17 Oktober 2000 — 10 menit baca

Menyongsong Hari Sumpah Pemuda dengan jiwa baru

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, termasuk kepada media pers. Penulis adalah, sampai September 1965, pemimpin redaksi suratkabar Harian EKONOMI NASIONAL (Jakarta), anggota pengurus PWI Pusat periode kongres 1963, dan anggota Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Sekarang tinggal di Paris).

Seperti sama-sama kita ketahui, sebentar lagi kita akan memperingati Hari Sumpah Pemuda, yaitu tanggal 28 Oktober. Mengingat pengalaman selama Orde Barunya Suharto (dan Habibi juga, tentu saja!) maka patutlah kiranya kita mengharapkan bahwa Hari Sumpah Pemuda kali ini akan diperingati secara lain, berbeda dengan yang dilakukan selama tiga dasawarsa yang lalu. Apalagi, atau lebih-lebih lagi, ketika dewasa ini negara dan bangsa kita sedang dilanda oleh berbagai kerusuhan, oleh rasa permusuhan antar berbagai komponen bangsa, oleh kegiatan-kegiatan terbuka atau tersembunyi kekuatan gelap Orde Baru, oleh kerusakan moral di kalangan “elite” , dan oleh segala macam penyakit-penyakit berat lainnya warisan rezim militer Suharto dkk.

Mengingat kebesaran arti sejarah Sumpah Pemuda bagi perjalanan bangsa kita, maka sepatutnyalah kiranya bahwa kita semua tidak hanya “mengenang” peristiwa besar itu, melainkan juga merenungkan, dalam-dalam, betapa urgennya bagi kita semua untuk menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu di antara berbagai sarana pendidikan bangsa kita yang sedang “sakit” dewasa ini. Berlainan dengan kebiasaan zaman Orde Baru yang hanya memperingati peristiwa bersejarah itu sebagai “ritual” yang diisi dengan pidato-pidato para “elite” yang munafik dan kosong isinya, maka adalah tugas bagi kita semua untuk, selanjutnya, menjadikan Hari Sumpah Pemuda sebagai alat untuk meneruskan tugas “national and caracter building” yang dipelopori oleh Bung Karno beserta para perintis kemerdekaan lainnya.

Sebab, sulitlah diingkari bahwa sistem politik Orde Baru dan praktek para pendukung setianya – baik yang lama ataupun yang baru, sekarang ini ! – pada dasarnya, atau pada hakekatnya, telah merusak jiwa Sumpah Pemuda. Selama puluhan tahun, rezim militer ini telah memupuk perpecahan atau pemusuhan di antara berbagai komponen bangsa. Selama puluhan tahun pula, rezim otoriter ini telah menggunakan sebagian komponen bangsa untuk memusuhi komponen lainnya (ingat, antara lain : pembantaian besar-besaran 65, peristiwa Aceh, peristiwa Tanjung Priok, perlakuan terhadap para eks-tapol beserta anak cucu mereka, dipupuknya bahaya SARA dll).

Karenanya, sudah waktunyalah kini bagi bangsa kita untuk bersama-sama memperingati, dan mengingat Sumpah Pemuda, sesuai dengan kebesaran pesan politik dan pesan moral yang dikandungnya.

Merintis jalan panjang menuju kemerdekaan

Alangkah panjangnya jalan menuju kemerdekaan nasional yang diperoleh bangsa kita! Dan juga, alangkah banyaknya tokoh-tokoh gerakan nasionalis, komunis, dan kalangan Islam yang telah dipenjarakan, dibuang ke Digul oleh kekuasaan kolonial Belanda, dan kemudian oleh tentara pendudukan Jepang. Betapa besar pula semangat mereka berkorban untuk bersama-sama berjuang demi kepentingan rakyat waktu itu. Mereka bergotong-royong merintis jalan panjang itu.

Untuk menyingkat tulisan ini, dan tanpa mengurangi arti penting sumbangan para tokoh sejarah sebelumnya, perlulah kiranya kita kenang bersama Sumpah Pemuda yang dicetuskan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Jelaslah kiranya bahwa peristiwa itu tidak datang dari langit saja, tetapi ada sangkut-pautnya yang erat dengan situasi waktu itu. Setelah terjadi pembrontakan PKI ( di Banten, Jakarta, Jogya dll) terhadap kekuasaan kolonial Belanda dalam tahun 1926, dan juga di Sumatra Barat (Silungkang dll) dalam tahun 1927; maka berbagai golongan telah melanjutkan perjuangan terhadap kolonialisme dalam berbagai cara dan bentuk. Ketika banyak pimpinan PKI dari berbagai daerah dipenjarakan atau dibuang ke Digul, semangat anti-kolonialisme tidak bisa dipadamkan.

Untuk meneruskan perjuangan itu, Bung Karno, bersama-sama sahabat perjuangannya yang terdekat, mendirikan Partai Nasional Indonesia di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Maka lahir pulalah pada saat itu Marhaenisme, yang, kemudian, dijabarkan oleh Bung Karno sebagai pengejawantahan atau pentrapan Marxisme di bumi Indonesia. Karena gerakan politik yang dipelopori oleh Bung Karno makin mengancam kekuasaan kolonial Belanda, maka pada tanggal 29 Desember 1927 ia bersama-sama kawan seperjuangannya ditangkap dan diajukan ke depan pengadilan Belanda. Di depan pengadilan inilah Bung Karno mengucapkan pidato pembelaannya yang bersejarah bagi perkembangan perjuangan bangsa kita waktu itu, yang berjudul “Indonesia menggugat”. Bung Karno beserta sahabat-sahabat perjuangannya kemudian dipenjarakan di penjara Sukamiskin (Bandung), dan kemudian ke Endeh dan Bengkulu.

Arti penting lahirnya sumpah pemuda

Suasana perjuangan anti-kolonialisme yang digencarkan oleh pembrontakan PKI tahun 1926 dan dilanjutkan oleh pemenjaraan Bung Karno beserta sahabat-sahabatnya telah menggugah kesedaran politik banyak golongan dalam masyarakat. Dalam rangka inilah tokoh-tokoh pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi, yang masih bersifat kesukuan atau kedaerahan, telah mengambil langkah yang amat penting bagi kelanjutan perjuangan nasional bangsa kita menuju kemerdekaan. Pada tanggal 26-28 Oktober 1928, berbagai tokoh dari bermacam-macam organisasi pemuda itu menyelenggarakan kongres pemuda di Jakarta, dengan tujuan untuk menyatukan gerakan pemuda di seluruh Indonesia.

Kongres pemuda yang bersifat lintas-agama, lintas-suku, lintas-aliran poltik itu akhirnya mencetuskan ikrar bersama yang amat besar artinya bagi perjuangan rakyat Indonesia kemudian, yaitu Sumpah Pemuda. Ikrar bersama yang bersejarah ini dikumandangkan tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda itu berbunyi :

  1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
  2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah-air yang satu, tanah-air Indonesia
  3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Kongres pemuda tahun 1928 itu juga telah mengambil keputusan bersejarah lainnya, yaitu : menjadikan lagu Indonesia Raya (diciptakan oleh Rudolf Wage Supratman) sebagai lagu kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan juga menjadikan Sang Merah Putih sebagai bendera kebangsaan.

Dengan merenungkan itu semua, maka akan jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dan perjuangan besar rakyat selama revolusi melawan kolonialisme Belanda, adalah - secara langsung atau tidak langsung - produk atau kelanjutan perjuangan para pejuang sebelumnya, yang banyak meringkuk di penjara-penjara dan juga di tanah pengasingan Digul.

Sumpah Pemuda mempunyai peran penting untuk mempersatukan rakyat, baik semasa pemerintahan kolonial Belanda maupun selama revolusi. Karena itu, sumpah ini jugalah yang (sampai sekarang ini!!!) harus tetap menjiwai bangsa kita, ketika negara kita sudah dirusak secara besar-besaran oleh rezim militer Orde Baru, dalam berbagai bidang.

Orde baru mengkhianati sumpah pemuda

Mungkin, sepintas-kilas, anak-judul di atas ini kedengaran janggal, atau sumbang, atau sembarangan. Tetapi, dengan mengamati secara mendalam dan menyimak - dari berbagai segi - sistem politik dan praktek-praktek rezim militer Orde Baru, maka akan nyatalah bahwa Orde Baru telah mengkhianati jiwa besar Sumpah Pemuda, atau, setidak-tidaknya, melecehkannya.

Intisari Sumpah Pemuda adalah Bhineka Tunggal Ika, yang mengandung pengertian bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan aliran politik, tetapi tetap merupakan kesatuan bangsa, atau bangsa yang satu. Dengan kalimat lain, tercermin di situ satu konsep besar yang indah : kesatuan dalam perbedaan, atau berbeda-beda tetapi satu, atau persatuan dalam keragaman. Alangkah sejuknya isi yang tersirat di dalamnya.

Pada dasarnya, atau secara hakiki, para konseptor dan aktor Orde Baru (jangan lupa, juga pendukung-pendukungnya !) terdiri dari dari orang-orang yang tidak mengerti sejarah, dan tidak pula menghayati apa sebenarnya arti Pancasila, seperti yang digagaskan oleh penciptanya, Bung Karno. Contohnya, seperti yang kita saksikan dalam jangka lama, rezim militer ini telah memaksakan penataran “penghayatan Pancasila” , sambil sekaligus menginjak-injak Hak Asasi Manusia secara buas. Oleh Orde Baru, konsep besar Pancasila ini telah dirusak menjadi gombal busuk yang memuakkan orang. Seandainya Bung Karno hidup kembali; alangkah terkejutnya, melihat buah fikirannya yang cemerlang itu telah dikotori oleh penuh kejahatan terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan perikemanusiaan.

Kita semua sudah menyaksikan, dan dalam rentang-waktu yang cukup panjang, bahwa sistem politik Orde Baru telah menimbulkan perpecahan bangsa, mengompori permusuhan, mengucilkan berbagai komponen bangsa, mengkipas-kipasi permusuhan ras (ingat, umpamanya : politik terhadap minoritas keturunan Tionghoa, perlakuan terhadap kaum komunis atau eks-tapol beserta keluarga mereka, menghasut sebagian golongan Islam untuk memusuhi golongan lain dll).

Rezim militer Orde Baru juga telah membunuh Marhaenisme, menyerkap Bung Karno sampai meninggal dunia, melarang PKI dan Marxisme, dan juga telah membunuh dan membiarkan terbunuhnya jutaan warganegara Republik Indonesia yang tidak berdosa atau tidak bersalah apapun. Ratusan ribu orang telah dipecati secara sewenang-wenang dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil atau tentara, dan juga dari perusahaan-perusahaan negara maupun swasta.

Jangan melupakan sejarah!

Walaupun, secara resminya (!) Sumpah Pemuda juga diperingati tiap tahun selama zaman Orde Baru, tetapi lebih berfungsi sebagai upacara yang kosong isinya. Maklumlah, kita tidak bisa mengharapkan dari mereka yang tidak mengerti - atau bahkan memusuhi - ajaran-ajaran Bung Karno untuk menghayati benar-benar Sumpah Pemuda., Bhineka Tunggal Ika, atau Pancasila. Dan, yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa orang-orang dari kategori macam itu sekarang ini masih terdapat di kalangan “elite”, atau menempati kedudukan dalam berbagai lembaga negara (MPR, DPR, Mahkamah Agung, kalangan militer, dan aparat-aparat pemerintah lainnya).

Mengingat kerusakan-kerusakan besar yang telah dibikin Orde Baru, dan yang sekarang sedang kita saksikan dewasa ini di mana-mana, maka agaknya sudah tibalah waktunya bagi masyarakat luas, dan terutama bagi angkatan muda bangsa kita, untuk merebut kembali Sumpah Pemuda sebagai kesempatan untuk mengobarkan lagi semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Peringatan Hari Sumpah Pemuda perlu kita jadikan bersama-sama sebagai sarana pendidikan politik bangsa, untuk melawan sisa-sisa kekuatan rezim militer Orde Baru, dan juga untuk mendorong lebih lanjut reformasi yang dewasa ini dimacetkan oleh berbagai golongan yang masih juga, sampai sekarang, mendukung Orde Baru.

Mempertimbangkan itu semuanya, maka sudah sepatutnyalah kalau, untuk selanjutnya, Hari Sumpah Pemuda bisa dijadikan sebagai agenda bangsa yang serius. Ketika angkatan muda dan berbagai komponen bangsa sudah selama puluhan tahun diperbodohkan oleh Orde Baru dengan sejarah yang dipelintir (atau divermak) maka mengangkat kembali sejarah lahirnya Sumpah Pemuda di tempat ketinggian yang setimpal adalah perlu sekali. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno.

Yang menyedihkan sekali yalah bahwa Bung Karno, yang mempunyai pengaruh besar -secara langsung atau tidak langsung - dalam lahirnya Sumpah Pemuda, telah dibunuh secara fisik oleh para konseptor Orde Baru, dan ajaran-ajarannya dipersetankan, dan jasanya dilupakan!. Ini juga merupakan salah satu bagian dalam deretan panjang kejahatan atau dosa besar rezim militer Suharto dkk. Singkatnya : pada hakekatnya, Sukarno yang menciptakan Pancasila dan proklamator kemerdekaan (bersama Bung Hatta), telah dijadikan musuh oleh Orde Baru. Selama puluhan tahun ajaran-ajarannya dibuang atau dilarang, sehingga orang pun takut memasang gambarnya atau menyimpan buku-buku tentang perjuangannya. Oleh Orde Baru, Sukarno telah dijadikan pengkhianat. Keterlaluan!!!

Semangat sumpah pemuda perlu dikobarkan lagi

Pada dewasa ini, ketika pembelokan sejarah masih punya pengaruh yang dalam di fikiran banyak orang, ketika bangsa kita seolah-olah sudah kehilangan arah, dan juga ketika bangsa kita sedang dicabik-cabik rasa persatuan dan kesatuannya, maka memperingati Sumpah Pemuda mempunyai makna yang khusus dan penting.

Api Sumpah Pemuda, yang begitu besar kobarannya dalam mempersatukan bangsa dan mengantar rakyat ke kemerdekaan, perlu dikobarkan lagi bersama-sama. Ini merupakan kewajiban nasional kita, yang bisa dipikul oleh seluruh masyarakat, terutama oleh angkatan muda yang merupakan garda terdepan dalam gerakan reformasi. Suharto dan sebagian kekuatan pendukungnya sudah digulingkan oleh gerakan mahasiswa yang pernah dilancarkan besar-besaran dan tanpa bandingannya dalam sejarah republik kita. Sekarang angkatan muda ini pulalah yang -bersama-sama dengan kekuatan pro-reformasi di kalangan buruh, tani dll – memikul tugas untuk meneruskan perjuangan politik menuju Indonesia Baru, dengan membrantas sisa-sisa politik Orde Baru, sampai ke akar-akarnya.

Maka, kalau selanjutnya peringatan Sumpah Pemuda bisa digelar dengan megah di Universitas-universitas, di pesantren, di kalangan organisasi pemuda dan mahasiswa, di kalangan LSM atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya, (dan juga di media pers !!!) maka akan merupakan sumbangan besar untuk mewujudkan jiwa atau “ruh” lambang negara dan bangsa yang begitu indah dan agung, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Sebab, dengan begitu, maka kita semua bisa lebih mengerti bahwa pada akhirnya, dan pada intinya, Sumpah Pemuda, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bisa diperas jadi satu : yaitu menghargai MARTABAT MANUSIA.