12 Juni 2004 — 9 menit baca

Pemilihan presiden dan masalah korupsi

Sampai sekarang masih sulit sekali diterka-terka siapakah gerangan yang akan menjadi presiden RI, sebagai hasil pemilihan presiden putaran pertama tanggal 5 Juli, atau putaran kedua di bulan September yang akan datang. Banyak polling (jajak pendapat) sudah diadakan dan berbagai analisa atau komentar oleh para pakar dan pengamat juga sudah sering dibuat, tetapi kadang-kadang terasa bahwa semuanya itu lebih banyak membikin kita makin bingung daripada dapat memberikan pencerahan.

Sebab, memang tidak mudah untuk memilih siapakah calon presiden dan wakil presiden yang terbaik untuk memimpin bangsa dan negara RI dalam 5 tahun yang mendatang. Apakah pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, ataukah Wiranto-Salahudin Wahid, atau Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla, atau Amin Rais-Siswono, atau Hamzah Haz-Agung Gumelar ? Sungguh, tidak mudah untuk menjatuhkan pilihan, sebab boleh dikatakan bahwa semuanya mempunyai - banyak sedikitnya - kekurangan, atau kesalahan, atau kelemahan, atau bahkan kebusukan. Karena itu, ada orang yang mengatakan bahwa mereka itu semuanya adalah gombal. Dan itu pulalah sebabnya, sebagian orang sudah menyatakan bahwa mereka nantinya tidak akan milih siapa-siapa, alias golput saja.

Kiranya, kita sudah bisa meramalkan bahwa siapapun yang nanti jadi presiden, bangsa dan negara kita akan masih harus menghadapi banyak sekali persoalan-persoalan besar dan gawat. Sebagian besar kesulitan atau masalah-masalah itu adalah sisa-sisa atau warisan rezim militer Orde Baru, yang sesudah jatuhnya Suharto 6 tahun yang lalu belum bisa diatasi. Banyak “penyakit” atau kebusukan yang berkecamuk di jaman Orde Baru masih terus mewabah selama pemerintahan Habibi, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Berbagai kebiasaan buruk atau praktek busuk rezim militer Suharto selama 32 tahun tidak mudah untuk dihilangkan dalam tempo 6 tahun.

Di antara penyakit parah atau pembusukan yang merajalela selama puluhan tahun itu yalah masalah korupsi. Korupsi telah “membudaya” selama pemerintahan Orde Baru. Kerusakan yang diakibatkan korupsi bukan hanya hilangnya sejumlah besar (besar sekali !!!) kekayaan negara dan rakyat, melainkan juga – dan terutama sekali – rusaknya mental atau akhlak banyak manusia Indonesia. Kerusakan akhlak ini sudah sedemikian parahnya dan sedemikian luasnya, sehingga ada orang yang menamakan bangsa Indonesia sebagai “bangsa yang sakit parah”. (Sungguh, bukan sebutan yang bisa membikin kita semua bangga!).

Seperti yang bisa kita amati lewat berbagai informasi yang selama ini disiarkan oleh media massa, korupsi parah ini terutama sekali dilakukan oleh para “tokoh” atau elite kita di bidang eksekutif, legislatif dan juga judikatif. Bukan itu saja! Korupsi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh partai politik, lembaga-lembaga (swasta dan pemerintah), tokoh-tokoh di kalangan agama (termasuk kyai dan ulama), dan aparat negara (militer, polisi, douane, imigrasi). Yang amat menyedihkan sekali ialah adanya kenyataan bahwa korupsi juga menjalar di kalangan pendidikan dan peradilan (kalangan hakim, jaksa dan pengacara). Karenanya, masalah korupsi adalah salah satu penyakit bangsa yang membikin banyak orang jadi putus asa, atau masa-bodoh, atau ngenes saja, atau marah.

Kiranya, itu pulalah sebabnya mengapa semua pasangan capres dan cawapres terpaksa bicara soal korupsi dan mengobral janji-janji muluk untuk membrantasnya, kalau mereka terpilih nantinya. Tetapi, karena sudah seringnya (dan sejak lama pula) para tokoh berbagai kalangan berbicara tentang seriusnya penyakit korupsi, maka banyak orang menganggap janji-janji itu hanya sebagai omongkosong untuk menipu opini publik dan usaha meraih simpati pemilih saja. Sebab, justru “kebersihan” moral dan keluhuran akhlak sebagian besar para calon dan cawapres sendiri patut diragukan.

Berapa Sih Gaji Mereka ?

Menurut suratkabar Jakarta Post, kekayaan pribadi presiden Megawati adalah sekitar Rp 60 miliar, sedangkan Wakil Presiden Hamzah Haz Rp 19 miliar, dan Jusuf Kalla Rp 122 miliar, Siswono Yudohusodo Rp 75,5 miliar, Amien Rais Rp 991 juta. Masih menurut Jakarta Post itu juga, kekayaan pribadi tokoh-tokoh mantan militer yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden adalah : Wiranto Rp 46 miliar, Susilo Bambang Yudoyono Rp 4,6 miliar dan Agum Gumelar Rp 12 miliar. (Jakarta Post, 10 Juni 2004)

Angka-angka tersebut adalah yang didijadikan laporan resmi. Bisa diduga bahwa, sebenarnya, kekayaan pribadi para tokoh itu tidak semua dilaporkan secara jujur dan lengkap. Tetapi, dari angka-angka ini saja sudah bisa timbul berbagai pertanyaan. Dari mana saja, dan bagaimana pula, uang sebanyak itu mereka dapat? Apakah selalu melalui cara-cara sehat, atau prosedur legal, atau jalan yang sah? Memang, Jusuf Kalla dan Siswono bisa bicara bahwa sebagian besar kekayaan pribadi mereka adalah berkat usaha mereka sebagai “business men”, tetapi yang lain-lain?

Masih menurut Jakarta Post itu juga, gaji pokok seorang presiden adalah Rp 27 juta, wakil presiden Rp 22 juta, dan gaji menteri Rp 20 juta. Sedangkan gaji pokok seorang jenderal adalah kurang dari Rp 2 juta. Jadi, logisnya, kalau berdasarkan gaji saja, tidaklah mungkin mereka bisa mengumpulkan kekayaan yang begitu besar, dan dalam tempo yang relatif begitu singkat.

Korupsi Dari Atas Sampai Ke Bawah

Adalah jelas sekali bahwa kalau korupsi tidak diberantas, maka bangsa dan negara kita akan makin rusak dan membusuk karena penyakit ganas ini. Korupsi telah merusak secara parah akhlak banyak orang di berbagai kalangan masyarakat, tidak hanya di pemerintahan pusat atau Jakarta saja, melainkan juga di daerah-daerah seluruh Indonesia. Contohnya, adalah yang dimuat dalam Jakarta Post (10 Juni 2004), yang antara lain menyebutkan bahwa Kejaksaan Agung sedang menangani 200 perkara korupsi yang dilakukan oleh para anggota DPRD di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Korupsi yang mencakup jumlah sampai trilyunan Rupiah ini terjadi di hampir semua propinsi dan meliputi kabupaten dan kota, dan melibatkan ribuan anggota DPRD. Dalam kebanyakan kasus korupsi ini tersangkut dana publik yang meliputi jumlah antara Rp 1 milliar sampai Rp 20 milliar.

Jurubicara Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman menegaskan bahwa kasus korupsi di DPRD Sumatra Barat dan Cirebon sudah disidangkan di pengadilan, sedangkan yang terjadi DPRD Jogya dan Sumatra Selatan akan menyusul untuk disidangkan. Kebanyakan dari korupsi yang dilakukan oleh para anggota berbagai DPRD ini berkaitan dengan penggunaan anggaran daerah , melalui persekongkolan dengan pemerintahan daerah, antara lain dengan menggelembungkan beaya projek atau pembelian barang. Contoh yang paling menyolok dari “korupsi kolektif” yalah diadilinya 43 dari 55 anggota DPRD Propinsi Sumatra Barat oleh Pengadilan Negeri Padang. Mereka telah dijatuhi (tanggal 17 Mei) hukuman penjara masing-masing 2 tahun 3 bulan, karena tersangkut korupsi dana anggaran propinsi tahun 1992 sebesar Rp 6,2 milliar. Tujuh anggota DPRD dari kalangan militer dan Polri juga telah diajukan di depan pengadilan militer karena kasus korupsi besar-besaran dan kolektif ini. Kejaksaan Cirebon telah menuntut seluruh anggota DPRD Cirebon yang berjumlah 30 orang, karena didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama. Demikian juga di kota Bandar Lampung, Palembang, Payakumbuh, Bandar Aceh, Garut, Cimahi, Surabaia, Pontianak dan banyak tempat lainnya.

Seperti yang bisa kita amati bersama, dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi (suatu hal yang baik), maka banyak terjadi penyelewengan. Korupsi pun sekarang di-“desentralisasi”. Yang juga sangat memprihatinkan ialah bahwa korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat di bidang eksekutif (propinsi, kabupaten sampai kecamatan atau kelurahan), tetapi juga dilakukan oleh mereka yang menamakan diri “wakil rakyat”.

Puncak Kebejatan Moral Dan Politik

Berita tersebut di atas menguak sedikit kebejatan akhlak yang sangat menyedihkan yang sedang melanda tanah air kita. Sebab, dewan perwakilan rakyat (baik pusat maupun daerah), yang kita harapkan bisa betul-betul menjadi “wakil rakyat”, seharusnya bukanlah kumpulan dari oknum-oknum yang bisa secara beramai-ramai bersekongkol mencuri harta publik, atau melakukan penipuan-penipuan lainnya yang merugikan rakyat. Mereka ini kebanyakan adalah anggota-anggota partai politik, yang dapat duduk di badan-badan legislatif, karena adanya pemilu.

Kebejatan moral anggota-anggota “perwakilan rakyat” (baik di Pusat maupun di daerah-daerah) membuktikan, sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, kerusakan atau pembusukan yang diakibatkan oleh rezim militer Orde Baru. Sebab, kebanyakan dari anggota-anggota DPR dan DPRD (yang juga merupakan tokoh-tokoh berbagai partai politik atau golongan) adalah hasil didikan atau produk “kebudayaan” Orde Baru selama 32 tahun. Banyak sekali kebiasaan buruk Orde Baru, terutama korupsi, yang menulari atau mempengaruhi mental “tokoh-tokoh” kita.

Capres Yang Mana Bisa Berantas Korupsi ?

Mengingat parahnya penyakit korupsi yang sudah merajalela sejak lama dan secara luas di negeri kita, kita patut bertanya-tanya apakah korupsi ini masih bisa diberantas ? Dan, bagaimana caranya? Dan apakah presiden terpilih yang akan datang bisa diharapkan untuk memeranginya?

Kita jangan punya ilusi bahwa dari capres dan cawapres yang sebentar lagi (tanggal 5 Juli) akan bertarung dalam pemilihan sebagai presiden bisa diharapkan tindakan tegas dan betul-betul berani. Kita akan menyaksikan sendiri, nantinya, bahwa segala janji yang pernah terdengar muluk-muluk untuk memberantas korupsi akhirnya hanyalah seperti busa air sabun saja. Karena, untuk bisa memberantas korupsi yang sudah mendarah-daging sejak lama itu diperlukan adanya tokoh atau pemimpin yang betul-betul bersih moralnya, berwibawa dalam sikapnya, berani dalam tindakannya, jelas pengabdiannya kepada negara dan rakyat, dan luhur budi-pekertinya.

Kiranya, tokoh atau pemimpin semacam itu tidak bisa (atau sulit) kita temukan pada diri orang-orang yang menjadi pendukung Orde Baru atau simpatisan rezim militer Suharto dkk. Apakah dari Wiranto dapat diharapkan sikap yang anti korupsi ketika dirinya sendiri (dan juga teman-teman terdekatnya) selalu patut dicurigai kebersihan moral dan politiknya? Sebagai tokoh yang dijagokan Golkar, mestinya ia tahu juga bahwa sebagian besar dana untuk kampanye Golkar (dan kampanyenya dia sendiri) adalah hasil dari usaha-usaha yang tidak sah dan halal, atau cara-cara yang tidak legal dan tidak transparan.

Perlu sekali selalu sama-sama kita ingat, bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah sumber kekuatan Orde Baru (artinya Golkar dan sebagian kalangan militer) selama puluhan tahun. Banyak para pendukungnya telah memanfaatkan kesempatan ini. Kita bisa saksikan betapa besar kekayaan para tokoh Orde Baru, yang mempunyai banyak rumah bagus-bagus dan sejumlah besar mobil-mobil mewah. Banyak dari mereka yang sebenarnya adalah maling-maling besar atau penjahat kelas kakap. Dari segi ini pulalah kita juga bisa melihat mengapa Golkar bisa mempunyai dana yang amat besar, yang bisa dipakai untuk macam-macam “operasi” dan rekayasa.

Seperti sudah kita saksikan bersama selama ini, korupsi bisa merusak pemerintahan. Korupsi bisa melumpuhkan peradilan dan hukum. Korupsi bisa menyelewengkan kekuasaan. Korupsi bisa membikin manusia lupa kepada ajaran agama dan perintah Tuhan. Singkatnya, korupsi adalah sumber maksiat dan dosa.

Berdasarkan pengalaman di masa-masa lalu kita tahu bahwa dari tokoh-tokoh pendukung Orde Baru tidak bisa diharapkan hal-hal yang betul-betul baik bagi negara dan rakyat Indonesia, termasuk masalah pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan adalah sesuatu yang inheren (melekat jadi satu) pada Orde Baru (Golkar dan sebagian militer). Karena itu, memberantas korupsi berarti merugikan diri sendiri, atau bunuh diri.

Mengingat itu semua, semua kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi harus siap-siap untuk menghadapi tugas besar sebelum dan sesudah tanggal 5 Juli, yaitu bersama-sama menentang kembalinya Neo-Orde Baru. Militerisme Orde Baru yang sudah berhasil ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dalam tahun 1998 tidak boleh muncul kembali, dalam bentuknya yang bagaimanapun juga.