18 Januari 2002 — 12 menit baca

Maksiat korupsi bikin bangkrut bangsa

Selama bertahun-tahun masalah korupsi sudah dibicarakan, digugat, atau dihebohkan oleh pendapat umum di republik kita ini. Namun, korupsi toh masih terus merajalela. Lalu, apakah masih ada gunanya kita bicara terus soal yang satu ini? Apa tidak buang-buang waktu saja? Apa tidak, malahan, membikin kita stress atau jengkel secara percuma saja?

Tidak! Justru sebaliknya. Kita semua perlu terus-menerus, bersama-sama, mengobarkan sehebat-hebatnya semangat perjuangan melawan KKN dalam segala bentuknya, dan terhadap siapa pun juga. Mengingat betapa besarnya musuh bangsa yang berbentuk KKN ini, maka sudah sepatutnyalah bahwa perjuangan melawan KKN dikembangkan menjadi “perang nasional”, yang melibatkan sebanyak mungkin golongan atau kalangan. Terutama dari organisasi-organisasi buruh, tani, pemuda/mahasiswa, dan LSM. Juga dari kalangan masyarakat Islam dan Kristen/Katolik.

Sebab, nampaknya, masalah korupsi ini akan terus merupakan masalah besar bangsa kita, ketika sebagian terbesar rakyat terpaksa terus hidup dalam keadaan yang serba sulit, oleh karena naiknya harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari, dicabutnya subsidi BBM, naiknya tarif listrik, langkanya minyak tanah dan membubungnya harga beras. Berdasarkan pengalaman selama ini, kita tidak boleh punya ilusi bahwa maling-maling besar di bidang eksekutif, legislatif, judikatif dan juga golongan elite masyarakat lainnya, akan dengan mudah dan sukarela, meningggalkan praktek-praktek buruk mereka selama ini. Kasus-kasus korupsi baru akan tetap bermunculan (baik di Pusat maupun di daerah-daerah), sedangkan banyak kasus-kasus korupsi yang lama masih belum ditindak juga. Padahal, situasi ekonomi negeri kita akan tetap menyedihkan, bahkan mungkin bisa menjadi lebih parah lagi.

Gugat Dan Kutuk Terus Maling Maling Itu!

Adalah hak yang sah bagi rakyat kita untuk menggugat para maling-maling besar, (yang jumlahnya cukup banyak), supaya ditindak menurut hukum. Sebab, mereka ini telah mencuri uang publik dalam jumlah yang luar biasa besarnya, termasuk pinjaman dari luarnegeri. Umpamanya, dari Bank Dunia, Indonesia telah menerima pinjaman sebesar 60 milyar US$ antara tahun 1966 sampai 1998. Para pengamat ekonomi (Indonesia maupun asing) memperkirakan bahwa 30% dari jumlah itu telah dicuri – dengan berbagai cara dan bentuk - oleh para “tokoh” Orde Baru, baik yang di Jakarta maupun yang di propinsi dan kabupaten. Supaya lebih jelas dalam ingatan kita bersama : 30% dari $ 60 milyar adalah sekitar $ 18 milyar, yang berarti sekitar Rp 180 triliun (Rp 180 ditambah dengan 12 nol di belakangnya, artinya Rp 180 000 000 000 000 ).

Saat ini posisi utang dalam negeri mencapai Rp 670 triliun (Rp 670 000 000 000 000). Sedangkan utang luar negeri mencapai Rp 600 triliun (Rp 600 000 000 000 000). Jadi, dilihat dari komposisinya, utang dalam dan luar negeri sama beratnya. Utang dalam negeri yang cukup besar itu membebani APBN, mengingat utang dalam bentuk obligasi tersebut bunganya di atas 10 % (Detikcom, 23 November 2001). Singkatnya, utang dalam negeri dan luar negeri kita amat besar sekali (!). Artinya, beban amat berat inilah yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat kita, termasuk anak-anak dan cucu-cucu kita. Padahal, sebagian dari utang itu dinikmati (secara haram) oleh hanya sebagian kecil sekali rakyat kita. Jelasnya, maling-maling besar itu memperkaya diri dan hidup mewah berkat dana yang dirampok dari hasil keringat rakyat banyak. Ini bisa kita lihat dari besarnya “kekayaan mendadak” para tokoh (baik yang di Jakarta maupun di daerah-daerah di seluruh negeri).

Gugatan, protes, kutukan, terhadap para koruptor perlu digalakkan terus-menerus lewat berbagai cara dan bentuk. Baik terhadap para koruptor besar selama masa Orde Baru, maupun masa pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Presiden Megawati sekarang ini, tanpa “pandang bulu”. Menggugat atau mempersoalkan kasus para koruptor itu bukanlah dengan tujuan semata-mata untuk menggugah rasa dendam atau kebencian. Bukan pula untuk mengipasi rasa dengki atau mengompori perasaan cemburu. Juga, bukan pula untuk memusuhi salah satu golongan, atau salah satu kalangan politik saja. Melainkan, dengan tujuan untuk membangun atau memperkuat gerakan moral secara besar-besaran, di seluruh negeri, untuk melawan “maksiat” bangsa yang bernama KKN ini. (Arti kata maksiat : perbuatan yang melanggar perintah Allah, perbuatan dosa, tercela, buruk)). Mengapa?

Maksiat Besar Yang Harus Diperangi Bersama-Sama

Walaupun selama bertahun-tahun sudah digembar-gemborkan oleh banyak kalangan (termasuk para pejabat tinggi atau tokoh-tokoh masyarakat) tentang pentingnya pembrantasan korupsi, namun nampaknya banyak orang tidak menyadari sedalam-dalamnya tentang besarnya kerusakan yang telah dibikin oleh maksiat besar yang disebut KKN ini. Maksiat inilah yang telah menjerumuskan keluarga Cendana beserta kroni-kroninya ke dalam lumpur kenistaan yang begitu dalam itu. Maksiat ini pulalah yang telah merusak rohani begitu banyak “tokoh”, baik yang di “jalur” ABG (Abri, Birokrasi dan Golkar) maupun yang di kalangan konglomerat. Bukan itu saja. Maksiat ini, begitu besarnya, sehingga bisa terus merusak rohani banyak kalangan selama pemerintahan Habibi, Gus Dur, dan yang sekarang di bawah pemerintahan Megawati-Hamzah ini.

Mohon, sama-sama kita renungkan hal-hal yang berikut : Maksiat korupsi inilah yang selama ini telah merajalela, tanpa mendapat perlawanan yang berarti dari banyak fihak, termasuk dari kalangan Islam dan Kristiani. Bahkan, yang sangat menyedihkan, adalah bahwa banyak tokoh-tokoh penting yang menyatakan diri sebagai Muslimin juga melakukannya secara besar-besaran. (Harap diteliti daftar nama orang-orang yang sudah tersangka oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai pelaku korupsi). Begitu hebatnya kerusakan rohani yang sudah dibikin oleh maksiat KKN ini, sehingga banyak para pelaku korupsi saling melindungi, atau saling menutupi, atau pura-pura saling acuh-tak-acuh, sehingga merusak penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif. Maksiat besar ini jugalah yang pernah, selama puluhan tahun, menjadi “bahan perekat” pemerintahan mafia yang bernama Orde Baru.

Dengan mempertimbangkan kerusakan-kerusakan besar terhadap bangsa dan negara, yang disebabkan olehnya, maka nyatalah bahwa maksiat yang satu ini adalah jauh lebih berbahaya daripada maksiat yang berupa permainan judi, minum bir, pelacuran, gambar porno, dll. Karena, maksiat ini telah meracuni hati nurani banyak kalangan atas, sehingga mereka tega hati mencuri kekayaan publik dan mendatangkan kesengsaraan bagi sebagian terbesar rakyat. Kalau dikaji dalam-dalam, maka nyatalah bahwa di belakang banyak persoalan parah kita dewasa ini, terkait masalah korupsi, dalam segala bentuknya. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kiranya kalau masyarakat luas menjadikan masalah korupsi ini sebagai sasaran perjuangan utama.

Untuk itu, partisipasi aktif para ulama, kyai, pendeta, dan pimpinan berbagai organisasi agama (baik yang Islam, Kristen/Katolik maupun yang lain), adalah penting untuk menjadikan masalah pembrantasan maksiat KKN ini sebagai salah satu di antara kegiatan yang utama (pendidikan rohani, khotbah, atau dakwah). Dengan cara-cara yang tepat dan juga dengan bentuk yang sesuai dengan kebiasaan masing-masing, mengangkat masalah pembrantasan maksiat korupsi adalah suatu kegiatan yang, pada intinya, menjalankan secara kongkrit ajaran agama. (Kiranya, bagi golongan Islam kegiatan ini bisa dikategorikan dalam rangka mentrapkan ajaran amar makruf nahi mungkar).

Kondisi Bangsa Yang Menuju Kebangkrutan Moral

Gerakan moral besar-besaran, yang dilakukan beramai-ramai oleh sebanyak mungkin golongan masyarakat (termasuk kalangan agama), untuk melawan korupsi, bisa merupakan sumbangan penting kepada langkah-langkah yang sudah diambil oleh MPR, DPR dan pemerintah. Sebab, sama-sama kita saksikan bahwa walaupun sudah ada ketetapan MPR tentang pembrantasan korupsi, dan walaupun sudah ada berbagai peraturan atau undang-undang (umpamanya : pengisian formulir KPKPN, pembentukan berbagai komisi anti-korupsi), atau walaupun ada seruan dari Presiden Megawati dll, tetapi kelihatannya korupsi masih terus merajalela.

Kejahatan atau maksiat ini tidak bisa kita biarkan terus merusak kehidupan bangsa kita. Sebab, kondisi kehidupan moral kita sekarang sudah sangat parah. Menurut Media Indonesia (17 Januari 2002), tokoh Islam Nurcholis Majid menyatakan bahwa “kondisi bangsa saat ini sedang menuju ke arah kebangkrutan moral”. Sedangkan Ketua Umum Muhammadiyah, Syafii Ma’arif, menjelaskan bahwa “pendekatan moral dan agama diperlukan untuk mengatasi bangsa yang berada pada kondisi menuju kerusakan sempurna” dan bahwa ”untuk tataran moral dan kemanusiaan, sebenarnya tidak ada perbedaan antar-agama sehingga kita bisa melakukan kerja bersama”. Mengenai gerakan moral bersama untuk memperbaiki Indonesia yang berada pada ambang batas kerusakan ini, pimpinan PB NU Hasyim Muzadi menegaskan bahwa “gerakan moral bersama tersebut tidak boleh hanya terhenti pada tingkat wacana semata, tetapi harus menjadi kegiatan nyata yang hadir di tengah masyarakat”.

Ucapan-ucapan itu telah dilontarkan dalam pertemuan tertutup selama dua jam antara Hasyim Muzadi, Syafii Maarif, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Kardinal Julius Darmaatmadja, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Natan Setiabudi, tokoh Hindu Ktut Wirahana, dan Haksul Tjhie Tjai Ing (tokoh Konghucu). Tampak pula Nurcholish Madjid, Mudji Sutrisno, Jakob Oetama, Franz Magnis Suseno, dan Roeslan Abdulgani.

Tidak dijelaskan dalam berita tentang pertemuan berbagai tokoh itu, apakah juga dibicarakan tentang pentingnya pembrantasan korupsi atau tidak. Padahal, adalah jelas sekali bahwa korupsi adalah satu manifestasi yang paling gamblang tentang kebejatan moral atau kerusakan akhlak. Merajalelanya maksiat korupsi mencerminkan bahwa fondasi moral sudah runtuh, dan bahwa karenanya pilar-pilar hukum juga jadi ambruk. Sebagai akibatnya, banyak orang menghalalkan segala cara (yang haram) untuk berpesta-pora di atas penderitaan orang banyak, atau melakukan berbagai kejahatan (menyuap, memalsu anggaran, merekayasa kontrak, memperjual-belikan izin, menyalahgunakan kekuasaan, memeras, mengintimidasi dll) demi penumpukan kekayaan pribadi.

Situasi Bisa Makin Memburuk

Gerakan moral besar-besaran untuk melawan maksiat korupsi makin diperlukan, mengingat bahwa situasi politik, sosial, dan ekonomi mungkin akan menghadapi gejolak-gejolak besar di masa-masa yang akan datang. Pengangguran sudah mencapai sekitar 40 juta orang (Media Indonesia, 13 Januari 2002). Menteri Sosial, Bachtiar Chamsjah SE mengatakan, krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda negeri ini telah menyebabkan jumlah masyarakat miskin bertambah hingga menjadi 34,7 juta orang, dimana 13 juta orang lebih diantaranya terdiri dari fakir miskin (Media Indonesia, 13 Januari 2002). Di samping itu, ada sekitar 2,5 juta warganegara Indonesia yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri, disebabkan adanya konflik-konflik di berbagai daerah.

Kalau mengingat angka-angka yang menyedihkan hati itu, maka sudah sepatutnyalah kalau hati kita brontak ketika mendengar adanya orang-orang kalangan atas yang mengkorupsi dana sampai bermilyar-milyar Rupiah, bahkan ratusan milyar Rupiah. Kita patut marah ketika mendengar bahwa seorang buruh di Tangerang telah dituntut hukuman penjara 2 bulan tambah 24 hari, karena mengambil sandal jepit, sedangkan maling-maling besar yang mengkorupsi uang publik sampai puluhan atau ratusan milyar Rupiah tidak tersentuh oleh hukum dan bebas lenggang-kangkung saja. (Suratkabar Jakarta Post menulis bahwa hukuman bagi buruh Tangerang ini lebih berat dari hukuman kepada cucu Suharto, Ari Sigit, yang dihukum 2 bulan tambah 22 hari, karena tindak pidana yang jauh lebih besar, yaitu memiliki 70 peluru tajam).

Karena situasi politik yang akan makin tidak stabil (antara lain : perpecahan di PKB, PPP, Golkar, dan perebutan dana dan massa pendukung untuk menghadapi pemilu 2004), maka korupsi di kalangan partai juga akan makin menghebat. Sebagai akibatnya, gontok-gontokan antara berbagai komponen masyarakat juga akan berkembang. Sementara itu, para koruptor pastilah menggunakan kesempatan yang bisa penuh kekeruhan itu untuk menggaet uang secara haram. Di samping itu, timbulnya kasus Akbar Tanjung sekitar dana Bulog Rp 40 milyar, dan kasus-kasus Nurdin Halid, Abdul Gafur, Bustanil Arifin juga bisa menimbulkan goncangan-goncangan politik. Semua itu merupakan sebagian dari berbagai indikasi bahwa bangsa kita sedang menghadapi kebangkrutan moral, seperti yang dikatakan Nurcholis Madjid.

Untuk mengantisipasi perkembangan yang demikian itulah gerakan moral besar-besaran untuk melawan maksiat korupsi perlu dilancarkan oleh semua kekuatan demokratik dalam masyarakat. Dalam gerakan moral ini, kalangan agama ( terutama kalangan Islam, yang mempunyai penganut terbesar di negeri ini) mempunyai peran yang amat penting. Dengan partisipasi aktif dalam melawan maksiat korupsi, citra Islam di Indonesia bisa menjadi jauh lebih positif daripada yang sudah-sudah. Banyak orang akan mencampakkan kesan bahwa kalangan Islam selama ini “pasif” saja terhadap korupsi, atau bahkan melindungi para koruptor yang menjadikan agama – dengan berbagai cara dan bentuk - sebagai alat manipulasi atau “tameng”. Banyak orang merasakan bahwa apa yang telah dilakukan selama ini oleh organisasi-organisasi Islam (NU, Muhammadiyah, Majlis Ulama Indonesia, ICMI, Dewan Dakwah Islam dan lain-lainnya), dalam melawan maksiat korupsi, tidaklah sepadan sama sekali dengan apa yang semestinya. Demikian juga dari fihak KWI dan PGI.

Melawan Korupsi Tanpa Pandang Bulu

Singkat kata, mengingat besarnya kerusakan-kerusakan rohani yang telah disebabkan oleh maksiat korupsi selama puluhan tahun, maka adalah penting sekali dilancarkan jihad untuk memeranginya, melalui gerakan moral secara damai. Karena maksiat ini sudah merambah berbagai golongan agama dan kalangan keturunan, maka jihad ini tidak patut ditujukan hanya kepada salah satu golongan agama, keturunan, atau partai politik. Yang diperangi adalah maksiatnya, tanpa pandang bulu para pelakunya, baik yang simpatisan Orde Baru, maupun yang bukan.

Namun, karena kebanyakan para “tokoh” pemerintahan ataupun masyarakat luas di negeri kita memeluk agama Islam, maka juga adalah wajar sekali kalau membersihkan maksiat korupsi menjadi tugas moral utama kalangan Islam sendiri. Adalah kewajiban organisasi-organisasi Islam untuk mengadakan kegiatan atau langkah-langkah, sehingga perjuangan melawan korupsi juga menjadi salah satu agenda penting bagi mereka masing-masing. Tindakan tegas atau peringatan keras terhadap para pemimpin atau anggota mereka masing-masing yang melakukan maksiat korupsi, merupakan sumbangan besar kalangan Islam terhadap perjuangan melawan maksiat nasional ini.

Berikut adalah bahan untuk renungan kita bersama : “Berdasarkan data pengembalian formulir LKPN memperlihatkan bahwa dari 351 bupati/wali kota yang ada di seluruh Indonesia, baru 133 orang (37%) yang telah menyerahkan LKPN kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Sedangkan 218 bupati/wali kota lainnya masih ‘menunggak setoran’ formulir LKPN” (dikutip dari Media Indonesia 11Desember 2001). Apa yang bisa kita artikan dari kutipan berita ini? Banyak. Dan menyedihkan!. Ini menunjukkan kebangkrutan moral yang luar biasa di kalangan sebagian terbesar pimpinan pemerintahan negeri ini.

Sebab, bupati dan walikota adalah pimpinan pemerintahan yang penting bagi negeri kita. Merekalah yang, seharusnya (!!!) dari jarak dekat menyelenggarakan, memimpin, dan mengkontrol pemerintahan, demi kepentingan rakyat. Bupati dan walikota diangkat atau “dipilih” untuk mengatur masyarakat negeri ini. Tetapi, dari berita yang tersebut di atas saja sudah kelihatan bahwa mereka tidak mematuhi undang-undang atau peraturan, artinya tidak mengindahkan disiplin nasional. Keengganan mereka (atau, bahkan, perlawanan mereka) untuk melaporkan kekayaan saja, sudah memberikan contoh yang tidak baik bagi masyarakat. Banyak orang mendapat kesan yang negatif, atau mencurigai kebersihan akhlak dan meragukan integritas politik mereka.

Bahkan, dari yang sudah memberikan laporan tentang kekayaan mereka pun kelihatan bahwa banyak soal yang bisa dipertanyakan, umpamanya : asal usul dana yang mereka sebutkan sebagai “hibah”, atau “warisan” keluarga, atau “usaha sendiri” . Gejala semacam ini juga terdapat di kalangan pejabat-pejabat penting negara lainnya – baik di tingkat Pusat maupun daerah – di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif. Korupsi di DPR atau DPRD, atau di kalangan “penegak hukum” sudah sering sama-sama kita dengar selama ini.

Utang negara kita sudah begitu besar, pengangguran sudah mencapai lebih dari 40 juta, puluhan juta orang dinyatakan sebagai fakir miskin, harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari sudah makin berat bagi sebagian terbesar rakyat kita. Nyatalah bahwa di tengah-tengah situasi yang demikian, korupsi adalah maksiat yang tidak bisa dihadapi dengan toleransi lagi. Para pelakunya harus mendapat hukuman berat yang setimpal dan seadil-adilnya.