29 Maret 2000 — 12 menit baca

Sedikit renungan tentang HAM, PKI dan ex-tapol

Catatan : Karena dalam tulisan ini sering sekali disebut-sebut soal HAM, maka sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, berikut di bawah ini disajikan saripati cuplikan ayat-ayat Deklarasi Universal HAM, yang, disana-sini, bisa ada kaitannya dengan isi tulisan ini.

Artikel 1.Semua mahluk manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama. Mereka mempunyai kenalaran dan kesedaran dan kewajiban untuk bertindak secara bersahabat terhadap sesamanya.

Artikel 2. Martabat setiap orang berdiri di atas (mengungguli) semua perbedaan ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan agama, pandangan politik, asal keturunan.

Artikel 7. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama, dan tanpa kecuali, di depan hukum. Dan setiap orang berhak untuk mendapat perlindungan hukum.

Artikel 8. Setiap orang berhak untuk mengadukan semua pelanggaran HAM yang dialaminya di depan pengadilan yang kompeten.

Artikel 9. Seorangpun tidak boleh secara sewenang-wenang ditangkap, ditahan atau di”exilkan” dalam pengasingan.

Artikel 10. Semua orang berhak menuntut agar urusannya bisa diperiksa secara adil dan juga secara terbuka oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak).

Artikel 11. Seorang yang dituduh melakukan tindakan delik haruslah dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu bisa dibuktikan secara sah oleh pengadilan terbuka. Dalam pemeriksaan di depan pengadilan itu, haruslah ada jaminan yang cukup bahwa si tertuduh bisa didampingi oleh pembela.

Artikel 12. Tidak seorangpun boleh secara sewenang-wenang diganggu kehidupan pribadinya, keluarganya, rumah tinggalnya atau surat-menyuratnya, dan dilanggar kehormatannya atau reputasinya. Semua orang mempunyai hak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran semacam itu.

Artikel 18. Semua orang berhak untuk mempunyai kebebasan berfikir, keyakinan dan agama. Hak ini meliputi hak untuk mengganti agama atau kepercayaannya, memanifestasikannya secara sendirian atau secara bersama-sama, lewat pendidikan, lewat praktek atau upacara.

Artikel 19. Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat. Kebebasan ini berarti bahwa seseorang tidak perlu takut untuk mempunyai fikiran/pendapat, atau takut untuk mencari dan memperoleh informasi atau ide (gagasan) atau menyebarkannya, tanpa memandang perbatasan, dan lewat cara yang bagaimanapun juga.

Artikel 20. Seseorang mempunyai hak untuk mengadakan rapat atau menjadi anggota sesuatu perkumpulan yang bertujuan damai. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menjadi anggota sesuatu perkumpulan. (Cuplikan habis di sini. Pen).

Daklarasi Universal HAM : dokumen penting

Barangkali saja, ada orang yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa tulisan ini dimulai dengan mengutip cuplikan saripati Deklarasi Universal HAM di atas (selanjutnya disingkat di sini dengan DUHAM). Bagi yang sudah tahu, atau pernah membaca, mungkin ada yang menggrundel :Ah, kalau itu, akupun udah tahu!, atau ada yang menyeletuk :Percuma saja, diuar-uarkan, toh tidak ada gunanya, atau yang lain lagi :Ah, sebentar-sebentar HAM, sebentar-sebentar HAM, emangnya semua soal bisa selesai dengan HAM?.

Bagi mereka yang belum pernah membaca teks lengkap DUHAM, kiranya baik diketahui bahwa DUHAM adalah dokumen international penting, yang telah disetujui oleh masyarakat international (lewat PBB) tanggal 10 Desember 1948. Dokumen ini terdiri dari 30 artikel, dengan mukadimah yang cukup panjang. Republik Indonesia telah ikut menandatangani dokumen internasional PBB ini. Dokumen ini, setelah berumur 50 tahun, sekarang menjadi pedoman moral penting bagi kehidupan bangsa di banyak negara, dan pengaruhnya makin membesar dalam kehidupan atau pergaulan internasional. Juga di Indonesia, kata-kata HAM akhir-akhir ini sudah makin sering disebut-sebut dalam mempersoalkan berbagai kasus seperti yang terjadi di Aceh, di Lampung, di Tg Priuk, di Irian Jaya, di Timor Timur, di Maluku, termasuk juga kasus pembunuhan besar-besaran 65/66 dan masalah ex-tapol.

Karenanya, menurut gelagatnya, masalah HAM adalah sesuatu yang makin lama akan makin banyak dibicarakan dalam mengangkat berbagai persoalan penting rakyat dan negara kita. Dan, ini merupakan perkembangan yang bagus. Sebab, di samping pedoman-pedoman bangsa yang sudah ada, seperti Panca Sila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45 dan lain-lain, penghayatan DUHAM merupakan pelengkap yang penting. Namun, kita sudah sama-sama menyaksikan atau mengalami sendiri, bahwa apapun dan betapa banyaknyapun pedoman yang sudah ada, tetapi kalau tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh atau bahkan disalahgunakan dan dimanipulasi, maka semuanya itu jadinya omong kosong sajalah adanya. Keadaan semacam itu kita lihat dengan jelas dari praktek selama 32 tahun rezim militer Orde Baru.

Politik positif gus dur perlu kita bantu sepenuhnya

Agaknya, makin jelaslah sekarang bagi orang-orang yang sehat nalarnya, bahwa arah besar politik Gus Dur, adalah demokrasi, hak asasi manusia, persatuan nasional, rekonsiliasi nasional, toleransi antar-agama, antar-suku, antar keyakinan politik, dan supremasi sipil. Dan arah besar ini sama sekali bertentangan dengan apa yang telah terjadi selama masa gelap rezim militer Orde Baru di bawah Suharto dkk. Oleh karena rezim militer ini sudah berkuasa secara menyeluruh selama puluhan tahun, maka pengaruh kekuatan atau kekuasaannya juga cukup besar. Karenanya, logis pulalah bahwa walaupun Suharto sudah turun panggung berkat jasa gerakan mahasiswa yang dibarengi oleh krisis moneter dan proses pembusukan Orde Baru, sisa-sisa kekuatannya masih cukup besar, di berbagai bidang dan kalangan. Sisa-sisa kekuatan dan pengaruh Orde Baru inilah yang sekarang sedang melakukan perlawanan dan merongrong berbagai politik Gus Dur.

Mengingat banyaknya masalah-masalah besar warisan Orde Baru yang harus dihadapi Gus Dur dewasa ini, adalah kewajiban bagi semua kekuatan yang pro-reformasi, pro-demokrasi dan pro-HAM, untuk lebih atau makin mengembangkan bersama-sama segala kekuatan, sebisanya, di bidang masing-masing, dan dalam berbagai bentuk, untuk mendukung Gus Dur. Gus Dur sedang melakukan tindakan-tindakan besar dan penting bagi bangsa kita dewasa ini, dan juga untuk masa depan generasi kita yang akan datang. Oleh karena itu, seyogyanyalah semua kekuatan demokratis dari berbagai kalangan atau golongan, memanifestasikan dengan cara-cara yang cocok dengan situasi dan kemungkinan yang ada, untuk bisa terlaksananya gagasan-gagasan positif Gus Dur. Adalah dosa moral yang besar, dan kesalahan politik yang monumental, kalau kita bersikap yang berakibat dibiarkannya Gus Dur berjalan sendirian dalam perjalanan yang rumit dewasa ini.

Di samping itu, adalah penting bagi semua kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi untuk tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan baru bagi Gus Dur. Tuntutan-tuntutan yang berlebih-lebihan dan tidak memperhitungkan situasi aktual, hendaknya kita jauhi. Dalam batas-batas tertentu, dalam situasi seperti yang kita hadapi dewasa ini, kiranya dapatlah dirumuskan bahwa apa saja yang merugikan politik positif Gus Dur adalah juga kerugian bagi kekuatan pro-demokrasi. Namun begitu, Gus Dur bisa saja melakukan kesalahan-kesalahan dalam langkah-langkahnya. Untuk menghadapi hal semacam itu, seyogyanyalah tetap dilakukan kritik atau peringatan yang sepadan. Dengan demikian dukungan kepadanya bukanlah dukungan yang membabi-buta, melainkan dukungan yang independen dan waspada.

Sekali lagi : masalah ex-tapol dan HAM

Kalau kita renungkan dalam-dalam, banyak kesulitan dan keruwetan berbagai masalah yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini adalah bersumber pada kesalahan berat dan dosa besar rezim militer Orde Baru. Dan, karateristik utama kesalahan berat atau dosa besar itu adalah satu : pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia. Supaya lebih jelas dalam mempertimbangkan masalah-masalahnya, mohon sudilah kiranya membuangkan waktu sedikit saja untuk melihat kembali permulaan tulisan ini dan memperhatikan artikel demi artikel. Dan mohon pula, sudilah kiranya juga untuk menghubungkan artikel-artikel itu dengan kasus pembunuhan besar-besaran tahun 65/66, dengan kasus penangkapan besar-besaran terhadap tahanan golongan A, B, C, dengan kasus keluarga para korban pembunuhan dan ex-tapol, dengan kasus larangan terhadap PKI, dengan kasus Aceh, Lampung, Tg Priok, kasus PRD, kasus 27 Juli.

Kalau sudah menghubungkannya kasus-kasus tersebut di atas dengan artikel Deklarasi Universal HAM PBB, maka akan kelihatan lebih nyatalah bahwa permintaan maaf Gus Dur kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 adalah benar dan mulia. Demikian pulalah kiranya, akan lebih jelas juga bahwa perlakuan terhadap para ex-tapol yang merupakan hukuman kolektif - besar-besaran selama 35 tahun, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kalau perlakuan ini tidak segera dicabut, maka banyak bagi mereka yang TIDAK BERSALAH itu merupakan hukuman seumur hidup. Sebab, banyak di antara mereka yang sudah meninggal atau yang sekarang sudah di ujung usia.

Oleh karena itu, sudah waktunyalah sekarang ini, dan sudah seharusnyalah bagi pemerintah (Menteri Dalam Negeri atau Menkumdang, atau siapa saja yang dianggap berwenang) untuk mengumumkan rehabilitasi nama baik para ex-tapol, mencabut peraturan Mendagri 32/1981, dan menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa para ex-tapol mempunyai hak dan kewajiban sebagai warganegara RI lainnya. Pelanggaran berat HAM rezim militer Orde Baru yang sudah berlangsung puluhan tahun dan mendatangkan penderitaan batin bagi puluhan juta orang ini tidaklah patut diteruskan oleh pemerintahan sekarang ini. Sudah tidak ada alasan lagi, betapapun mau direka-reka, yang bisa diterima oleh nalar yang sehat, untuk melestarikan kejahatan besar ini.

Rehabilitasi nama baik para ex-tapol ini bukan saja akan membebaskan para ex-tapol dari penyiksaan batin (dan juga fisik, bagi sebagiannya), tetapi juga melegakan para keluarga dan sanak-saudaranya (dekat maupun jauh) yang jumlahnya cukup besar. Rehabilitasi nama baik para ex-tapol juga akan menimbulkan dampak kesejukan dalam kehidupan masyarakat, yang merupakan langkah penting untuk terciptanya rekonsiliasi nasional. Adalah ilusi besar, kalau mengharapkan adanya rekonsiliasi nasional sambil mengucilkan sebagian dari masyarakat. Dan adalah juga pemikiran keblinger bahwa bisa menciptakan persatuan atau kerukunan nasional yang sehat, kalau masih ada sebagian dari bangsa yang diperlakukan sebagai penyakit lepra dan harus dijauhi atau sebagai warganegara klas kambing atau sebagai oknum-oknum berbahaya yang harus selalu diwaspadai dengan kecurigaan dan permusuhan. Itu semua adalah produk politik Orde Baru yang harus dibuang jauh-jauh. Jadi, jelas soalnya sudah. Sekali lagi, kejahatan ini harus dihentikan!

TAP MPRS dan soal PKI

Dalam konteks pernyataan Gus Dur mengenai TAP 25/66 dan hubungan demokrasi dengan soal komunisme (pidato di Semarang) yang diributkan dewasa ini oleh berbagai kalangan atau golongan memang kita semua perlulah kiranya mengambil sikap yang realis. Agaknya, kita perlu sabar, sampai kesedaran anggota-anggota MPR/DPR tentang HAM dan taraf kebudayaan (dan peradaban!) mereka meningkat. Tetapi, hendaknya janganlah diartikan bahwa dengan begitu maka semua kekuatan pro-demokrasi dan pro-HAM lalu berpangku-tangan saja sambil menonton pasif apa yang terjadi antara Gus Dur dan yang menentangnya. Seyogyanya, kita aktif berbuat sesuatu, sebisa mungkin, dengan berbagai cara, dan menurut keadaan dan kemampuan masing-masing pula, ikut serta mempercepat proses penyedaran HAM ini di mana-mana. Pada pokoknya, atau secara intinya, dasar pemikiran Gus Dur adalah benar dan sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, yang sudah ditandatangani oleh Republik Indonesia juga. (Mohon sekali lagi, sudilah kiranya membaca kembali artikel-artikelnya yang terdapat dalam permulaan tulisan ini, sebentar saja! Pen). Tetapi, kita bisa lihat juga bahwa sisa-sisa pengaruh rezim militer Orde Baru masih kuat dalam fikiran berbagai tokoh atau kalangan.

Hebatnya kampanye anti-PKI dan dahsyatnya sloganbahaya laten PKI , yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru secara intensif, besar-besaran dan sistimatis, selama lebih dari 30 tahun, mempunyai dampak yang sangat dalam bagi banyak orang. Dalam banyak hal, intensitas dan metode kampanye ini bisa menyerupai apa yang dilakukan oleh rezim fasis Hitler, rezim Franco di Spanyol, rezim Pinochet di Chili dan berbagai diktatur militer lainnya di Amerika Latin.

Dampak yang sangat dalam ini kelihatan sekali kalau kita berbicara dengan sebagian dari anak-anak muda. Mereka selama 30 tahun mempelajari sejarah dari buku-buku yang berisi versi sejarah Orde Baru tentang G30S dan peran PKI atau Presiden Sukarno. Jadi citra PKI atau orang komunis menjadi sangat buruk di mata anak-anak ini, yang sering masih terbawa-bawa terus ketika mereka sudah menjadi dewasa. Sedangkan di kalangan masyarakat, pengaruh indoktrinasi lewat pers dan penerbitan juga amat besar. Berbagai teknik terror mental dan indoktrinasi (penataran P4, hari kesaktian Pancasila, surat bebas G30S, bersih lingkungan, litsus, tanda ET dalam KTP dll dll) merupakan faktor-faktor penting untuk mencuci-otak sebagian besar masyarakat.

Di samping itu, para penguasa militer telah menggunakan berbagai cara, selama puluhan tahun, untuk mempengaruhi dan merangkul sebagian golongan agama (dengan pendekatan politik, uang, fasilitas dll), untuk memperkokoh kekuasaan politik mereka. Sebagai akibatnya terjadilah persekutuan antara militer dengan sebagian kalangan agama, untuk menghadapi bahaya komunis, dengan dalih bahwa PKI anti-agama dll. Namun, sebagian lain dari golongan Islam juga telah dianggap sebagai musuh, oleh karena berbagai sebab (kasus Aceh, Lampung, Tg Priuk dll).

Dalam konfigurasi imbangan kekuatan yang demikian inilah Gus Dur melancarkan gagasan-gagasan pembaruannya di bidang demokrasi, hak asasi manusia dan rekonsiliasi.

HAM adalah benteng untuk kita semua

Secara strategis, atau jangka panjang, pekerjaan besar untuk memenangkan hak asasi manusia adalah salah satu jalan penting di antara banyak jalan lainnya yang harus kita tempuh bersama untuk menuju Indonesia Baru. Dengan menyebarkan secara luas kesedaran tentang HAM, kita bersama-sama dapat memberikan sumbangan kepada usaha Gus Dur untuk membikin bangsa kita makin beradab.

Kiranya, bisalah kita berharap bahwa dengan menghayati benar-benar arti hak asasi manusia, maka semua fihak akan bisa mencegah terjadi pembakaran gereja atau mesjid seperti yang terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa, mencegah saling bunuh seperti yang terjadi di Maluku, saling bunuh di Aceh. Harapan bisa pula kita dambakan sehingga bisa dikikislah fikiran yang mau menyengsarakan terus-menerus begitu banyak ex-tapol (yang TIDAK BERSALAH!) beserta keluarga mereka. Demikian juga, dengan naiknya peradaban kita semua, maka kita akan bisa menangani masalah PKI dengan nalar yang sehat dan berdasarkan hak asasi manusia.

Hak asasi manusia adalah alat perjuangan bagi seluruh kekuatan demokratis dalam menyadarkan mereka yang masih belum tahu menghargai sesama manusia. Di samping itu, hak asasi manusia adalah juga tameng kita bersama dalam melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, yang datang dari fihak yang manapun juga. Hak asasi manusia adalah benteng kita bersama - tak peduli siapa saja, dari agama apa saja, dari suku dan ras yang mana saja! - dalam melawan musuh-musuh kemanusiaan.

Mengingat itu semua, barangkali sudah waktunya bagi mereka (dari kalangan atau golongan manapun) yang mendambakan dijunjungnya hak asasi manusia untuk mulai bersama-sama memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan yang bertujuan untuk mempelajari, menyebarluaskan, dan membela prinsip-prinsip seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal HAM. Seperti yang sudah dilakukan di berbagai negeri lainnya di dunia, kegiatan semacam itu bisa dilancarkan dalam berbagai bentuk dan cara. Tujuan utama dari kegiatan semacam ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tiap orang mempunyai haknya masing-masing sebagai manusia, dan, karenanya, perlu juga menghargai hak dan martabat MANUSIA lainnya.

Agaknya, dari sudut pandang inilah kita perlu juga menganjurkan supaya para petinggi negara kita, para anggota MPR dan DPR, para pemimpin partai politik, para kyai dan ulama, para pendeta, supaya mereka selalu menjalankan tugas atau missi mereka dengan selalu berpedoman kepada Deklarasi Universal HAM disamping pedoman-pedoman lainnya, seperti Panca Sila, Bhineka Tunggal Ika, Sapta Marga, serta ayat-ayat suci dalam agama mereka masing-masing. (HABIS)