20 November 2001 — 13 menit baca

Selamatkan negara kita dari kebangkrutan

Sebagai salah satu di antara berbagai reaksi terhadap tulisan “Pandangan Kwik Kian Gie soal korupsi dan utang”, ada seorang sahabat (ia seorang sarjana hukum, dan tinggal di Jakarta) yang dengan nada marah (atau jengkel dan gemas sekali) menulis dalam E-mailnya bahwa “masalah ini bukan masalah kecil. Intinya, negara ini sudah bangkrut. Utang baru sudah tidak lagi cukup untuk bayar cicilan utang lama plus bunganya. Sementara itu, dalam hitungan 1 - 2 tahun lagi akan melanda, seperti air bah, kewajiban membayar kembali obligasi yang diterbitkan secara sembarangan pada waktu-waktu yl dan kini harus ditanggung oleh rakyat mengingat obligasi gila-gilaan itu beralih menjadi kewajiban negara melalui IBRA/BPPN. RI sudah masuk ke dalam jurang dahsyat.”, tulisnya.

Ungkapannya bahwa “negara ini sudah bangkrut, dan RI sudah masuk ke dalam jurang dahsyat” adalah penting, dan menarik, untuk kita renungkan bersama dengan serius. Sebab, seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini, memang terlalu banyak masalah besar dan parah yang harus diatasi, tetapi belum teratasi. Ini disebabkan oleh masih terus merajalelanya sejumlah besar orang yang melakukan berbagai korupsi (kecurangan, penggelapan, penyelewengan, perusakan, pembusukan) di banyak bidang. Mereka yang bermental korupsi inilah yang membikin banyaknya persoalan-persoalan buruk tidak bisa diatasi sampai sekarang.

Sebagai salah satu di antara banyak contoh yang bisa kita angkat bersama-sama (dan kita renungkan) adalah apa yang dikemukakan oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dalam interview-nya dengan majalah Forum Keadilan (19 November 2001). Ia menyatakan bahwa dalam rangka kepergiannya ke AS pada 4 dan 5 November lalu, sebagai utusan Presiden Megawati, ia menjumpai Jaksa Agung AS, John Ashcroft. Mereka berbicara tentang banyak hal, antara lain mengenai persiapan sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) yang berlangsung pada 7-8 November di Jakarta, politik luar negeri, money laundering, dan terorisme.

“Mengacu pada instruksi DK PBB, kita menyambut baik tawaran AS untuk melakukan joint investigasi terhadap aset yang berkaitan dengan terorisme di Indonesia. Tapi, saya juga meminta AS untuk membantu kita menginvestigasi dana BLBI yang dilarikan ke luar negeri. Apalagi, Jaksa Agung pernah berkata akan meminta bantuan Biro Penyelidik Federal (FBI) dan Central Intelligence Agency (CIA). Saya katakan kepada Pemerintah AS agar menggunakan pengaruhnya untuk menekan Australia, Hong Kong, Singapura, Cina, dan AS sendiri. Sebab, kita menduga dana itu disimpan di negara-negara tersebut. AS berkomitmen dan menyambut baik tawaran itu. Kini, kita sedang merumuskan suatu proposal agreement dengan Pemerintah AS dalam rangka menyangkut kepentingan nasional” katanya.

“Saya sudah menyampaikan kepada semua pihak bahwa inilah hasil pembicaraan dengan AS. Saya pikir ini langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam negeri. Sebab, dana yang dilarikan dalam kasus BLBI bernilai Rp 18,5 triliun, kalau dikurs sekarang mencapai US$ 18,5 miliar. Nah, kalau itu kita ambil, saya kira kita enggak perlu sidang CGI. Kita bisa gunakan tangan Amerika untuk mengambil uang itu. Sebenarnya, maling BLBI itu tidak banyak jumlahnya. Pemerintah yang terdahulu tidak pernah membicarakan masalah BLBI. Baru sekarang ini kita membicarakan masalah BLBI. Kedatangan saya ke AS itu intinya untuk barter. AS meminta kita melakukan investigasi jaringan teroris internasional. Tapi, kita juga meminta AS untuk melakukan investigasi soal BLBI dan mereka setuju”, tegasnya.

US$18,5 miliar dilarikan ke luarnegeri

Setelah membaca bahwa dana sebesar US$ 18,5 miliar (sekitar Rp 18,5 triliun) telah dilarikan ke luarnegeri, maka wajarlah kiranya bahwa banyak orang bisa geleng kepala sambil berteriak marah :” Sudah begitu bobrokkah negara kita ini?” . Atau, bisa dimengerti jugalah agaknya, kalau ada orang yang memaki-maki dengan umpatan kotor dan kasar, umpamanya :” Pejabat-pejabat tinggi kita sudah banyak yang betul-betul menjadi penjahat!”, atau “Maling-maling besar itu harus diringkus!”, atau umpatan gemas lainnya yang terdengar tidak senonoh. Sebab, kemarahan mereka itu adalah berdasarkan rasa keadilan dan nalar yang sehat

Patutlah sama-sama kita ingat bahwa dana sebesar Rp 18 triliun itu tidaklah sedikit!!! Supaya lebih jelas, jumlah ini bisa ditulis dengan cara lain, yaitu R 18 000 000 000 000 (artinya RP 18 juta dikalikan sejuta). Atau, kalau ditulis dalam mata uang dollar, maka sama dengan US$ 18 miliar atau US$ 18 000 000 000 (artinya US$ 18 juta dikalikan seribu). Dan uang sebanyak itulah yang sudah dilarikan oleh maling-maling besar ke berbagai negeri selama beberapa tahun ini. Untuk mengukur betapa besarnya jumlah itu, bisa juga kita catat bersama bahwa pendapatan rata-rata setahun penduduk Indonesia dewasa ini adalah sekitar US$ 450 sampai US$ 500. Kalau kita mau iseng-iseng menghitungnya, maka akan kita lihat bahwa jumlah dana yang sudah dilarikan ke luarnegeri ini sama dengan pendapatan rata-rata setahun 36 juta penduduk Indonesia! (Atau, hampir sama dengan 6 kali jumlah pinjaman baru lewat pengemisan kepada CGI yang sekitar US$ 3 miliar itu).

Sebagian terbesar dari jumlah uang yang dilarikan itu adalah sesudah terjadinya krisis moneter dalam tahun 1997. Seperti yang masih sama-sama kita ingat, karena adanya krisis moneter itulah maka sebagian terbesar bank di Indonesia mengalami kesulitan. Kesulitan ini ditimbulkan berbagai sebab. Di samping adanya kelemahan (kesalahan) politik Orde Baru di bidang perekonomian secara umum, dan khususnya di bidang politik perbankan, juga disebabkan oleh sikap moral yang corrupt para pejabat tingi dan tokoh-tokoh swasta. Karena adanya kesulitan-kesulitan yang nyata (atau yang hanya dibuat-buat oleh para bankir yang tidak jujur) itulah, maka dikeluarkan keputusan pemerintah untuk memberikan BLBI (Bantuan Likwiditas BI). Ternyata, BLBI ini banyak digunakan secara curang oleh para pemilik bank (dengan persekongkolan pejabat-pejabat penting). Menurut Yusril Mahendra dalam interviewnya itu, “dana yang dilarikan dalam kasus BLBI bernilai Rp 18,5 triliun, kalau dikurs sekarang mencapai US$ 18,5 miliar.Nah, kalau itu kita ambil, saya kira kita tidak perlu sidang CGI. Sebenarnya, maling BLBI itu tidak banyak jumlahnya”, katanya.

Persoalan inilah yang antara lain diutarakan oleh Menteri Kwik Kian Gie di depan para peserta sidang CGI di Jakarta (7-8 November yl). Indonesia sekarang harus mengemis-ngemis untuk minta pinjaman baru, supaya bisa mengangsur sebagian utang pokok yang lama beserta bunganya. Ia menyatakan bahwa beban pemerintah bukanlah hanya karena kewajiban membayar kembali utang-utangnya yang laa, tetapi juga karena pencurian besar-besaran dan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kecil konglomerat (“…..the government has not only been burdened by its own loan repayments, but also by the massive theft and corruption performed by a handful of conglomerate owners”). Karena “pengemisan” pemerintah Indonesia dengan berbagai alasan dan dalih, maka sidang CGI di Jakarta itu akhirnya menyetujui diberiknnya pinjaman baru sebesar US$3,14 milyar.

Minta bantuan CIA dan FBI kejar maling-maling besar?

Dari interview Yusril Mahendra ada juga hal menarik lainnya. Yaitu bahwa ia sudah minta Jaksa Agung AS (John Ascroft) untuk membantu menginvestigasi dana BLBI yang dilarikan ke luar negeri, dan minta kepada Pemerintah AS agar menggunakan pengaruhnya untuk menekan Australia, Hong Kong, Singapura, Cina, dan AS sendiri, karena adanya dugaan bahwa dana itu disimpan di negara-negara tersebut. Apakah janji Jaksa Agung AS betul-betul bisa diharapkan akan dilaksanakan dan apakah CIA dan FBI akan bisa digunakan untuk tujuan ini, masih bisa dipersoalkan kemungkinannya. Namun, betapa pun juga, ini sudah merupakan pertanda bahwa pemerintah mulai mengadakan langkah-langkah lebih jauh, untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sudah lebih dari 3 tahun masih semrawut dan bureng. Sebab, jumlah dana yang tersangkut adalah besar sekali, sedangkan sebagian terbesar pelakunya masih enak-enak lenggang-kangkung, sambil terus membikin berbagai masalah baru.

Mereka inilah yang terus berusaha supaya segala kecurangan yang terjadi di sekitar kasus BLBI jangan sampai terbongkar sehingga bisa “menyelamatkan diri”. Mereka juga menggunakan kesempatan situasi ambur-adulnya sekitar kasus ini, dan juga keruwetan yang terjadi di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk terus menarik keuntungan dengan cara-cara yang licik. Karena mereka memiliki uang yang jumlahnya amat besar (yang berasal dari kegiatan-kegiatan haram), maka mereka bisa membeli para pejabat, para advokat, para konsultan, para penegak hukum. BPPN yang ditugaskan untuk mengelola dana yang luar biasa besarnya itu menjadi ajang permainan kotor berbagai fihak. Aset para pengusaha swasta (yang bermasalah) yang berada di bawah pengawasan BPPN saja sudah mencapai sekitar Rp 600 triliun (dengan angka yang lengkap : Rp 600 000 000 000 000). Belum lagi aset-aset lainnya. Menurut Suara Merdeka (11 Juli 2001), aset besar negara dan rakyat yang di bawah pengawasan BPPN inilah yang sekarang menjadi perebutan antara anggota DPR, pengusaha, konsultan dan pejabat pemerintah di BPPN dan instansi lainnya.

Nyatalah sudah bahwa negara kita memang bisa menghadapi kebangkrutan total, kalau tidak ada tindakan tegas. Tindakan tegas terhadap para koruptor adalah penting sekali untuk bisa memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan dan pengelelolaan perekonomian kita. Koruptor-koruptor kelas kakap perlu ditindak, sebab mereka ini tidak mendatangkan kebaikan bagi bangsa, bahkan telah menimbulkan kerusakan di berbagai bidang. Ditindaknya para koruptor “kelas super-kakap” (yang menurut pers Indonesia berjumlah sekitar 20 orang, dan “kelas berat” lainnya berjumlah sekitar 200 orang) akan punya pengaruh besar dalam opini publik. Selama ini, kepercayaan publik sudah amat tipis terhadap kemampuan pemerintah untuk menangani korupsi.

Yang menyedihkan adalah bahwa justru tindakan tegas inilah yang dewasa ini sulit dilakukan oleh pemerintah. Sebab, banyak pejabat-pejabat yang sudah “terdidik” oleh kebiasaan-kebiasaan Orde Baru masih menduduki pos-pos penting, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun judikatif. Selama puluhan tahun Orde Baru, korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan para pejabat telah dibiarkan saja merajalela, asal tidak mengganggu kepemimpinan Suharto dan kepentingan konco-konconya. Kebiasaan atau sikap moral yang demikian itulah yang sampai sekarang masih diteruskan oleh banyak pejabat, terutama oleh para penegak hukum.

Inti pokok berbagai masalah kita adalah korupsi

Masalah korupsi di Indonesia bukanlah soal kecil. Sebab, korupsi inilah yang merupakan latar-belakang atau sebab-sebab banyaknya persoalan politik di negeri. Politik adalah masalah kekuasaan. Di Indonesia, selama puluhan tahun, kekuasaan adalah inheren (satu dan senyawa) dengan peyalahgunaannya, termasuk korupsi. Banyak tokoh dari berbagai kalangan memperebutkan kekuasaan, bukan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan negara. Melainkan, untuk bisa mencuri dana publik, dengan berbagai cara licin dan licik, dan dengan menggunakan beraneka-ragam dalih.

Salah satu di antara banyak contoh tentang eratnya hubungan antara politik dan korupsi adalah kasus Golkar. Sekarang sedang heboh tentang dana Bulog sebesar RP 40 miliar untuk membantu orang-orang miskin atau kelaparan, tetapi yang diduga telah diselesewengkan oleh petinggi-petinggi Golkar (termasuk Akbar Tanjung). Dalam masalah Rp 40 miliar dana Bulog ini, tersangkut nama-nama Habibi, Akbar Tanjung, Rahadi Ramelan, Fadel Mohamad dan M. Hidayat (bagian keuangan Golkar), dan muncul pula cerita-cerita fiktif (karangan) tentang berbagai kegiatan Yayasan Islam Raudlatul Jannah. Perlulah kiranya sama-sama kita ingat bahwa nama Akbar Tanjung pernah disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi yang lain-lain.

Sebelumnya, ia pernah dikaitkan dengan kasus penyelewengan dana Tabungan Perumahan (Taperum) sebesar Rp 179,9 milyar saat menjabat sebagai Menteri negara Perumahan Rakyat (1993-1998. Juga diduga terlibat penggarukan dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebesar Rp 75 milyar sebagai jaminan untuk kredit murah di Bank Tabungan Negara bersama Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. (dikutip dari detik.com). Semua kasus-kasus itu tidak pernah lagi disebut-sebut, atau sudah “dilupakan” begitu saja. Tidak diketahui berapa saja dari dana-dana itu yang sudah dipakai (secara tidak sah!) untuk membiayai Golkar, dan tidak jelas pula berapa yang masuk kantong para pembesar Golkar. Uang korupsi inilah yang telah dipakai untuk mendanai “kemenangan mutlak” Golkar selama 7 kali pemilu. Uang korupsi ini pulalah yang sekarang ini masih terus dipakai untuk menyuap para penegak hukum dan para politisi. Selama Orde Baru, penyelewengan keuangan (korupsi) adalah bagian penting dari penegakan kekuasaan. Sekarang juga, uang korupsi inilah yang masih terus berdiri di belakang berbagai masalah yang dihadapi negara dan bangsa.

Dari segi inilah kita bisa melihat betapa pentingnya peringatan Menteri Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie bahwa “inti pokok persoalan-persoalan kita adalah korupsi” (“the crux of the problems is corruption”).

Aparat penegak hukum harus dibersihkan

Menteri Kwik Kian Gie menyatakan terus-terang, di depan para wakil negara dan badan internasional peserta sidang CGI di Jakarta baru-baru ini, ia tidak bisa menjanjikan bahwa sebagian dari pinjaman-pinjaman baru nantinya tidak akan dikorupsi lagi seperti yang sudah-sudah, dan bahwa paling sedikitnya 30% pinjaman yang pernah diterima oleh pemerintah Indonesia telah dikorup. Sebagai seorang Menteri yang sekarang bertanggungjawab tentang masalah pembangunan nasional (dan pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian) adalah menarik sekali ketika ia mengatakan bahwa setiap harinya ia berhadapan dengan masalah korupsi (“I am faced with the problems of corruption everyday”). Ia tahu betul tentang apa yang dikatakannya, dan karenanya, ia tidak bicara sembarangan saja.

Jadi, makin jelaslah kiranya bahwa di Indonesia, masalah pemberantasan korupsi mempunyai arti penting bagi penyelenggaraan negara dan perekonomian yang baik. Sebab, korupsi yang merajalela di kalangan “atas” di Indonesia sudah mencapai tingkat yang bisa membahayakan kehidupan politik yang sehat dan membikin kerusakan moral parah (terutama di kalangan “atas”). Kenyataan bahwa Tommy Suharto masih belum bisa ditangkap juga, atau bahwa sekitar 70% dari pejabat-pejabat masih belum menyerahkan daftar kekayaan mereka, atau bahwa masalah BLBI dan BPPN masih ambur-adul, adalah hanya sebagian kecil dari bukti tentang kebobrokan yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa. Kalau korupsi tidak diperangi, maka jelaslah bahwa negara kita akan mengalami kebangkrutan.

Oleh karena itu, adalah tepat sekali bahwa berbagai ornop/LSM atau kalangan-kalangan lain (organisasi mahasiswa dan pemuda dll) telah mengangkat korupsi (dan reformasi) sebagai salah satu lapangan perjuangan mereka. Sesuai dengan bidang masing-masing, dan dalam bentuk dan kadar yang berbeda-beda, perjuangan mereka ini merupakan sumbangan amat penting. Di antara mereka ini, antara lain adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Government Watch (Gowa), Masyarakat Transparansi Indonesia(MTI) PBHI, LBH, INFID, ELSAM, ISAI (ma’af bagi begitu banyak nama-nama penting lainnya yang tidak tersebut di sini). Ketika partai-partai politik, atau DPR/MPR, atau berbagai lembaga pemerintah dan swasta (termasuk kalangan agama) tidak memberikan pendidikan politik dan moral, maka perjuangan mereka ini merupakan partisipasi yang penting dalam mengusahakan adanya “good and clean governance “ (pemerintahan yang baik dan bersih).

Tetapi, selama aparat-aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaaan , kehakiman, dan dunia pengacara) masih terlalu banyak dikangkangi oleh oknum-oknum yang berakhlak korup, maka perjuangan anti-korupsi akan macet atau tersendat-sendat seperti selama ini. Khususnya, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung perlu mendapat reformasi besar-besaran, baik mengenai personalianya, maupun cara kerjanya, dan terutama semangat pengabdiannya kepada keadilan. Sebab, apa yang sudah terjadi selama ini di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, menunjukkan dengan jelas bahwa di samping pentingnya reformasi di bidang hukum, adalah amat penting dibersihkannya kedua lembaga ini dari anasir-anasir korup yang mudah dibeli oleh para pelanggar hukum. Bersihnya Kejaksaan dan Mahkamah Agung dari pejabat-pejabat yang korup merupakan syarat penting bagi terlaksananya pemberantasan korupsi.

“Kebangkrutan” di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (atau kejaksaan dan pengadilan di seluruh negeri secara umumnya) adalah simbol dari kebangkrutan penegakan hukum di negara kita. Kebangkrutan hukum akan membawa kebangkrutan dalam bidang-bidang lainnya. Seperti yang sering kita dengar sejak lama, KUHP sudah tidak lagi berarti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, melainkan Kasih Uang Habis Perkara. Apakah persoalan-persoalan yang menyangkut dana Bulog/Akbar Tajung, atau BLBI, atau perkara-perkara besar lainnya juga akan mengalami KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi, kalau tidak ada perlawanan dari masyarakat.

Sudah puluhan tahun korupsi telah membikin keusakan-kerusakan besar di Indonesia. Segala macam usaha, segala macam kegiatan yang dilakukan oleh fihak manapun juga dalam rangka berpartisipasi dalam melawan korupsi adalah baik, penting, dan luhur. Korupsi adalah musuh nasional, dan adalah musuh yang harus dikalahkan bersama-sama. Untuk ini, pemerintah (terutama Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung) harus didorong terus dengan beraneka-cara, didesak terus sekuat-kekuatnya, dan dikontrol terus dengan secermat-cematnya, supaya bisa betul-betul menegakkan hukum dan keadilan.