03 Februari 2002 — 12 menit baca

Musibah banjir, utang negara dan solidaritas

Musibah banjir yang kali ini melanda berbagai daerah di Indonesia, khususnya yang di daerah Jakarta Raya dan sekitarnya, menggugah hati dan menggoncangkan fikiran banyak orang. Bukan saja karena musibah besar ini telah mendatangkan penderitaan - dalam berbagai bentuk dan ukuran - bagi jutaan orang, melainkan juga memunculkan beraneka pertanyaan dan bahan renungan. Apakah musibah ini memang takdir Tuhan, ataukah ini hanyalah akibat kesalahan manusia juga? Atau, apakah kita semua harus menerima dengan tawakal dan sabar nasib sedih yang menimpa begitu banyak orang, ataukah harus ikut berbuat sesuatu untuk mengatasinya? Lalu, kalau sudah begitu, apa sajakah kekurangan (atau kesalahan) yang telah terjadi, dan siapa pula yang harus bertanggungjawab?

Justru soal-soal yang berkaitan dengan itu semualah yang selama berhari-hari dan terus-menerus bisa kita baca dalam pers Indonesia, dan kita lihat atau dengar dari televisi dan radio. Agaknya, juga itu semualah yang dibicarakan oleh begitu banyak orang yang rumahnya terendam air (atau terpaksa ditinggalkan), dan oleh orang-orang yang bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi di emperan toko-toko, di mesjid-mesjid, di gedung-gedung sekolah, di pinggiran jalan kereta-api. Mungkin, ketika sejumlah besar orang sudah berhari-hari tidak bisa ganti pakaian dalam keadaan kelaparan dan kedinginan, dan ketika banyak anak-anak yang sudah kena penyakit gatal-gatal, diarhee, sesak napas dsb, banyak juga yang mempertanyakan tentang efisiensi kerja pemerintah dan kebenaran sistem politik, ekonomi, sosial yang dianut oleh negeri kita dewasa ini.

Walaupun banjir sudah sering terjadi, tetapi yang kali ini pastilah akan menimbulkan dampak yang lebih besar dari pada yang sudah-sudah, di berbagai bidang. Kali ini, begitu besarnya banjir sehingga banyak daerah di pusat kota Jakarta juga terendam air. Di samping itu, banyak sekali penduduk di daerah di Bekasi, Tangerang dan Jakarta Selatan yang berdekatan dengan< kabupaten Bogor juga harus menderita musibah ini. Banyak daerah yang selama ini tidak pernah tersentuh banjir secara serius (lapangan Monas, jalan Thamrin, jalan Gajahmada dan Hayamwuruk, jalan Gunung Sahari) juga dilanda banjir. Bahkan, untuk pertama kalinya sejak Proklamasi kemerdekaan Republik< kita, banjir pun sudah menyerang halaman Istana Negara. Singkatnya, banjir telah menyerang juga “ulu hati” pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Hikmah di balik musibah besar

Banjir besar kali ini telah mendatangkan kesengsaraan bagi banyak sekali penduduk. Siaran siaran radio dan televisi telah menyajikan cerita-cerita yang mengharukan dan menyedihkan tentang penderitaan mereka itu. (Ketika tulisan ini dibuat tanggal 3 Februari pagi, radio Elshinta menyiarkan reportase tentang penduduk di Kelapagading, yang sudah seminggu terkurung dalam rumah yang digenangi air, sehingga tidak bisa kemana-mana dan mendapat kesulitan untuk mencari makan). Masih belum bisa diperkirakan berapa besar kerugian material (dan jiwa) yang dialami oleh penduduk dan perusahaan-perusahaan, dan juga oleh negara. Sebab banjir masih berlangsung terus di berbagai wilayah, dan bahaya hujan juga masih mengancam terus sampai akhir Maret yad. (Hingga Minggu 3/2/2002, sedikitnya 21 orang tewas dan 381.300 orang terpaksa mengungsi. Hal itu disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, dalam keterangan persnya.)

Namun, bencana besar yang menimpa daerah Jakarta dan sekitarnya kali ini juga bisa membawa berbagai hikmah. Karena terjadi di Jakarta, maka musibah ini bisa diharapkan menjadi “pecut” atau “pukulan” untuk membangunkan kalangan atas dari tidur dan mimpi mereka, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas realitas kongrit bahwa banyak hal yang harus diperbaiki, dirobah, atau bahkan dibongkar sama sekali dalam cara menyelenggarakan negara. Hikmah lainnya adalah b ahwa banjir ini bisa merupakan pelajaran bagi masyarakat, sehingga mereka bisa menjadi lebih bersikap kritis terhadap langkah-langkah atau politik berbagai institusi pemerintahan, DPR (atau DPRD), dan juga kalangan swasta. Di samping itu, banjir besar ini juga telah melahirkan aspek positif, yang berbentuk berbagai aksi solidaritas yang lahir secara spontan di kalangan masyarakat sendiri. Aksi solidaritas yang berkembang di kalangan penduduk ini adalah segi yang indah di tengah-tengah penderitaan rakyat korban banjir.

Selama bencana banjir, berbagai stasion radio ( antara lain : Elshinta, radio Delta), televisi dan media cetak memainkan peran positif dalam menebarkan benih-benih solidaritas, dengan mengadakan program-program yang menyerukan bantuan kepada korban banjir. Seruan tentang bantuan yang terus-menerus dikumandangkan dan disertai dengan reportase tentang kondisi para korban merupakan pendidikan solidaritas yang sangat menyentuh hati banyak orang. Demikian juga dengan banyaknya posko-posko yang dibentuk oleh LSM, gerakan pemuda/mahasiswa, dan berbagai golongan dalam masyarakat, yang membantu para korban dengan beraneka-ragam aksi, umpamanya pembagian sembako, pakaian, obat-obatan atau berbagai ragam bantuan lainnya.

Hikmah lainnya adalah bahwa dalam menghadapi musibah besar ini, makin< kelihatan lebih jelas lagi bagi banyak orang, siapa-siapa saja atau golongan yang mana saja, yang betul-betul bersikap peka terhadap kepentingan rakyat, dan mana pula yang tidak peduli atau bahkan terus membuta-tuli saja terhadap penderitaan rakyat. Oleh karenanya, sejak sekarang sudah dapat diperkirakan bahwa banjir besar di Jakarta dan sekitarnya ini masih akan berbuntut panjang. Kalau pun banjir sudah surut, banyak persoalan masih bisa timbul. Sebab, justru waktu itulah datang saatnya bagi berbagai fihak (kalangan< pemerintah maupun masyarakat) untuk menarik pelajaran dari pengalaman yang sangat menyedihkan banyak orang ini, dan mencari solusi supaya musibah semacam itu tidak terulang lagi di masa datang.

Faktor korupsi di belakang banjir

Banjir besar di berbagai wilayah Jabotabek kali ini telah mulai memunculkan suara-suara keras tentang politik pemerintahan di masa lalu yang berkaitan dengan pengelolaan tanah atau tata-ruang. Berbagai kalangan menghubungkan masalah banjir ini dengan adanya pembangunan rumah-rumah mewah di daerah-daerah Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur), yang telah merusak kawasan yang luas sekali yang seharusnya dipertahankan sebagai daerah resapan air. Dengan banyaknya kawasan real-estate yang diselenggarakan oleh para pengembang (developper), maka terjadi banyak juga pelanggaran-pelanggaran. Berbagai projek real-estate yang dibangun di masa lalu merupakan projek “kongkalikong” antara para pengembang (atau para konglomerat) dengan para pejabat di banyak instansi yang berhak mengeluarkan berbagai ijin.

Menurut artikel yang disiarkan oleh Mandiri (1 Februari, 2002), “Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya selama dua pekan terakhir ini disebabkan tidak hanya oleh tingginya curah hujan tetapi akibat sejumlah kawasan hijau di jalur Bogor-Puncak dan Cianjur mengalami kerusakan. Pemerintah pusat rupanya harus melakukan peninjauan ulang terhadap perizinan sejumlah vila dan real estate yang berdiri di atas lahan hijau di kawasan Bopunjur,” kata anggota DPR asal Cianjur H Dadang Rukmana Mulya kepada pers di Cianjur, Jumat (1/2).

Menurut Dadang, padatnya perumahan mewah di sejumlah lahan yang dianggap kritis selama ini telah menyebabkan air hujan yang terus mengguyur kawasan Bopunjur tidak tertampung dan terus mengalir hingga daerah sekitarnya. Puluhan hektar hutan yang dalam sepuluh tahun belakangan ini menjadi paru-paru Ibu Kota, kini tinggal kenangan karena banyak yang telah berubah menjadi lahan beton. “Anehnya meskipun ada Keppres dan ketentuan lain dari pemerintah tentang pembangunan di kawasan tersebut, para investor tetap melirik kawasan Bopunjur sebagai lahan bisnis untuk membangun vila mewah bagi kalangan berduit,” kata Dadang anggota F-PDI Perjuangan.

Secara terpisah, anggota Komisi D DPRD Kabupaten Cianjur, Acep Hidayat JD, mengemukakan Pemkab Cianjur kini memerlukan Perda baru tentang pembongkaran paksa bagi sejumlah bangunan tak berizin yang berdiri di kawasan hijau, terutama beberapa bangunan villa dan real estate yang telah menyalahi Kepres 114/1999 tentang Pengendalian Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Sedikitnya 54 real estate dan perumahan mewah di kawasan Puncak Cianjur ternyata berada pada lahan hijau sehingga telah menyalahi sejumlah peraturan termasuk Kepres Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (kutipan dari Mandiri selesai).

Apa yang dilakukan oleh para pengembang di daerah Bogor-Puncak-Cianjur itu hanyalah salah satu contoh di antara banyak praktek para pengembang di berbagai daerah lainnya di Indonesia, termasuk yang di daerah Jabotabek. Dalam banyak praktek para pengembang, “uang semir” (suapan) bagi para pejabat merupakan faktor yang memainkan peran penting. Artinya, ijin diperjualbelikan, dan pelanggaran dibiarkan saja oleh para pejabat, asal KUHP (kasih uang habis perkara).

Awasi dana-dana yang besar itu

Menurut Detikcom (3 Februari), “pemerintahan propinsi DKI Jakarta telah mengajukan anggaran untuk rehabilitasi rehabilitasi pasca banjir ke DPRD I DKI sebanyak Rp 550 miliar. Dana tersebut merupakan dana cadangan dari sisa APBD 2001 yang telah didepositokan. Pemda juga telah membentuk Tim Rehabilitasi yang dikirimkan ke 5 wilayah DKI yang terkena banjir”. Adalah kewajiban masyarakat, untuk ikut mengawasi secara cermat penggunaan dana sebesar itu. Sebab, berdasarkan pengalaman selama ini (yang sudah berjalan selama puluhan tahun dan yang terjadi juga di banyak tempat lainnya), banyak dana untuk pembangunan atau rehabilitasi atau bantuan darurat dll dstnya, menyasar ke kantong-kantong yang tidak berhak. Penjarahan kolektif secara bersekongkol ramai-ramai antara pejabat, kontraktor, pimpinan berbagai bank, anggota-anggota DPRD atau “tokoh-tokoh” masyarakat lainnya, sudah banyak terjadi.

Utang negara kita (baik utang dalamnegeri maupun luarnegeri) sudah amat besar, yaitu sekitar Rp 1400 trilyun, atau 4 kali APBN kita. Artinya, sebenarnya kas negara kita sudah kosong. Defisit anggaran belanja negara kita juga diperkirakan akan besar sekali untuk tahun 2002 ini. Dalam situasi yang demikian ini, kalau masih ada oknum-oknum yang masih berani main korupsi dengan anggaran Rp 550 milyar (untuk rehabilitasi pasca banjir Jakarta) maka patutlah dihukum yang seberat-beratnya. Ketika jutaan orang menderita (dalam berbagai bentuk dan kadar) karena musibah banjir, maka korupsi adalah dosa yang amat besar. Untuk mencegah praktek-praktek para maling besar itu, maka peran pengawasan berbagai Ornop (LSM, gerakan mahasiswa, lembaga-lembaga studi kemasyarakatan dll) amatlah penting. Sebab, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa banyak projek-projek “pembangunan” ternyata telah menjadi proyek “penghancuran”, baik di bidang ekologi, ekonomi, finansial, maupun (dan ini yang juga parah!) moral. Contohnya adalah di sektor industri real estate.

Menurut kantor berita Antara ada 330 pengembang (developer) yang mempunyai utang kepada BPPN, yang seluruhnya bernilai Rp 9,4 trilyun ( dengan angka lain Rp 9 400 000 000 000). Proses restrukturasi utang para pengembang ini sekarang tidak jelas. Ketidakpastian penyelesaian proses restrukturisasi tersebut merugikan negara karena potensi penerimaan negara menjadi terhambat. (Media Indonesia, 21 Januari 2002). Uang Rp 9,4 trilyun ini adalah besar sekali! Dan, selama Orde Baru, uang inilah yang sebagian juga dipakai untuk mendirikan vila-vila, rumah-rumah indah, mall bagi mereka yang berduit. Di masa lalu terdengar banyak cerita tentang adanya penggusuran tanah-tanah atau pemindahan penduduk (dengan intimidasi atau imbalan yang murah). Karena adanya krisis moneter, sebagian dari projek itu menjadi berantakan. Sekarang, negara (artinya rakyat kita) terpaksa menanggung akibat ulah para konglomerat (dan pejabat) itu.

Banjir juga punya aspek politik

Kita akan sama-sama saksikan, tidak lama lagi, bahwa masalah banjir akan menimbulkan perdebatan yang cukup ramai. Sekarang saja sudah ada pernyataan yang macam-macam. Umpamanya apa yang dikatakan oleh Akbar Tanjung, yang sebagai berikut : “ Masyarakat dan pemerintah hendaknya jangan saling menyalahkan menyangkut soal musibah banjir yang melanda Jakarta dan berbagai daerah lain di Tanah Air akhir-akhir ini. Bencana banjir tersebut hendaknya disadari sebagai cobaan dari Tuhan, dan tidak perlu kita saling menyalahkan. Yang terpenting dilakukan adalah langkah-langkah nyata untuk membantu< mengurangi beban penderitaan para korban yang tertimpa musibah banjir itu,’’ katanya, di Kisaran, Sumatera Utara (Republika, 3 Februari 2002). Rupanya, Akbar Tanjung tidak suka kalau kita semua mempersoalkan mengapa sampai terjadi banjir, kecuali sebagai cobaan dari Tuhan! Sebagai politikus yang kawakan, sikapnya ini memang mengherankan. Coba, mari kita bandingkan dengan< yang berikut ini.

“Banjir yang terjadi Jakarta merupakan akibat kesalahan-kesalahan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat. Penilaian tersebut dikemukakan rohaniawan (katolik. Pen) Mudji Soetrisno dan Rektor IAIN Azyumardi Azra yang dihubungi Tempo News Room Minggu (3/2) sore melalui telepon. Mudji Soetrisno menilai, banjir di Jakarta saat ini merupakan dosa yang sangat mahal yang harus dibayar akibat kesalahan kebijakan Pemda DKI. Pasalnya, pihak Pemda telah memperjualbelikan daerah-daerah resapan air untuk dijadikan mall atau tempat hunian. Selain itu, kebijakan perencanaan tata kota juga tidak jelas. Dana-dana yang seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan banjir pun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. “Kesalahan masyarakat adalah tidak memiliki kesadaran ekologi yang baik dengan membuang sampah sembarangan dan tidak mengontrol penggunaan dana-dana yang diperuntukan untuk penanggulangan banjir,” katanya. Di sisi lain, Muji menilai bahwa apa yang terjadi di Jakarta ini merupakan wajah mini Indonesia saat ini dimana terjadi jurang masyrakat miskin dengan elit yang tuli dan tidak peka. Mudji juga menyorot kurangnya perhatian DPRD. “Mereka terkesan diam dalam menanggapi apa yang terjadi di Jakarta,” katanya.

Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa dari sudut pandang agama, apa< yang terjadi di Jakarta merupakan musibah. Akan tetapi, menurut Azyumardi, “Musibah berlaku sesuai dengan hukum alam.” Hukum alam yang dimaksudkan Azyumardi adalah bahwa perencanaan lingkungan hidup dan tata kota selama ini keliru. Selain itu, gaya hidup masyarakat juga mendukungnya dengan cara membuang sampah sembarangan dan mendirikan pemukiman-pemukiman liar. “Hal inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya musibah,” katanya. (Tempo Interaktif, 3 Februari 2002).

Kiranya, akan makin jelas bagi banyak orang, nantinya, bahwa masalah banjir di Jakarta (seperti halnya banjir-banjir lainnya di donesia) tidaklah cukup hanya dihadapi dengan sikap “sebagai cobaan dari Tuhan” saja, tanpa berbuat sesuatu. Akan makin jelas bahwa banjir di Jakarta ada sangkut-pautnya dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, dengan penegakan hukum, dengan pemberantasan korupsi, dengan kesedaran bernegara dan bermasyarakat, dengan perencanaan tata-ruang, dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Singkatnya, ada hubungannya dengan masalah politik, ekonomi, sosial, dan moral.

Dari segi inilah kelihatan betapa pentingnya aksi-aksi berbagai golongan dalam masyarakat untuk menjadikan masalah banjir di Jakarta juga sebagai bagian dari pendidikan politik, dan sebagai bagian dari perjuangan untuk meneruskan reformasi. Gagasan tentang kemungkinan dilancarkannya class< action (gugatan kelompok) terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah oleh para korban banjir adalah salah satu di antara aksi-aksi itu. “Pengajuan gugatan class action itu dilandaskan pada kerugian publik dan adanya kebijakan keliru. Pemerintah bisa dipandang lalai melaksanakan tugas menciptakan kesejahteraan publik dan alpa menyiapkan program menghadapi ancaman banjir yang merupakan persoalan rutin. Hal tersebut dikemukakan praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis, ahli hukum lingkungan Mas Achmad Santosa, dan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Hendardi” (Kompas, 1 Februari 2002).

Banjir di Jakarta telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang, dan juga menimbulkan korban benda dan jiwa yang besar. Tetapi, musibah ini juga mempunyai hikmah bagi perjuangan kita bersama untuk membangun “clean and good government” (pemerintahan yang bersih dan baik). Sebab, banjir ini juga memungkinkan terbukanya sebagian borok-borok parah, yang selama ini telah membikin sakitnya tubuh bangsa.