17 Agustus 1997 — 10 menit baca

Para perintis kemerdekaan menangis dalam liang kuburan mereka

oleh : Rasyidin Sulaiman

(nama samaran A. Umar Said, diambil dari nama Rasyidin Bey dan Zulkifli Sulaiman, dua-duanya anggota Redaksi suratkabar Suara Persatuan di Padang, yang dibunuh oleh militer dalam 1965)

Menyongsong perayaan 17 agustus bersama orde baru-nya pak harto

Tidak lama lagi rakyat Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus. Dalam sejarah bangsa Indonesia, tanggal 17 Agustus adalah peristiwa penting, karena hari itu merupakan lambang pembebasan rakyat Indonesia dari penjajahan asing yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Karena itu, sudah sepantasnyalah bahwa pada kesempatan semacam ini, kita semua mengenang kembali semua orang yang telah ikut berjasa dalam perjuangan jangka-panjang rakyat Indonesia untuk mengantar rakyat Indonesia ke ambang kemerdekaan. Mereka itu telah berjuang di Aceh (antara lain, di bawah pimpinan Cut Nya’Din), di Minangkabau (pembrontakan Silungkang), di Jawa Barat (pembrontakan Banten, Tasikmalaya dll), di Jawa Tengah (Diponegoro dll),di Jawa Timur (Dr Sutomo dll), di Bali, Sulawesi dan Maluku.

Di antara mereka itu banyak yang dibuang, sebelum pecah Perang Dunia ke-II, oleh pemerintahan kolonial Belanda ke Digul, dan dipenjarakan di banyak tempat di seluruh Indonesia oleh PID (dinas rahasia Belanda). Selama pendudukan tentara fasis Jepang, banyak pula yang dibunuh dan disiksa oleh Kenpeitai (polisi rahasia Jepang). Sumbangan mereka, yang berupa jiwa, airmata, derita, harta dan tenaga tidak sedikit. Entah, berapa pula keluarga rakyat di seluruh Indonesia yang telah merelakan putra-putri dan sanak-saudara lainnya, untuk ikut membela revolusi 17 Agustus 45.

Untuk lahirnya Revolusi Agustus 1945, yang melambangkan ke-bhineka-tunggal-ika-an perjuangan rakyat ini, nama Sukarno dan Hatta tidaklah bisa dilupakan. Bung Karno-lah, dengan bantuan fikiran teman-teman beliau, yang telah memupuk dan menggalang persatuan besar dalam perjuangan raksasasa ini. Amat besarlah sumbangan beliau dalam “nation building” dan “character building” bangsa. Beliau pulalah yang menyusun Pancasila, yang sampai sekarang masih tetap dijadikan pedoman negara dan bangsa.

Untuk kesekian kalinya, kita akan merayakan lagi 17 Agustus dibawah “naungan” pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Pak Harto. Untuk kesekian kalinya lagi, kita akan menyaksikan bahwa perayaan 17 Agustus yang akan datang ini akan berlangsung dalam suasana dan isi yang makin jauh dari apa yang telah diperjuangkan oleh para perintis kemerdekaan dan pendahulu-pendahulu republik kita ini.

Presiden Suharto, seperti biasanya, akan mengucapkan “pidato kenegaraan”, yang ditujukan kepada seluruh rakyat. Dan seperti biasanya pula, sudah bisa diterka bahwa dalam pidatonya itu akan dikunyah-kunyah ulang berbagai rumus dan ungkapan yang selama ini sudah biasa kita dengar, antara lain, dan umpamanya : bahwa pembangunan berjalan lancar, bahwa kemajuan ekonomi sudah memakmurkan rakyat, bahwa Pancasila perlu dijaga kemurnian, bahwa pemilu tahun 1997 telah mencerminkan pelaksanaan demokrasi, bahwa stabilitas politik dan ekonomi perlu dilindungi dari gangguan anasir-anasir yang mau mensabot kemajuan bangsa, bahwa Orde Baru perlu dibela.

Dan, seperti biasanya, kita akan merasakan kekosongan “jiwa besar” dan ketiadaan message (pesan) dalam pidatonya, yang bisa menggugah kebanggaan rasa sebagai bangsa. Bisa saja, bahwa pidatonya ini akan disertai seremoni besar-besaran dengan “kemegahan” yang gemebyar, baik di Istana Negara atau di gedung DPR. Tetapi, betapapun bagusnya pidato itu (yang entah disiapkan oleh pembantunya yang mana), tidak bisa dielakkan bagi banyak orang untuk merasakan “sesuatu yang tidak pas” ketika mendengarnya. Sebab, banyak orang mempunyai kesan bahwa Presiden Suharto sudah tidak pantas lagi untuk bicara tentang demokrasi, tentang Pancasila, dan tentang proklamasi 17 Agustus itu sendiri. Hak moral tidaklah dipunyainya.

Ketika memperingati peristiwa yang mulia dan bersejarah seperti hari proklamasi 17 Agustus, banyak orang Indonesia teringat kepada begitu banyak pejuang-pejuang besar dan para pahlawan yang telah mengorbankan fikiran, waktu, tenaga, harta, bahkan juga jiwa mereka untuk kemerdekaan nusa dan bangsa. Pembangunan Budi Oetomo, Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Gerindo, Parindra, Kongres Pemuda tahun 1928, Sumpah Pemuda, adalah langkah-langkah penting menuju kemerdekaan. Sumbangan Haji Oemar Said Tjokoroaminoto, Ki Hadjar Dewantoro, Dr Sam Ratulangi, Mr. Latuharhari, Haji Agus Salim, Dr Wahidin Sudirohusodo, tidaklah bisa dilupakan begitu saja. “Hanya bangsa yang besarlah yang menghargai pahlawan-pahlawannya”. Kalimat ini sering kita dengar dalam pidato-pidato Bung Karno.

Ada sesuatu yang menarik untuk sama-sama kita perhatikan. Yaitu, bahwa Presiden Suharto jarang sekali berbicara tentang perjuangan bangsa untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan Belanda dan Jepang. Kapan sajakah kita pernah mendengar penghargaannya kepada pejuang dan pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ? Selama ini, pidato-pidatonya dalam memperingati 17 Agustus adalah enteng-enteng saja, tidak menggugah patriotisme, nasionalisme, semangat pengabdian kepada rakyat. Dan hal lain yang penting untuk diperhatikan yalah keabsenan nama Sukarno dalam pidato-pidatonya. Bahkan, kata-kata revolusi, yang dulu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, sudah se-olah-olah menjadi tabu bagi Presiden Suharto beserta Orde Barunya.

Amat wajarlah bahwa kalau orang berbicara tentang perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan, terpaksalah orang berbicara tentang perjuangan dan sumbangan Sukarno, yang erat hubungannya dengan revolusi 17 Agustus . Dan inilah dilemma yang terus-menerus dihadapi oleh Presiden Suharto selama 30 tahun Orde Baru. Sebab, makin banyak orang lebih tahu sekarang, bahwa Presiden Sukarno telah digulingkan oleh jenderal Suharto (dan konco-konconya, waktu itu) dengan cara-cara “kudeta konstitusional” dan dengan “Supersemar”. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan rekayasa kudeta konstitusional lewat sidang MPRS (yang sudah disunat atau dikebiri atau “dipangkas” waktu itu), atau yang menyangkut juga pidato Nawaksara, masih mengandung aspek-aspek gelap dan kumuh penggulingan Bung Karno dari kepemimpinan nasional. (Kegelapan dan kekumuhan ini, pada saatnya pasti akan terbongkar juga, akhirnya.)

Dan bukan hanya itu saja ! Supersemar, yang telah direbut oleh jenderal Suharto dengan cara-cara yang menyerupai pembangkangan seorang militer kepada atasannya, telah dipakai untuk mengisolasi dan melakukan “penysiksaan mental” terhadap Bung Karno. Pemimpin bangsa yang telah mengantar rakyat ke pintu kemerdekaan ini telah dijebloskan olehnya dalam tahanan rumah dengan perlakuan yang tidak mencerminkan keluhuran budi dan peradaban yang elementer. Perlakuan jenderal Suharto (dan konco-konconya) kepada Bung Karno adalah cermin yang gamblang tentang sikap dan pandangan seorang yang bernama Suharto ini mengenai perjuangan bangsa, mengenai proklamasi 17 Agustus, mengenai pahlawan-pahlawan bangsa, mengenai jiwa Pancasila. Selain itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada istrinya, Ibu Tien, adalah juga ukuran mengenai jati-diri pemegang Supersemar ini.

Sejumlah orang di Indonesia ahkir-akhir ini menyamakan, secara olok-olok, bahwa jabatan Pak Harto sebagai Presiden adalah ibarat sopir kendaraan bermotor yang tidak mempunyai SIM. Artinya, tanpa mandat yang sejati dari rakyat. Kalaupun ia mempunyai SIM, maka SIM ini adalah palsu, produk yang sudah “ditukangi” oleh MPR-gadungan yang keabsahan-sejatinya juga dipersoalkan oleh banyak orang. Sopir yang tidak memiliki SIM yang tidak sah ini, karena mabuk kekuasaan dan sedang teler oleh hawa-nafsu kekayaan, sudah mengendarai negara ini secara awut-awutan. Bangunan-bangunan moral telah brantakan karena tubrukan-tubrukannya, rambu-rambu hukum telah diterjang se-enaknya saja, dan kedaulatan rakyat dan jiwa Pancasila (yang asli, seperti yang dikehendaki Bung Karno) telah digilasnya.

Oleh karena itu, sebenarnya, Pak Harto tidak berhak untuk berbicara tentang proklamasi 17 Agustus, tentang Pancasila, tentang kedaulatan rakyat, apalagi atas nama rakyat. Kita bisa mempertanyakan tentang sumbangannya yang sejati dalam revolusi Agustus. Selain itu, walaupun “serangan Jogja” yang sudah diuar-uarkan secara besar-besaran (antara lain dengan film “6 jam di Jogya”) banyak orang yang meragukan tentang berbagai kebenaran dari cerita ini. Bahkan, sebagian sesama Angkatan 45 dalam ABRI dan Golkar, yang kebanyakan sudah pensiunan, telah mengatakan dengan tegas bahwa ia sudah mengkhianati jiwa proklamasi 17 Agustus. Sebagian lagi lainnya, karena memang pernah kebagian “rezeki” dan sedang menarik keuntungan dari sistem politik Orde Baru, akan tetap (walaupun tanpa keyakinan hati nurani, dan hanya lamis bibir saja) membela kedudukan dan “kehormatan” Pak Harto.

Namun, mereka yang mengenalnya dari dekat dan menyaksikan apa yang telah dilakukannya sejak ia menjadi serdadu KNIL, terus menjadi Peta, kemudian melakukan barter terlarang (penyeludunpan) ketika masih menjabat perwira di Jawa Tengah, dan mereka yang meneliti perbuatan-perbuatannya selama 65-66-67-68-69-70-71-72-73 dan selama menjadi presiden selama 30 tahun, maka akan meyakinilah bahwa jati-diri Presiden Suharto ini, sebenarnya hanyalah menyerupai sosok moral yang berformat ““katé” (untuk tidak menggunakan istilah format “kerdil”) sebagai pimpinan nasional bangsa.

Kepala Negara yang tidak ber-SIM dan tidak mampu “mengendalikan diri” inilah yang selama 30 tahun ini, secara bertahap dan pelan-pelan, dan dengan menggunakan (termasuk menyalahgunakan) berbagai cara yang “sah” dan betul-betul tidak sah, untuk memperkaya dirinya pribadi dan seluruh kerabatnya. Pendapat umum di Indonesia sudah mengetahui bahwa Tutut, Bambang, Tommy, Sigit, Titik, Mamik memiliki perusahaan-perusahaan yang banyak. Tetapi, tidak banyak orang yang tahu secara pasti, berapakah sebenarnya kekayaan keluarga Pak Harto ini, baik yang kelihatan maupun yang tersembunyi di bank-bank dalamnegeri dan di luarnegeri. Namun, banyak orang yang sudah menyimpulkan bahwa kekayaan yang begitu besar itu, yang telah bisa dihimpun dalam waktu yang begitu singkat, adalah hasil dari pemikiran “oknum-oknum” yang tidak berbudi luhur.

Karena itu, adalah wajar, kalau banyak orang di Indonesia tidak akan gampang untuk mengangguk-angguk dengan rasa hormat dan rasa bangga, kalau Pak Harto nanti berpidato untuk memperingati hari proklamasi 17 Agustus. Sebab, ketika ia berbicara tentang kesaktian Pancasila, banyak orang bisa bertanya-tanya apakah ia, sebenarnya, secara hakiki, mengerti dan menjiwai arti Pancasila, kalau mengingat apa yang dilakukannya dalam tahun 1965 sampai tahun 1973, yaitu antara lain : beratus ribu jiwa telah dibunuh secara besar-besaran, ratusan ribu orang dipenjarakan tanpa proses, berpuluh-puluh partai telah dikubur untuk dijelmakan menjadi PPP dan PDI. Semua orang yang kritis terhadap Orde Baru di-“bahaya-latenkan”, perintis-perintis kemerdekaan diisolasi atau disisihkan. Banyak kawan sebarisan Orde Baru-nya telah menjadi korban “opsus” (Malari dll).

Selama 30 tahun ia berkuasa, dan dengan menegakkan Orde Baru-nya, Presiden Suharto bertanggungjawab secara langsung dan secara pribadi, terhadap : macetnya demokrasi, lumpuhnya DPR, kelemahan hukum, kebobrokan moral dalam birokrasi, kerusakan mental Abri. Di samping itu, ia juga merupakan penyebab utama dari merosotnya patriotisme, melunturnya nasionalisme, menghilangnya sifat gotong-royong dan semangat kerakyatan, merajalelanya korupsi dan kolusi, menyuburnya neo-feodalisme, meratanya kebudayaan munafik. Presiden Suharto jugalah yang menjadikan nama Indonesia begitu buruk di luarnegeri. Citra Indonesia sebagai negara di mana HAM di-injak-injak dewasa ini sering terpampang dalam halaman suratkabar dan majalah di banyak negeri. Layar televisi di banyak negeri juga sudah cukup sering menayangkan segi-segi gelap dan kumuh kehidupan politik di negeri kita ini.

Karena politik Presiden Suharto ini jugalah maka mesin-raksasa-kekuasaan Orde Baru masih bisa terus melawan arus tuntutan banyak golongan dalam masyarakat Indonesia akan adanya perobahan sistem politik dan pembangunan kembali moral bangsa. Selama 30 tahun ini, benih-benih bagus bagi pertumbuhan generasi kini dan generasi kemudian telah di-depolitisasikan dan di”karbol” (antiseptik). Orde Baru di bawah Presiden Suharto mengutamakan pembibitan “bongsai-bongsai” politik dan peternakan kader-kader kerbau-politik à la Golkar dan Korpri (dan juga Abri). Selama Orde Baru inilah benalu dan parasit hidup subur, dalam budaya kemunafikan yang makin membusukkan tubuh bangsa.

Para perintis kemerdekaan yang terdiri dari berbagai sukubangsa, dan yang telah berjuang begitu lama, pastilah akan marah (sambil menangis, barangkali) seandainya mereka bangun dari kubur mereka dan melihat hasil revolusi 17 Agustus telah menjadi demikian rusaknya seperti dewasa ini. Tujuan yang mulia revolusi 17 Agustus telah dikentuti. Jiwa proklamasi 17 Agustus telah dibunuh. Amanat para perintis kemerdekaan dan pejuang-pejuang revolusi telah dikhianati. Jasa-jasa Bung Karno telah dibuang ke keranjang sampah. Jenderal Suharto telah merampok hasil-hasil revolusi, yang sudah diperjuangkan oleh rakyat.

Karena itu, adalah wajar, dan merupakan hak mereka pula, kalau ada orang-orang Indonesia yang berteriak (walaupun dalam hati saja) : “Suharto, anda tidak pantas berbicara tentang Pancasila, dan anda tidak patut berceloteh tentang revolusi 17 Agustus, dan anda sama sekali tidak berhak untuk bertindak atas nama rakyat. Republik ini adalah milik rakyat, dan bukan kerajaan anda !”