04 Januari 1997 — 15 menit baca

Menyimak pidato Tahun Baru Presiden Suharto (1997)

Renungan dan “uneg-uneg” dari Jawa Timur

Kita harapkan bahwa gejolak-gejolak yang sudah terjadi, dan yang akan terjadi dalam tahun 1997, membikin kita semua sadar, dan yakin, bahwa negara kita sudah membutuhkan, dan secara urgen sekali, adanya reformasi di berbagai bidang.

oleh : Mohtar Rivai (nama samaran)

(Catatan : seperti yang bisa dilihat, tulisan ini dibuat jauh sebelum Suharto dipaksa turun dari jabatannya, berkat gerakan perlawanan besar-besaran yang dilancarkan oleh generasi muda bangsa kita).

Ketika sedang menginjak permulaan tahun 1997, kita semua tentu ber-tanya-tanya tentang situasi negara dan masyarakat yang bagaimanakah kiranya yang akan kita hadapi di Indonesia. Apakah berbagai problem yang ruwet yang sudah terjadi dalam tahun 1996 akan bertambah kusut-masai dalam tahun 1997 nanti, sehingga menimbulkan gejolak-gejolak baru dan lebih hebat lagi ? Atau, sebaliknya, apakah situasi politik dan sosial akan lebih sejuk dan menenteramkan hati banyak orang ? Tentunya, pembesar-pembesar di berbagai badan dan lembaga pemerintahan sudah ada yang memprojeksikan situasi yang akan datang ini, dan pakar-pakar politik dan ekonomi dan sosial juga sudah membikin evaluasi yang macam-macam, dan dukun-dukun pun sudah ada yang membikin ramalan-ramalan.

Tetapi, se-hebat-hebatnya mereka itu semua, akhirnya hanya Tuhan YME sajalah yang mengetahui se-tepat-tepatnya tentang apa yang akan terjadi, karena semua dan segala-galanya ditentukan olehNya. Buktinya, siapa yang menyangka bahwa persoalan peristiwa 27 Juli akan mengakibatkan buntut panjang yang begitu ber-larut-larut ? Dan, tidak adalah orang yang bisa meramalkan, termasuk “pelaku-pelaku”nya sendiri, bahwa peristiwa Situbondo kemudian bisa menimbulkan berbagai persoalan sampingan. Juga, kejadian di Tasikmalaya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Indonesia selalu ada faktor-faktor tak terduga (unexpected factors) yang bisa muncul. Ini terlepas apakah ada atau tidak “bahaya laten PKI” , dan apakah “setan-setan gundul” terus bergentayangan, dan apakah “unsur-unsur yang tidak bertanggungjawab” memang ikut-ikut menciptakan peristiwa dan persoalan itu semua.

Sebab, apa yang akan terjadi di Indonesia tidak akan ditentukan oleh kemauan seseorang saja, atau oleh beberapa orang saja, betapapun hebatnya kemampuan mereka. Kendatipun, ada seseorang atau beberapa orang yang pada suatu saat muncul sebagai tokoh-tokoh, mereka ini tidaklah bisa terlepas dari faktor-faktor objektif yang ada dalam masyarakat Indonesia. Faktor-faktor objektif yang merupakan produk dan sekaligus juga motor perkembangan dalam masyarakat di Indonesia, juga tak bisa dilepaskan dari hubungannya yang erat dengan faktor-faktor internasional. Semua berobah, semua berkembang, dan semua proses juga berakhir, pada waktunya, sesuai dengan hukum perkembangannya. Untuk kemudian diteruskan dengan proses lainnya yang baru.

Presiden Suharto, dalam pidato beliau untuk menyambut tahun baru 1997 antara lain menyebutkan : “Dalam tahun yang segera akan kita tinggalkan kita mengalami berbagai gejolak dalam masyarakat. Gejolak-gejolak tadi ada yang dilatarbelakangi oleh sebab-sebab sosial, budaya, politik, ekonomi maupun agama. Kita bersyukur bahwa gejolak-gejolak itu dapat kita atasi dengan sebaik-baiknya. Kita menyadari bahwa sekecil apapun gejolak yang terjadi di tengah masyarakat, jika tidak segera kita atasi dapat membawa akibat yang merugikan kepentingan bangsa kita secara keseluruhan. Karena itulah di masa yang akan datang kita harus mencegah terulangnya berbagai gejolak seperti yang terjadi dalam tahun ini. Kita harus mampu menempatkan kepentingan bersama, kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kita semua harus berfikir lebih jernih, bersikap lebih lapang dada serta menjauhi sikap dan perilaku emosional.

“Meskipun dalam tahun 1996 terjadi berbagai gejolak namun secara umum kita telah mencapai kemajuan-kemajuan yang sangat berarti. Di bidang politik berbagai gerakan muncul kepermukaan untuk lebih menyegarkan kehidupan demokrasi kita. Gagasan-gagasan yang segar kita sambut dengan hati terbuka. Kita sepenuhnya menyadari bahwa kemajuan pembangunan meningkatkan daya kritis masyarakat dan melahirkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi baru.

Dalam tahun ini kekuatan-kekuatan sosial-politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan melakukan rangkaian kegiatan konsolidasi organisasi. Sebagai wadah partisipasi warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita semua berkepentingan agar organisasi kekuatan sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan itu kukuh dan berfungsi dengan baik. Lebih-lebih karena tahun depan kita akan menyelenggarakan pemilihan umum.

Pemerintah mendorong keterbukaan dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk meningkatkan mutu kehidupan demokrasi kita. Namun kita tetap harus memperhatikan rambu-rambu agar gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi baru itu jangan sampai lepas dari kendali. Untuk itu kita harus terus berpegang teguh pada Pancasila, UUD ‘45 dan GBHN serta menjunjung tinggi kepentingan nasional dan persatuan bangsa.” Demikianlah, antara lain, kutiban dari pidato beliau.

Kalimat-kalimat di atas menmberikan kesan bahwa Presiden kita ini tidak berbicara atas dasar kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Ini bisa disebabkan oleh berbagai sebab. Antara lain : Presiden Suharto memang tidak mengetahui, atau tidak mau tahu, atau tidak bisa mengerti, tentang aspirasi dan persoalan-persoalan yang sebenarnya, yang terdapat dalam masyarakat. Faktor-faktor kepentingan pribadi dan keluarga (kedudukan, kekuasaan dan kekayaan) yang sudah terpupuk selama 30 tahun telah membuat beliau menjadi “buta-tuli”, atau se-tidak-tidaknya, membuat pandangan beliau menjadi kabur. Ada kemungkinan juga bahwa beliau hanya mendapat laporan ABS (Asal Bapak Senang) dari pembantu-pembantu dan orang-orang terpercaya beliau. Ada besar kemuingkinan juga bahwa beliau terlalu sibuk karena mengurusi strategi untuk memenangkan GOLKAR dalam Pemilu yang akan datang, atau memikirkan bagaimana memperbesar “kerajaan bisnis” keluarga beliau, sehingga tidak sempat membaca koran dan majalah-majalah. Singkatnya, beliau memerintah negara dan bangsa ini dari “menara gading” saja.

Memang, sejarah berbagai negeri di dunia, sejak ribuan tahun, sudah menunjukkan bahwa seorang pembesar yang bertengger terlalu lama di tampuk pimpinan kekuasaan mudah untuk “corrupted” atau “degenerated”. Apalagi kalau pembesar itu memegang kekuasaan yang “absolut” atau yang menyerupai monopoli, yang dijalankan dengan cara-cara yang jauh dari “kewicaksanaan”. Orang yang menguasai kekuasaan yang terlalu besar dan melingkupi seluruh bidang, ditambah dengan watak-watak yang tidak luhur dan terhormat, mudah melakukan kesalahan-kesalahan yang besar. Ini sudah terjadi dengan Jendral Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, Caucescu di Rumania, Stalin di Uni Soviet dulu, Idi Amin Dada di Uganda, Shah Pahlevi di Iran. Dalam skala, kadar dan bentuk yang berbeda, gejala semacam ini juga terdapat pada diri Presiden Marcos (Filipina), Presiden Kim Il Sung (Korea Utara), dan diktator-diktator militer di negeri-negeri Amerika Latin di masa yang lalu. Kita tidak tahu dengan presis, dalam kategori yang manakah kita bisa memasukkan Presiden Suharto.

Tetapi, yang sudah jelas, ialah bahwa banyak gejala dan peristiwa yang menunjukkan secara lebih gamblang sekarang ini bahwa Pak Harto adalah seorang petinggi negara yang sudah tidak cocok lagi untuk memimpin negara dan bangsa Indonesia lebih lama lagi. Politik beliau mengenai berbagai soal sudah bertentangan dengan aspirasi rakyat yang menginginkan dilaksanakannya demokrasi yang benar-benar, dan bukannya demokrasi-semu yang dibungkus dengan merek palsu “Pancasila” atau “demokrasi kepribadian bangsa Indonesia” atau embel-embel lainnya yang terdengar merdu. Tindakan-tindakan beliau juga tidak menggambarkan keluhuran budi sebagai negarawan yang bisa dibanggakan oleh bangsa. Sikap beliau mengenai masalah kepentingan pribadi dan kekayaan keluarga (terutama putera dan puteri beliau) sudah menjadi omongan yang bersifat “tidak senonoh” dalam masyarakat di dalamnegeri dan juga jadi sorotan buruk di luarnegeri (ingat siaran televisi BBC yang panjang, khusus mengenai “kerajaan keluarga Suharto”, dan banyak tulisan-tulisan dalam pers internasional mengenai kekayaan dan bisnis putera-puteri beliau).

Makin lama, kita makin menyangsikan “integritas moral” dan “integritas politik” Pak Harto sebagai Kepala Negara. Contohnya, (di antara begitu banyak contoh lainnya), ialah ucapan beliau tentang berbagai pergolakan dalam tahun 1996. Dalam pidato untuk menjambut tahun baru 1997, beliau mengatakan: “ Gejolak-gejolak tadi ada yang dilatarbelakangi oleh sebab-sebab sosial, budaya, politik, ekonomi maupun agama. Kita bersyukur bahwa gejolak-gejolak itu dapat kita atasi dengan sebaik-baiknya”. Apakah beliau tidak melihat bahwa persoalan PDI-Megawati, yang merupakan akibat rekayasa pemerintah, masih terus menimbulkan problem-problem yang belum “diatasi dengan sebaik-baiknya” ? Banyak orang masih terus ber-tanya-tanya tentang kelanjutan penggugatan Bu Megawati di depan pengadilan tentang sah-tidaknya kongres-gadungan di Medan. Apakah bisa dikatakan bahwa gejolak ini sudah “diatasi dengan sebaik-baiknya ?”.

Bagaimana penglihatan Presiden Suharto mengenai penyerbuan gedung PDI dijalan Diponegoro, yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Suryadi dan tenaga-tenaga preman yang dibayar dan diorganisir oleh aparat-aparat negara ? Banyak orang masih tetap menunggu apa sajakah tindakan yang akan diambil pemerintah terhadap Suryadi dan 200 orang yang sudah melakukan penyerbuan gedung PDI secara provokatif, yang sampai tahun 1997 ini masih belum di-apa-apakan, padahal sudah terang-terangan melakukan tindakan yang mestinya harus mendapat hukuman. Di samping itu, orang juga heran, bahwa pemerintah tidak berbuat apa-apa tentang “hilangnya” 23 jiwa manusia, sebagai akibat dari peristiwa 27 Juli. Banyak orang mempunyai kesan yang makin mendalam bahwa “bapak-bapak Orde Baru” ini memang tidak peduli dengan jiwa “orang kecil”, walaupun jumlahnya sudah mencapai 23. Padahal masalah itu menyangkut jiwa warganegara, dan bukan sekedar nyawa ayam atau anjing. Apa gejolak ini juga sudah “diselesaikan dengan baik “?

Lalu apakah gejolak yang menyangkut penangkapan dan penahanan (yang disertai dengan siksaan dengan listrik, puntung rokok dan tendangan atau tamparan oleh perwira-perwira BIA selama ber-hari-hari), yang kemudian disusul dengan penyidangan di depan pengadilan terhadap aktifis-aktifis PRD, sudah “diselesaikan dengan baik” ? (baca lebih lanjut tulisan Rasyidin Sulaiman, “Bukanlah PRD dan Pakpahan yang diadili, melainkan Pak Harto dan Orde Barunya”, dalam Apakabar tanggal 2 Januari 1997 dan Kabar Dari PIJAR tanggal 2 Januari 1997). Juga, masalah tuduhan “subversif” terhadap Mohtar Pakpahan. Bukan saja bahwa perkara ini tidak akan bisa “diselesaikan dengan baik”, melainkan cerita-bersambung yang akan panjang sekali ini barulah saja dimulai dengan langkah-langkah yang tidak pintar dan pula tidak bijaksana. Kita akan sama-sama lihat, bahwa dampaknya akan besar di kemudian hari, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Di tambah lagi, dengan adanya gejolak-gejolak yang lain, seperti peristiwa Situbondo dan Tasikmalaya, yang juga bukanlah gejolak “yang sudah diselesaikan dengan baik”.

Kalau kita kaji dalam-dalam, selama 30 tahun ini banyak sekali soal-soal atau gejolak-gejolak di Indonesia yang belum dan tidak bisa “diselesaikan dengan baik”. Ini ada hubungannya yang erat sekali dengan sistem kekuasaan atau tatanan politik yang sudah ditegakkan oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Contohnya yang gamblang yalah mengenai masalah demokrasi. Orde Baru tidak mungkin menyelesaikan masalah demokrasi, selama sistem politik (atau format politik atau tatanan politik) masih tetap seperti yang sudah berjalan selama 30 tahun ini. Sebab, secara hakiki, Orde Baru adalah musuh demokrasi. Pidato Tahun Baru Presiden Suharto baru-baru ini, yang juga menyinggung soal demokrasi, sangat menarik untuk kita cermati. Bagian itu menyatakan :” Pemerintah mendorong keterbukaan dan kegiatan kegiatan lainnya untuk meningkatkan mutu kehidupan demokrasi kita. Namun kita tetap harus memperhatikan rambu-rambu agar gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi baru itu jangan sampai lepas dari kendali. Untuk itu kita harus terus berpegang teguh pada Pancasila, UUD ‘45 dan GBHN serta menjunjung tinggi kepentingan nasional dan persatuan bangsa.”.

Kalimat beliau yang berbunyi “ Pemerintah mendorong keterbukaan dan kegiatan kegiatan lainnya untuk meningkatkan mutu kehidupan demokrasi kita” telah membikin kwalitas keseluruhan pidato itu menjadi murahan sekali, karena mengandung penipuan atau ketidakjujuran, dan karenanya bisa menjadi sumber kemarahan banyak orang, atau kebalikannya, menjadi tertawaan. Kita bisa membayangkan bagaimana reaksi mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus, yang selama ini terus-menerus dikekang dengan berbagai peraturan. Juga reaksi di banyak kalangan LSM, di PPP, di PDI, di KIPP, di LBH-LBH, di PUDI, di kalangan KORPRI, di PGRI, bahkan di Golkar sendiri yang mengangkangi begitu banyak kursi di DPR dan DPRD. Mereka akan bisa menilai apakah betul bahwa “ Pemerintah mendorong keterbukaan dan kegiatan kegiatan lainnya untuk meningkatkan mutu kehidupan demokrasi kita”. Praktek selama 30 tahun ini sudah memberikan pengalaman yang cukup banyak tentang apa yang ditafsirkan sebagai “demokrasi” oleh Orde Baru-nya Presiden Suharto.

” Namun kita tetap harus memperhatikan rambu-rambu agar gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi baru itu jangan sampai lepas dari kendali.”. Nah, inilah yang agak jelas, dan yang betul-betul mencerminkan cara berfikir “bapak-bapak Orde Baru kita” ini. Mutu kehidupan demokrasi yang dalam kenyataannya tidak ditingkatkan itu, menurut Presiden Suharto, haruslah memperhatikan rambu-rambu. Dan rambu-rambu ini banyak sekali, sehingga ruang-gerak bagi “demokrasi” itu (kalaupun ada) menjadi sempit sekali. Lagi pula, beliau juga memperingatkan “ gagasan-gagasan dan aspirasi-aspirasi baru itu jangan sampai lepas dari kendali”. Jadi, menurut Presiden kita itu, gagasan dan aspirasi baru terhadap demokrasi itu haruslah dikendalikan, dan kendali itu jangan sampai lepas. Mungkin, bahasa beliau ini sudah cukup gamblang, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang rumit-rumit lagi bagi kita semua untuk mengertinya. Artinya, gagasan atau aspirasi tentang demokrasi ini harus dikendalikan, alias digiring, alias diarahkan. Pemikiran kepala negara kita yang sangat “genius” ini pantas untuk dijadikan renungan dan bahan diskusi di banyak universitas dan lembaga-lembaga ilmiah …..

Bagian lain yang juga menarik dalam pidato beliau itu ialah yang berbunyi : “ Dalam tahun ini kekuatan-kekuatan sosial-politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan melakukan rangkaian kegiatan konsolidasi organisasi. Sebagai wadah partisipasi warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita semua berkepentingan agar organisasi kekuatan sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan itu kukuh dan berfungsi dengan baik. Lebih-lebih karena tahun depan kita akan menyelenggarakan pemilihan umum”. Kalimat yang bunyinya bagus ini menunjukkan bahwa Presiden kita ini sudah terlalu biasa menganggap rakyat bodoh, dan mengira bahwa tingkat kecerdasan pendapat umum adalah begitu rendahnya sehingga mudah saja untuk menelan ucapan yang menyesatkan demikian ini.

Sebab, dalam kenyataannya, banyak kekuatan-kekuatan sosial-politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang malahan digebuki, dirusak, direkayasa, diintimidasi, di-“intel”-i. Kita ingat saja kasus PDI-Megawati, LBH-nya Haji Princen, organisasi-organisasi tergabung dalam MARI, KIPP, PUDI, PRD, 32 LSM yang bermasalah, organisasi-organisasi kemahasiswaan yang begitu banyak. Jadi, ini juga berarti bahwa ucapan beliau ini juga bertentangan dengan kenyataan (dalam bahasa halusnya), atau bohong (dalam bahasa yang lugu dan terang-terangan).

Kita bisa lihat besarnya kebohongan itu kalau kita baca kembali kalimat :” Sebagai wadah partisipasi warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita semua berkepentingan agar organisasi kekuatan sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan itu kukuh dan berfungsi dengan baik. Lebih-lebih karena tahun depan kita akan menyelenggarakan pemilihan umum”. Ini keterlaluan ! Sebab, dalam kenyataannya, tindakan pemerintah malahan sebaliknya. Bisalah ditanyakan kepada masyarakat di Lampung, di Medan, di Banjarmasin, di Ujungpandang, di Maluku, di berbagai kota besar dan kecil di pulau Jawa, bagaimanakah tindakan-tindakan Muspida (dan Kodim) terhadap organisasi sosial politik dan kemasyarakatan setempat. Tetapi, beliau memang benar, kalau yang dimaksudkan adalah organisasi kekuatan sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan yang bernaung di bawah Golkar dan dikendalikan oleh ABRI. Dan, ini untuk menghadapi Pemilu nanti. Jadi jelaslah sudah arahnya!

Agak menyoloklah bahwa dalam pidato beliau ini, Pak Harto tidak mengangkat masalah-masalah besar lainnya yang menjadi ganjelan-hati banyak orang, umpamanya masalah korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, masalah pelanggaran HAM, yang merajalela sejak lama di negeri ini. Memang, dapat dimengertilah bahwa, mengenai soal ini, mungkin beliau sendiri merasa tidak pantas (dan tidak berani) untuk memberikan “petuah” atau “amanat”. Sebab, pepatah nenek-moyang kita ada yang berbunyi :”Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”. Kalau kita perhatikan pidato-pidato beliau selama ini, memang masalah-masalah itulah yang beliau hindari sebisa mungkin. Maklumlah, kita semua mengerti juga, apa sebabnya.

Kalau kita simak dan cermati dalam-dalam, maka jelaslah bahwa dalam pidato tahun baru Pak Harto terselip banyak kemunafikan dan ketidakjujuran terhadap diri sendiri. Beliau bicara : “Kita harus mampu menempatkan kepentingan bersama, kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan”. Apakah ucapan semacam ini mempunyai bobot, kalau dihadapkan kepada kasus pribadi beliau sendiri dan keluarga beserta konco-konco konglomerat mereka yang pribumi maupun non-pri ?

Untuk tidak dikatakan bahwa tulisan ini hanya menyoroti segi-segi negatif saja, memang bisa dikatakan bahwa pidato beliau telah menyajikan berbagai angka dan banyak fakta-fakta yang menyangkut pembangunan dan perkembangan ekonomi di Indonesia. Dan perlu diakui bahwa kemajuan ekonomi yang dicapai selama ini tidaklah kecil, dan menyangkut banyak bidang. Logislah kiranya, bahwa Pak Harto berusaha sangat menonjolkan masalah ini, untuk menutupi banyak segi negatif lainnya. Sebab, di balik kemajuan ekonomi ini terdapat juga problem-problem besar : korupsi, kerusakan moral, penyalahgunaan kekuasaan, kesenjangan sosial dan politik, pentrapan demokrasi.

Pidato Tahun Baru Presiden Suharto telah mengajukan berbagai persoalan-persoalan penting yang sedang dihadapi bangsa dan negara, tetapi tanpa “message” yang kuat dan meyakinkan tentang cara yang akan dipakai untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dan jalan yang akan ditempuh untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan. Dan ini wajar, sebab terlalu banyak masalah yang sudah dihadapi oleh bangsa dan negara dalam tahun 1996 (dan juga sebelumnya), sedangkan banyak gejala yang sudah menunjukkan bahwa, dalam tahun 1997 ini, akan muncul lebih banyak lagi problem-problem yang lebih serius.

Perkembangan situasi di Indonesia, sampai akhir tahun 1996, yang telah memunculkan begitu banyak gejolak, menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru telah menimbulkan banyak kerusakan di banyak bidang. Di mana-mana muncul gejala-gejala adanya krisis kepercayaan kepada pemerintah beserta aparat-aparatnya, yang disebabkan oleh begitu banyaknya kesalahan-kesalahan (kasus PDI, PRD, Pakpahan, Mahkamah Agung, Timor-Timur, wartawan Udin, Bapindo-Edi Tansil, mobil nasional Timor, pelecehan HAM, peremehan hak-hak demokratik). Krisis moral dari atas sampai kebawah semakin menajam, di tengah-tengah makin membengkaknya kesenjangan sosial, politik dan ekonomi. Sebaliknya, aspirasi rakyat terhadap pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi makin santer disuarakan. Sebagai akibatnya, sekarang ini, pemerintahan yang dipimpin Pak Harto sedang menyusuri jalan buntu : mundur sulit maju pun rumit.

Faktor-faktor tersebut di atas akan ikut menentukan situasi negeri kita ini dalam tahun 1997. Kita semua tidak bisa membikin ramalan apa yang akan terjadi. Tetapi, logislah kalau kita sudah memperhitungkan bahwa problem-problem yang begitu banyak dan begitu serius, dan ditambah lagi dengan akan dilangsungkannya Pemilu, akan melahirkan gejolak-gejolak baru. Kita harapkan saja bahwa semua itu tidak akan membawa korban jiwa dan materi yang sia-sia. Dan kita harapkan bahwa gejolak-gejolak yang sudah terjadi, dan yang akan terjadi itu membikin kita semua sadar, dan yakin, bahwa negara kita sudah membutuhkan, dan secara urgen sekali, adanya reformasi di berbagai bidang.