28 Agustus 2001 — 11 menit baca

Rachmawati menuntut rehabilitasi nama Bung Karno

Ketua Umum Forum Nasional Rachmawati Soekarnoputri menyerukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33 Tahun 1967. “Bila Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 itu bisa dicabut karena jasa dari Megawati Soekarnoputri, maka itu merupakan hadiah besar dari putri Bung Karno kepada sang Proklamator, Soekarno,” demikian kata Rachmawati kepada wartawan dalam acara silaturahmi Forum Nasional dalam rangka menyambut Proklamasi Republik Indonesia Ke-56 di Kampus Universitas Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8).

Tap MPRS No 33/1967 adalah ketetapan tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Keputusan dari Tap tersebut terdiri dari tiga bab dan tujuh pasal. Pasal tiga dari keputusan Tap tersebut berbunyi :”Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945.” Dalam salah satu butir pertimbangan dari Tap Nomor 33 tersebut antara lain berbunyi: “….Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.”

Menurut Rachmawati yang telah berkali-kali menyerukan untuk penghapusan Tap MPRS No 33/1967 tersebut mengatakan, Megawati punya potensi besar untuk bisa mencabut Tap tersebut, karena dia adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang punya fraksi besar di di MPR maupun DPR. Apalagi, kata Rachmawati, Megawati adalah putri Bung Karno dan dalam kampanye pemilihan umum partainya selalu menampilkan gambar-gambar Bung Karno. Rachmawati berpendapat, Tap Nomor 33 itu merupakan salah satu perangkat canggih Orde Baru melakukan desoekarnoisasi di Indonesia.

Menurut Rachmawati, dengan adanya ketetapan tersebut, maka ada dasar kuat yang membenarkan Bung Karno adalah orang komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia). “Padahal, tuduhan itu tidak benar, Bung Karno bukan komunis dan tuduhan ini merupakan preseden yang tidak baik bagi nama baik Bung Karno dan anak-anaknya,” ujar Rachmawati. Forum Nasional didirikan tanggal 20 Juli 2001, dengan deklarator antara lain Arbi Sanit dan Faisal Basri. (Penjelasan : 4 paragraf di atas adalah kutipan dari Kompas 20 Agustus 2001)

Rehabilitasi Bung Karno Adalah Urusan Besar

Adalah wajar bahwa ketika membaca berita seperti yang tercntum di atas, maka tiap orang mempunyai tanggapan atau sikap masing-masing, yang beraneka-ragam. Maklum, seperti pepatah orang-orang tua (Minang), “Kapalo samo babulu, pandapek balain-lain” (Kepala sama-sama berambut atau berbulu, tetapi pendapat berbeda-beda). Jadi, kita tidak perlu anggap aneh, kalau ada orang yang setuju, atau tidak setuju, dengan usul atau tuntutan Rachmawati (Forum Nasional) seperti di atas itu. Juga tidaklah perlu heran kalau ada orang yang berpendapat bahwa sekarang ini kita tidak usah mengungkit-ungkit kembali masalah Bung Karno. Atau, demikian juga, kalau masih saja ada orang yang mempunyai pendapat bahwa Orde Baru tidak boleh dihujat terus-menerus atau pendapat-pendapat “aneh” lainnya tentang berbagai persoalan. Umpamanya, bahwa Orde Baru telah berjasa dalam pembangunan, dan bahwa sistem Orde Baru tidaklah jelek, atau bahwa Sukarno adalah sama-sama diktatornya seperti Suharto, atau bahwa kesalahan Sukarnolah yang telah menyebabkan lahirnya Orde Baru. Pendapat semacam itu semua adalah hak yang sah masing-masing orang. Tentang benar atau tidaknya beraneka-ragam pendapat-pendapat yang muncul, itu lain perkara. Sebab, perjalanan sejarah jugalah akhirnya yang akan membuktikan.

Dalam rangka demikian itu pulalah, maka tulisan ini dibuat. Karena, apa yang dikemukakan oleh Rachmawati (sebagai ketua Forum Nasional maupun sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Sukarno, atau sebagai anak Bung Karno saja) patutlah kiranya mendapat sambutan positif dari semua orang yang merasa sebagai pendukung gagasan-gagasan besar Bung Karno, atau dari semua orang yang menginginkan adanya reformasi dalam bidang penyajian sejarah bangsa. Sebab, masalah TAP MPRS nomor 33 tahun 1967 adalah masalah besar yang mempunyai sangkut-paut yang erat sekali dengan peristiwa dalam bulan September 1965 (tepatnya, 1 Oktober pagi). Dan, seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, masalah besar ini telah berakibat dengan lahirnya kekuasaan regime militer Orde Baru.

Kiranya, tidak perlu lagilah diulang-ulangi secara panjang lebar dalam tulisan kali ini, tentang banyaknya kejahatan atau tentang beraneka-ragamnya kesalahan dan tentang luasnya kerusakan-kerusakan yang telah dibikin oleh regime Orde Baru (TNI-AD dan Golkar). Namun, di sana-sini dalam tulisan ini, berbagai soal masih disinggung juga, demi memperjelas persoalan, atau sekadar menyegarkan ingatan kita bersama.

Untuk kesekian kalinya, mungkin perlu kita ingat bersama-sama (dan juga saling mengingatkan!) bahwa sejarah “kudeta merangkak” terhadap Bung Karno, yang didahului oleh pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah dan pemenjaraan ratusan ribu orang lainnya (yang juga tidak bersalah!), telah mengakibatkan penderitaan puluhan juta orang (dan selama puluhan tahun pula!). Mereka ini bukan hanya terdiri dari orang-orang kiri yang dekat atau bersimpati kepada PKI (beserta keluarga mereka), melainkan juga para simpatisan Bung Karno, baik yang pendukung Marhaenisme maupun yang bukan. Jadi, korban Orde Baru adalah besar sekali, sebagai akibat digulingkannya Bung Karno oleh Suharto dkk (yang mendapat dukungan dari kekuatan-kekuatan asing, antara lain AS).

Harapan Banyak Orang Terhadap Sosok Megawati

Seruan atau tuntutan Rachmawati, sebagai ketua-umum Forum Nasional kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33 Tahun 1967, bisa dipandang mengandung berbagai arti yang penting dalam konteks situasi di tanah-air dewasa ini. Dari berbagai gejala yang mungkin bisa jadi pertimbangan bersama untuk mengamati perkembangan di tanah-air, adalah, antara lain sebagai yang berikut:

Kenyataan bahwa Rachmawati sudah secara terang-terangan menganjurkan kepada Megawati sebagai Presiden dan ketua umum PDI-P untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33 Tahun 1967 bisa menimbulkan berbagai dampak, baik di kalangan PDI-P, maupun di luar PDI-P. (Apakah memang nantinya akan timbul dampak itu, marilah sama-sama kita ikuti perkembangan selanjutnya).

Dalam menghadapi masalah Tap MPRS 33/1967 ini, Megawati kelihatannya bisa kejepit dalam situasi yang mengandung berbagai dilemma. Sebab, kalau ia tidak berbuat sesuatu tentang persoalan penting ini, maka makin banyaklah orang yang makin tidak mengerti tentang pandangan politiknya. Banyak orang (terutama sekali dari kalangan pendukung atau pencinta Bung Karno) akan mempertanyakan mengapa selama ini Megawati kurang sekali berbicara tentang masalah-masalah Bung Karno atau kurang membela Bung Karno.

Banyak orang beranggapan bahwa kebesaran PDI-P atau ketokohan Megawati adalah berkat dukungan para pencinta Bung Karno. Itulah sebabnya,maka rakyat telah dengan senang hati - dan dengan rasa bangga pula - di mana-mana memasang gambar Bung Karno di samping gambar Megawati, ketika dilangsungkan pemilu tahun 1999 itu. Ada orang, yang sekarang ini, mulai mengatakan bahwa kebesaran Megawati adalah karena “membonceng” kebesaran Bung Karno. Ada juga yang mulai menyindir bahwa tanpa menyandang citra kebesaran Bung Karno, sebenarnya Megawati bukanlah apa-apa. (Sudah tentu, kalimat yang terakhir ini adalah ungkapan yang eksesif).

Namun, betapapun juga, adalah kenyataan bahwa (tadinya) banyak di antara para pendukung PDI-P mengharapkan pada sosok Megawati sebagai penerus berbagai ajaran Bung Karno. Banyak sekali orang yang (tadinya) mengira bahwa dengan mendukung PDI-P (dan Megawati) maka mereka mendukung satu kekuatan politik yang betul-betul akan ikut menggulung sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Dengan kalimat lain, banyak sekali orang yang (tadinya) menjadikan Megawati sebagai lambang perjuangan menentang Orde Baru. Tetapi, apakah harapan banyak orang itu sesuai dengan kenyataan yang sedang berlangsung dewasa ini? Justru, hal inilah yang sedang diprihatinkan atau dipertanyakan oleh banyak orang.

Sumbangan Bagi Terlaksananya Reformasi

Seruan Rachmawati kepada Megawati tersebut di atas, merefleksikan (lebih jelas lagi) perbedaan pandangan politik yang cukup “menarik” antara kedua puteri Bung Karno. Bahwa Rachmawati kelihatan lebih menunjukkan diri – sedikit banyaknya – sebagai pewaris ajaran-ajaran bapaknya sudah kelihatan sejak lama, antara lain dari kegigihannya untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Sukarno dan kemudian juga Universitas Bung Karno. Pidatonya di Blitar dalam rangka Ulangtahun ke-100 Bung Karno juga menunjukkan kesungguhan penghayatannya terhadap ajaran-ajaran bapaknya. Dibandingkan dengan Rachmawati, maka jelaslah bahwa Megawati lebih menunjukkan sikap yang relatif “adem-ayem” saja, kalau mengenai urusan-urusan Bung Karno.

Oleh karena itu, bahwa Rachmawati “menuntut” kepada Megawati supaya berusaha mencabut TAP MPRS 33/1967 adalah, sebenarnya, tidak terlalu mengherankan. Atau, tidak terlalu mengagetkan. Tetapi, bahwa Rachmawati seolah-olah “menagih hutang moral” kepada kakaknya, Megawati, tentang bapak mereka berdua, nah, justru inilah yang patut diperhatikan oleh banyak orang. Sebab, dalam hal ini, Rachmawati tidak bicara hanya sebagai anak Bung Karno saja, melainkan juga sebagai ketua Forum Nasional. Atau juga sebagai ketua Yayasan Pendidikan Sukarno dan salah seorang pendiri utama Universitas Bung Karno. Bahkan, (dan ini yang lebih penting lagi!) ia bicara sebagai “wakil hati” entah berapa banyak orang pendukung gagasan-gagasan besar Bung Karno. Dan, patut sama-sama kita ingat, bahwa para pencinta Bung Karno bukanlah hanya terdapat di kalangan Marhaenis saja, atau di kalangan PDI-P saja, melainkan lebih luas dari itu semua. Jadi, dalam kalimat yang singkat : masalah pencabutan TAP MPRS 33/1967 adalah urusan penting bagi banyak orang, termasuk (dan terutama) para korban Orde Baru.

Oleh karena itu maka wajar sekalilah kalau mereka yang merasa menjadi korban Orde Baru mendukung tuntutan Rachmawati. Sebab, sekarang makin jelas bagi banyak orang - yang jumlahnya makin banyak juga !- , bahwa Orde Baru telah dibangun di atas fondamen pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang tidak bersalah dan juga di atas penggulingan kekuasaan politik Bung Karno. Artinya, ketika orang berbicara tentang reformasi, maka perlulah juga jelas tentang apa-apa saja yang menjadi sasaran reformasi. Tujuan reformasi adalah memperbaiki kesalahan-kesalahan, atau membangun kembali kerusakan-kerusakan, atau memeriksa kembali dosa-dosa yang sudah begitu banyak dibikin oleh Orde Baru selama puluhan tahun itu (!).

Dilihat dari sudut pandang ini, maka nyata sekalilah bahwa tuntutan Rachmawati bisa merupakan sumbangan bagi terlaksananya reformasi di bidang sejarah, politik, moral dan juga hukum. Reformasi tidak akan terlaksana, atau bahkan hanya merupakan omong kosong saja, tanpa mempersoalkan kembali berbagai kejahatan yang pernah dilakukan Orde Baru di bidang politik, ekonomi, sosial, moral, hukum, perikemanusiaan atau HAM, termasuk masalah Bung Karno. Bagi mereka yang mau belajar (dengan rendah hati pula!) dari sejarah bangsa kita sendiri, itu semua perlu dijadikan pelajaran. Sebab, bukti-buktinya masih nampak sampai sekarang, di mana-mana, dan dalam berbagai bentuk.

Jadi, jelaslah kiranya bahwa tuntutan Rachmawati merupakan aspirasi banyak orang di tanah-air (dan juga di luarnegeri) yang tidak bisa dikatakan berfikiran “kekiri-kirian”. Aspirasi semacam ini tidaklah tepat diberi stempel “berat sebelah” atau “idealisme subjektif”, dan juga tidak sepatutnya dikatakan karena “tidak mengenal sejarah bangsa Indonesia”. Tidak usahlah kiranya orang mengira dirinya sudah menguasai (dengan “kemahiran” yang luar-biasa!) tentang berbagai teori tentang perkembangan masyarakat, untuk bisa melihat bahwa Orde Baru sudah melakukan begitu banyak kejahatan dan kerusakan bagi bangsa Indonesia. Bukti-buktinya sudah terlalu gamblang!!!

Karenanya, bahwa rehabilitasi nama Bung Karno merupakan juga bagian dari reformasi yang perlu diperjuangkan adalah juga jelas, kiranya, bagi orang yang bernalar sehat dan berhati-nurani. Sebab, pemimpin yang begitu besar jasanya bagi bangsa sudah diperlakukan begitu hina oleh Orde Baru adalah keterlaluan, bukan? Lagi pula, penggali Pancasila ini sudah dilarang oleh Orde Baru melakukan kegiatan politik! Bukankah ini sesuatu yang kelewatan? Bahwa pejuang bangsa yang begitu besar terpaksa dibiarkan meninggal dalam keadaan yang begitu merana, bukankah itu sesuatu yang patut disesalkan?

Memang, baru-baru ini di banyak tempat di tanah-air telah dirayakan HUT Bung Karno yang ke-100 oleh para pencinta Bung Karno, dan stadion Senayan juga sudah diberi nama yang selayaknya, yaitu Gelora Bung Karno. Buku-buku mengenai sejarah perjuangannya juga sudah mulai banyak muncul, dan banyak orang juga sudah tidak takut lagi untuk berbicara tentang jasa-jasa Bung Karno. Tetapi, sisa-sisa propaganda yang menyesatkan yang disebarkan oleh para pendukung Orde Baru masih belum hilang.

Ketika mau mengakhiri tulisan yang kali ini, maka terbayang di kepala penulis, wajah begitu banyak kenalan lama maupun kenalan baru, yang ditemuinya di Tangerang, Jakarta, Bandung, Purwokerto, Temanggung, Wonosobo, Magelang, Jokya, Semarang, Solo, Kediri, Blitar, Malang, Surabaia, Bali dan lain-lain tempat (Sejak 1996, penulis beruntung bisa berkunjung ke Indonesia sekali tiap tahun, bahkan pernah dua kali kujungan dalam setahun). Di antara mereka ada yang terdiri dari para eks-tapol, dan banyak juga di antara mereka adalah keluarga korban pembunuhan besar-besaran tahun 1965. Tetapi, banyak juga di antara mereka adalah “orang-orang biasa”, pencinta atau pengagum Bung Karno, baik yang Marhaenis atau pendukung PDI-P ataupun yang bukan.

Juga masih terbayang dalam ingatan penulis wajah-wajah yang mencerminkan ketulusan hati begitu banyak pemuda dan mahasiswa (dan rakyat biasa) yang mengadakan aksi-aksi selama peristiwa Semanggi I dan Semanggi II untuk menghujat sisa-sisa kekuatan Orde Baru. (Penulis merasa beruntung dapat menyaksikan dari dekat – dan secara langsung di dalamnya - kedua peristiwa tersebut, bersama-sama dengan teman-teman lamanya).

Untuk menyatakan simpati terhadap mereka itulah tulisan ini dibuat. Sebagai sekadar sumbangsih bagi kita ingatan kita bersama.