09 Februari 2008 — 11 menit baca

Suharto dan Golkar adalah sumber penyakit bangsa

« Suara-suara gila » (terutama dari kalangan Golkar) yang mengusulkan supaya Suharto diberi gelar pahlawan nasional kelihatannya sudah agak reda, tidak selantang dan tidak lagi bertubi-tubi seperti ketika Suharto baru meninggal. Apa sajakah sebabnya, kiranya bisa sama-sama kita coba analisa, meskipun sementara dan tidak menyeluruh, sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.

Meredanya suara-suara tersebut bisa karena “mereka” (Golkar dan para Suhartois lainnya) terpaksa mundur dulu, berhubung dengan adanya perlawanan yang keras dari banyak kalangan, yang mencerminkan kemarahan besar terhadap usul ini. Tetapi “mundurnya” sikap Golkar dan para Suhartois ini tidak berarti bahwa mereka menyerah begitu saja, atau bahwa mereka sudah berubah. Golkar, yang sudah terbentuk sejak lebih dari 40 tahun yang lalu (dan ini jangka waktu yang lama sekali!) dengan ideologi tertentu akan tetap merupakan Golkar yang itu itu juga, walaupun pimpinan utamanya atau pendirinya, Suharto, sudah tidak ada lagi.

“Mereka” terpaksa untuk “mundur” dan defensif “Mereka” terpaksa mundur dulu dan mengambil posisi defensif karena sulit menahan serangan-serangan berbagai kalangan yang anti-Suharto, yang dengan argumentasi yang kuat dan jelas telah menelanjangi segala dosa-dosa Suharto, baik kejahatannya yang parah dan banyak di bidang HAM, maupun di bidang KKN. Banyak sekali arugumentasi atau alasan-alasan dan bahan-bahan yang diangkat oleh berbagai kalangan anti-Suharto itu tidak bisa diungkiri atau dilawan oleh “mereka”. Sebab, pelanggaran HAM yang berupa pembantaian besar-besaran orang-orang”kiri” – yang tidak bersalah apa-apa ! – pada akhir 65 dan permulaan 66 adalah kejahatan yang jelas nyata kelihatan dan merupakan hal yang disaksikan sendiri atau dialami langsung oleh banyak orang di Indonesia. Saksi-saksi hidupnya masih bisa banyak ditemukan sampai sekarang di berbagai tempat di Indonesia.

Banyaknya eks-tapol yang pernah ditahan atau dipenjarakan secara sewenang-wenang sampai puluhan tahun tanpa pengadilan (ingat : pulau Buru) juga merupakan bukti lainnya yang tidak dapat dibantah oleh para Suhartois dan para pendukung rejim militer Orde Baru tentang jahatnya politik rejim Suharto. Karenanya, para korban Orde Baru, yang banyak sekali jumlahnya, bisa menjadi penggugat yang kuat dan sah terhadap berbagai kejahatan Suharto. Terhadap gugatan yang sah dan berdasar keadilan ini, pada umumnya para Suhartois tidak bisa atau sulit membantahnya. Di sini pulalah terletak kelemahan mereka, sehingga mereka terpaksa berada dalam posisi defensif.

Segala usaha untuk menjunjung “kehormatan” Suharto Dengan sakitnya dan kemudian meninggalnya Suharto para pendukung setia Orde Baru (terutama dari kalangan Golkar dan militer) telah berramai-ramai muncul dan menggunakan kesempatan ini untuk mencoba mengkonsolidasi lebih lanjut pengaruh dan memperkuat kekuasaan politik yang mereka pegang di berbagai bidang dewasa ini. Dengan segala cara dan segala jalan, mereka mengusahakan supaya sosok Suharto mendapat simpati dari masyarakat luas, sehingga ia bisa “diselamatkan” dari hujatan atau kutukan orang banyak. Untuk itu telah dilontarkan – secara terus-menerus – seruan untuk memberi ma’af kepada Suharto atas segala kesalahannya, dan membebaskannya dari tuntutan pengadilan atas kejahatan-kejahatannya di bidang KKN. Di antara usaha-usaha untuk “menjunjung” nama baik dan kehormatan Suharto adalah adanya “usul gila” (terutama dari kalangan Golkar) untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Seperti dapat kita baca sendiri dari berita-berita dan tulisan-tulisan dalam berbagai suratkabar dan juga di mailing-list di Internet, berbagai kalangan telah menyuarakan kemarahan yang besar dan menunjukkan perlawanan mereka yang keras – dan juga luas – terhadap usul-usul untuk “menyelamatkan” Suharto dengan memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya. Mungkin (sekali lagi, mungkin) karena perlawanan yang luas dan keras dari berbagai kalangan inilah maka “mereka” (Golkar dan para Suhartois lainnya) terpaksa “mundur” dulu dan tidak lagi berkaok-kaok secara lantang mengenai “kehebatan jasa-jasa” Suharto sehingga pantas mendapat gelar pahlawan nasional.

Menghadapi fenomena yang demikian ini, seluruh kekuatan pro-demokrasi dan anti-Suharto perlu kiranya untuk tidak buru-buru puas dan merasa sudah “menang”. Sebab, nyatanya, kekuatan pro Suhartois adalah masih kuat sekali dalam pemerintahan yang pada hakekatnya adalah Orde Baru jilid II sekarang ini. Seperti kita saksikan sendiri, orang-orang Golkar (atau simpatisan-simpatisannya) dewasa ini menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan angkatan bersenjata. Karenanya, bisa dikatakan bahwa kekuasaan politik dewasa ini didominasi oleh sisa-sisa kekuatan Orde Baru, yang manifestasi utamanya adalah Golkar dan militer. Segala “kebesaran” dan “kemegahan” yang dipertontonkan oleh pemerintah SBY-JK selama meninggalnya Suharto merupakan cermin yang gamblang sekali mengenai masih kuatnya pengaruh buruk Orde Baru.

Kalau seandainya Suharto diberi gelar pahlawan

Mengingat hal itu, sudah sepatutnyalah kalau seluruh kekuatan pro-demokrasi dan anti Suharto dalam masyarakat tetap terus menggelorakan perlawanan terhadap usul pemberian gelar pahlawan untuk Suharto. Sebab, kalau (sekali lagi : kalau!) gelar pahlawan itu jadi diberikan kepada Suharto, maka ini merupakan penjungkirbalikan banyak soal dalam Republik kita. Ini akan bisa diartikan bahwa apa yang telah dilakukan Suharto selama 32 tahun Orde Baru dianggap baik, benar, dan sah, padahal kita tahu bahwa banyak sekali terjadi pelanggaran HAM yang berat dan tindakan KKN yang parah sekali yang dilakukan olehnya. Pemberian gelar pahlawan kepada Suharto berarti mengkhianati dan menyakiti hati para korban Orde Baru yang puluhan juta orang itu.Pemberian gelar pahlawan kepada Suharto juga berarti mengkhianati perjuangan yang gagah berani generasi muda dalam tahun 1998 yang telah memaksanya turun dari tahta kepresidenan karena KKN dan berbagai politiknya yang otoriter. Selain itu, pemberian gelar pahlawan kepada Suharto akan bisa dipertanyakan atau dipersoalkan – bahkan digugat dan dikutuk –oleh generasi kita yang datang.

Jadi, sekali lagi, perlawanan terhadap usul Golkar untuk pemberian gelar kepada Suharto merupakan juga perlawanan langsung terhadap Golkar sendiri, yang merupakan kekuatan pokok (di samping militer) dari eksistensi Orde Baru jilid II sekarang ini. Dan perjuangan berbagai golongan di Indonesia terhadap dominasi Golkar dalam kekuasaan politik adalah syarat mutlak bagi terjadinya perubahan-perubahan besar dan fundamental di negeri kita. Pengalaman berpuluh-puluh tahun di negeri kita sudah menunjukkan –dengan gamblang sekali ! – kepada kita semua bahwa tidak bisa ada perubahan besar yang sejati, yang memungkinkan perbaikan nasib rakyat (terutama rakyat miskin), selama Golkar masih bisa memegang peran yang besar dalam pemerintahan negeri kita.

Perlawanan terhadap Golkar perlu dikembangkan

Oleh karena itu, sesudah meninggalnya Suharto, maka perlawanan terhadap Golkar kiranya tetap perlu terus dikembangkan bersama oleh semua kekuatan yang anti Suharto. Dalam kaitan ini, bisalah dikatakan bahwa pembelejedan kejahatan-kejahatan Suharto adalah perlu sekali untuk sekaligus membelejedi Golkar juga. Kalau ditarik panjang, maka pembelejedan kejahatan Suharto (meskipun ia sudah meninggal) bisa juga merupakan bagian dari perjuangan melawan Golkar yang menjadi tulang punggung Orde Baru jilid I dan juga jilid II sekarang ini.

Sudah sama-sama kita saksikan bahwa Golkar selama 32 tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto bukanlah partai yang memberikan sumbangan untuk pendidikan moral bangsa, dan bukan pula kekuatan yang memupuk kesedaran orang banyak untuk dengan bersih dan tulus mengabdi kepada rakyat. Bahkan serba sebaliknya ! Sudah terbukti bahwa Golkar merupakan kumpulan dari orang-orang yang terlalu mengejar kemewahan dengan cara-cara yang tidak luhur, yang banyak melakukan korupsi berjamaah, yang tidak peduli dengan penderitaan rakyat banyak. Bisa dikatakan dengan tegas bahwa Golkar tidak mungkin akan bisa mendatangkan kebaikan bagi bangsa dan negara, bahkan kebalikannya.

Kalau Golkar tetap terus memegang peran besar dalam kekuasaan politik dan tetap menduduki pos-pos penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan angkatan perang negara kita, maka negara dan bangsa kita akan tetap terpuruk seperti dewasa ini, dan akan tetap terus terpuruk juga di kemudian hari. Untuk melihat lebih jelas tentang kesulitan atau persoalan yang dibikin oleh Orde Baru jilid I dan jilid II, maka beberapa contohnya berikut di bawah ini saja sudah cukup untuk mengukur parahnya situasi yang dihadapi rakyat kita :

– Jumlah sarjana yang menganggur melonjak drastis dari 183.629 orang pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2007. Ditambah dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur, berdasarkan pendataan tahun 2007 lebih dari 740.000 orang (Kompas, 6 Februari 2008)

— Gizi buruk masih menjadi ancaman anak-anak Indonesia. Saat ini diperkirakan 5,1 juta balita mengalami gizi buruk. Dari jumlah tersebut 54% meninggal dunia. (Pos Kota, 23 Januari 2008)

– Angka kemiskinan yang dilansir BPS untuk 2006 mencapai 39,30 juta orang. (Suara Pembaruan , 28 Agustus 2007)

– Data riset Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia menunjukkan, 94 persen penduduk Indonesia saat ini mengalami depresi dari tingkat yang ringan hingga berat. Dampak dari depresi berat ialah ketidakpatuhan, apatis, pasrah tanpa usaha, dan tidak berpengharapan atas hidup yang dijalaninya. (Kompas, 21 Juni 2007)

– Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur (underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan. (Suara Pembaruan, 7 September 2004)

Itulah sekadar beberapa contoh dari masalah-masalah besar yang menjadi beban bangsa kita. Ditambah dengan banyaknya soal korupsi yang terus merajalela dan belum juga tak kunjung bisa ditangani secara tuntas (termasuk di antaranya kasus BLBI) maka situasi negara dan bangsa kita tidak akan bisa menjadi lebih baik dalam masa dekat ini. Banyak dari masalah-masalah besar yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini adalah warisan dari Orde Baru dimana Golkar memegang peran utama di samping Suharto.

Golkar ikut bertanggung-jawab atas dosa-dosa Suharto Ini berarti bahwa Golkar, yang didirikan oleh golongan militer dan dibesarkan oleh Suharto, ikut bertanggungjawab secara langsung atas segala kesalahan dan kejahatan Suharto yang dilakukan selama 32 tahun. Bolehlah dikatakan bahwa Golkar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan Suharto ini. Dan Golkar yang “jiwanya” menjadi satu dengan Suharto ini jugalah yang sekarang ini memegang peran politik yang penting di negeri kita.

Oleh karena Golkar telah dipupuk dan dibesarkan oleh para Suhartois selama lebih dari 40 tahun – dengan tangan besi dan cara-cara “luar biasa” – maka sekarang pun memiliki jaring-jaringan pengaruh dan juga kekuatan dana dan tenaga manusia yang “luar biasa” pula besarnya. Karena itu, untuk bisa mengalahkan Golkar diperlukan perjuangan yang makan waktu yang panjang di samping perlunya ada kekuatan besar yang bangkit melawannya. Kekuatan besar untuk mengalahkan Golkar ini haruslah dibangun bersama-sama –atau berkat kerjasama –oleh seluruh kekuatan anti Orde Baru.

Perlawanan untuk mengalahkan Golkar adalah agenda utama atau tugas pertama bagi seluruh kekuatan dalam masyarakat yang menginginkan adanya perubahan-perubahan mendasar bagi kepentingan rakyat banyak.

Peran yang penting kaum muda Dalam menggalang kekuatan untuk mengalahkan Golkar ini peran generasi muda adalah sangat penting. Melihat tingkah laku yang serba mengecewakan dari para politisi, pejabat pemerintahan, dan tokoh-tokoh elite masyarakat, yang kebanyakan terdiri dari “orang-orang tua” sekarang ini, maka sudah makin terasa pentingnya kaum muda dari berbagai kalangan dan golongan mengambil alih kepemimpinan politik negeri kita. Sebab, pengalaman sudah menunjukkan –dengan jelas sekali –bahwa dengan orang-orang tua yang menjadi elite di berbagai bidang kehidupan bangsa sekarang ini tidak mungkinlah ada perbaikan-perbaikan besar atau perubahan mendasar bagi rakyat banyak. Perubahan besar bisa diciptakan di negeri kita, kalau kaum muda kita nantiya berhasil merombak, atau mengubah, atau menggeser, atau mengganti, atau merebut kekuasaan politik.

Tetapi, kita harus realis juga dan menyadari bahwa kepemimpinan kaum muda dalam kekuasaan politik ini tidak bisa diciptakan dengan segera dan juga tidak mudah. Diperlukan proses pengalaman yang tidak sedikit. Namun, harus diusahakan ditegakkannya keyakinan bahwa kaum muda yang teguh berpendirian pro-rakyat dan anti Orde Barulah yang justru bisa mendatangkan perbaikan besar-besaran di negeri kita.Kaum muda dari berbagai golongan dan kalangan yang masih belum terkontaminasi oleh kebejatan moral atau kebusukan mental ala Golkar inilah yang bisa diharapkan akan mengadakan perubahan besar atau perbaikan mendasar di berbagai bidang yang sekarang dalam keadaan serba semrawut sekarang ini.

Ikut bangkitnya secara aktif dan massif kaum muda dari berbagai kalangan (antara lain para mahasiswa) dalam melawan anjuran untuk mema’afkan Suharto dan memberikan gelar pahlawan kepadanya adalah langkah permulaan yang amat penting dan baik dalam rangka memblejedi Golkar. Dibongkarnya segala keburukan dan kebusukan Golkar adalah syarat mutlak untuk usaha-usaha yang tujuan akhirnya adalah menyingkirkan Golkar dari kekuasaan politik.

Golkar adalah sumber penyakit bangsa Walaupun perjuangan untuk menyingkirkan Golkar dari kekuasaan politik sekarang ini kelihatan sulit sekali, dan juga bisa makan waktu panjang, tetapi bagi seluruh kekuatan anti Orde Baru tidaklah ada jalan lain, kalau menginginkan diselamatkannya negara dan bangsa dari kemerosotan lebih lanjut atau kehancurannya. Sebab, seperti sudah dibuktikan selama puluhan tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto, ternyata dengan jelas sekali bahwa Golkar merupakan sumber banyak penyakit parah bangsa dan negara, sama seperti halnya Suharto adalah sumber penyakit bangsa dan negara.

Dengan cara memandang yang demikian ini, maka kita akan bisa menghadapi berbagai persoalan negara dan bangsa dengan lebih jelas dan jernih, umpamanya dalam menghadapi pemilu 2009, dalam usaha melaksanakan reformasi (yang sudah mandeg sekarang ini), dan dalam usaha bersama memperbaiki kehidupan rakyat. Dengan cara memandang yang demikian ini akan makin jelaslah siapa-siapa kawan seperjuangan kita, dan juga siapa-siapa saja musuh kita yang sebenarnya. Dalam kaitan ini bisalah kiranya kita katakan dengan tegas bahwa “mereka” yang menganggap Suharto sebagai pahlawan adalah bukan kawan seperjuangan kita.

Dalam sejarah bangsa Indonesia nantinya di kemudian hari akan tercatat bahwa perjuangan melawan Golkar – sebagai kepanjangan perjuangan melawan Suharto – merupakan tindakan yang benar, sah dan adil dalam rangka membela kepentingan rakyat dan negara. Dan, sebaliknya, juga akan tercatat bahwa tidak melakukan perlawanan terhadap Golkar adalah sikap politik yang salah dan sikap moral yang sesat.