23 Februari 2009 — 10 menit baca

Letjen (Pur) PRABOWO jadi presiden RI ?

Kiranya, dapat sama-sama kita perhatikan, bahwa di antara banyak masalah yang sangat menarik dalam menghadapi pemilihan umum 2009 di Indonesia adalah pencalonan letnan jenderal (Pur) Prabowo sebagai presiden kepala negara RI. Sebab, pencalonan diri Prabowo sebagai presiden RI menyangkut berbagai masalah yang penting sekali bagi negara dan bangsa. Oleh karena itu, tulisan ini mengajak para pembaca untuk mencoba menelaahnya dari berbagai segi dan sudut pandang. Tulisan ini adalah sekadar penyajian beberapa aspeknya saja tentang persoalan ini, sebagai sumbangan bahan untuk pemikiran bersama.

Terlebih dahulu baiklah sama-sama kita catat bahwa Letnan Jenderal (Pur) Prabowo adalah tokoh militer tingkat tinggi (jenderal bintang tiga), yang pernah menjadi kebanggaan Suharto dan juga menantunya (suami dari Titiek Suharto). Karena berbagai sebab kekeluargaan dan bersifat pribadi, perkawinannya (dalam tahun 1983) dengan anak Suharto ini tidak dapat dipertahankan terus-menerus. (Namun, tentang soal ini tidak akan dibentangkan di sini, karena masih banyak soal-soal lainnya yang lebih penting, yang lebih patut dan juga perlu diangkat, justru karena menyangkut kepentingan umum).

Prabowo ini (anak ahli ekonomi Prof. Dr Sumitro Djojohadikusumo, tokoh PSI yang menjadi penentang besar presiden Sukarno, dan yang kemudian jadi gembong gerakan pembrontakan PRRI- PERMESTA) adalah perwira muda yang karir militernya naik dengan kecepatan luar biasa, berkat kedekatannya dengan keluarga Suharto. Dalam kehidupannya sebagai perwira militer selama 24 tahun, yang patut dicatat adalah bahwa ia pernah memainkan peran penting dalam operasi di Timor Timur dan memimpin Kopassus (antara 1995-1998) dan kemudian jadi komandan tertinggi KOSTRAD (Komando Strategis Angkatan Darat) tahun 1998 . Ia pernah membawahi sejumlah perwira-perwira AD yang penting-penting, antara lain : mayjen Adam Damiri, mayjen Mahidin Simbolon, brigjen Amirul Isnaeni, kolonel Gerhan Lentara.

Berbagai pelanggaran HAM Prabowo

Dalam masa ia menjadi pimpinan militer di Timor Timur dan Kopassus inilah ia dituduh oleh berbagai kalangan (di Indonesia dan di luarnegeri) bertanggung jawab atas pelanggaran HAM (antara lain berbagai penculikan dan pembunuhan) terhadap penentang-penentang rejim militer Orde Baru. Karena banyaknya pelanggaran HAM di Timor Timur inilah maka satu organisasi yang berpusat di Australia “East Timor International Support Center “ pernah menuntut supaya Prabowo diajukan di depan pengadilan Internasional tentang Kejahatan Perang (International War Crimes Tribunal). Di samping itu nama Prabowo tercantum dalam berbagai dokumen-dokumen yang pernah dikeluarkan oleh organisasi-organisasi internasional seperti Amnesty International, International Human Rights Watch. Selama puluhan tahun nama Prabowo disangkut-pautkan oleh berbagai kalangan di luarnegeri dengan masalah Timor Timur. Jadinya, nama Prabowo dikenal sekali di kalangan internasional yang membidangi masalah HAM.

Ketika tahun 1998, ia pernah disebut-sebut sebagai “the rising star” , perwira muda yang dalam umur 47 tahun menjadi paglima KOSTRAD, dan yang mungkin akan menggantikan Suharto. Namun, pada waktu itu pulalah (setelah Suharto dipaksa mundur dari jabatannya) ia dicopot juga dari jabatannya di KOSTRAD (Mei 1998). Banyak kalangan di Indonesia mengkaitkan Prabowo dengan diculiknya dan dihilangkannya aktivis-aktivis anti-rejim Suharto (terutama anak-anak muda PRD) , dan juga disebut-sebut tentang keterlibatannya dengan peristiwa rasial anti-Tionghoa di Jakarta dalam bulan Mei 1998.

Jadi konglomerat besar

Setelah pensiun dari dinas militer, ia menjadi pengusaha besar. Sekarang, setelah lima tahun pensiun, sebagai konglomerat ia memimpin suatu armada dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang (antara lain) : perikanan, pertanian, kelapa sawit, bubur kertas, minyak, pertambangan. Perusahaan-perusahaan ini yang semuanya tergabung dalam Nusantara Group adalah : Nusantara Energy, Kiani Kertas, Tidar Kerinci Agung, Tusam Hutani Lestari, Nusantara Kaltim Coal, Jaladri Swadesi Nusantara, Gardatama Nusantara.

Untuk pemilu 2004, Prabowo pernah berusaha mencalonkan diri sebagai capres dari kalangan Golkar, tetapi tidak berhasil karena bersaing dengan Wiranto. Sekarang, untuk pemilu 2009, dengan kedudukannya sebagai ketua umum partai Gerindra (Gerakan Rakyat Indonesia Raya) ia mencalonkan diri untuk menjadi presiden RI. Nah, mengingat berbagai hal yang berkaitan dengan sepak terjangnya sebagai petinggi Angkatan Darat di masa yang lalu dan juga sikap politiknya itu semualah maka persoalan pencalonan dirinya sebagai capres menjadi menarik sekali, karena bisa menimbulkan berbagai pertanyaan, kecurigaan, kekuatiran, juga harapan-harapan dan perlawanan atau penolakan.

Tokoh pendukung kekuasaan Suharto

Reaksi semacam itu semua adalah lumrah atau wajar saja. Sebab, mengapa sesudah menjadi konglomerat yang menguasai begitu banyak perusahaan dan kaya raya itu masih juga ingin menjadi presiden? Lagi pula, ia tentu sudah tahu bahwa bagi banyak kalangan (di Indonesia dan di luarnegeri) riwayat hidupnya sebagai petinggi militer dan dekat sekali dengan keluarga Suharto adalah faktor yang tidak menguntungkannya sebagai calon presiden? Atau, apakah justru ia berpendapat sebaliknya, yaitu bahkan sebagai faktor-faktor yang membantunya? Dan apakah pernyataannya bahwa ia ingin jadi presiden itu betul-betul karena secara jujur dan tulus ingin membela rakyat kecil dan memperbaiki situasi negara dan bangsa? Dan apakah kalau seandainya (!!!) ia jadi presiden maka negara dan bangsa Indonesia akan bisa menjadi lebih baik daripada yang selama ini? Dan apakah justru tidak akan mengulangi lagi segala hal buruk seperti yang banyak sekali terjadi di jaman Orde Baru ?

Adalah jelas sekali bahwa Prabowo, yang sejak dari mudanya (lulusan Akabri tahun 1974) bertugas di pasukan Kopassanda, kemudian bertahun-tahun menjadi komandan Kopassus yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar sekali di kalangan militer (terutama AD), dan kemudian lagi jadi komandan Kostrad adalah tokoh pendukung kekuasaan Suharto yang “tidak tanggung-tanggung”. Sikap politiknya terhadap Suharto juga jelas sekali. Ia adalah pengagum dan penganut setia Suharto. Ia pernah menjadi unsur penting rejim militer Suharto. Karena iru, wakaupun sudah pensiun, ia masih juga mempunyai pengaruh tertentu yang tidak kecil di kalangan militer dan Golkar.

Kiranya, dari sudut pandang ini jugalah kita perlu menelaah pencalonan Prabowo sebagai presiden RI. Sebab, ini hal ini ada kaitannya yang erat dengan janjinya untuk mengadakan perubahan besar-besaran guna mengatasi keterpurukan bangsa dan negara. Sedangkan, patut sekali disangsikan apakah sebagai pelaku yang penting dan aktif rejim militer Orde Baru sampai tahun 1998 (sekitar 10 tahun yang lalu) ia betul-betul mau – dan juga bisa ! – mengadakan perubahan besar-besaran.

Perlunya menghilangkan sisa-sisa Orde Baru

Sebab, perubahan besar-besaran berarti harus dengan tegas mau meninggalkan hal yang buruk, yang jahat, yang haram, yang busuk, dari kepemimpinan Suharto. Atau berarti harus berani merombak segala sisa-sisa politik dan tindakan rejim Orde Baru yang tidak menguntungkan rakyat banyak. Atau harus sungguh-sungguh mau menghilangkan segala peraturan dan undang-undang yang bertentangan dengan HAM dan Pancasila yang masih berbau rejim militer Orde Baru. Singkatnya, perubahan besar hanya bisa dilakukan dengan harus memutuskan segala hubungan politik, ideologis, dan praktek-praktek buruk rejim militer Suharto, yang dilakukan selama 32 tahun Orde Baru ditambah dengan sekitar 10 tahun pasca-Suharto.

Jelaslah bahwa pekerjaan ini besar sekali, dan juga sangat rumit, karena banyaknya persoalan yang parah, seperti yang sama-sama kita saksikan dewasa ini di banyak bidang. Dan kita melihat sendiri bahwa berbagai masalah yang gawat atau parah dewasa ini sumbernya adalah sisa-sisa pemerintahan Suharto dalam waktu yang begitu lama itu, yang kemudian diteruskan atau diwarisi oleh berbagai pemerintahan yang menyusulnya sampai sekarang.

Mengingat begitu besarnya dan begitu banyaknya pula masalah parah yang harus ditangani demi kepentingan sebagian terbesar rakyat Indonesia, dan juga mengingat jejak-rekam Prabowo sebagai komandan Kopassus yang penuh dengan halaman hitam (harap ingat, antara lain, juga perannya dalam menindas penentang-penentang Freeport di Papua), maka sangat sangat kecil harapan bahwa Prabowo adalah tokoh yang dapat – dan mau sungguh-sungguh !!! - mengadakan perubahan-perubahan yang dibutuhkan negara dan rakyat dewasa ini.

Dana besar untuk kampanye

Memang, patut dicatat dan diakui bahwa munculnya Prabowo sebagai capres tahun lalu dengan diusung oleh partai yang baru lahir pula, yaitu Gerindra, merupakan fenomena yang bisa “mengejutkan” banyak orang. Berkat besarnya atau banyaknya dana yang dikerahkan untuk kampanye (lewat iklan dan siaran-siaran lainnya di televisi dan media massa, rapat-rapat umum, cetakan dan selebaran) popularitas Prabowo sebagai capres sudah mengalahkan (menurut hasil berbagai survey) banyak sekali capres lainnya, kecuali SBY dan Megawati.

Dengan dana yang besar ini, maka Prabowo bisa menggunakan berbagai saluran dan jalan untuk merekrut tenaga dan mengumpulkan “pendukung” yang sekarang sudah disebut-sebut mencapai belasan juta orang. Walaupun angka-angka yang diumumkan oleh sumber Prabowo itu diperkirakan sudah digelembungkan, tetapi berkat pengerahan melalui mesin organisasi partai Gerindra dan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang diketuainya bisa tetap merupakan jumlah yang relatif “mengkuatirkan” bagi capres-capres lainnya, termasuk SBY dan Megawati.

Memang, nampak sekali bahwa Prabowo sudah menggunakan cara-cara yang “lihay” untuk menampilkan diri sebagai capres yang bisa diterima oleh banyak fihak, jadi tidak hanya oleh kalangan yang masih bersimpati kepada Suharto beserta Orde Barunya. Oleh karena itu ia banyak berbicara tentang situasi ekonomi yang membikin sengsaranya rakyat kecil, terutama kalangan buruh, tani dan nelayan. Ia juga galak sekali dalam mengkritik pemerintah yang terlalu takluk kepada kepentingan modal asing dan membikin utang luar negeri yang memberatkan ekonomi negara dan rakyat. Semunya itu, menurutnya, hanya menguntungkan golongan elit saja.

Dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang patriotik, nasionalis, pro-rakyat kecil, dan anti dominasi ekonomi asing, yang menyerupai atau mirip-mirip ungkapan Bung Karno, ia berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang bisa menyaingi sosok lainnya sebagai presiden RI. Begitu pandainya ia bermain kartu dalam perannya sebagai capres, maka ia minta restu Gus Dur, di samping jiarah ke makam Bung Karno di Blitar dan juga di makam Suharto. Permainan ini ternyata mendapat hasil yang relatif lumayan, sampai ada orang-orang yang percaya bahwa ia adalah sosok yang menyerupai “Bung Karno kecil” (mengingat seriusnya kebusukan masalah penyamaan Prabowo sebagai “Bung Kano kecil” ini, akan ada tulisan khusus yang tersendiri).

Meskipun Prabowo mencoba mempertontonkan diri sebagai orang yang menghargai atau menghormati Suharto dan Bung Karno kedua-duanya, namun wajarlah atau masuk akallah bahwa sebenarnya ia lebih menghormati Suharto dari pada Bung Karno. Ungkapan-ungkapan yang meniru-niru ajaran-ajaran Bung Karno hanyalah untuk kepentingan kampanye capres-nya. Padahal, dapat diduga bahwa sulit sekali bagi Prabowo untuk melepaskan diri dari ikatan batin dan hatinya dengan Suharto dan Orde Barunya, yang telah membikinnya sebagai “orang besar” di kalangan militer.

GERINDRA adalah sarang sisa-sisa Orba

Di antara berbagai indikasi yang menunjukkan ke arah ini bisa dilihat kalau kita amati masalah partai Gerindra, yang ia pimpin (sebagai Ketua Umum) dan mayjen (pur) Muchdi sebagai wakil ketua umumnya. Di samping Muchdi (bekas komandan Kopassus yang kemudian jadi pimpinan BIN yang tersangkut dengan masalah pembunuhan Munir) masih banyak pensiunan petinggi militer lainnya yang - secara langsung atau tidak langsung – membantu Prabowo dengan GERINDRA-nya. Dari sudut ini pulalah kita dapat melihat bahwa partai GERINDRA adalah juga sarang kekuatan sisa-sisa rejim militer Suharto, seperti halnya Golkar dalam jangka waktu puluhan tahun (yang sekarang sudah makin merosot).

Karena itu, seandainya (sekali lagi, seandainya !) Prabowo -berkat dana yang melimpah-limpah - bisa mengumpulkan dukungan yang makin besar yang memungkinkannya meraih kedudukan tinggi negara kita, maka ini akan merupakan perkembangan yang sangat berbahaya bagi rakyat dan negara kita. Sebab, Prabowo bukanlah tokoh politik yang jelas-jelas, dan tegas-tegas, menentang Orde Baru. Selama ini, tidak pernah ada pernyataannya atau sikapnya yang terang-terangan melawan politik Suharto.

Padahal, jatuhnya Suharto dalam tahun 1998 adalah cermin yang jelas bahwa rakyat Indonesia yang suaranya disalurkan oleh generasi muda, sudah menyatakan kemuakan dan kemarahannya. “Kemenangan” Prabowo - besar atau kecil – merupakan pengkhianatan terhadap aspirasi generasi muda dan rakyat luas tentang perlu dibangunnya suatu pemerintahan yang berlainan sama sekali dari pemerintahan Orde Baru. Singkatnya, “Kemenangan” Prabowo adalah kemenangan sisa-sisa Orde Baru. Tidak bisa lain !!!

Kecuali, kalau Prabowo sudah terang-terangan, dan secara jujur atau setulus-tulusnya, dan dengan tindakan nyata pula (!), mau meninggalkan sama sekali keterkaitannya dengan segala hal yang buruk dari Suharto dan Orde Baru. Hanya dengan cara itu, Prabowo akan bisa merubah citranya, yang penuh dengan dosa-dosanya karena berbagai kejahatan atau pelanggaran HAM.

Tetapi, apakah Prabowo mau mengambil sikap yang demikian itu, adalah soal yang akan bisa sama-sama kita saksikan tidak lama lagi.