25 July 2003 — 8 menit baca

Pengkhianatan Partai Golkar

Sebagai lanjutan tulisan “Bangsa kita tidak membutuhkan Golkar”, tulisan kali ini masih merupakan ajakan untuk merenungkan, bersama-sama, berbagai masalah yang berkaitan dengan partai yang pernah berkuasa selama lebih dari 30 tahun di negeri kita ini. Oleh karena banyaknya masalah partai Golkar yang perlu ditelaah bersama, maka menjelang pemilu dan pemilihan presiden yang akan datang, masih banyak yang bisa ditulis, seiring dengan perkembangan situasi.

Salah satu hal yang menarik adalah ucapan Akbar Tanjung di depan pembukaan pendidikan dan pelatihan perkaderan tingkat nasional di Aula DPP Partai Golkar tanggal 18 Juli 2003. Ketika itu ia antara lain mengatakan bahwa “banyak masyarakat sekarang yang merindukan kembali keadaan seperti era Orde Baru lalu, karena di era krisis sekarang ini menghadapi kesengsaraan. Banyak ucapan-ucapan dari masyarakat kita, bahwa mereka ingin kembali kepada iklim dan suasana yang lalu. Keinginan masyarakat seperti sekarang ini sebaiknya segera direspon oleh Partai Golkar. Partai kita hadir dalam iklim yang dihadapi sekarang ini. Bahkan, ada ucapan-ucapan masyarakat, bahwa Partai Golkar sebagai alternatif untuk mengatasi masalah yang kita hadapi sekarang. Terlebih lagi, opini Partai Golkar sekarang ini semakin membaik,” (kutipan dari Sriwijaya Post, 20 Juli 2003)

Ucapan Akbar Tanjung yang demikian ini menarik, karena di dalamnya tercermin sekaligus kesombongan dan sikap tak tahu diri, yang bercampur dengan demagogi yang meneyesatkan dan berbahaya. Jadi, masalah ini adalah serius sekali. Karena, ini berarti bahwa secara implisit, atau tidak langsung (atau samar-samar), Golkar masih membela Orde Baru. Dan, ini adalah wajar, kalau kita melihat sejarah keterkaitan yang erat sekali antara Golkar dengan Orde Baru. Kasarnya, atau polosnya, Orde Baru adalah Golkar (plus TNI-AD beserta pendukung-pendukungnya).

Merindukan Kembali Era Orde Baru

Ucapannya yang terlalu (!) menyesatkan adalah yang menyatakan bahwa “banyak masyarakat sekarang yang merindukan kembali keadaan seperti era Orde Baru lalu, karena di era krisis sekarang ini menghadapi kesengsaraan”. Sebab, Orde Baru sudah secara jelas sekali dinajiskan oleh bangsa kita. Jatuhnya rezim militer atau digulingkannya Suharto oleh gerakan mahasiswa (dan opini internasional) adalah bukti penolakan rakyat kita terhadap Orde Baru. Aspirasi rakyat ini dikuatkan oleh berbagai keputusan MPR. Sejak sebelum tergulingnya kekuasaan Suharto (apalagi sesudahnya) sudah banyak sekali partai politik, LSM atau Ornop, dan berbagai lembaga masyarakat, yang mengutuk Orde Baru. Barangkali, sudah puluhan ribu seminar, konferensi, atau segala macam pertemuan (dan artikel atau tulisan), yang sudah diadakan oleh berbagai kalangan di seluruh Indonesia untuk mempersoalkan kesalahan dan dosa-dosa Orde Baru.

Bahwa ada orang-orang atau kalangan tertentu yang “merindukan kembali keadaan seperti era Orde Baru” itu bisa bisa saja, bahkan bukan hal yang mengherankan. Terutama, orang-orang atau kalangan yang pernah diuntungkan oleh rezim militer Suharto dkk. Mereka ini terdiri dari (kebanyakan!) kalangan “atas”, yang menduduki pos-pos penting dalam lembaga eksekutif, legislatif, judikatif, sektor ekonomi, kebudayaan, dan agama. Dan, seperti kita ketahui, banyak di antara mereka itu yang menjadi anggota Golkar secara aktif.

Sejak tahun 1997 ekonomi Indonesia memang sedang menghadapi krisis, yang disebabkan oleh krisis moneter Asia waktu itu. Tetapi, akibat krisis moneter ini telah dibikin lebih parah lagi oleh buruknya sistem politik dan ekonomi (dan moral !!!) rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Suharto. Sistem politik dan ekonomi yang buruk ini adalah disebabkan buruknya sikap moral para tokoh Orde Baru di berbagai tingkat dan bidang. Peran para tokoh Golkar dalam proses pembusukan di berbagai bidang adalah besar sekali.

Siapa Bikin Kesengsaraan?

Akbar Tanjung boleh-boleh saja bicara tentang kesengsaraan yang dihadapi rakyat dewasa ini. Tetapi, ia tidak boleh lupa (atau pura-pura tidak tahu) bahwa kesengsaraan rakyat Indonesia dewasa ini bukan hanya akibat dari segala macam ketidakberesan selama lima tahun sejak runtuhnya Orde Baru. Bahkan, ia patut mengakui, secara jujur, bahwa sebagian terbesar dari kesengsaraan yang kita saksikan dewasa ini justru disebabkan oleh warisan persoalan-persoalan parah yang ditinggalkan oleh sistem politik dan sistem ekonomi (dan moral !!!) Orde Baru, Jadi, dalam hal ini, Golkar tidak bisa lari begitu saja dari tanggunjawabnya.

Marilah sama-sama kita simak sebagian contoh-contohnya yang paling menonjol, yang antara lain adalah sebagai berikut.

Negara atau bangsa kita dewasa ini mempunyai utang luarnegeri yang besar sekali, yaitu sekitar US$ 130 milyar (menurut Bank Indonesia 16 Juli 2003). Dari utang sebesar ini, yang US$ 75 milyar adalah utang pemerintah, dan US$ 54 milyar adalah utang swasta. Sebagian dari utang pemerintah dan swasta ini adalah akibat dari krisis moneter dalam 1997, tetapi sebagian lainnya lagi adalah akibat dari semrawutnya sistem perbankan dan lemahnya sistem kontrol pemerintah Orde Baru, yang disebabkan oleh merajalelanya KKN.

Seperti kita ketahui, dari utang yang sebesar itu, terutama para konglomerat hitamlah yang mengenyam kenikmatannya, melalui kerjasama atau persekongkolan dengan para pejabat tinggi, yang umumnya kader-kader utama Golkar. Kasus BLBI yang amat ruwet urusannya itu adalah salah satu cermin dari kebobrokan moral di kalangan elite ini, baik di kalangan swasta maunpun di kalangan pejabat pemerintahan.

Pengangguran yang dewasa ini berjumlah 40 juta orang juga tidak hanya akibat dari buruknya pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Megawati yang terpaksa harus menanggulangi begitu banyak kebobrokan dan kerusakan yang dibikin oleh para elite Orde Baru. Begitu besarnya kebobrokan ini sehingga tidak mungkin bagi pemerintahan yang manapun (!) untuk dapat mengatasinya secara cepat. Apalagi, aparat pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Megawati masih banyak dikuasai oleh orang-orang Golkar atau simpatisan Orde Baru lainnya.

Korupsi Dan Pembusukan Moral

Akbar Tanjung juga bicara tentang Golkar sebagai kekuatan alternatif untuk mengatasi berbagai masalah yang kita hadapi sekarang. Kita memang sedang menghadapi berbagai masalah besar yang parah atau gawat. Di antara masalah-masalah yang amat parah itu adalah : korupsi, pembusukan di bidang hukum dan peradilan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Tetapi, melihat hasilnya selama 32 tahun memerintah, siapa yang masih bisa percaya bahwa Golkar bisa merupakan kekuatan politik atau kekuasaan alternatif yang bisa mengatasi berbagai masalah besar itu?

Sebab, justru sistem politik (dan sistem ekonomi) Golkarlah yang merupakan sumber dari segala korupsi, pembusukan di bidang hukum dan peradilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Coba mari sama-sama kita teliti. Dari daftar nama-nama yang dituntut karena korupsi (atau dituduh korupsi) kebanyakan adalah nama-nama orang-orang Golkar (atau bekas Golkar) atau yang bekerjasama dengan orang-orang Golkar. Demikian juga pejabat-pejabat yang suka menyalahgunakan kekuasaan, baik di Pusat maupun di daerah-daerah (propinsi, kabupaten dan kecamatan).

Dewasa ini, pembusukan moral memang terjadi di sebagian terbesar partai politik . Ini bisa kita saksikan dari banyaknya berita-berita dalam pers tentang “desentralisasi korupsi” yang terjadi di banyak sekali daerah di Indonesia dengan direalisasikannya otonomi daerah. Banyak pejabat-pejabat utama pemerintahan daerah yang melakukan berbagai penyelewengan. Demikian juga tidak sedikit anggota DPRD (antara lain: Jawa Barat, Sumatera Barat) yang terlibat dalam skandal keuangan daerah. Tetapi, bagaimanapun juga, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan masih terbanyak dilakukan oleh kalangan Golkar. Pembusukan moral yang terbesar dan terparah adalah justru di kalangan Golkar.

Golkar Adalah Pengkhianat Bangsa

Bagi sejumlah orang , anak judul di atas ini mungkin terdengar terlalu keras, atau merupakan ungkapan yang “kebablasan”. Namun, kalau direnungkan dalam-dalam, dan menyaksikan besarnya kerusakan yang telah dibikin oleh Golkar sebagai pendukung utama rezim militer Orde Baru, dan parahnya dosa-dosa yang telah dibuatnya terhadap negara dan rakyat Indonesia selama lebih dari 32 tahun, maka “perusak Republik Indonesia” adalah penamaan yang sepadan. Bahkan, kalau ditinjau menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan tujuannya, maka sebutan “pengkhianat” pun tidak meleset. Sekadar sebagai bahan untuk renungan bersama dalam menelaah pengkhianatan Golkar, berikut adalah sebagian di antara berbagai dosa-dosa itu (dalam tulisan lainnya akan disusulkan lainnya) :

Pengkhianatan terhadap Pancasila : Para petinggi rezim militer Suharto dkk sejak meletusnya G30S selalu menggembar-gemborkan bahwa mereka menjunjung tinggi-tinggi Panacasila. Tetapi, dalam prakteknya, Pancasila telah dikebiri dan dirusak atau dicekek. Golkar sebagai pendukung utamanya, karenanya, ikut bertanggungjawab atas pengkhianatan terhadap Pancasila ini (ingat, antara lain : pengebirian dan pelecehan Pancasila lewat indoktrinasi P4 yang memuakkan itu ).

Pengkhianatan terhadap Bung Karno : Suharto dkk telah melakukan berbagai pengkhianatan terhadap Bung Karno yang adalah presiden, kepala negara, panglina tertinggi angkatan bersenjata, pemimpin besar revolusi, proklamator kemerdekaan RI (bersama Bung Hatta), pejuang nasional sejak mudanya., dan penggali Pancasila. Golkar ikut menjalankan secara aktif politik de-Sukarnoisasi selama lebih dari 32 tahun. Karenanya, dalam banyak hal, Golkar yang anti-Sukarno berarti juga anti-revolusi.

Pengkhianatan terhadap cita-cita revolusi Agustus 1945 : di antara sejumlah tujuan revolusi Agustus 45 adalah masyarakat adil dan makmur. Tetapi, seperti sudah sama-sama kita saksikan bersama selama ini, jelaslah bahwa dengan sistem politik dan sistem ekonomi Orde Baru, masyarakat yang adil dan makmur tidak akan mungkin dibangun. Masyarakat adil dan makmur tidak mungkin diciptakan oleh orang-orang yang tidak bermoral, yang tidak peduli dengan nasib majoritas rakyat, yang hanya mengutamakan keoentingan sendiri, dan yang korup.

Pemilu Dan Pemilihan Presiden

Menjelang akan diadakannya Pemilu dan Pemilihan Presiden dalam tahun 2004, membicarakan berbagai soal yang berkaitan dengan Golkar adalah sangat penting sekali. Karena, bangsa kita (terutama generasi muda kita) perlu selalu ingat bahwa 32 tahun Orde Baru adalah kurun waktu yang sangat panjang di mana rezim militer telah menjalankan sistem kekuasaan yang menyerupai mafia dan fasisme Hitler. Dan selama itulah partai Golkar menjadi satu dengan rezim militer.

Jadi, memilih presiden RI yang dicalonkan Golkar berarti merindukan kembalinya Orde Baru. Dan, memberikan suara kepada Golkar (dalam pemilu tahun depan) adalah pengkhianatan terhadap reformasi, atau pengkhianatan terhadap usaha bersama untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari pembusukan dan kehancuran. Sebab, Golkar adalah tetap merupakan penghalang utama terhadap dapat dilaksanakannya reformasi secara tuntas.

Harus diusahakan bersama-sama oleh seluruh kekuatan demokratik, dengan berbagai cara dan beraneka-ragam bentuk, supaya partai Golkar bisa dikalahkan, dikucilkan, atau diremukkan, sehingga tidak bisa memainkan kembali peran negatif dalam kehidupan negara dan bangsa seperti yang sudah-sudah. Kerusakan, atrau kebobrokan, atau pembusukan yang dilakukan Golkar sudah terlalu banyak dan terlalu lama selama ini.

Tugas besar ini tidak mudah. Sebab, sesudah dipupuk oleh rezim militer Orde Baru selama lebih dari 32 tahun, Golkar dewasa ini masih mempunyai cukup dana, sumber daya manusia, dan pengalaman, untuk masih terus “bermain cantik” dan menipu banyak orang. Oleh karena itu, Golkar harus terus-menerus diblejeti.