28 September 2001 — 13 menit baca

Perlu gerakan dari bawah untuk memberantas korupsi

Kelihatannya, di samping berita-berita tentang serangan teroris terhadap World Trade Centre (di New York) dan Pentagon (di Washinton) yang setiap hari membanjiri media cetak dan televisi Indonesia, masalah korupsi di kalangan “elite” negeri kita juga tetap menarik perhatian banyak orang. Mengingat parahnya penyakit korupsi yang sudah merajalela selama puluhan tahun, maka adalah menggembirakan bahwa makin banyak golongan dalam masyarakat yang menyuarakan suara kritis, bahkan juga kemarahan mereka, kepada kalangan “atas” yang korup, dan yang sekarang sedang terus melakukan beraneka ragam siasat untuk menyelamatkan diri dari penghujatan banyak orang.

Kemarahan yang dilontarkan oleh banyak golongan dalam masyarakat terhadap korupsi di kalangan “atasan” (baik sipil, militer maupun swasta) adalah suatu gejala yang mengggembirakan. Makin besar ledakan kemarahan ini, akan makin baik. Oleh karenanya, segala macam inisiatif - dari fihak mana pun datangnya - yang bisa ikut membikin makin berkobarnya kebencian masyarakat luas kepada para koruptor, adalah kegiatan yang patut didukung. Sebab, kemarahan atau kebencian (atau rasa brontak) masyarakat kepada korupsi adalah suatu hal yang diperlukan sekali(!), bagi kehidupan moral bangsa kita selanjutnya.

Sudah sama-sama kita saksikan, bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan “atas” di Jakarta, melainkan juga oleh “bapak-bapak” dan tokoh-tokoh masyarakat di daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Mereka ini telah membikin busuknya penyelenggaraan negara, baik di bidang eksekutif, legislatif, maupun judikatif. Mereka ini bersekongkol dengan beraneka-ragam tokoh-tokoh non-pemerintah (“swasta”). Bagi mereka yang memperhatikan dengan seksama tingkah-laku atau kehidupan sehari-hari “bapak-bapak” ini, baik yang di Pusat maupun di daerah-daerah, jelaslah bahwa banyak sekali di antara para tokoh ini yang sudah tidak patut lagi dihormati. Karena besarnya kerusakan akhlak, maka banyaklah di antara mereka itu yang sebenarnya sudah menjadi penjahat yang terselubung. Mereka inilah yang dengan berbagai cara, telah, dan sedang terus, mengaduk-aduk atau mengacaukan penyelenggaraan negara kita di berbagai bidang.

Daftar Kekayaan Yang Mencurigakan

Sekarang ini, setelah diumumkannya LKPN (Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara) maka makin nampak jelas betapalah bopeng-bopengnya citra buruk aparat dan lembaga pemerintahan kita. Padahal, apa yang sudah diumumkan oleh KPKPN (sampai pertengahan September 2001) adalah baru sebagian kecil saja dari seluruh LKPN yang mestinya dilaporkan. Dari sekitar 30 000 formulir isian yang sudah disebarkan oleh KPKPN barulah sekitar 30% yang dikembalikan oleh para pejabat “atasan”. Artinya, sebagian terbesar (sekitar 70 %) “tokoh-tokoh” di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif, masih belum juga mematuhi Undang-Undang atau ketetapan MPR, yang mengharuskan mereka melaporkan kekayaan mereka itu. Artinya, mereka itu adalah pejabat-pejabat negara yang membangkang. Dan inilah bukti lainnya lagi, bahwa Orde Baru memang telah melahirkan pejabat-pejabat (tidak semua!) yang berakhlak rendah.

Setelah sebagian kecil Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) diumumkan, maka nampak lebih jelas lagilah betapa parahnya kerusakan moral di kalangan “bapak-bapak” itu. Dengan menelaah angka-angka yang dicantumkan sendiri oleh para pejabat di LKPN mereka itu, maka banyak orang bisa kaget atau terheran-heran, bagaimana pejabat-pejabat yang “resminya” bergaji hanya beberapa juta Rupiah sebulan itu bisa mempunyai kekayaan (beberapa rumah, beberapa mobil, banyak kaveling tanah, simpanan dollar di bank dll) seharga 4 sampai 8 milyar Rupiah, bahkan lebih (!). Di samping itu, banyak orang juga bertanya-tanya dengan curiga, mengapa begitu banyak pejabat yang menyatakan menerima “hibah”, tanpa kejelasan dari manakah datangnya hibah itu.

Menurut harian Media Indonesia (24 September 2001): “Jumlah penyelenggara negara yang menerima hibah tercatat 1.032 pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD. Sedangkan total nilai hibah yang mereka terima mencapai Rp229,308 miliar plus US$1.012.995. Data Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) menunjukkan penerima hibah di lingkungan eksekutif sebanyak 404 orang ditambah 49 orang anggota TNI. Di lingkungan yudikatif mencapai 123 orang ditambah anggota Polri sebanyak 33 orang. Sedangkan anggota legislatif (MPR/DPR/DPRD) yang menerima hibah mencapai 116 orang. Sementara di lingkungan BUMN/BUMD sebanyak 307 orang. “Seperti diketahui, hingga Rabu (19/09) KPKPN baru menerima formulir Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) sebanyak 8.202 (26,7%) dari 30.673 formulir yang dikirim kepada para pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD. Menurut data KPKPN, anggota MPR Fuad Bawazier tercatat sebagai penyelenggara negara (mantan) yang menerima hibah paling besar dengan nilai Rp41,804 miliar. Disusul mantan Menneg Koperasi dan UKM Zarkasih Nur dengan hibah senilai Rp5,227 miliar, dan Gubernur Jawa Barat R Nuriana dengan hibah senilai Rp2,810 miliar plus US$160.800.

“Eksekutif merupakan penerima hibah terbesar dengan nilai Rp86,961 miliar plus US$871.531. Jumlah ini belum termasuk hibah yang diterima pejabat TNI yang jumlahnya mencapai Rp12,155 miliar plus US$35.200. Anggota-angggota legislatif menempati urutan kedua dengan total hibah sebesar Rp70,058 miliar plus US$38.200. Selanjutnya, pejabat di lingkungan BUMN/BUMD menerima hibah dengan total nilai Rp43,465 miliar plus US$68.064. Disusul pejabat di lingkungan yudikatif yang menerima hibah dengan nilai total sebesar Rp10,466 miliar. Jumlah hibah di lingkungan yudikatif itu belum termasuk yang diterima pejabat di lingkungan Polri yang nilainya mencapai Rp6,254 miliar”. (kutipan selesai).

Penghinaan Kepada Nalar Sehat Banyak Orang

Dari angka-angka yang seperti tercantum di atas, maka jelaslah kiranya bahwa banyak di antara pejabat atau “tokoh-tokoh” negara kita yang tanpa rasa segan sedikit pun berani membohongi banyak orang. Dengan kebohongan itu mereka, pada hakekatnya, juga menghina atau memandang rendah terhadap nalar atau kecerdasan banyak orang. Apakah orang akan mudah mentah-mentah percaya begitu saja ketika membaca bahwa Fuad Bawazir (anggota MPR, tokoh Golkar dan PAN, mantan Dirjen Pajak dan mantan Menteri Keuangan Orde Baru) telah menerima “hibah” sebesar Rp41 miliar. Uang Rp41 miliar tidaklah sedikit! Karena itu, wajar sajalah, kalau banyak orang bertanya-tanya, siapa-siapa sajakah yang sudah begitu “dermawan” atau begitu “baik hati”, sehingga mau menghibahkan uang yang sampai berjumlah Rp41 000 juta itu. Mungkin saja, keluarga (orang tua dan saudara-saudara) Fuad Bawazir memang kaya. Tetapi, apakah “hibah” yang begitu besar jumlahnya itu memang datang dari anggota-anggota keluarganya, adalah soal yang memang patut dipertanyakan. Dan perlu diusut oleh badan-badan yang berwenang.

Bahkan, bukan itu saja. Masih bisa - dan perlu! - dipertanyakan juga apakah Fuad Bawazir ( dan juga pejabat-pejabat penting lainnya) memang betul-betul sudah mengisi formulir LKPN secara sejujur-jujurnya atau tidak. Sebab, berita-berita dari Sumatera Utara menyatakan adanya kecenderungan di kalangan para pejabat di daerah itu untuk menyetorkan “daftar kemiskinan”, padahal yang diminta adalah daftar kekayaan. “Lomba miskin” itu rupanya tidak hanya di Sumatra Utara saja, melainkan juga di banyak daerah di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh yang memperkecil kekayaan mereka, atau menyembunyikan sebagiannya. Pastilah, tidak sedikit juga yang sudah “memindahkan” sebagian kekayaan mereka atas nama orang lain (anak dan saudara), atau mengambil langkah-langkah selingkuh lainnya.

Bahkan, masih ada juga soal lain, yang patut juga dicurigai oleh banyak orang. Yaitu, tentang banyaknya para “tokoh” yang mencantumkan asal-usul kekayaan mereka sebagai hasil dari “warisan”! Dari 2.983 penyelenggara negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD yang telah diumumkan kekayaannya dalam Tambahan Berita Negara, tercatat sebanyak 1.075 pejabat memiliki harta kekayaan yang berasal dari warisan. Jika dijumlahkan, total harta warisan 1.075 pejabat tersebut mencapai Rp504,390 miliar plus US$838.729. Data itu juga menunjukkan 57 pejabat memiliki harta warisan di atas satu miliar rupiah (Media Indonesia, 25/9/2001)

Hujatan Rakyat Terhadap Korupsi Adalah Sah

Tindakan para “tokoh” kita dalam mengisi LKPN merupakan ukuran penting tentang integritas moral mereka. Dan, karena sebagian kecil LKPN yang sudah diumumkan itu menunjukkan hal-hal yang “aneh”, maka tentu saja timbul banyak dugaan di kalangan masyarakat tentang ketidakjujuran angka-angka yang telah dilaporkan oleh para “tokoh” kita itu. Bahkan, banyak yang mengungkapkan sinisme (atau kemarahan, kegeraman, atau hujatan). Kemarahan mereka itu benar. Kegeraman mereka itu ada dasarnya. Dan hujatan mereka juga patut dimengerti. Sebab, rakyat tentu saja mengharapkan para penyelenggara negara kita itu bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, dan bukannya untuk menjadi maling. Para pejabat itu ditugaskan oleh rakyat untuk mengurusi kepentingan negara, dan bukannya untuk merusak atau merugikan negara. Para “tokoh” itu dibayar oleh pajak rakyat, untuk mengabdi kepada kepentingan umum, dan bukannya untuk memperkaya diri di atas kerugian orang banyak. Jadi, kemarahan atau hujatan rakyat terhadap korupsi adalah berdasarkan perasaan keadilan! Artinya, benar dan sah. Mengapa?

Marilah sama-sama kita telaah berita yang dimuat harian Republika (25 September 2001), yang antara lain sebagai berikut : “Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan 9.656 kasus penyimpangan keuangan negara senilai Rp 10,32 triliun oleh Departemen dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) selama tahun 2000/2001. Kepala BPKP, Arie Soelendro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Selasa (25/09/01), mengungkapkan, dari 9.656 kasus itu, tercatat sebanyak 4.966 kasus atau senilai Rp 6,37 triliun belum ditindaklanjuti.

”Menurutnya, temuan-temuan itu selama dua tahun terakhir itu telah disampaikan kepada instansi atau obyek pemeriksaan yang bersangkutan. “Tindak lanjut hasil pemeriksaan merupakan wewenang dan tanggungjawab dari obyek pemeriksaan yang bersangkutan, namun BPKP tetap memantau pelaksanaannya,” katanya. (kutipan selesai). Para pembaca yang budiman, mohon Anda bayangkan. Kasus penyimpangan keuangan negara sebanyak 9.656 bukanlah jumlah yang sedikit! Dan uang yang tersangkut dalam penyimpangan yang berjumlah lebih dari Rp10 000 000 000 000 itu juga bukan angka yang kecil pula!! (harap ingat : triliun adalah dengan 12 nol di belakangnya). Angka-angka itu betul-betul mengagetkan, dan juga menggambarkan - dengan gamblang - betapa parahnya kerusakan mental di kalangan penyelenggara negara kita, sebagai warisan produk Orde Baru. Dan, kerusakan moral di kalangan “atas” inilah yang membikin pencurian dan perampokan (yang disebut korupsi itu) sulit diberantas selama ini.

Gerakan Dari Bawah Sangat Mutlak

Lalu, bagaimana jadinya negeri kita, kalau keadaan yang seperti sekarang ini dibiarkan terus? Di bidang eksekutif banyak pejabat yang korup, di bidang legislatif banyak tokoh yang bermoral rendah, di bidang judikatif banyak penegak hukum yang bahkan melanggar hukum. Perlu sama-sama kita ingat bahwa Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) dan juga laporan BPKP adalah hanya sebagian yang kecil saja dari gambaran penyakit parah yang telah merusak tubuh bangsa. Gambaran yang lebih lengkap tentang kejahatan kalangan “atas” terhadap kepentingan rakyat bisa disaksikan di banyak kantor gubernur, bupati, walikopta, camat, kejaksaan, kepolisian, pengadilan, Kodam, Korem, Kodim, di seluruh Indonesia. Di banyak daerah, hukum sudah tidak dihiraukan lagi pejabat.

Mengingat itu semuanya, maka wajarlah bahwa makin banyak orang yang yakin bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa semata-mata hanya digantungkan kepada “kemauan baik” kalangan “atas” saja. Sebab, pengalaman selama ini sudah menunjukkan bukti-bukti yang sebaliknya! Justru kalangan “atas” -lah yang selalu menghalangi atau memacetkan perjuangan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, amat pentinglah bahwa akhir-akhir ini perhatian masyarakat terhadap masalah KKN muncul lagi, berkat adanya pengumuman Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) dan juga berkat adanya beraneka-ragam pertemuan (seminar dll) atau aksi-aksi berbagai golongan, antara lain golongan mahasiswa dan pemuda. Partisipasi yang menggelora dari masyarakat adalah mutlak bagi terlaksananya pemberantasan korupsi. Bermacam-acam aksi dalam masyarakat perlu digalakkan terus, untuk bisa mendesak lembaga-lembaga pemerintahan (dan badan-badan perwakilan) supaya makin tegas mengambil keputusan tentang pembrantasan korupsi. Di samping itu, keberanian masyarakat untuk mengkritik tingkah-laku para pejabat yang korup juga perlu dikobarkan, dengan beraneka cara dan bentuk.

Gerakan dari bawah, yang luas, untuk memberantas korupsi bisa merupakan sumbangan besar bagi terlaksananya reformasi, yang sekarang sedang macet atau terseot-seot jalannya.

Gerakan Lintas-Mesjid, Lintas-Gereja Dan Lintas-Suku

Gerakan anti-korupsi dari bawah hanya bisa menjadi luas dan kuat, kalau bisa digalang (beramai-ramai) atas dasar lintas-mesjid, lintas-gereja, lintas-kuil atau kelenteng. Gerakan anti-korupsi dari bawah, yang dibangun BERSAMA-SAMA di atas landasan lintas-suku dan lintas-keturunan juga akan menjadi sarana strategis untuk mempersatukan bangsa. Gerakan semacam itulah yang bisa menunjukkan dengan jelas bahwa KORUPSI-lah yang menjadi sasaran utama perjuangan, dan bukannya orang-orang atau golongan-golongan dari agama tertentu atau suku tertentu. Gerakan semacam itulah yang bisa melihat dengan jernih bahwa korupsi sudah bersarang di semua suku dan semua agama. Artinya, korupsi adalah musuh bersama, yang harus dilawan bersama pula.

Namun, pengalaman puluhan tahun sampai sekarang, sudah menunjukkan bahwa koruptor-koruptor kelas kakap ini banyak yang bersembunyi di balik agama-agama tertentu, dan menggunakan partai-partai tertentu, terutama di kalangan Golkar dan golongan-golongan pendukung Orde Baru lainnya. Mereka inilah yang menduduki pos-pos penting dalam berbagai bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif. Oleh karena itulah, kita sudah tidak perlu mempunyai ilusi sedikit pun bahwa korupsi bisa diberantas, tanpa adanya desakan (atau tekanan) yang kuat dan terus-menerus dari opini umum. Banyak uusan negara sudah tidak bisa lagi dipercayakan begitu saja kepada pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga pemerintah. Masyarakat harus mengambil tindakan sendiri, ketika lembaga-lembaga pemerintahan sudah tidak mampu melaksanakan tugas mereka seperti seharusnya. Negara kita tidak boleh terus-terusan dirusak oleh koruptor-koruptor, yang memperkaya diri dengan merampok hasil keringat rakyat banyak.

Situasi di negeri kita memang menyedihkan sekali, sebab banyak orang di kalangan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, juga pengacara) yang malah patut dijadikan pesakitan. Pengadilan sudah dicemoohklan oleh banyak orang, karena sudah terlalu dirusak oleh kekuasaan uang. “Tokoh-tokoh” yang menjadi anggota MPR, DPR, DPRD, Mahkamah Agung, DPA dll juga sudah banyak yang hanya sibuk dengan memikirkan cara-cara bagaimana mencari lobang atau kesempatan untuk “menggaet” segala macam dana, walaupun dengan cara-cara yang tidak pantas.

Ketika perspektif situasi internasional makin tidak jelas sesudah terjadinya peristiwa World Trade Center dan Pentagon, yang sedang disusul oleh persoalan-persoalan tentang Afganistan, maka ada kemungkinan bahwa situasi di Indonesia juga akan mengalami gejolak-gejolak yang besar. Justru dalam situasi yang tidak menentu di Indonesia dewasa inilah, seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi perlu untuk lebih mewaspadai tingkah-laku para “tokoh”. Sebab, dalam situasi yang tidak menentu ini pulalah, maka banyak dana publik bisa diselingkuhkan, karena kontrol juga menjadi lebih sulit lagi. Banyak “tokoh” maupun lembaga sudah - atau sedang - kehilangan legitimasi politik dan legitimasi moral. Etika politik dan hukum sudah tidak diindahkan lagi oleh para penyelenggara negara. Dewan-dewan perwakilan rakyat (baik yang di Pusat maupun di daerah) juga sudah tidak bisa lagi dijadikan saluran aspirasi rakyat banyak.

Krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis keamanan, krisis moral, krisis kepercayaan kepada lembaga-lembaga pemerintahan sedang melanda besar-besaran. Hutang luarnegeri kita makin menumpuk, pajak makin memberatkan beban rakyat, tetapi korupsi kelihatannya masih sulit diberantas. Sekarang, di Indonesia ada lebih dari satu juta orang pengungsi “dalamnegeri”, karena adanya gangguan-gangguan keamanan di berbagai daerah. Pengangguran yang puluhan juta orang membikin frustasinya banyak orang, terutama di kalangan muda. Namun, dalam situasi yang demikian parah itu, banyak kalangan “atas” kita masih terus sibuk mencuri berbagai dana publik (artinya : uang rakyat!). Kesimpangsiuran pelaksanaan politik otonomi daerah telah menjadi jalan atau sarana bagi pembesar-pembesar daerah untuk melaksanakan “desentralisasi korupsi”. Ini terjadi di banyak kantor gubernur maupun bupati dan walikota. Partai-partai sudah mulai mengadakan langkah-langkah untuk mencari dana “haram” guna dipakai untuk Pemilu yang akan datang.

Mengingat itu semua, maka makin jelaslah bahwa peran kontrol masyarakat, peran tekanan kekuatan ekstra-parlementer, dan peran aksi-aksi Ornop/LSM (dari bawah) adalah sangat penting untuk terciptanya good governance di Indonesia. Puluhan tahun selama Orde Baru (dan berikutnya juga!) sudah membuktikan, bahwa rakyat luas tidak ikut diikut-sertakan - secara nyata - dalam urusan-urusan negara. Republik ini bukanlah hanya milik para pejabat dan “tokoh-tokoh” saja. Republik ini adalah milik rakyat. Rakyat behak untuk meneriakkan “stop perampokan harta negara, dan adili para pelakunya”, dengan lantang dan marah. Dan inilah yang perlu disuarakan juga di kampus-kampus universitas, di pesantren-pesantren, di mesjid atau gereja dan kuil. Bersama-sama.