16 Mei 2001 — 12 menit baca

Pesan Bung Karno kepada PKI : yo sanak yo kadang

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (14)

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, dan juga bebas untuk digunakan selayaknya.

Judul ini menyangkut masalah besar!. Karena, isinya berkaitan erat dengan masalah nasional (dan juga internasional) yang telah mengakibatkan : digulingkannya Presiden Sukarno, dibunuhnya jutaan orang tidak bersalah, berkuasanya Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, kemunduran kebudayaan berfikir secara beradab di Indoneia, kerusakan moral besar-besaran di kalangan “atas”, dibunuhnya demokrasi, dimandulkannya Pancasila, dan keterpurukan negara dan bangsa seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini.

Sejarah Bung Karno dan sejarah PKI akan tetap menjadi masalah yang penting untuk terus direnungkan, dikaji, dan dibicarakan. Sebab sejak terjadinya G30S dalam tahun 1965, banyak hal-hal yang masih gelap atau digelapkan, baik yang berkaitan dengan Bung Karno maupun PKI. Sekarang ini, makin banyak orang yang makin yakin bahwa selama lebih dari 32 tahun, Orde Baru/GOLKAR beserta pendukung-pendukung setianya, telah menyajikan dua masalah ini secara sefihak, secara tidak fair atau secara tidak jujur. Selama itu, baik Bung Karno maupun PKI telah dijadikan bulan-bulanan serangan oleh “sejarah versi resmi” Orde Baru. Dan selama puluhan tahun itu pula Orde Baru/GOLKAR melarang, mencegah, atau mematahkan, setiap usaha untuk menyajikan kedua persoalan ini secara berbeda dengan “versi resmi” itu.

Begitu hebatnya serangan Orde Baru/GOLKAR lewat indoktrinasi yang menyesatkan ini, yang dilakukan puluhan tahun secara intensif, permanen dan menyeluruh, sehingga citra Bung Karno dan PKI menjadilah serba negatif di benak banyak orang. Sekarang ini, setelah terbukti bahwa sistem politik Orde Baru adalah begitu buruk, dan setelah praktek-praktek para pendirinya dan para pendukung setianya ternyata jelas telah menimbulkan begitu banyak kerusakan terhadap negara dan bangsa, banyak orang mulai bertanya-tanya mengapa Bung Karno telah digulingkan dan mengapa pula PKI ditindas. Dan, bahkan orang mulai berfikir, bukankah karena Bung Karno digulingkan dan PKI ditindas itulah, maka, sebagai akibatanya, keadaan negara dan bangsa menjadi kacau, ruwet, dan penuh kebobrokan seperti sekarang ini?.

Amanat Penderitaan Rakyat Jangan Dikhianati

Sejarah perjuangan politik Bung Karno menunjukkan dengan jelas bahwa ia sejak berusia duapuluhan tahun, sudah menampilkan diri sebagai seorang nasionalis Islam yang kiri, seorang pejuang anti-penjajahan yang revolusioner, yang menggunakan analisa marxis dalam memandang persoalan-persoalan masyarakat dan perjuangan bangsa. Tulisannya yang terkenal “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” dalam majalah Suluh Indonesia Muda , ketika ia masih berumur 26 tahun, adalah bukti tentang kecemerlangan fikirannya. Dalam sejarah para perintis kemerdekaan kita, ia sangat menonjol sekali dalam hal ini.

Oleh karena itu, dapatlah kiranya dimengerti bahwa sebagai seorang pemuda revolusioner, ia menghargai semangat pembrontakan PKI dalam tahun 1926 melawan pemerintahan kolonial Belanda. Setelah menjadi kepala negara pun, dalam berbagai kesempatan ia juga telah menyebutkan betapa besar pengorbanan orang-orang yang dipenjarakan atau dibuang ke Tanah Merah (Boven Digul) karena perjuangan mereka itu, demi Amanat Penderitaan Rakyat. Antara lain ia pernah berpesan sebagai berikut :

Kita tidak bisa tidak menyelanggarakan masyarakat adil dan makmur yang saya namakan Amanat Penderitaan Rakyat, oleh karena penderitaan Rakyat berpuluh-puluh tahun semua adalah perjuangan dan korbanan untuk mencapai cita-cita masayarakat adil dan makmur itu! Amanat adalah suatu titipan daripada Rakyat. Amanat ini harus kita setiai. Amanat ini tidak boleh kita khianati, oleh siapapun juga yang menamakan dirinya patriot Indonesia, pejuang Indonesia, Pengabdi Negara Republik Indonesia.

“Amanat Penderitaan Rakyat ini sudah tidak boleh kita ganggu gugat lagi, bahwa ia adalah satu kewajiban yang utama bagi kita. Ia tertulis sebenarnya di atas batu-batu nisan kuburannya pejuang-pejuang kita yang telah mangkat. Ia tertulis di dinding-dinding tembok penjara-penjara di mana pemimpin-pemimpin kita meringkuk bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun. Ia tertulis di pohon kayu di Boven Digul atau Tanah Tinggi Boven Digul. Ia tertulis di batu-batu yang di bawahnya terkuburlah pahlawan-pahlawan Revolusi. Hal ini tidak boleh kita tawar-tawar lagi. Ini adalah kewajiban kita semua” (Dikutip dari buku J.K. Tumakaka “Peralihan kekuasaan Soekarno, Soeharto, Habibi”, halaman 58, “Amanat Presiden pada musyawarah dinas Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan para Gubernur” ).

Dua Kekuatan Anti Kolonial Dan Anti Imperialis

Dalam membaca sejarah PKI sejak dari lahirnya dalam tahun 1920 sampai 1965, nyatalah bahwa dalam menghadapi pemerintahan kolonial Belanda dan fasisme Jepang, PKI merupakan salah satu di antara kekuatan yang bersikap paling konsekwen. Kemudian, sesudah tahun 1949, PKI merupakan kekuatan aktif dalam menentang hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (dengan Belanda), menentang RIS, melawan perjanjian Mutual Security Act (dengan AS). Sampai akhir 1959, PKI juga memberikan sumbangan yang penting, dalam perjuangan nasional melawan gerakan-gerakan separatis kontra-revolusioner yang dilakukan oleh Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Gajah, Dewan Manguni, dan PRRI-Permesta.

Karena perjuangan nasional melawan berbagai gerakan kontra-revolusioner inilah maka banyak anggota PKI beserta simpatisan-simpatisannya telah dibunuhi atau ditangkapi secara besar-besaran di Sumatera, di Kalimantan atau Sulawesi. Pembunuhan terhadap para tahanan PKI di kamp Situjuh (Sumatera Barat) oleh pasukan Dewan Banteng/PRRI adalah hanya sebagian kecil saja dari korban di kalangan PKI yang disebabkan oleh berbagai gerakan kontra-revolusi itu Supaya lebih jelas : ketika partai Masyumi dan PSI secara terang-terangan berdiri di belakang pembrontakan kontra-revolusioner PRRI-Permesta (yang disokong CIA), maka PKI telah tampil sebagai kekuatan yang ikut aktif mempertahankan keselamatan Republik Indonesia.

Sejak ditetapkannya Manifesto Politik sebagai Haluan Negara oleh MPRS (1959), PKI juga merupakan salah satu kekuatan pendukungnya yang utama, seperti halnya dalam perjuangan “Ganyang Malaisia”, dan perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat. Singkatnya, sejarah perjuangan PKI adalah sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Sejarah ini diselingi oleh satu peristiwa, yang dinamakan peristiwa Madiun (ada yang menamakan “pembrontakan” Madiun), yang asal-usulnya atau latar-belakang sebenarnya masih tetap dipersoalkan oleh berbagai fihak.

Seiring dengan perkembangan situasi yang demikian itulah, ketokohan Bung Karno sebagai kepala negara yang menggenggam garis politik revolusioner anti-imperialis makin menonjol juga. Politiknya untuk melikwidasi sisa-sisa kolonialisme Belanda berakhir dengan dibubarkannya Union dengan Kerajaan Belanda dalam tahun 1956. Konferensi Bandung (1955) telah menampilkannya sebagai tokoh terkemuka internasional anti-imperialisme. Politiknya tentang hubungan dengan RRT dan permusuhan dengan Taiwan telah membikin marah AS. Sejak lahirnya RRT, Bung Karno memperlihatkan simpatinya yang besar terhadapnya, dengan memperjuangkan keanggotaan RRT ke dalam PBB.

Dari berbagai dokumen dan analisa yang dibuat oleh ahli-ahli Barat sendiri, nyatalah sekarang bahwa Bung Karno telah dijadikan “sasaran inceran” Perang Dingin sejak permulaan tahun 50-an. Usaha untuk menggoyang pemerintahan Sukarno menjadi lebih jelas lagi dengan adanya dukungan kekuatan asing kepada gerakan-gerakan di daerah-daerah, sehingga SOB (Keadaan Negara dalam Bahaya) terpaksa diumumkan dalam tahun 1958. SOB inilah yang ternyata digunakan oleh militer (TNI-AD) untuk memperkuat kedudukan mereka dalam perpolitikan di Indonesia dan juga di bidang ekonomi (yang kemudian makin terus membesar, sampai sekarang!). Pertentangan antara sebagian golongan pimpinan militer dan Bung Karno mulailah makin terasa sejak itu.

Singkatnya, dari perjalanan sejarah semasa periode itu maka jelaslah bahwa garis politik revolusioner Bung Karno makin lama makin mendapat dukungan dari PKI yang sudah sejak lama juga merupakan kekuatan revolusioner penentang imperialisme (terutama AS). Gabungan dua kekuatan revolusioner ini berhadapan dengan kekuatan imperialis yang bersekutu dengan kekuatan kontra-revolusi dan anasir-anasir anti-Sukarno di dalamnegeri (termasuk sebagian golongan Islam dan juga sebagian pimpinan militer).

Perjuangan untuk merebut Irian Barat dan juga perlawanan terhadap projek politik Inggris “Malaysia” (waktu itu!), ditambah dengan perang di Indo-Cina dan kemudian dibentuknya poros Jakarta-Pnompenh- Hanoi-Peking-Pyongyang, membikin makin “berbahayanya” garis politik Sukarno bagi kepentingan strategi global AS di kawasan Asia dan Asia Tenggara. Sebaliknya, Bung Karno yang makin dimusuhi oleh dunia Barat (dengan AS sebagai kepalanya), makin membutuhkan adanya sokongan yang kuat dari pendukung- pendukung politiknya. Di antara pendukung Bung Karno itu terdapatlah PKI yang selama ini memang sudah selalu secara aktif menyokong garis politik anti-imperialisnya.

PKI Adalah Yo Sanak Yo Kadang

Dari itu semua, dapatlah kiranya dimengerti bahwa Bung Karno, sebagai seorang pemimpin nasionalis revolusioner, melihat pada PKI sebagai sekutunya yang konsekwen dalam melawan imperialisme dan meneruskan revolusi 17 Agustus. Sesuai dengan gagasan-dasarnya sejak muda, maka ia menganggap perlunya disatukannya PKI dalam perjuangan bersama bangsa. Bahkan, lebih dari itu. Bung Karno melihat pada PKI sebagai mitra perjuangan. Untuk bisa sama-sama menghayati fikiran-fikirannya tentang hal ini, maka perlulah kita membaca pidatonya di depan resepsi Kongres ke-6 PKI (1959) yang berjudul “Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kélangan” (Ya saudara, ya keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan). Bahkan, kalau kebetulan bisa mendengarkan kasetnya, maka kita akan dapat benar-benar “menikmati” (dan menghormati) gagasan-gagasan besarnya.

Dalam pidatonya itu (yang makan waktu hampir satu jam) antara lain dikatakannya :

“Ya, saudara-saudara, barangkali sayalah satu-satunya Presiden sesuatu negara di dunia ini, negara yang bukan dinamakan negara Sosialis, yang menghadiri satu Kongres Partai Komunis (tepuktangan lama). Nah, betapa tidak saudara-saudara! Betapa tidak hendak saya hadiri, kan saudara-saudara juga orang Indonesia, warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang-pejuang menentang imperialisme yang membela kemerdekaan Indonesia ini (tepuktangan yang gemuruh).

“Saudara-saudara adalah utusan-utusan daripada sebagian Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama orang-orang bangsa Indonesia. Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, saudara-saudara itu “yo kadang, yo sanak, malah yen mati aku sing kelangan” (tepuktangan gemuruh lama) (halaman 376, Bintang Merah Nomor Istimewa Kongres Nasional ke-6 PKI, September-Oktober 1959).

Ungkapan Bung Karno seperti tersebut di atas, pastilah disimpan sebagai kenang-kenangan yang indah oleh banyak anggota-anggota PKI, simpatisan-simpatisannya, dan juga oleh mereka yang walaupun non-PKI tetapi menghayati keagungan gagasannya tentang persatuan revolusioner bangsa, yaitu persatuan Nasakom. Dan pastilah mereka juga senang (dan bangga) ketika membaca ucapan Bung Karno yang berikut:

“Dan tatkala saya mengadakan perjalanan beberapa hari yang lalu ke Aceh, diikuti oleh beberapa dutabesar …., dengan gembira saya melihat bahwa di mana-mana tempat, baik di daerah Aceh, maupun di daerah Riau, maupun di Kalimantan, PKI-lah salahsatu tenaga yang menyambut dengan baik (tepuktangan lama), menyambut dengan baik dan konsekwen kembali kita kepada Undang-undang Dasar 45, dan menyambut dengan baik persatuan nasional, menyelenggarakan persatuan nasional itu dengan sehebat-hebatnya (tepuktangan gemuruh). Oleh karena itu, saudara-saudara, pantas saya mengucapkan penghargaan saya kepada Partai Komunis Indonesia di dalam hal ini;”

Bung Karno Dan PKI : API Revolusi

Pidato Bung Karno yang dimuat dalam Bintang Merah tahun 1959 tersebut mengungkap banyak hal yang menarik, umpamanya : penjelasannya tentang diri-pribadinya sendiri yang merupakan “campuran” antara 3 sifat, ja nasionalis, ya sosialis, ya muslimin. Juga tentang filosofi materialisme, tentang materialisme historis, tentang sosialisme, tentang masyarakat adil dan makmur, tentang faktor keagamaan dalam masyarakat Indonesia. Yang amat menarik adalah satu bagian di mana ia ungkapkan persamaan antara dirinya dengan PKI sebagai api revolusi, yang berbunyi :

“Saya berkata di hadapan khalayak ramai di Kutaraja itu, saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu gundukan kayu api-unggun, sepotong kayu daripada ratusan atau ribuan potong kayu di dalam api-unggun besar yang sedang menyala-nyala. Saya menyumbang sedikit kepada nyalanya api-unggun itu, tetapi sebaliknyapun saya dimakan oleh api-unggun itu, saudara-saudara. Menyumbang kepada api-unggun tetapi ,juga dimakan oleh api-unggun. Dimakan api-unggun. Tidakkah sebenarnya kita semua berasa demikian, saudara-saudara?!

“Saudara-saudara, terutama sekali hai saudara-saudara dari PKI, saudara-saudara masing-masing menyumbang kepada api-revolusi, tetapi saudarapun dimakan oleh api revolusi itu. Dimakan dalam arti bahwa saudara ikut serta dalam dinamikanya revolusi ini habis-habisan, bahwa saudara merasa diri saudara mendapat impetus, mendapat kekuatan tenaga, mendapat penggerak jiwa daripada revolusi yang apinya sekarang sedang berkobar-kobar dan menyala-nyala itu;” (halaman 378).

Saudara-saudara pembaca. Ketika mendengarkan suara Bung Karno dari kaset itu, maka penulis merenungkannya dengan rasa haru yang campur aduk. Alangkah bagusnya perumpamaan yang diambilnya, dan alangkah dalamnya makna pesan yang dilontarkannya. Dan ketika mengingat tindakan-tindakan para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno dan juga kepada PKI di masa yang lalu, maka muncullah kutukan dan hujatan dalam hati. Terlalu, api revolusi yang begitu indah itu telah dipadamkan!!! Lagi pula, oleh orang-orang yang hanya patut dicampakkan dalam keranjang-sampah sejarah bangsa! Apa yang mereka lakukan selama 32 tahun sudah membuktikannya. Dan, kerusakan-kerusakan di segala bidang yang kita saksikan sekarang ini, adalah saksinya juga.

Bagian lain pidatonya yang bagus dan juga penting adalah yang menyoroti betapa besarnya peran kaum buruh dan tani dalam perjuangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Mari sama-sama kita dengar suara Bung Karno tentang soal ini:

“Kita harus malahan membuat kaum buruh klasse bewust, sadar akan klasnya (tepuktangan). Oleh karena, justru di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur kaum buruh dan kaum tanilah yang harus menjadi motor (tepuktangan). Kaum buruh dan kaum tani soko guru, saudara-saudara, kaum buruh dan kaum tani dalam masyarakat adil dan makmur, kaum buruh dan kaum tani yang jumlahnya 90% daripada Rakyat Indonesia. Mereka ini sokoguru daripada masyarakat adil dan makmur. Mereka ini sokoguru masyarakat sosialis à la Indonesia.” (halaman 383).

Dari berbagai pernyataan Bung Karno, seperti yang disajikan di atas saja, kita sudah bisa mendapat gambaran, bahwa Bung Karno sudah berjuang puluhan tahun demi kepentingan rakyat, demi kemerdekaan nasional, dan demi persatuan bangsa. Ia juga telah dengan gigih berjuang melawan imperialisme dan neo-kolonialisme, bukan hanya untuk membela kepentingan rakyat Indonesia saja, tetapi juga untuk kepentingan rakyat-rakyat Asia-Afrika dan rakyat negeri-negeri lainnya. Dan untuk itulah maka ia mempunyai sikap yang bersahabat dengan PKI, yang mendukung politiknya yang revolusioner dan anti-imperialis.

Karena itulah, maka sejarah akan membuktikan lebih jelas lagi kepada rakyat Indonesia bahwa yang melakukan pengkhianatan terhadap Republik Indonesia bukanlah Bung Karno dan PKI, melainkan kontra-revolusi yang bernama ORDE BARU/GOLKAR, yang disokong oleh kekuatan asing beserta sekutu-sekutunya di dalam negeri. Sekarang saja sudah terbukti bahwa kontra-revolusi besar-besaran yang dikepalai Suharto dkk inilah yang telah merusak Republik kita selama lebih dari 32 tahun, dan yang juga telah mengkhianati Amanat Penderitaan Rakyat, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah bangsa kita akan mencatat terus, bahwa kehancuran kekuatan revolusioner yang mendukung Bung Karno dan PKI, bukanlah suatu “kemenangan” bangsa dan rakyat Indonesia, tetapi justru sebaliknya. Dihancurkannya kepemimpinan Bung Karno dan dilumpuhkannya kekuatan pendukung utamanya (PKI) adalah suatu kerugian besar sekali bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Kemenangan kekuatan bathil ini, terbukti hanya mendatangkan keburukan secara besar-besaran, dan, dalam jangka waktu yang amat panjang pula.

Sejarah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dengan disingkirkannya Bung Karno dan dilumpuhkannya PKI, maka perjuangan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur merasakan satu “kehilangan” yang amat besar. Oleh karena itu pantaslah kiranya kalau, selama ini, banyak orang mengatakan kepada “roh” Bung Karno, yang masih selalu hidup di kalbu mereka, “Bung Karno, yo sanak yo kadang, yen mati aku sing kélangan”.