01 July 2000 — 12 menit baca

Rehabilitasi hak sipil dan hak politik bagi ex-Tapol

Tulisan ini mengajak para pembaca untuk merenungkan dalam-dalam, dengan hati terbuka, serta dengan perasaan perikemanusiaan yang sejuk sebagai sesama mahluk Tuhan dan sebagai sesama warganegara RI, tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tuntutan Forum Pemulihan Hak Sipil/Politik Jawa Tengah untuk merehabilitasi hak-hak sipil dan politik para mantan tahanan politik (tapol) dan nara-pidana politik (napol). Tuntutan ini telah disampaikan lewat pers di kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta) tanggal 9 Juni yang lalu, dan telah mendesak pemerintah untuk menempuh langkah kongkret dalam merehabilitasi para tapol dan napol, yang sebagai akibat politik kekerasan tahun 1965/1966 telah diperlakukan di luar batas perikemanusiaan.

Menurut pimpinan Forum tersebut, di Jawa Tengah saja, yang perlu mendapat rehabilitasi adalah 131 tapol/napol golongan A, 6.384 orang golongan B, 216.595 orang golongan C dan 31.587 orang yang dikenakan wajib lapor. Rehabilitasi mereka itu sangat diperlukan, untuk menghilangkan trauma yang telah mereka derita, dan juga untuk melapangkan jalan menuju rekonsiliasi.

Wajarlah kiranya, bahwa ketika membaca informasi seperti yang tercantum di atas, maka timbullah berbagai reaksi dalam fikiran kita masing-masing. Mungkin ada yang bersikap cuwek saja atau tidak peduli, karena merasa tidak ada urusan atau tidak punya sangkut-paut dengan kasus para tapol/napol. Mungkin ada juga yang memilih untuk tutup mulut saja, walaupun mereka melihat seriusnya masalah ini. Tentunya, ada juga yang tidak mau bersuara, berdasarkan perhitungan untung rugi menurut kedudukan atau kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial mereka masing-masing (atau karena pertimbangan-pertimbangan lainnya). Namun, yang berikut inilah yang paling patut disayangkan atau perlu diprihatinkan : yaitu, masih adanya orang-orang yang tetap saja senang dengan terus dilestarikannya, sampai sekarang, perlakuan yang di luar batas kemanusiaan itu.

Skala besar penderitaan yang berkepanjangan

Apa yang telah dikemukakan oleh Forum Pemulihan Hak Sipil/Politik para tapol/napol Jawa Tengah itu merupakan peringatan kepada kita semua - untuk kesekian kalinya - bahwa ada masalah besar perikemanusiaan yang sampai sekarang masih perlu kita selesaikan bersama-sama, yaitu masalah perlakuan terhadap para ex-tapol (beserta sanak-saudara mereka) serta keluarga (dekat dan jauh) para korban pembunuhan 65/66. Tuntutan Forum seperti yang tersebut di atas bukan saja patut menjadi peringatan atau saran kepada pemerintah, melainkan juga bisa menggugah kesadaran kita bahwa kerusakan parah di bidang mental SEBAGIAN bangsa kita yang ditimbulkan oleh sistem politik Orde Baru adalah dahsyat sekali.

Masalah kerusakan mental, atau kebobrokan karakter ini tercermin, antara lain, dari gejala dan fakta yang berikut : begitu banyak orang yang TIDAK BERSALAH APAPUN telah mendapat perlakuan yang sewenang-wenang selama sekitar 30 tahunan. Banyak di antara para tapol (baik yang golongan A, B atau C), yang dijebloskan dalam tahanan dalam jangka lama, tanpa proses pengadilan. Banyak di antara mereka yang disiksa dengan berbagai cara dan bentuk. Sebagian terbesar keluarga mereka terpaksa mengalami berbagai penderitaan baik secara batin, maupun secara jasmaniah. Para tapol itu telah dirampas hak-hak sipil dan politik mereka, walaupun secara hukum - dan menurut ketentuan-ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia – tidak berdosa apa-apa !!! (tanda seru tiga kali).

Angka-angka yang dikemukakan Forum Pemulihan Hak Sipil/Politik Jawa Tengah itu sendiri (walaupun mungkin masih belum semuanya!) sudah memberikan indikasi, yang cukup jelas, tentang seriusnya penderitaan para tapol/napol di Jawa Tengah, yang disebabkan oleh sistem politik rezim militer Orde Baru, dan yang SAMPAI SEKARANG masih belum dapat diakhiri. Perlulah kiranya kita ingat bersama, bahwa yang mengalami penderitaan di Jawa Tengah itu bukanlah hanya 131 tapol/napol golongan A, atau 6.384 orang dari golongan B, atau 216.595 orang golongan C, atau 31.587 orang yang dikenakan wajib lapor (yang mungkin sekarang sudah sudah tidak melapor lagi), melainkan juga jutaan orang keluarga terdekat dan sanak-saudara mereka (dekat maupun jauh). Sebab, kalau seorang di antara mereka itu mempunyai 3 atau 4 orang anggota keluarga (istri, atau suami dan dua anak) dan kira-kira 10-20 orang sanak-saudara dekat dan jauh (adik-kakak, mertua, menantu dan besan, kemenakan) maka jumlah orang yang bisa ikut menderita – dalam berbagai derajat dan kadar – menjadi puluhan juta. Dan itu pun hanya yang ada di Jawa Tengah. Dan, di samping itu (dan ini mohon jangan dilupakan!) masih ada lagi keluarga para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66, yang jumlahnya juga besar sekali.

Banyak di antara kita yang selama tiga dasa-warsa pemerintahan rezim militer Orde Baru sudah mendengar berbagai cerita betapa besar penderitaan keluarga para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 dan keluarga para tapol. Umpamanya : istri dan anak-anak yang terlantar, atau yang dijauhi oleh sanak-saudaranya sendiri. Adik dan kakak atau mertua, yang segan mendekati mereka, karena takut kalau dicap “tidak bersih lingkungan”. Sanak-saudara yang dipecat dari pekerjaan, yang “kesalahannya” adalah hanya karena mereka kebetulan ada hubungan keluarga dengan para korban pembunuhan atau dengan para tapol. Sanak-saudara yang terpaksa “menyembunyikan” hubungan kekeluargaan mereka dengan para korban pembunuhan 65/66 atau para tapol. Yang sangat menyedihkan adalah bahwa situasi yang demikian itu telah berlangsung dalam jangka-waktu yang LAMA SEKALI, dan terjadi di seluruh Indonesia.

Racun propaganda Orde Baru

Dalam rangka usaha kita bersama untuk membangun kembali keutuhan dan persatuan bangsa di atas reruntuhan dan kerusakan yang sudah dibikin Orde Baru, apa yang dilakukan oleh Forum Rehabilitasi Tapol Jawa Tengah dan berbagai organisasi/LSM lainnya (umpamanya, dan antara lain : Paguyuban Korban Orde Baru, Yayasan Hidup Baru, Perhimpunan Purnawirawan AURI, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65/66, Solidaritas Nusa Bangsa, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri, Komite Advokasi Pembebasan Tapol/Napol, Lembaga Bantuan Hukum) patutlah mendapat perhatian dan dukungan sebesar mungkin. Sebab, apa yang diperjuangkan organisasi-organisasi itu merupakan sumbangan positif : untuk mengembangkan demokrasi, untuk menegakkan hukum dan keadilan, untuk membela Hak Asasi Manusia, untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan Orde Baru. Semua itu adalah syarat-syarat yang diperlukan dalam usaha bersama kita untuk menggalang rekonsiliasi nasional di kemudian hari.

Di antara tujuan-tujuan berbagai organisasi itu adalah untuk memulihkan hak sipil dan hak politik bagi para ex-tapol, yang sebagai warganegara RI telah dirampas hak-hak fondamental mereka selama puluhan tahun oleh Orde Baru. Walaupun tidak bersalah apapun, banyak di antara mereka yang : dipecat dari pekerjaan tanpa imbalan, dirampas harta-benda mereka, dijadikan sasaran persekusi politik dalam berbagai cara, dikucilkan dalam masyarakat. Dalam puluhan tahun mereka dijadikan paria, atau difitnah oleh Orde Baru sebagai orang-orang yang berbahaya. Singkatnya, hak-hak sipil dan politik mereka telah secara sewenang-wenang telah dirampas. Mereka telah diperlakukan bukan sebagai warganegara RI yang biasa, sehingga sulit untuk mencari pekerjaan atau sulit untuk hidup normal dalam masyarakat.

Setelah Orde Baru runtuh, dan pemerintahan dipimpin berturut-turut oleh B.J. Habibie dan Gus Dur-Megawati, keadaan mereka mengalami sedikit perobahan. Persekusi politik oleh aparat-aparat pemerintahan sudah tidak sehebat selama Orde Baru lagi. Tetapi, namun demikian, sebagai akibat indoktrinasi intensif rezim militer selama puluhan tahun, berbagai golongan dalam masyarakat sampai sekarang pun masih termakan oleh racun propaganda rezim Suharto. Berbagai golongan tetap memusuhi, mengucilkan, mencurigai, memfitnah, para ex-tapol, walaupun mereka itu tidak bersalah apapun juga.

Rehabilitasi bagi mereka yang tak bersalahi

Bahwa begitu banyak sesama warga-negara RI diperlakukan secara tidak adil dan bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia - dan dalam jangka yang begitu lama pula !!! - adalah sesuatu yang patut menjadi renungan yang amat serius dari kita semua. Sebab, kita sedang mencoba memperbaiki berbagai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Orde Baru. Dan, lambat atau cepat, akhirnya haruslah diakui bersama bahwa tindakan terhadap para tapol dan ex-tapol adalah kesalahan hukum yang berat dan pelanggaran perikemanusiaan yang amat serius. Karenanya, sudah semestinyalah bahwa masalah ini perlu diselesaikan secepat mungkin.

Membiarkan terus para ex-tapol (dan sanak-saudara mereka) masih dalam keadaan seperti yang sekarang, adalah berarti meneruskan kesalahan besar Orde Baru di bidang Hak Asasi Manusia. Mereka yang jumlahnya jutaan orang ini tidak bersalah. Tetapi, mengapa mereka tetap harus menderita berkepanjangan dalam berbagai bentuk?. Keadaan semacam ini tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan berlangsung terus, kalau kita semua memang mau sungguh-sungguh menegakkan hukum, membela demokrasi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, rehabilitasi hak sipil dan hak politik para ex-tapol adalah suatu agenda penegakan hukum yang tidak bisa ditunda-tunda lebih lama lagi! Rehabilitasi hak sipil dan hak politik bagi para ex-tapol bukanlah suatu tuntutan yang istimewa, atau suatu hal yang luar-biasa. Ini adalah hak yang sah bagi warganegara RI, yang harus dihormati oleh pemerintah dan Negara, dan juga oleh sesama ummat. Sebaliknya, adalah kesalahan besar bagi pemerintah, kalau rehabilitasi nama baik, hak sipil dan hak politik para ex-tapol tidak segera dilaksanakan. Ini berarti bahwa pemerintah akan tetap meneruskan kesalahan politik Orde Baru. Dan, perlulah diyakini oleh banyak fihak, bahwa dibiarkannya masalah ex-tapol berlarut-larut tidaklah menguntungkan fihak yang manapun juga. Sebab, selama jutaan orang ex-tapol (bersama sanak-saudaranya) masih terus-menerus diperlakukan seperti sekarang ini, maka sulit untuk bisa mengatakan bahwa demokrasi, hukum dan Hak Asasi Manusia telah bisa ditegakkan di negeri kita. Dan sulit pula untuk bisa membanggakan diri sebagai bangsa yang beradab.

Rehabilitasi ex-tapol menguntungkan kita semua

Mungkin masih ada saja orang yang belum bisa (atau memang tidak mau!) mengerti bahwa rehabilitasi nama baik (atau rehabilitasi hak sipil dan hak politik) para ex-tapol adalah pada hakekatnya menguntungkan kita semua. Sebab, perlakuan terhadap para ex-tapol adalah penyakit besar yang telah ditanamkan oleh Orde Baru dalam mental berbagai komponen bangsa kita. Penyakit inilah yang membikin luka lama tetap terus mengeluarkan nanah busuk, dan membikin rasa permusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Penyakit mental ini jugalah yang membikin banyak orang tidak peduli terhadap pelanggaran besar-besaran Hak Asasi Manusia terhadap begitu banyak orang di berbagai kalangan, baik yang Islam, yang Kristen, yang keturunan asing, dan dalam jangka puluhan tahun. Jadi, rehabilitasi nama baik ex-tapol adalah juga salah satu jalan untuk menyembuhkan penyakit yang sudah diidap begitu lama oleh berbagai golongan dalam masyarakat.

Rehabilitasi nama baik para ex-tapol adalah salah satu cara untuk melupakan masa-masa pedih yang penuh dengan darah dan air-mata, dan membuang sejauh mungkin rasa dendam dan kebencian. Tanpa adanya rehabilitasi ini, luka lama ini akan menganga terus di tubuh bangsa. Dan, masih belum sembuhnya luka lama ini merupakah rintangan besar untuk menggalang rekonsiliasi nasional. Para ex-tapol (dan sanak-saudara mereka) akan bisa merasa mendapatkan rasa keadilan (walaupun mungkin tidak sepenuhnya), kalau secara tegas dan secara resmi mereka dinyatakan direhabilitasi. Rehabilitasi adalah hak mereka yang sah, sebagai warganegara RI yang tidak bersalah dan yang telah mendapat perlakuan tidak adil selama puluhan tahun. Jadi, masalahnya adalah sederhana dan jelas.

Oleh karena itu, adalah kesalahan kita semua, kalau masalah ini masih terus kita biarkan berlarut-larut. Terutama sekali fihak-fihak yang berkaitan dengan kasus inilah yang harus mulai mengadakan langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikannya (umpamanya, dan antara lain : Departemen Hukum dan Perundang-undangan, DPR, Departemen Dalamnegeri, atau lembaga-lembaga resmi lainnya). Tetapi, mengingat betapa masih kentalnya sisa-sisa pola berfikir Orde Baru di kalangan pemerintahan, atau di kalangan partai politik, atau di kalangan agama, maka perlulah kiranya berbagai gerakan, berbagai komite, berbagai LSM yang merupakan bagian kekuatan pro-demokrasi, pro-reformasi dan pro-HAM, TERUS MENERUS dan sesering mungkin mengangkat masalah ini, supaya tetap menjadi agenda bangsa yang perlu segera diselesaikan. Mempersoalkan rehabilitasi hak sipil dan hak politik ex-tapol ini berarti juga ikut dalam usaha bersama untuk pendidikan politik dan penanaman kesadaran tentang Hak Asasi Manusia, yang diperlukan oleh bangsa kita dewasa ini. Dan, juga untuk pendidikan bagi generasi kita yang akan datang. Jelaslah kiranya bahwa ini merupakan tugas yang mulia.

Bagi mereka yang belum mengerti secara gamblang, perlu dijelaskan bahwa memperjuangkan rehabilitasi nama baik para ex-tapol (beserta sanak-saudara mereka) adalah persoalan perikemanusiaan yang mulia dan sah, dan tidak ada hubungannya dengan masalah isyu untuk menghidupkan kembali PKI. Masalah rehabilitasi hak sipil dan politik para ex-tapol juga tidak perlu selalu disangkut-pautkan masalah pencabutan TAP MPRS 25/66. Rehabilitasi ini adalah masalah mengembalikan keadilan kepada begitu banyak orang, yang secara sewenang-wenang - dan untuk waktu yang begitu lama! - telah dirampas hak-hak mereka yang fondametal sebagai manusia dan sebagai warganegara RI.

Masih juga bagi mereka yang belum mengerti secara gamblang, perlulah kiranya diyakini bahwa rehabilitasi hak sipil dan hak politik para ex-tapol (dan sanak-saudaranya) tidaklah akan merupakan bahaya apapun bagi pemerintahan di bawah pimpinan Gus Dur-Megawati. Berdasarkan berbagai gejala dan kejadian yang sedang muncul dewasa ini (baik di Jakarta, maupun di Sumatra, di berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, Maluku dll), maka sudah makin jelaslah bahwa bahaya bagi kestabilan pemerintahan, atau bahaya bagi keamanan masyarakat dan juga bahaya bagi perbaikan perekonomian justru datang dari fihak-fihak yang menyetujui sistem politik dan praktek-praktek Orde Baru. Sisa-sisa pola berfikir rezim militer inilah yang masih terus mau membisu-tulikan masalah para ex-tapol (beserta sanak-saudaranya), sambil terus menyebarkan berbagai racun lama. Sampai sekarang, gejala dan fakta-faktanya masih terus kita saksikan dalam masyarakat.

Mengubur dalam-dam kultur Orde Baru

Kalau mengingat itu semuanya, maka nalar yang sehat dan nurani kemanusiaan yang bersih akan bisa melihat bahwa rehabilitasi total para ex-tapol (artinya, rehabilitasi nama baik, hak sipil dan politik) adalah salah satu langkah untuk memperbaiki kerusakan sikap moral sebagian bangsa yang telah diwariskan oleh Orde Baru. Sebab, berdasarkan kebeningan hati, tentulah kita tidak bisa, dan tidak boleh, membiarkan terus-menerus begitu banyak orang tidak bersalah diperlakukan tidak adil dan dijebloskan dalam berbagai bentuk penderitaan. Rehabilitasi para ex-tapol akan merupakan sumbangan besar bagi tergalangnya kerukunan antara berbagai komponen bangsa, dan juga bisa menjadi titik berangkat bagi usaha kita bersama untuk mengubur dalam-dalam kultur Orde Baru yang meremehkan Hak Asasi Manusia.

Sebab, seperti yang sama-sama kita saksikan, kultur anti-Hak Asasi Manusia yang sudah dipupuk selama 32 tahun oleh rezim militer Orde Baru, sampai sekarang masih mengakar kuat dalam hati dan fikiran banyak orang. Berbagai fenomenanya dapat kita amati dalam ucapan-ucapan berbagai tokoh politik, atau pernyataan-pernyataan sebagian anggota DPR/MPR dan intelektual, atau juga dalam aksi-aksi dan kegiatan golongan-golongan yang sejiwa dan sehaluan dengan Ahlus Sunnah Wal Jemaah dll.

Dalam rangka inilah maka kita bisa artikan bahwa pekerjaan untuk terwujudnya rehabilitasi para ex-tapol adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tugas strategis bangsa dewasa ini, yaitu ditegakkannya hukum dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, di atas reruntuhan kerusakan-kerusakan besar yang diwariskan oleh sistem politik rezim militer Orde Baru. Artinya, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, yang banyak digembar-gemborkan sekarang ini, tidaklah akan lengkap, atau akan tetap terus mengandung cacad yang hina, kalau masalah ex-tapol masih dibiarkan berlarut-larut seperti keadaannya yang sekarang ini.

Oleh karena itu, dengan hati yang bening dan kepala yang dingin, bisalah kiranya kita katakan kepada fihak yang manapun juga, bahwa ikut ambil bagian – dengan bentuk, cara dan kemungkinan masing-masing – dalam perjuangan untuk rehabilitasi para ex-tapol adalah benar, sah, dan mulia.