11 Agustus 2003 — 9 menit baca

Merayakan 17 Agustus tanpa jiwa Orde Baru

Tidak lama lagi bangsa kita akan merayakan 17 Agustus. Seperti banyak orang Indonesia lainnya, maka orang bisa bertanya-tanya apa arti 17 Agustus bagi diri sendiri, bagi keluarganya, bagi golongannya, bagi sukunya, dan bagi rakyat semuanya. Dan, pertanyaan lainnya yang penting lagi yalah : apa arti 17 Agustus bagi kelanjutan kehidupan bangsa dan negara kita di kemudian hari?

Tulisan kali ini merupakan curahan hati yang mengumbar uneg-uneg seorang yang pernah ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya bersama-sama 12 pemuda pelajar SMP Kediri dan SGL Blitar. (Cerita yang lebih lengkap dapat dibaca dalam « Perjalanan Hidup Saya » halaman 24-26 dalam personal website A. Umar Said ). Sebab, seperti bagi banyak orang Indonesia lainnya, 17 Agustus adalah bagi penulis hari yang penting , yang sarat dengan emosi dan kenang-kenangan, juga renungan, dan harapan.

Seperti yang sudah-sudah sejak 1965, setiap 17 Agustus telah penulis rayakan di luarnegeri, jauh dari tanah-air. Karena peristiwa 1965, penulis sering merayakannya sendirian dalam hati, atau bersama-sama sejumlah kecil teman-teman seperantauan. Kali ini, 17 Agustus akan kita lalui lagi di Paris, ketika umur penulis sudah mendekati 75 tahun.

Bukan Negara Begini Ini Yang Kita Inginkan

Mengingat apa yang sudah terjadi sejak 1965, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa para perintis kemerdekaan yang terdiri dari berbagaii suku, ras, agama dan keyakinan politik sedang terus-menerus menangis dalam makam mereka, sambil berteriak lantang : « Bukan negara yang begini ini yang telah kami perjuangkan dengan susah payah ! ». Mereka berhak menghujat dan patut pula mengeluarkan kritik yang setajam-tajamnya terhadap para penyelenggara kekuasaan negara, dan juga kepada tokoh-tokoh berbagai kalangan dan golongan dalam masyarakat.

Sebab, kalau kita telaah sejarah perjuangan bangsa kita, maka nampak jelaslah bahwa Republik Indonesia yang berumur 58 tahun ini memang sedang mengalami pergolakan yang besar. Barangkali tidak banyak orang yang memperhatikan bahwa lebih dari separoh umur Republik Indonesia adalah di bawah cengkeraman rezim militer Orde Baru, yaitu 32 tahun. Dari tahun 1945 sampai 1965, artinya selama 20 tahun, pemerintahan Republik Indonesia telah silih berganti berkali-kali dari tangan berbagai partai politik. Hanya sejak 1959 sampai 1965 (artinya selama 6 tahun) pemerintahan telah benar-benar ada di bawah kontrol langsung Presiden Sukarno.

Sekarang dapat sama-sama kita saksikan - dengan mata kepala sendiri - bahwa 32 tahun pemerintahan Orde Baru telah banyak menimbulkan kerusakan, pembusukan atau kebobrokan di banyak bidang kehidupan Republik Indonesia. Sekali lagi, dapat dipastikan bahwa Republik Indonesia yang kita saksikan dewasa ini adalah sama sekali bukan Republik Indonesia yang dicita-citakan oleh para pejuang Angkatan 45 dan angkatan-angkatan sebelumnya.

Dikuasai Oleh Para Pengkhianat Revolusi

Orde Baru telah didirikan oleh oknum-oknum militer dan sipil ( dari kalangan TNI-AD dan Golkar terutama) yang menentang pandangan politik Bung Karno. Kalau ditilik dalam-dalam maka akan nyatalah bahwa dengan menentang pandangan politik Bung Karno, pada hakekatnya, mereka telah mengkhianati perjuangan bangsa. Pengkhianatan ini telah terbukti dengan gamblang dengan apa yang telah dilakukan selama lebih dari 32 tahun. Bukan saja Bung Karno, pejuang besar anti-kolonialisme Belanda telah dikhianati dan digulingkan oleh seorang oknum yang pernah menjadi serdadu KNIL (Belanda) tetapi oknum militer ini juga telah mengangkangi dan mengotori Republik Indonesia selama 32 tahun.

Orde Baru di bawah pimpinan Suahrto adalah suatu sistem kekuasaan yang telah mengubur jiwa revolusioner rakyat Indoneia. Di zaman Orde Baru-lah kata-kata « revolusi » di-taboo-kan, dan kata « buruh » diganti dengan “karyawan”. Perlu dicatat bahwa selama Orde Baru masih berkuasa sepenuhnya, semangat menentang kolonialisme dan imperialisme boleh dikatakan padam sama sekali. Patut sama-sama diingat bahwa peringatan tentang sejarah perjuangan berbagai tokoh pejuang melawan kolonialisme Belanda telah ditiadakan atau dibatasi atau diadakan tetapi tanpa « apt ».-nya.

Pada pokoknya,, bolehlah dikatakan bahwa tokoh-tokph utama Orde Baru kebanyakan terdiri dari oknum-oknum (militer dan sipil) yang anti-Sukarno, anti-komunis, anti-revolusi, dan anti-rakyat. Rumusan terlalu gegabah atau ungkapan sembarangan yang dangkal ? Cobalah, mari sama-sama kita teliti satu per satu mereka itu (tentu saja, ada pengecualian).Ini berarti bahwa dalam jangka yang lama sekali Republik Indonesia telah dikuasai oleh orang-orang yang sikap mereka (kebanyakan !!!) terhadap kepentingan negara dan rakyat banyak patut disangsikan.

Sudah Reaksioner, Lagi Koruptor Pula

Untuk lebih meyakini bahwa rezim militer Orde Baru-nya Suharto dkk (yang disokong oleh tokoh-tokoh militer dan Golkar) dikuasai oleh orang-orang yang reaksioner dan kontra-revolusioner, yang sekaligus umumnya adalah juga koruptor, diharapkan para pembaca meneliti sendiri kegiatan dan cara hidup mereka sehari-hari. Ini bisa kita saksikan di sekeliling kita, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah (termasuk kota-kota seperti Pematang Siantar, Bengkalis, Bengkulu, Tulung Agung, Malang, Bondowoso, Kendari ; Menado, Mataram, Kupang dll dll). Tokoh-tokoh ini (baik Golkar maupun militer, atau dari partai-partai dan golongan lainnya) pada umumnya adalah pendukung (atau mantan pendukung) Orde Baru.

Mereka inilah yang sejak jatuhnya Suharto (dan digantikannya dengan Habibi, Gus Dur dan Megawati sekarang ini ) melanjutkan proses pembusukan dan perusakan Republik Indonesia. Mereka ini tidak peduli bahwa utang luarnegeri sudah melebihi 130 milyar US dollar, dan utang dalamnegeri pun sudah menggunung tinggi sekali. Mereka juga tidak ambil pusing bahwa pengangguran sudah mencapai 40 juta orang di seluruh negeri. Mereka ini pulalah yang membikin busuknya sistem peradilan, sehingga hukum tidak menjamin keadilan dan kebenaran. Mereka ini pulalah yang memperjual-belikan kekuasaan.

Karena ulah dan perangai mereka jugalah maka DPR dan DPRD sering menyajikan tontonan yang menjijikkan atau permainan politik yang memuakkan, dengan cerita-cerita tentang foya-foya ke luarnegeri dengan alasan studi banding atau cerita tentang tempat parkir mbil yang penuh dengan mobil-mobil mewah dan mahal. Sknndal keuangan (korupsi !!!) di daerah-daerah sudah makin terdengar mengerikan. Di tambah lagi dengan kasus Bank Bali dan Bulog, maka korupsi di Indonesia merupakan cerita yang banyak terdengar, termasuk di luarnegeri.

Merajalelanya korupsi di zaman Orde Baru yang dilanjutkan terus sampai sekarang (bahkan makin menjadi-jadi !) adalah salah satu di antara berbagai kerusakan parah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh militer (tidak semuanya) dan Golkar terhadap Republik Indonesia.

Golkar Sumber Segala Macam Masalah Parah

Indonesia pernah menduduki tempat yang terhormat dalam sejarah bangsa-bangsa karena berhasil mengadakan Konferensi Bandung yang terkenal di seluruh dunia. Revolusi 45 bukan saja merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, melainkan juga kebanggaan dan mendapat simpati dari banyak bangsa-bangsa lain. Tetapi , Indonesia di bawah Orde Baru telah sebaliknya, Selama puluhan tahun negeri dan bangsa kita menjadi sasaran hujatan, kutukan, dan cemoohan atau ejekan yang datang dari luarnegeri. Ini disebabkan oleh pembantaian manusia tidak berdosa secara besar-besaran dalam tahun 1965 , kemudian pemenjaraan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang tidak bersalah apa-apa selama bertahun-tahun, kemudian pelanggaran HAM di Tg Priok, Lampung, Timor Timur, Aceh dan Papua, Di samping itu, korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan juga merajalela, SAMPAI SEKARANG !!!

Tidak banyak lagi yang bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia, kecuali keindahan alamnya. Sumber alamnya pun sudah banyak yang dikangkangi oleh modal asing. Tidak banyak tokoh atau pemimpin yang bisa dibanggakan (dan bisa diharapkan) untuk mengatasi kerusakan besar dan pembusukan parah yang diwariskan oleh rezim militer Orde Baru Yang sudah pasti (atau sudah jelas) yalah bahwa tidak mungkin diharapkan dari Golkar (dan para simpatisannya) gagasan-gagasan besar untuk adanya perbaikan dalam kehidupan negara dan bangsa. Golkar sudah selama lebih dari 32 tahun ikut aktif merusak secara besar-besaran Republik Indonesia. Golkar beserta para promotornya yang utama ( oknum-oknum militer) telah membkin negara dan bangsa kita runyam seperti yang kita saksikan dewasa ini, Persoalan-persoalan besar dan kesulitan-kesulitan parah yang kita hadapi dewasa ini bukan hanya akibat pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Megawati-Hamzah saja, melainkan terutama sekali disebabkan akibat pemerintahan rezim militer Orde Baru selama puluhan tahun.

Oleh karena itu, dalam Pemilu yang akan datang Golkar harus beramai-ramai digembosi, dikucilkan, dan dikerdilkan. Siapapun yang dicalonlan oleh Golkar, bukanlah jaminan bahwa politik dan praktek yang lama yang sudah dipraktekkan selama lebih dari 32 tahun tidak akan diteruskan lagi. Nama-nama yang dicalonkan oleh kalangan Golkar seperti Wiranto, atau Prabowo, atau Akbar Tanjung, atau Jusuf Kalla (atau yang lain-lain) adalah nama-nama yang tidak bisa dipisahkan dari dosa-dosa berat dan kesalahan-kesalahan besar yang telah dibikin rezim militer Orde Baru selama puluhan tahun.

Rayakan 17 Agustus Tanpa Jiwa Orde Baru

Hari 17 Agustus yang akan datang akan bersama-sama kita rayakan sesudah diadakannya sidang tahunan MPR, yang membicarakan juga pencabutan TAP MPRS no 25/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan terhadap Marxisme dan TAP MPRS 33/1967 tentang pemecatan Bung Karno sebagai Presiden RI. Seperti sudah dapat diduga sebelumnya, usul fraksi PDI-P untuk dicabutnya dua TAP MPRS itu tidak bisa dimenangkan. Ini menjadi ukuran betapa masih parahnya pengaruh indoktrinasi dan manipulasi yang dilakukan oleh Golkar beserta simpatisan-simpatisan Orde Baru lainnya.

Namun, sudah ada « kemajuan » (sedikit !!!) dalam perjuangan untuk dicabutnya dua TAP MPRS tersebut. Berkat adanya dari tekanan opini umum yang dilancarkan lewat berbagai saluran, sekarang sudah diakui oleh berbagai kalangan bahwa « hukuman kolektif » terhadap anak-cucu orang-orang PKI adalah tidak adil dan harus dihentikan. Juga dalam masalah rehabilitasi nama baik Bung Karno sudah mulai terdengar suara-suara yang positif. Dengan adanya surat ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Megawati soal rehabilitasi para korban ’65, maka masih bisa diharapkan bahwa ada tindakan yang kongkrit Presiden Megawati terhadap penyelesaian masalah ini.

Dalam rangka perayaan 17 Agustus yang akan datang, kita patut mengingatkan semua fihak bahwa hari besar ini adalah perayaan kita semua, perayaan bangsa Indonesia. Artinya, juga perayaan para pengikut politik Bung Karno, atau orang-orang yang pernah di-tapolkan oleh Orde Baru. Di antara mereka yang pernah di-tapolkan ini terdapat para pejuang kemerdekaan dan berbagai tokoh, seperti para mantan menteri kabinet Sukarno (antara lain : Menteri Tenaga Listrik Ir Setiadi, Menteri Penerangan/Front Nasional Sudibyo, Menteri Perburuhan Sutomo). Adalah suatu perkembangan yang penting untuk menjembatani rekonsiliasi nasional , kalau mereka yang pernah secara sewenang-wenang di-tapolkan itu mendapat rehabilitasi dan dapat mengikuti upacara-upacara resmi perayaan 17 Agustus.

Selama ini, sejak Orde Baru didirikan, para koruptor dan para pengkhianat revolusi ikut « merayakan » 17 Agustus, dengan berbagai cara, termasuk cara-cara mewah dan serba gemerlapan, tetapi kosong isinya bagi kepentingan rakyat banyak. Mereka bisa ikut menyerobot hadir dalam resepsi-resepsi atau upacara-upacara, sedangkan banyak para pejuang kemerdekaan disisihkan dan dikucilkan jauh-jauh. Para “elite” yang umumnya korup ini menjadi perampok hasil perjuangan banyak orang, termasuk perjuangan para syuhada yang berkorban dalam revolusi 45 dan dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda sejak tahun 20-an.

Kalau direnungkan dalam-dalam, maka akan nyatalah bahwa para pendiri dan pendukung setia Orde Baru sebenarnya secara moral tidak berhak merayakan 17 Agustus. Sebab apa yang mereka lakukan selama lebih dari 32 tahun adalah bertentangan sama sekali dengan jiwa, arah dan tujuan revolusi Agustus 45, dan juga berlawanan sama sekali dengan Pancasila. Politik dan praktek rezim militer Suharto dkk adalah bermusuhan dengan semangat revolusioner perjuangan rakyat Indonesia yang sudah digelar oleh Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Rakyat, PNI, PKI, Perhimpunan Indonesia, Partindo, Partai Katolik, Parkindo, PSI dll dll.

Ini berarti bahwa kalau kita mau benar-benar merayakan 17 Agustus dengan jiwa atau semangat yang otentik, kita mesti buang jauh-jauh segala sisa-sisa jiwa Orde Baru. Sebab, pada hakekatnya, jiwa Orde Baru adalah bertentangan sama sekali dengan jiwa 17 Agustus.