24 Desember 2000 — 12 menit baca

Rehabilitasi Dr Subandrio dan naskah bukunya

Pertemuan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan Dr Subandrio di Bina Graha tanggal 21 Desember yang lalu, mungkin akan melahirkan persoalan-persoalan yang penting dan menarik di bidang sejarah, politik dan hukum. Sebab, dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, telah dibicarakan, antara lain, masalah permintaan resmi dari mantan Wakil Perdana Menteri pertama di era pemerintahan Presiden Sukarno itu, untuk merehabilitasi nama baiknya. Kepada Gus Dur, Dr Subandrio membantah bahwa ia terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, seperti yang dituduhkan selama ini oleh pemerintahan Suharto.

Seperti diketahui, Dr Subandrio telah dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), karena dituduh tersangkut dalam gerakan subversif, yang berkaitan dengan peristiwa G30S. Ia menjalani hukuman mula-mula di penjara Cimahi bersama-sama Letkol Untung, komandan Resimen Cakrabirawa (kesatuan pengawalan Presiden Sukarno) dalam tahun 1966. Letkol Untung yang dijatuhi hukuman mati telah dieksekusi (ditembak) dalam tahun 1966, sedangkan Dr Subandrio tidak jadi dieksekusi, berkat adanya intervensi dari Ratu Elisabeth (Inggris) dan Presiden AS Lyndon B. Johnson. Hukuman Dr Subandrio kemudian dirobah menjadi seumur hidup. Ia menjalani hukumannya di penjara Salemba, Cimahi dan Cipinang selama 30 tahun, sampai dibebaskan dalam tahun 1995.

Dalam berita-berita pers mengenai pertemuannya dengan Presiden Abdurrahman Wahid disebutkan bahwa berkaitan dengan permintaan rehabilitasi nama baik itu, Presiden Abdurrahman Wahid telah memerintahkan Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak untuk mempelajari permintaan Dr. Subandrio itu baik dari segi politik mau pun hukum. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra juga diminta Presiden Abdurrahman Wahid untuk mempelajari permintaan Dr. Subandrio tersebut.

Bukan hanya persoalan Dr. Subandrio

Permintaan Dr Subandrio untuk merehabilitasi nama baiknya adalah satu persoalan yang patut dijadikan perdebatan yang serius atau objek studi ilmiah di bidang politik dan hukum. Dalam hal ini, lahirnya berbagai inisiatif dari sebanyak mungkin kalangan dan golongan perlu dianjurkan, termasuk dari kalangan LSM, universitas (fakultas hukum), lembaga-lembaga ilmiah dan organisasi-organisasi massa. Sebab, kasus yang dialami oleh Dr Subandrio hanyalah salah satu contoh atau bukti dari begitu banyak kasus-kasus serupa yang pernah terjadi dalam masa Orde Baru. Perdebatan secara luas mengenai masalah-masalah itu, yang bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara, akan merupakan sumbangan penting bagi pendidikan politik bangsa.

Sebab, sudah sama-sama kita ketahui, bahwa pemeriksaan dan kemudian pengadilan terhadap Dr Subandrio (dan juga orang-orang lain yang dituduh terlibat G30S atau terlibat PKI) telah dilakukan dalam situasi ketika terror politik dan fisik sedang dilancarkan secara besar-besaran oleh pimpinan TNI-AD waktu itu. Setelah Suharto dkk menyerobot dan juga mensabot kekuasaan Presiden Sukarno, maka mereka telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum di berbagai bidang. Suharto dkk telah melakukan berbagai insubordinasi (pembangkangan) terhadap Presiden/Panglima Tertinggi ABRI yang sah waktu itu, dan melakukan penangkapan atau pembunuhan secara sewenang-wenang terhadap banyak sekali orang tanpa proses hukum, terutama terhadap orang-orang PKI dan pendukung Presiden Sukarno.

Dengan tidak menghiraukan perintah atau politik Presiden Sukarno, TNI-AD telah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang “kiri”, yang memakan korban jutaan orang. Pembunuhan massal dalam tahun 1965/1966 di Indonesia dikategorikan oleh sejumlah pengamat sejarah sebagai salah satu di antara yang paling besar dalam sejarah modern dunia. Singkatnya, sejak terjadinya G30S pimpinan TNI-AD (Suharto dkk) telah melakukan serentetan panjang pelanggaran hukum dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berat.

Sampai sekarang, lebih dari satu juta ex-tapol (konon, menurut data Kem. Dalam Negeri ada sekitar 1,2 juta orang yang pernah terdaftar sebagai golongan A,B, C ) masih terus menanggung penderitaan dalam berbagai bentuk. Hampir seluruh ex-tapol itu telah dipenjara - dalam jangka pendek atau jangka lama - tanpa proses pengadilan. Sesudah mengalami berbagai siksaan mental atau fisik selama tahanan, akhirnya mereka terpaksa dibebaskan, karena tidak ada bukti-bukti yang jelas dan sah, untuk bisa diajukan ke depan pengadilan. Di antara begitu banyak pelecehan hukum yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru, perlakuan terhadap para ex-tapol (dan juga terhadap keluarga mereka) adalah dosa dan noda besar, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang.

Permintaan rehabilitasi Dr. Subandrio merupakan lonceng peringatan (untuk kesekian kalinya !!!) kepada pemerintah dan juga masyarakat umum (termasuk opini internasional) bahwa banyak sekali orang di Indonesia telah diperlakukan sewenang-wenang oleh kekuasaan militer. Mereka ini, yang jumlahnya besar sekali, juga berhak sepenuhnya untuk direhabilitasi. Dasar pertimbangannya adalah sederhana saja : secara hukum mereka itu tidak bersalah apa-apa, tetapi telah dirugikan dan mengalami berbagai penderitaan dalam jangka panjang. Yang melakukan kesalahan - atau yang melanggar hukum - adalah justru pemerintah Orde Baru. Kesalahan inilah yang harus diperbaiki. Tidak memperbaikinya adalah melestarikan kejahatan yang dilakukan pemerintah Orde Baru!

Arti penting buku Dr. Subandrio

Dilihat dari berbagai segi, permintaan rehabilitasi Dr. Subandrio mempunyai arti yang amat penting bagi banyak orang. Bagi mereka yang sudah membaca naskah buku “Kesaksianku tentang G30S”, agaknya mudah untuk memahami mengapa Dr Subandrio minta rehabilitasi nama baiknya. Sayang sekali bahwa rencana penerbitan buku itu oleh Harian Kompas terpaksa dibatalkan, walaupun sudah dicetak sebanyak 10 000. Konon, pimpinan harian Kompas memutuskan untuk menghancurkannya sebelum beredar, mengingat berbagai pertimbangan.

Namun demikian, naskah buku itu sekarang beredar di Indonesia (dan juga di luarnegeri) dalam bentuk fotokopi. Dengan beredarnya fotokopi naskah buku itu, maka makin banyak bahan, atau informasi, atau pendapat, atau analisa mengenai peristiwa G30S. Dan, apa pun nilai yang bisa diberikan kepada isinya, tetapi satu hal adalah sudah jelas : buku ini penting sekali untuk dibaca oleh sebanyak mungkin orang, sebagai bahan tambahan penelitian tentang apa yang sebenarnya terjadi sekitar peristiwa G30S, umpamanya : latar-belakangnya, peran Bung Karno waktu itu, faktor PKI dan militer, langkah-langkah yang diambil Suharto dkk, lahirnya Supersemar, faktor CIA dan negara-negara Barat, masalah RRT dan banyak soal lainnya yang menarik untuk dipakai sebagai bahan bandingan atau pertimbangan.

Oleh karena fotokopi naskah itu sudah beredar (dan majalah Gamma sudah memuat sebagian isinya), maka seyogyanya Dr Subandrio merelakan atau menyetujui diperbanyaknya naskah bukunya itu, kalau seandainya belum ada (atau tidak ada) penerbit di Indonesia yang bersedia mencetaknya dan mengedarkannya. Beredarnya naskah buku itu secara lengkap adalah penting untuk memungkinkan orang mengerti lebih baik mengapa Dr Subandrio minta supaya namanya direhabilitasi.

Di samping itu, peredaran naskah buku itu - baik dalam bentuk fotokopi atau lewat Internet - akan merupakan sumbangan penting kepada bangsa kita yang sedang berusaha untuk mencari kebenaran guna rekonstruksi sejarah. Sudah nyatalah sekarang bahwa banyak fakta sejarah telah dipalsu, diplintir, disembunyikan oleh rezim militer Suharto dkk. Pemalsuan fakta-fakta sejarah inilah yang telah mendatangkan begitu banyak korban dan penderitaan yang berkepanjangan bagi puluhan juta warganegara republik kita.

Dalam rangka inilah perlu sekali adanya kesedaran bersama akan pentingnya sumbangan dari sebanyak mungkin orang, dari golongan dan aliran politik yang mana pun juga, untuk menuliskan kesaksian atau pengalaman mereka masing-masing tentang peristiwa G30 S beserta akibat-akibatnya. Tulisan-tulisan yang mengandung kebenaran dan berdasarkan pengalaman akan memperkaya bahan untuk penelitian sejarah, baik yang dilakukan oleh perseorangan, lembaga atau organisasi, termasuk masayarakat sejarawan Indonesia.

Rehabilitasi akan menguntungkan kita semua

Anak judul di atas ini perlu dihayati dengan keheningan di hati dan kebeningan di fikiran. Perlulah kiranya jelas dalam hati nurani kita masing-masing bahwa rehabilitasi ratusan ribu (bahkan jutaan ?) orang, baik yang ex-tapol maupun yang bukan, adalah bagian penting penegakan hukum dan rasa keadilan. Adalah omong-kosong besar saja bicara tentang penegakan hukum dan penuntasan reformasi kalau orang masih membuta-tuli terhadap masalah rehabilitasi orang-orang yang tidak bersalah tetapi dikenakan “hukuman” begitu lama itu. Adalah kemunafikan yang nista sekali kalau bicara tentang Pancasila atau ajaran agama; kalau dosa dan noda yang begitu besar ini dibiarkan berlarut-larut terus.

Rehabilitasi adalah juga bagian penting untuk meletakkan dasar-dasar rekonsiliasi nasional. Adalah tidak mungkin, dan juga keliru, kalau berilusi bahwa rekonsiliasi bisa dirajut bersama, tanpa adanya rehabilitasi. Karenanya, adalah tepat untuk mengatakan bahwa rehabilitasi adalah salah satu di antara tugas-tugas nasional prioriter bangsa. Artinya, rehabilitasi adalah urusan kita semua, baik yang di kalangan pemerintah, di lembaga-lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPRD dll), mau pun masyarakat luas. Ini bukan hanya untuk kepentingan segolongan masyarakat saja (walaupun jumlahnya besar, seperti para eks-tapol dan keluarga korban pembunuhan massal 1965/1966).

Sesudah jatuhnya rezim:militer Suharto dkk, masalah rehabilitasi sudah berkali-kali disuarakan oleh berbagai yayasan atau organisasi (antara lain : Pakorba, KAP-TN, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri, YPKP, LBH, dll dll), tetapi suara itu tidak didengar oleh pemerintah atau DPR/MPR. Berbagai delegasi juga sudah dikirim untuk membicarakan persoalan ini, dan banyak surat atau petisi yang sudah dikirim. Tetapi, masalah besar yang menyangkut begitu banyak orang ini masih tetap belum disentuh juga oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga negara kita.

Mengingat itu semuanya, maka perlulah sejak sekarang, semua kekuatan demokratis dan pro-reformasi untuk melihat masalah rehabilitasi para eks-tapol dari ketinggian kepentingan nasional keseluruhan. Artinya, menyadari bahwa bahwa selama masalah rehabilitasi ini belum dipecahkan, maka tubuh bangsa ini masih dijangkiti penyakit. Terkatung-katungnya penyelesaiannya akan menghambat tergalangnya kerukunan atau persatuan, yang sekarang sedang terus diganggu oleh sisa-sisa Orde Baru. Rehabilitasi para eks-tapol (dan yang bukan eks-tapol) tidak merugikan kepentingan bangsa dan negara, bahkan sebaliknya, menguntungkan! Karenanya, seperti halnya reformasi yang harus diperjuangkan dengan gigih oleh semua kekuatan demokratis, maka demikian jugalah halnya dengan masalah rehabilitasi ini.

Untuk itu, dalam setiap kesempatan orang berbicara tentang reformasi, perlu dipersoalkan pentingnya reformasi dalam sistem hukum dan perundang-undangan. Kalau berbicara tentang reformasi, perlu juga berbicara tentang keharusan mencabut atau menghilangkan perundang-undangan atau segala macam peraturan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang telah diciptakan rezim militer Orde Baru (antara lain, Instruksi Mendagri no 32/1981 mengenai apa yang disebut “pembinaan dan pengawasan terhadap eks Tapol/Napol l965”).

Pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia

Dengan beredarnya naskah buku ““Kesaksianku tentang G30S” (seluruhnya 148 halaman), Dr Subandrio memberikan sumbangan guna mengangkat kembali berbagai peristiwa tentang penyerobotan kekuasaan Presiden Soekarno oleh Suharto, tentang pembunuhan terhadap orang-orang PKI tanpa proses hukum.

Pada halaman 104, 105 dan 106 naskah buku itu dapat dibaca bagian-bagian yang berikut :

”Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan : G-30-S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan:”Basmi dulu partai itu (PKI), bukti-bukti cari kemudian”. Apakah ini konstitusional, seperti yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?

“Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI – yaitu D.N. Aidit, Nyoto, dan Lukman – ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah kehilangan powernya, menolak memerintahkan mengadili mereka (entah mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara menembak mati ketiganya. Dan, ketiganya memang di-dor tanpa melalui proses hukum yang berlaku.

“Dengan perlakuan Soeharto seperti itu, sangat wajar jika saya katakan bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G-30-S) terbongkar di pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang mengalami semua kejadian ini, jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G-30-S. “Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang merupakan bagian dari MPRS. Caranya, dengan merampas kursi yang semula diduduki oleh anggota PKI, dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan Supersemar secara konstitusional.

“Bersamaan dengan itu pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI sudah dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI, ikut terbunuh. Darah orang PKI, keluarga, dan teman mereka, halal bila ditumpahkan. Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang tahu presis, berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan 800 ribu, ada yang mengatakan satu juta. Yang paling tinggi adalah pernyataan Sarwo Edhie Wibowo, yang katanya mencapai 3 juta manusia” (kutipan selesai).

Mengapa Dr. Subandrio minta rehabilitasi

Dengan membaca buku Dr; Subandrio, maka kita bisa mengerti mengapa ia minta kepada Presiden Abdurrahman Wahid supaya nama baiknya direhabilitasi. Melalui bukunya ini ia menjelaskan bahwa ia tidak terlibat dalam peristiwa G-30-S, dan bahwa pengadilan perkaranya di depan Mahkamah Militer Luarbiasa itu hanyalah sandiwara saja. Ia telah dituduh macam-macam, dan juga dicap sebagai orang PKI, hanyalah karena ia adalah pembantu setia Bung Karno. Dengan berbagai penjelasan, ia tunjukkan bahwa TNI-AD waktu itu memang melakukan berbagai tindakan untuk menyingkirkan Bung Karno dari pucuk pimpinan negara. Ia juga mengajukan analisa dan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa justru Suharto-lah yang terlibat dengan G-30-S itu.

Pada halaman 115-116 buku tersebut, dapat dibaca bagian-bagian yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika ada yang bertanya, lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G-30-S? Maka saya akan balik bertanya, siapa yang menuduh begitu? Jika PKI mendalangi G-30-S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi. Betapa ngeri membayangkan PKI dengan tiga juta anggota didukung 17 juta anggota organisasi onderbouw-nya berperang melawan tentara yang hanya ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat pertempuran yang terjadi.”

“Namun, seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari, dan lantas ditembak mati. Bung Karno yang juga bisa menjadi panutan PKI, tidak memerintahkan apa-apa.”

“Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng “ (kutipan selesai).

Kedua peristiwa itu, yaitu keluarnya buku Dr Subandrio “Kesaksianku tentang G-30-S” dan permintaan rehabilitasi nama baiknya adalah dua hal penting yang bisa membangkitkan dialog atau tukar-pendapat yang hangat di berbagai kalangan. Perdebatan atau penelitian tentang masalah-masalah peristiwa 1965 dan tentang lahirnya Orde Baru adalah hal yang positif, asal dilakukan dengan tujuan tulus untuk mencari kebenaran dari fakta, dan dengan arah untuk menarik pelajaran demi kepentingan kerukunan bangsa dewasa ini, dan di kemudian hari. Kebenaran sejarah harus ditegakkan, dan menutup-nutupinya adalah dosa yang besar!