABRI semacam ini bukanlah ABRI yang dilahirkan oleh perjuangan rakyat dalam revolusi 45.

Di bawah pimpinan Suharto, situasi akan terus gela

Bapak Letjen (Pur) Mutojib yth,

Dewasa ini, ketika SU MPR sedang berlangsung, kita menyaksikan meledaknya berbagai gejolak politik, ekonomi dan sosial di banyak tempat di negeri kita ini. Banyak unsur-unsur penting dalam masyarakat kita telah mengutarakan „brontak hati“ mereka terhadap kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh kesalahan „politik pembangunan“ Orde Baru, yang ternyata membikin sengsaranya sebagian terbesar rakyat kita. Banyak golongan juga sudah, dan sedang terus-menerus, melakukan perlawanan terhadap sistem politik presiden Suharto (Orde Baru), demi lahirnya perobahan menuju tegaknya pemerintahan yang demokratis, yang bersih, yang memperjuangkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi, yang melindungi HAM, dan yang menegakkan „rule of law“ (dan bukannya „law of the rulers“!).

Makin berkembangnya perlawanan berbagai golongan terhadap sistem politik Orde Baru adalah amat penting untuk terjadinya perobahan yang didambakan oleh begitu banyak orang dewasa ini. Hanya dengan makin membesarnya kekuatan perlawanan inilah maka perobahan mungkin terjadi. Kita sudah tidak bisa lagi menaruh harapan kepada presiden Suharto beserta sistem politiknya untuk mengadakan perobahan yang mendasar, walaupun ia membentuk kabinet yang baru dan juga mengangkat Habibi sebagai wakil presiden. Sistem politiknya ini telah gagal, seperti yang kita saksikan dewasa ini. Artinya, perobahan tidak mungkin dilahirkan „lewat“ sistem ini, „oleh“ sistem ini, „dengan“ sistem ini, dan „dalam“ sistem ini. Walaupun akan dikemas dengan rumus-rumus indah dalam GBHN yang baru, sistem politiknya akan terus melahirkan kegagalan-kegagalan baru dan akan terus menimbulkan berbagai problem besar yang lebih menyengsarakan rakyat. Dan, juga, walaupun MPR memberikan kekuasaan luarbiasa kepada presiden Suharto (yang menyerupai Supersemar versi ke-2), presiden Suharto bersama „kabinet“nya yang baru tidak mungkin melepaskan sistem politiknya. Karena, kalau sistem politiknya dirobah, maka bangunan Orde Baru ini akan ambruk brantakan, seperti ambruknya bangunan yang dibikin dari karton.

Lalu, kalau sudah begini, bagaimanakah perspektif situasi politik, ekonomi dan sosial negeri kita ini ? Gelap, penuh berbagai krisis, sarat dengan ledakan berbagai gejolak, dan stabilitas akan selalu terancam!. Selama presiden Suharto memegang kekuasaan yang begitu besar, kepercayaan dunia bisnis dalamnegeri dan luarnegeri terhadap pemerintah makin terus melemah, dan karenanya kesulitan-kesulitan ekonomi akan makin lebih memburuk lagi. Dan karena perlawanan berbagai golongan terhadap sistem politiknya akan makin melebar dan mendalam, maka dosis repressi yang ditrapkan juga pasti akan makin membesar. Tidak tertutup kemungkinan bahwa presiden Suharto juga akan menggunakan „tangan besi“, lewat aparat-aparat ABRI yang bisa diperintahkannya, seperti yang sudah terjadi selama 32 tahun ini. Dan karena krisis politik, ekonomi, sosial dan moral di negeri kita kali ini bisa „mengamuk“ secara besar-besaran, maka penguasa Orde Baru bisa saja „terpaksa“ melakukan berbagai kebodohan dan kekeliruan yang serius sekali. Kalau dalam repressi terhadap oposisi sampai jatuh korban jiwa yang banyak, dan juga kerugian materi yang besar, maka tindakan penguasa yang semacam itu hanya akan menyerupai „menuang bensin ke dalam api yang sedang menyala“. Maka, kalau sudah demikian, „jalannya cerita“ bisa lain lagi!

Menyongsong lahirnya „Indonesia tanpa Suharto“

Situasi di dalamnegeri dewasa ini sedang berobah terus, dan kelihatannya, faktor luarnegeri juga makin tidak menguntungkan presiden Suharto. Makin lama makin jelaslah bahwa presiden Suharto tidak bisa, tidak boleh, dan tidak patut dibiarkan meneruskan kepemimpinannya. Karena itu, tepatlah kiranya kalau pimpinan ABRI (dan juga BAKIN), sejak sekarang, ikut mengadakan persiapan-persiapan dan mulai membuat langkah-langkah untuk menyongsong datangnya periode „Indonesia tanpa Suharto“ ini. Sebab, mau tidak mau, dan tidak dapat dicegah oleh siapapun juga, bahwa „periode tanpa Suharto“ ini pasti akan datang, lambat atau cepat. Berbagai faktor – nasional, regional dan internasional - akan memaksa kelahirannya. Di antara faktor-faktor itu, yang merupakan motor penggerak utamanya adalah faktor nasional : faktor subjektif rezim Suharto yang sedang membusuk terus, dan faktor objektif perlawanan rakyat yang makin melebar dan mendalam.

Kalau presiden Suharto tetap memimpin negara kita, Indonesia akan makin lebih terisolasi lagi dari simpati dunia internasional, dan juga tidak disukai oleh para investor asing dan akan selalu ada „pergesekan“ dengan IMF atau badan-badan keuangan internasional lainnya. Ini berarti bahwa roda perekonomian akan terus macet, karena perusahaan-perusahaan kekurangan modal, dan harga bahan-bahan baku impor jadi tidak kepalang mahalnya. Karenanya, akan makin banyak buruh yang di PHK-kan dan pengangguran akan terus membengkak. Hutang pemerintah dan hutang swasta tetap menjadi persoalan rumit dalam hubungan internasional. Dan, seperti yang sudah dianalisa oleh berbagai ekonom (dalamnegeri maupun luarnegeri), karena parahnya problem-problem yang sulit dipecahkan maka kesulitan ekonomi dan penderitaan rakyat ini akan bisa berlangsung dalam jangka waktu yang lama sekali (3 sampai 5 tahun, bahkan lebih lama).

Ada tokoh-tokoh ekonomi Indonesia yang meramalkan bahwa kalau krisis ekonomi terus berlanjut, inflasi tahun ini bisa mencapai 50 sampai 100 %, dan kalau harga pangan naik dua kali lipat (atau 100%) jumlah orang miskin membengkak menjadi 118,5 juta jiwa, atau 60% dari jumlah penduduk Indonesia. Gambaran kasar kemiskinan dewasa ini sudah lebih buruk dibandingkan ketika rezim Suharto mulai berkuasa. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tingkat hidup rakyat kita akan menyamai Bangladesh atau Myanmar. Sungguh menyedihkan dan mengerikan! Inilah yang harus kita cegah.

Abri harus memihak kepada rakyat

Bapak Letjen Mutojib yth,

Kedudukan politik presiden Suharto (dan Orde Baru), yang telah ditegakkan selama 32 tahun dengan ABRI sebagai pilar utamanya, sekarang sudah diharamkan oleh banyak golongan masyarakat. Sejumlah angket (jajak pendapat) yang dilakukan di Indonesia, dan juga aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan (termasuk, dan terutama, oleh para mahasiswa dan pemuda akhir-akhir ini), menunjukkan bahwa tuntutan supaya presiden diganti sudah menjadi arus besar yang makin menggelora. Perkembangan situasi yang semacam ini akhirnya pastilah akan memaksa kepada pimpinan ABRI untuk menentukan sikap : tetap melindungi kepentingan presiden Suharto, ataukah memihak kepada arus besar (fihak rakyat) yang menghendaki adanya perobahan.

Sejak bergejolaknya krisis moneter, pelikuidasian 16 bank dan ditandatanganinya 50 persetujuan dengan IMF, makin jelaslah bahwa kepentingan presiden Suharto (beserta keluarga dan konco-konconya) tidaklah selalu seiring dengan kepentingan negara dan kepentingan rakyat. Bahkan, bukti-bukti sudah menunjukkan bahwa kepentingan keluarga „pimpinan nasional“ ini sering sekali, atau bahkan pada pokoknya, bertentangan dengan kepentingan negara dan juga merugikan rakyat. Tetapi, walaupun demikian, dalam rangka SU MPR sekarang ini, pimpinan ABRI (bersama Golkar) masih bisa „dirangkul“ untuk mendukung dipilihnya kembali presiden Suharto. Bahkan, aparat-aparat ABRI telah digunakan untuk menindak golongan-golongan dalam masyarakat yang pro-perobahan, dengan alasan „demi mensukseskan SU MPR“. Rupanya, perkembangan „situasi intern ABRI“ dewasa ini masih belum „matang“ bagi berbagai unsur-unsur dalam ABRI untuk terang-terangan mengambil sikap yang jelas dan terbuka terhadap kedudukan politik presiden Suharto.

Tetapi, oleh karena bentrokan antara kepentingan presiden Suharto (beserta keluarga dan konco-konconya) dan kepentingan rakyat sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan bahkan akan lebih menajam dalam skala yang lebih besar, maka akhirnya berbagai unsur dalam ABRI haruslah mengambil sikap yang jelas. Memihak kepentingan sistem politik presiden Suharto adalah memihak kebathilan yang sedang merusak negara dan bangsa. Memihak kepentingan keluarga Suharto adalah mempertahankan penyakit parah yang sudah tidak disembuhkan lagi. Kepentingan keluarga Suharto yang tidak luhur itu tidaklah pantas untuk dilindungi oleh ABRI. Sebaliknya, memihak kepentingan rakyat adalah melestarikan keselamatan republik kita dan menjaga kestabilan negara. Tempat yang mulia bagi ABRI adalah di fihak rakyat, sebab rakyat adalah pemilik yang sah republik kita, dan rakyatlah yang melahirkan ABRI. Memusuhi kepentingan rakyat adalah perbuatan khianat dan laknat terhadap ibunya sendiri!

Abri pelindung negara dan rakyat ?

Bapak Letjen (Pur) Mutojib yth,

Seperti sama-sama kita ketahui, dalam konstelasi politik di negeri kita, dan juga dalam struktur kekuasaan negara kita, kedudukan ABRI adalah agak „khusus“, dibandingkan dengan keadaan di negara-negara lain di dunia. Dilahirkan dalam perjuangan besar bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan, kekuatan bersenjata RI (waktu itu bernama BKR, BPRI, PRI, TRIP, TP,TKR, TNI, Brigade 17, dan banyak lagi lainnya !) mendapat dukungan dan bantuan rakyat. Dalam jangka lama, rakyat menaruh hormat kepada angkatan bersenjatanya. Tetapi, sejak 1965, ketika presiden Suharto memimpin Orde Baru, maka ABRI telah dirusaknya. Bersama-sama dengan jenderal-jenderal dan kolonel-kolonel sebayanya dari „angkatan 45“, ABRI telah dijadikan alat penyangga sistem politik yang selama 32 tahun telah menjadikan pemerintahan RI sebagai diktatur militer yang terselubung.

Di bawah pimpinan „panglima tertinggi“ Suharto, ABRI telah divermaak menjadi aparat kekuasaan yang makin lama makin jauh meninggalkan semangat kerakyatannya. Bahkan, lebih dari itu ! Dengan dalih untuk menjaga stabilitas dan menjamin kesinambungan pembangunan, maka ABRI telah dipakai oleh sistem politik Orde Barunya presiden Suharto sebagai alat utama untuk mencekik kehidupan demokratis, melumpuhkan segala „oposisi“ terhadap kesalahan-kesalahan pemerintah, menginjak-injak HAM. Seiring dengan itu, presiden Suharto beserta sistem politiknya telah membiarkan „kalangan atas“ (termasuk kalangan atas ABRI, dan para konglomerat) untuk membikin kerusakan-kerusakan di berbagai bidang (terutama di bidang moral !). Hasilnya, adalah seperti yang kita saksikan di seluruh negeri kita dewasa ini.

Berbagai peristiwa akhir-akhir ini menunjukkan bahwa republik kita sedang dalam bahaya kebangkrutan dan kerusakan berat. Bahaya ini datang dari satu sumber : yaitu presiden Suharto. Adalah tugas ABRI, untuk bersama-sama dengan seluruh kekuatan dalam masyarakat yang pro-demokrasi dan pro-perobahan, untuk mencegah merajalelanya bahaya ini. Untuk itu, ABRI harus meninggalkan „jalan keliru“ yang telah dipaksakan oleh presiden Suharto, dan menempuh jalan baru untuk menyelamatkan republik dan melindungi kepentingan rakyat. Musuh ABRI bukanlah orang-orang atau golongan yang pro-demokrasi dan pro-perobahan, melainkan „kalangan atasan“ yang sedang menjerumuskan negara kita ke dalam jurang kebobrokan moral dan kekalutan politik, ekonomi, dan sosial. Martabat ABRI yang telah dirusak oleh Orde Baru akan kembali menjadi terhormat dalam hati rakyat, kalau ABRI ikut berjuang bersama-sama rakyat untuk mendirikan sistem politik yang lebih demokratis dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat.

Dewasa ini kita semua sedang menghadapi peristiwa-peristiwa yang amat penting dalam sejarah bangsa. Kita sedang menyongsong lahirnya masa depan yang lebih baik bagi kita semua, bagi anak-cucu kita. Sumbangan ABRI amatlah penting bagi kemenangan rakyat dalam merebut kembali kedaulatannya dalam republik ini.

Hormat saya

Amirun Amien

(Nama samaran yang dipakai, dengan mengambil nama bapak saya Amirun dan ibu saya Aminah)