07 Desember 2007 — 9 menit baca

Koruptor adalah pengkhianat rakyat dan musuh bangsa

Mohon perhatian pembaca : dalam tulisan kali ini digunakan ungkapan atau bahasa yang barangkali kedengaran terlalu keras. Itu semua hanya dengan tujuan untuk menajamkan persoalan dan mengajak tergugahnya fikiran, yang berkaitan dengan berbagai masalah korupsi.

Hari anti-korupsi internasional yang jatuh pada tanggal 9 Desember telah diperingati oleh ribuan orang dari berbagai kalangan di Jakarta. Kegiatan yang dimaksudkan mendukung seruan PBB untuk memberantas korupsi yang melanda banyak negeri di dunia ini diikuti oleh berbagai organisasi massa, LSM, sebagian pegawai jawatan dan lembaga (termasuk KPK). Beraneka ragam aksi yang dilakukan dalam rangka hari anti-korupsi internasional kali ini mencerminkan besarnya kepedulian (dan juga dalamnya keprihatinan !!!) banyak orang terhadap masalah korupsi di negeri kita.

Adanya aksi-aksi berbagai kalangan masyarakat untuk menyuarakan kemarahan, atau mengekspresikan kebencian, dan melontarkan kutukan, terhadap para koruptor adalah suatu hal baik yang patut disambut hangat oleh semua orang yang mendambakan perbaikan moral bangsa. Sebab, seperti yang kita saksikan dewasa ini, korupsi merupakan penyakit parah yang menyerang moral bangsa yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, terutama sejak berkuasanya rejim militer Orde Baru. Ada orang-orang yang mengatakan bahwa moral bangsa kita sekarang sedang sakit parah. Dan di antara penyebab penyakit paling parah yang diderita bangsa kita sekarang ini adalah korupsi yang merajalela di banyak bidang.

Kita semua amat sedih dan prihatin bahwa korupsi yang melanda negeri kita sudah menimbulkan kerusakan-kerusakan yang berat sekali dan juga kerugian yang amat besar bagi rakyat dan negara. Entah berapa ratus triliun Rupiah (atau, ribuan triliun ?) yang telah dicuri para koruptor selama puluhan tahun ini, sedangkan rakyat kita banyak yang kelaparan, dan pengangguran juga membengkak terus, dan kemiskinan kelihatan di banyak daerah. Korupsi telah merusak akhlak banyak orang dari berbagai kalangan dan golongan, dan kebusukan akhlak ini telah merusak banyak tatanan pemerintahan dan juga kehidupan masyarakat luas negeri kita.

Penelitian Transparency Internasional Indonesia

Sebagai contoh tentang kerusakan moral bangsa adalah penelitian yang dilakukan Transparency Internasionnal Indonesia mengenai korupsi di negeri kita. Menurut hasil penelitian tersebut, institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan, dan partai politik menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia (Kompas, 6 Desember 2007). Yang sangat menyedihkan sekali ialah adanya pesimisme di banyak kalangan bahwa korupsi ini akan tetap tidak bisa diberantas berhubung dengan sudah membusuknya akhlak di kalangan sebagian besar aparat pemerintah atau lembaga negara.

Kalau betul bahwa kepolisian, kejaksaan, dan para pejabat di kehakiman dan di pengadilan menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia, maka makin tipislah harapan banyak orang bahwa negeri kita akan bisa menegakkan « rule of law » dengan sungguh-sungguh. Selama ini memang terdengar adanya suara-suara yang menggambarkan kekotoran dan kebejatan akhlak (tidak semuanya !!!) di kalangan mereka yang sering terima suap, main ancam untuk memeras, dan menyelewengkan perkara, atau macam-macam kongkalikong. Dan benar atau tidaknya banyak suara demikian itu bisa diteliti dengan memperhatikan cara hidup mereka beserta keluarganya. Sebab, tidak sedikit di antara pejabat-pejabat itu (atau tokoh-tokoh masyarakat) yang memiliki harta kekayaan yang asal-usulnya perlu dicurigakan.

Gejala yang mencerminkan adanya penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan ini terdapat di bidang eksekutif, termasuk menteri, gubernur, bupati dan camat (ingat, antara lain : kasus mantan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh). Bukan itu saja ! Di antara para « wakil rakyat » di parlemen juga ada yang melakukan « korupsi berjamaah » dalam berbagai bentuk dan cara (contoh terakhir : kasus dana gelap urusan BLBI) Apalagi, di DPRD di tingkat propinsi atau kabupaten, dimana berbagai ketentuan « otonomi daerah » merupakan kesempatan leluasa untuk mengadakan keputusan-keputusan yang hanya mementingkan diri sendiri, atau kelompok mereka masing-masing. Dan di sini pulalah sering mainnya partai-partai politik. Karena itu, menurut penelitian Transparency Internasional Indonesia, partai-partai politik juga menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di Indonesia.

Gerakan mengganyang koruptor

Mengingat itu semua, sudah sewajarnyalah (atau, bahkan, seharusnyalah !) bahwa berbagai kalangan masyarakat selama ini sudah sering menyuarakan kemarahan mereka kepada koruptor. Kemarahan mereka ini adalah 100% dapat dibenarkan, dan kebencian dan kutukan mereka terhadap para koruptor (baik yang besar maupun yang kecil) adalah mulia atau luhur. Karena itu, kita semua patut aktif mendukung atau membantu aksi-aksi atau gerakan yang bertujuan memberantas korupsi dan menghujat semua koruptor, tidak pandang bulu, tidak pandang agama, tidak pandang suku, tidak pandang partai atau golongan, tidak pandang jabatan atau pangkat. Sebab, para koruptor ini – terutama para koruptor kelas kakap dan kelas menengah – pada hakekatnya adalah bukan saja maling uang publik, atau mencuri kekayaan negara, melainkan sudah menjadi pengkhianat rakyat.

Bahkan, sangat besarnya kerusakan moral atau meluasnya kebejatan mental para koruptor ini sudah begitu seriusnya sehingga mereka sudah pantas disebut sebagai musuh rakyat. Kebejatan mental para koruptor - di berbagai bidang kehidupan bangsa – ini sudah membikin banyak persoalan dalam pemerintahan, dan mengotori kehidupan masyarakat luas. Kebejatan akhlak para koruptor ini sudah menular kemana-mana dan meracuni banyak orang, bukan hanya di Jakarta saja melainkan juga di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Musuh rakyat, yang terdiri dari para koruptor ini (sekali lagi : terutama yang kelas kakap dan kelas menengah) harus sama-sama kita hadapi sebagai pengkhianat, dengan gerakan yang besar-besaran dan meluas.

Dan karena para koruptor – yang pada hakekatnya adalah pengkhianat atau musuh rakyat - terdapat dimana-mana, maka untuk melawannya atau memberantasnya perlulah dilakukan oleh gerakan yang meliputi sebanyak mungkin kalangan dan golongan dalam masyarakat. Rakyat banyak sudah tidak perlu terlalu banyak menggantungkan harapan kepada adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memberantas korupsi. Sebab, pada hakekatnya justru berbagai lembaga atau aparat pemerintah itu sendirilah yang harus jadi sasaran gerakan anti-korupsi. Rakyat banyak juga tidak perlu mempunyai ilusi atau terlalu percaya mentah-mentah kepada parlemen, kepada DPRD-DPRD, kepada partai-partai politik, dan lembaga-lembaga, termasuk lembaga agama. Karena, selama ini (artinya sudah puluhan tahun) sudah banyak buktinya bahwa justru mereka-mereka di kalangan inilah yang banyak terlibat dalam berbagai macam bentuk dan cara korupsi.

Kesadaran politik untuk perubahan kekuasaan

Untuk mendorong adanya langkah-langkah yang lebih tegas atau lebih kongkrit mengenai tindakan terhadap para koruptor, dan sekaligus untuk mengawasi dan mengontrolnya, maka diperlukan adanya mobilisasi berbagai kekuatan dalam masyarakat dalam gerakan mengganyang para koruptor. Berkembangnya gerakan besar-besaran untuk mengganyang para koruptor ini akan mempunyai berbagai dampak yang baik bagi rakyat dan negara. Melalui gerakan mengganyang para koruptor, yang dilakukan bersama-sama oleh segala macam organisasi kemasyarakatan, segala jenis perkumpulan atau organisasi massa, segala golongan buruh, tani, perempuan, mahasiswa, pemuda, dll dll akan dibangkitkan keberanian masyarakat luas untuk melawan ketidakadilan atau kejahatan yang dilakukan oleh fihak yang manapun juga.

Aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai kalangan di tingkat “akar rumput” di banyak daerah Indonesia, dalam gerakan mengganyang para koruptor, akan merupakan cara yang ideal untuk meningkatkan kesedaran politik banyak orang. Melalui berbagai aksi dalam gerakan mengganyang koruptor dapat dibangkitkan keberanian banyak orang untuk melawan ketidakberesan dalam pengelelolaan negara. Berkat dilancarkannya gerakan mengganyang koruptor ini akhinrya banyak orang akan mengetahui bahwa pengganyangan koruptor – secara besar-besaran dan secara tuntas – hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang yang bersih, berwibawa, pro-rakyat, dan benar-benar mendambakan keadilan.

Dari aksi-aksi gerakan mengganyang koruptor ini banyak orang akan melihat juga bahwa para koruptor ini pada umumnya – atau sebagian terbesar ( jadi tidak semuanya atau tidak selalu) – terdiri dari orang-orang yang mempunyai sikap anti-rakyat atau reaksioner, yang pro-Orde Baru. Dari banyaknya kasus korupsi yang sudah dibongkar atau diambil tindakan selama ini kelihatan jelaslah bahwa korupsi telah banyak dilakukan orang-orang berakhlak bejat, yang meniru-niru contoh yang diberikan Suharto, Tommy, serta pembesar-pembesar Orde Baru lainnya. Ini dibuktikan dengan apa yang terjadi dengan kasus-kasus di Pertamina, Bulog, BUMN, Garuda Indonesian Airways, Bank Indonesia, Goro, Humpuss, BLBI dan banyak kasus-kasus lainnya.

Pentingnya merebut kekuasaan politik secara demokratis

Dari segi ini dapat dilihat bahwa berbagai aksi dalam gerakan mengganyang koruptor, yang dijalankan oleh sebanyak mungkin kalangan masyarakat di negeri kita akan memberi sumbangan penting untuk terjadinya perubahan sistem pemerintahan. Sebab, dari gerakan mengganyang koruptor ini akan jelas akan perlunya perubahan kekuasaan politik di negeri kita. Kita sudah terlalu kenyang dengan janji-janji palsu selama ini dari para pembesar dan para “wakil rakyat” dan para pemimpin partai politik, yang selalu menggembar-gemborkan pemberantasan korupsi, tetapi yang ternyata hanya omong-kosong bohong belaka. Hanya perubahan kekuasaan politik yang benar-benar menjadi kekuasaan pro-rakyat banyaklah yang bisa bertindak terhadap tegas para koruptor, yang merupakan musuh rakyat dan pengkhianat kepentingan negara dan bangsa. Dan untuk memungkinkan terjadinya perubahan kekuasaan politik di negeri kita, maka perlu sekali direbutnya kekuasaan negara – dengan cara-cara demokratis – dari orang-orang tua yang selama 40 tahunan sudah menunjukkan ketidakmampuannya (dan juga ketidakmauannya !!!) mengabdi sungguh-sungguh kepada kepentingan rakyat. Jelaslah, bahwa hal ini tidaklah mudah dan bisa makan waktu yang panjang dan berliku-liku. Tetapi, hanya arah inilah yang benar, demi kebahagiaan atau kesejahteraan sebagian besar rakyat kita.

Sebab, kita perlu menyadari bahwa dewasa ini kekuasaan politik di negeri kita sebagian terbesar masih dikuasai oleh orang-orang yang bermental sisa-sisa Orde Baru, yang kebanyakan adalah orang-orang reaksioner dan anti-rakyat, atau anti-Bung Karno. Itu sebabnya maka banyak persoalan kepentingan rakyat diabaikan atau diterlantarkan, termasuk pengganyangan para koruptor. (Ingat dalam hal ini kasus korupsi Suharto dan harta haram Tommy). Jadi, perjuangan memang masih bisa lama . Tetapi, sejarah dunia sudah membuktikan bahwa segala yang buruk akhirnya - pada waktunya. - akan diganti dengan yang yang lebih baik.

Terpilihnya Antasari sebagai pimpinan KPK

Apalagi, pemberantasan korupsi di negeri kita mungkin akan menghadapi masa-masa yang lebih suram dengan terpilihnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru oleh DPR. KPK sekarang ini dipimpin oleh Antarsari Azhar, seorang yang mendapat sorotan negatif dari banyak kalangan hukum, berhubung dengan berbagai kasus (juga desas-desus) selama menjabat sebagai jaksa di masa yang lalu, terutama yang berkaitan dengan perkara Tommy Suharto. Ketua KPK yang lama Ruki Taufikurrahman terpaksa meninggalkan kedudukannya, karena sudah habis masa jabatannya.

Dengan terpilihnya Antarsari Azhar sebagai ketua KPK yang baru, banyak orang menunggu-nunggu (dengan ragu dan kesangsian yang besar) apakah ia akan bisa (dan mau !) menangani kasus-kasus korupsi sebaik ketua KPK yang lama. Padahal korupsi masih terus merajalela di banyak tempat Di samping itu banyak orang juga sedang menunggu-nunggu kabar lanjutan bagaimana akhirnya persoalan korupsi Suharto, dalam kaitannya dengan seruan PBB dan Bank Dunia untuk mengembalikan harta-harta negara yang dicuri oleh para koruptor (baca : kumpulan berita masalah Suharto dengan PBB-Bank Dunia) Masih belum bisa ditindaknya Suharto, padahal banyak hasil kejahatannya yang sudah dilihat oleh banyak orang selama ini, menunjukkan juga benarnya hasil penelitian Transparency Internasional Indonesia, bahwa aparat-aparat negara (khususnya kepolisian) , parlemen, peradilan, dan partai-partai politik menduduki peringkat teratas sebagai lembaga terkorup di negeri kita. Juga berbelit-belitnya pengurusan kasus harta haram Tommy Suharto, menunjukkan adanya pembusukan moral dan kerusakan akhlak di kalangan yang bertugas untuk menanganinya.

Semuanya itu memberikan bukti bahwa korupsi sudah menimbulkan kerusakan-kerusakan parah sekali di bidang moral bangsa dan juga menyebabkan kerugian yang besar pada kekayaan rakyat dan negara. Jadi jelaslah bahwa koruptor adalah pengkhianat rakyat. Koruptor adalah musuh bangsa. Musuh kita semua !!!