13 September 2001 — 13 menit baca

Penyelenggaraan negara yang baik dan bebas dari KKN

Kelihatannya, soal pengisian formulir LPKN (Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara) yang diedarkan oleh KPKPN (Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara) akan berbuntut panjang dan juga menjadi pembicaraan ramai untuk jangka waktu yang cukup lama. Dilihat dari banyak segi, makin ramai persoalan ini dibicarakan atau diperdebatkan, akan makin baiklah bagi bangsa dan negara kita. Bahkan, karena sangat pentingnya bagi terciptanya good governance (pemerintahan yang baik), maka HARUS-lah masalah ini dijadikan persoalan besar, oleh SELURUH komponen bangsa. Semua golongan, yang menginginkan adanya perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan kita, perlu ambil bagian aktif dalam mendorong – dengan berbagai cara dan bentuk - terlaksananya program ini. Jadi, seperti halnya reformasi, masalah ini adalah perjuangan bersama yang amat mendesak sekali.

Soalnya, LKPN ini adalah salah satu di antara berbagai langkah permulaan penting yang perlu diambil, untuk memerangi KKN di kalangan “atas” yang menyelenggarakan negara kita. Dan seperti sudah sering dibicarakan dalam masyarakat luas selama ini, masalah KKN ini adalah salah satu penyakit parah, yang sudah tumbuh dengan subur sejak zaman pemerintahan Orde Baru. Penyakit parah ini ternyata masih sulit dibrantas sampai sekarang, oleh karena beratnya kerusakan moral yang sudah melanda secara ganas dan juga besar-besaran di kalangan “atas” (baik sipil, militer, maupun “swasta”). Banyak gejala (dan juga bukti-bukti nyata) yang menunjukkan bahwa kalangan “atas” yang sudah rusak akhlaknya itu sedang melakukan “perlawanan” atau berusaha mensabot Undang-undang atau TAP MPR tentang pemberantasan korupsi ini. Marilah sama-sama kita coba telaah berbagai hal yang berikut ini :

Sikap Kalangan Atas Yang Mencurigakan

Menurut keterangan Ketua KPKPN, Jusuf Syakir, hingga 29 Agustus 2001 yang lalu, tingkat pengembalian LKPN masih rendah, yaitu 27% dari 28.613 LKPN yang dikirim kepada para pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD (Media Indonesia, 3 Sept 2001). Angka yang begitu rendah itu sudah menunjukkan betapa besarnya “ke-engganan” para pejabat penting negara kita untuk melaksanakan ketentuan undang-undang yang penting ini. Itu juga menunjukkan, sekaligus, berbagai aspek yang mencurigakan. Mengapa mereka begitu segan, takut, atau bahkan menolak, untuk menyatakan dengan terus-terang atau sejujur-jujurnya kekayaan mereka?

Dari berita-berita yang sudah disiarkan dalam media pers, terungkaplah juga bahwa kalangan “atas” yang paling sedikit mengembalikan LKPN adalah dari kalangan penegak hukum, yaitu para hakim, jaksa, dan pimpinan kepolisian. Juga tokoh-tokoh di kalangan eksekutif lainnya amat sedikit yang telah menyerahkan LKPN mereka. Sebagai contoh : dari 339 bupati/walikota di seluruh Indonesia (hingga permulaan September) barulah 91 bupati dan walikota yang sudah melaporkan kekayaan mereka. Suatu jumlah yang sangat sedikit, karena hanya 27 % yang sudah melaporkan kekayaan mereka, sedangkan mayoritasnya (73%) tidak menggubris undang-undang itu (Media Indonesia, 10 September 2001). Demikian juga dari kalangan pimpinan militer.

Walaupun pastilah angka-angka itu sekarang sudah berobah, namun kiranya bisa diduga, bahwa perobahan itu tidaklah akan amat besar. Sebab, bagi sebagian besar para pejabat, mengisi secara benar dan sejujur-jujurnya LKPN adalah sesuatu yang bisa menimbulkan berbagai akibat yang “tidak enak”. Inilah salah satu di antara begitu banyak akibat kultur Orde Baru. Selama puluhan tahun banyak pejabat di bidang eksekutif, legislatif maupun judikatif telah telah dimudahkan oleh sistem politik dan ekonomi, untuk menggunakan kekuasaan - dan pengaruh - mereka guna melakukan korupsi dan berbagai pelanggaran lainnya (termasuk pelanggaran terhadap hak-hak demokratis dan HAM), tanpa mendapat hukuman apa-apa. Penumpukan kekayaan dengan jalan yang haram telah menjadi pola kehidupan banyak pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

LKPN Adalah Langkah Permulaan Penting

Banyaknya para pejabat yang belum menyetor LKPN adalah satu indikasi betapa rendahnya integritas aparat birokrasi pemerintahan, yang sebagian terbesar adalah produk Orde Baru/Golkar. Aparat birokrasi yang sekarang adalah kelanjutan atau warisan birokrasi suatu rezim yang selama puluhan tahun mengabaikan pemupukan keluhuran budi perkerti, dan meninggalkan visi atau sikap kerakyatan. Yang selalu ditekankan selama puluhan tahun adalah mono-loyalitas kepada Orde Baru, Golkar, Korpri, atau kepada “Bapak pembangunan”. Aparat birokrasi semacam itulah yang telah terbiasa melakukan hal-hal yang merugikan rakyat, dan merupakan benalu-benalu dalam tatanan kenegaraan kita, karena tidak transparan dan tidak memiliki akuntabilitas.

Sekarang ini, mereka itu dalam kebingungan menghadapi peraturan tentang LKPN, karena harus melaporkan secara jujur kekayaan mereka. Terutama, bagi mereka yang benar-benar telah menumpuk kekayaan dengan cara-cara yang tidak sah, atau dengan berbagai jalan yang tidak luhur, maka mengisi LKPN adalah sudah merupakan “hukuman” tersendiri. Namun, apapun problem yang mungkin akan mereka hadapi, tuntutan atau tekanan perlulah dilancarkan, terus-menerus, oleh berbagai golongan dalam masyarakat di seluruh tanah-air supaya akhirnya para pejabat negara (yang penting-penting) itu mengisi secara jujur LKPN.

Sebab, LKPN adalah salah satu di antara langkah-langkah permulaan penting yang harus dilakukan dalam mencegah, mengurangi dan akhirnya memerangi KKN. Negara kita sudah terlalu lama digrogoti secara besar-besaran oleh tikus-tikus rakus, dan polusi mental sudah terlalu mengental di banyak benak para pejabat kalangan “atas” , yang jumlahnya tidak sampai 50 000 orang itu (termasuk di kalangan anggota-anggota DPR kita yang terhormat itu!) . Mereka yang jumlahnya tidak sampai 50 000 orang ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus merusak kepentingan rakyat yang jumlahnya 210 juta ini. Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) telah mencetak sekitar 50 000 formulir isian LKPN. Dari yang sudah diedarkan, barulah sekitar 30 % yang disetorkan kembali. Padahal, batas waktu penyetoran sudah beberapa kali ditunda. Namun, dengan berbagai dalih atau alasan (baik yang tidak masuk akal maupun yang tidak jujur) banyak sekali pejabat “atasan” yang masih belum mau mematuhi undang-undang itu.

Sikap semacam ini adalah penghinaan terhadap opini publik, karena memandang rendah nalar sehat dan hati-nurani rakyat. Arogansi mereka yang sudah keterlaluan inilah yang harus dihancurkan. Mereka yang korup ini tidak boleh dibiarkan terus merajalela.

Keberanian Opini Publik Perlu Dibangkitkan

Terungkapnya kerusakan akhlak pejabat-pejabat “atasan” di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif dengan adanya LKPN ini, memberikan peringatan keras kepada seluruh bangsa bahwa sudah waktunya, sejak sekarang ini, untuk melakukan pembersihan mental secara besar-besaran, serius, dan terus-menerus, di kalangan para penyelenggara negara. Orang-orang “penting” yang jumlahnya tidak sampai 50 000 ini bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya KKN yang sudah berjalan puliuhan tahun. Sekarang makin banyaklah orang yang yakin bahwa penyakit kangker KKN yang sudah merusak otak dan hati bangsa kita selama ini adalah disebabkan oleh sistem politik atau “pola berfikir” Orde Baru, yang sampai sekarang masih menghinggapi banyak penyelenggara negara kita. Jadi, banyak di antara pejabat “atasan” dari generasi yang sekarang ini merupakan produk kultur Orde Baru itu.

Pola berfikir yang mengejar secara membabi-buta kekayaan dengan segala cara (termasuk cara-cara yang hina) sudah menjadi kebiasaan di kalangan “atas” eksekutif, legislatif, judikatif (dan swasta) sehingga banyak di antara mereka menjadikan jabatan bukan tempat untuk mengabdi kepada kepentingan umum, melainkan sebagai tempat untuk mencari lobang-lobang (atau kesempatan) untuk melakukan korupsi. Selama ini sudah sering dibicarakan tentang adanya penyelewengan besar-besaran dalam penyaluran bantuan korban bencana alam. Dana untuk para penampungan pengungsi pun dikorup. Sebagian anggaran untuk melawan kelaparan dan kemiskinan telah berobah menjadi ruah-rumah megah atau mobil-mobil mewah para “tokoh” di berbagai kota dan daerah. Beaya untuk berbagai projek pembangunan menjadi membengkak. Pembelian barang-barang untuk keperluan pemeritahan mengalami “mark up” (harga yang ditinggikan dengan selingkuh). Dana untuk pendidikan, kesehatan dan memajukan desa terbelakang juga banyak yang menguap tidak karuan.

Menurut berita yang disiarkan oleh Astaga.Com (11 September 2001), Menteri Agama Said Agil Munawar akan bertindak tegas, dengan terjadinya korupsi di Departemen Agama sebesar Rp 437 miliar. Karena peristiwa ini 15 orang pejabat di departemen tersebut sudah diperiksa oleh Irjen Depag, Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan BPK. Berita ini mengungkap lebih jelas lagi betapa besar kerusakan akhlak sudah menyerang semua bidang, termasuk di kalangan yang semestinya memberikan contoh tentang keimanan (!). Menurut berita itu sebagian pejabat-pejabat yang diperiksa itu mempunyai uang tabungan di bank sebesar Rp 2 milyar.

Apa yang terjadi di Departemen Agama adalah salah satu contoh kecil saja, di antara begitu banyak kasus-kasus lainnya, yang lebih parah atau lebih besar, yang juga terjadi di departemen-departemen lainnya di Pusat dan di daerah-daerah. Cerita-cerita lainnya, yang terjadi di berbagai kantor gubernur, bupati atau walikota (dan di DPRD!) masih banyak sekali yang belum muncul dalam media massa, walaupun sudah menjadi omongan banyak orang. Pada waktunya, semua itu perlu dibongkar bersama-sama. Keberanian opini publik untuk mengkritik, mengawasi, bahkan menggugat pejabat-pejabat (dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya) yang korup perlulah dibangkitkan oleh semua golongan dalam masyarakat. Hanya dengan tekanan opini publik yang kuatlah, pemerintah (dan DPR atau DPRD) lewat alat-alat penegak hukumnya bisa DIPAKSA untuk bertindak.

Pentingnya Partisipasi Aktif Dari Masyarakat

Bahwa, sekarang ini, kalangan “atas” akan berusaha terus - dan dengan berbagai jalan pula - untuk menghalangi pembrantasan korupsi secara tuntas, adalah wajar dan logis. Sebab, dari daftar kekayaan para pejabat yang sudah diumumkan selama ini saja (yang jumlahnya masih belum banyak itu!) sudah kelihatan bahwa banyak hal yang bisa dipersoalkan atau dipertanyakan. Orang mulai bertanya-tanya mengapa berbagai nama pejabat, yang “resminya” bergaji tidak amat tinggi itu bisa menumpuk kekayaan sampai bermilyar-milyar, atau puluhan milyar. Banyak orang juga bisa curiga apakah jumlah yang dilaporkan itu sudah seluruhnya. Di samping itu, apakah benar bahwa sebagian dari kekayaan yang dilaporkan merupakan “hibah”? (Tentang soal “hibah” ini ada tulisan tersendiri).

Pembangkitan opini yang kritis dari masyarakat, yang bisa disalurkan lewat berbagai saluran, dan dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara, adalah sumbangan penting kepada usaha pemberantasan korupsi. Partisipasi yang aktif dari segala golongan dalam masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi adalah bagian dari perjuangan reformasi, dan juga merupakan pendidikan politik dan moral. Ketika harapan sudah tidak bisa terlalu digantungkan semata-mata kepada kemauan politik (political will) dari kalangan “atas” eksekutif, legislatif dan judikatif, maka tekanan besar-besaran dan kuat dari opini publik demi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) adalah MUTLAK diperlukan.

Sekarang makin jelas bagi kita semua bahwa pemberantasan korupsi ada hubungannya yang erat dengan masalah reformasi besar-besaran di bidang hukum, dan di kalangan peradilan (dan pengadilan). Oleh karena itu, adalah ideal sekali kalau masalah kelanjutan LKPN, atau kegiatan-kegiatan KPKPN, atau Komisi Anti Korupsi yang akan dibentuk pemerintah, juga dijadikan masalah besar oleh kalangan praktisi hukum, oleh Ornop yang bergerak di bidang hukum, dan oleh kalangan pendidikan hukum. Adalah perkembangan yang amat penting, kalau berbagai fakultas hukum dari begitu banyak universitas di negeri kita juga ikut aktif mempersoalkan masalah penting ini. Dalam rangka pembaruan di bidang hukum, diikut-sertakannya fakultas-fakultas hukum (yang mempunyai puluhan ribu mahasiswa) dalam perjuangan ini, akan merupakan investasi sumber daya manusia yang penting bagi bangsa di kemudian hari. Berbagai “laboratorium” soal korupsi bisa diciptakan oleh fakultas-fakultas hukum, dan lahirnya “crash program” atau projek riset soal ini, mungkin perlu difikirkan bersama-sama oleh berbagai fakultas hukum dan Ornop (LSM).

Sabotase Atau Perlawanan Para Pejabat Tinggi

Dari berita-berita yang sudah tersiar selama ini sudah kelihatan bahwa ada perlawanan dari berbagai kalangan “atas” (termasuk berbagai tokoh di DPR) terhadap dilancarkannya LKPN oleh KPKPN. Segala macam dalih sudah dilontarkan untuk mensabot langkah-langkah yang diambil oleh KPKPN. Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 (tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN) bisa akan mandul, atau banci, atau lumpuh, kalau perlawanan dari oknum-okum yang bermental rendah itu tidak dipatahkan secara beramai-ramai. Salah satu di antara banyak contoh adalah apa yang dikemukakan oleh Ketua DPR Akbar Tanjung. Ia tidak sependapat bila Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi yang dilakukan pejabat negara. Ia berpendapat, kalau KPKPN menemukan adanya indikasi korupsi dalam laporan kekayaan para pejabat sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang khusus, dalam hal ini Kejaksaan, sebab mereka yang memiliki kewenangan. “Kalau KPKPN sendiri yang melakukan nanti terlalu jauh”, tandasnya (Kompas, 11 September 2001).

Apakah alasan yang dikemukakan Akbar Tanjung itu mempunyai dasar-dasar dan tujuan yang betul-betul mau menegakkan hukum, adalah soal yang perlu dijadikan perdebatan dan studi oleh khalayak ramai, terutama oleh kalangan yang kiprah di bidang hukum. Tetapi, bahwa Akbar Tanjung berusaha membela para pejabat yang korup adalah sesuatu yang bisa “dimaklumi”. Sebab, di antara banyak pejabat tinggi itu banyak sekali “oknum-oknum” yang selama ini adalah pendukung Golkar (artinya : Orde Baru), baik secara terbuka maupun tertutup. Mereka itu ada yang berfungsi sebagai gubernur, bupati, walikota, dan “penyelenggara negara” di berbagai departemen, jawatan penting atau lembaga-lembaga pemerintahan.

Kelihatannya, masalah KPKPN dan Komisi Anti Korupsi (yang akan dibentuk oleh pemerintah) akan menjadi persoalan yang cukup ramai. Sebab, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, berpendapat bahwa agar efektif dalam menjalankan tugas pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara, KPKPN perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan perkara korupsi. Dengan kewenangan penyidikan, KPKPN dapat memeriksa apakah kekayaan seorang pejabat yang dilaporkan hasil hibah adalah sungguh-sungguh dari hibah atau bukan. (Kompas Cybermedia, 11 September 2001).

Sementara itu, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra yang hadir di Gedung DPR/MPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Anti Korupsi, menegaskan kewenangan KPKPN hanya pada penyelidikan belum pada tingkat penyidikan. Dijelaskannya, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Anti Korupsi yang tengah dibahas, kewenangan untuk melakukan penyidikan berada di tangan Komisi Anti Korupsi. Diharapkan dengan adanya Komisi Anti Korupsi tersebut maka tidak ada tumpang tindih antara tugas dan kewenangan KPKPN dan Komisi tersebut . (Kompas Cybermedia, 11 September 2001).

Pajak Rakyat Dan Utang Ln Jangan Dikorupsi

Mengingat itu semuanya, jelaslah kiranya bahwa tekanan opini publik yang kuat perlu digalang terus oleh berbagai kalangan masyarakat, supaya korupsi di kalangan penyelenggara negara bisa dikurangi dan kemudian diberantas. Adalah hak rakyat untuk menuntut supaya hasil pajak betul-betul digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan negara secara baik, dan bukan untuk dicuri oleh penjahat-penjahat yang duduk dalam pemerintahan dan berbagai lembaga (sipil, militer maupun swasta). Utang luarnegeri kita sudah makin menumpuk, dan tidak adillah bahwa rakyat disuruh ikut memikulnya. Sedangkan selama ini, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian (yang cukup besar) utang itu pun juga telah “dimakan” oleh okum-oknum yang sekarang ini memiliki 4 sampai 7 rumah dan lebih dari 5 sampai 12 kaveling tanah, atau 5 sampai 9 mobil.

Masalah LKPN merupakan langkah permulaan yang amat penting untuk mengangkat masalah korupsi menjadi urusan besar bangsa. Karenanya, kalau ajaran-ajaran agama sudah dikentuti saja oleh para pejabat korup itu, dan ketika rasa cinta kepada kepentingan rakyat sudah dicampakkan, maka bangkitnya rasa brontak masyarakat terhadap korupsi adalah penting sekali. Pemberontakan terhadap korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari usaha pembaruan moral dan juga satu dan senyawa dengan reformasi. Karena, kalau pemberontakan terhadap koruptor itu sudah bisa berkembang di daerah-daerah (umpamanya di Sibolga, Bengkulu, Riau, Pare-pare, Halmahera, Bantul, Madiun, Pekalongan, Serang, dll) maka baru bolehlah kiranya dikatakan bahwa gerakan anti-korupsi sudah mulai mengakar di masyarakat.

Singkatnya, kelakuan para pejabat korup yang berusaha menentang dilaksanakannya Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 (tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN) harus terus-menerus dilawan bersama-sama. Sebab, penegakan hukum dan penegakan perasaan keadilan hanya merupakan omong kosong yang besar saja, kalau para penyelenggara negara dibiarkan terus-menerus bebas melakukan berbagai kejahatan. Penyelenggaraan negara yang baik (good governance) tidak akan pernah bisa dilakukan di negeri kita, kalau sebagian terbesar para pejabatnya adalah orang-orang yang berakhlak rendah.