12 Maret 2008 — 10 menit baca

Indonesia membutuhkan perubahan kekuasaan politik

Berita ditangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan dan orang dekat Syamsul Nursalim (pemilik bank BDNI) dalam kasus suapan sebesar 660.000 $US (lebih dari 6 miliar Rupiah) betul-betul menarik perhatian banyak orang, dan karenanya tetap menjadi topik pembicaraan yang hangat di masyarakat luas dan juga pemberitaan yang gencar dalam media massa. Hal yang demikian ini adalah wajar, bukan saja karena berkaitan dengan uang suapan yang begitu banyak, melainkan juga karena kasus besar ini menyangkut banyak pejabat penting di Kejaksaan Agung serta instansi-instansi yang lain. Banyaknya pejabat Kejaksaan Agung yang tersangkut kasus ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan – dan sekaligus membikin marah – banyak orang dari berbagai kalangan. (Harap baca Kumpulan berita/artikel dalam “Buntut kasus BLBI yang panjang”).

Betapa tidak !!! Sebab, menurut “teorinya” (atau logika yang normal), Kejaksaan Agung seharusnya adalah aparat hukum di tingkat tinggi di negara kita, yang tugasnya menyelenggarakan atau melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Karenanya, Kejaksaan Agung berkewajiban untuk mengusut, atau bertindak terhadap segala macam pelanggaran hukum atau kejahatan yang dianggap serius sekali, seperti kasus BLBI yang meliputi dana ratusan triliun Rupiah, dan yang sudah sekitar 10 tahun menjadi urusan besar negara.

Tetapi, apa lacur, Kejaksaan Agung yang sejak bulan Juli tahun yang lalu ditugaskan untuk mengusut atau menyelidiki kasus BLBI ini (kasus BDNI dan kasus BCA) dengan mengerahkan 35 jaksa yang dipilih dari berbagai daerah Indonesia, ternyata harus menghadapi skandal yang besar dan memalukan sekaligus menggeramkan sekali, dengan adanya kasus suapan yang diterima melalui jaksa Urip Tri Gunawan dari Artalyta Suryani, orang dekat Syamsul Nursalim.

Kebejatan moral di “kalangan atas”

Sekarang masih sulit diramalkan apa saja yang akan terjadi selanjutnya sebagai buntut kasus suapan raksasa itu. Sebab, kasus jaksa Urip Tri Gunawan bukan hanya fenomena yang “istimewa” dan “berdiri sendiri” di tengah-tengah kerusakan atau kebobrokan dunia hukum dan peradilan di negeri kita, yang sudah berlangsung lama. Dan kerusakan atau kebobrokan dunia hukum dan peradilan kita erat sekali hubungannya dengan kebejatan moral di “kalangan atas” (elite bangsa), yang merupakan cermin dari korupnya sistem politik, ekonomi dan sosial di masa Orde Baru.

Kiranya, luasnya kebejatan moral “kalangan atas” (elite bangsa) ini, yang kelihatan jelas sekali dalam bentuk korupsi di kalangan eksekutif, legislatif, dan judikatif, mengundang kita semua untuk mencoba bersama-sama menelaahnya. Karena, kalau kita teliti dengan agak dalam-dalam, maka akan nyata sekalilah bahwa kebanyakan korupsi yang besar-besaran, atau penyelewengan kekuasaan, atau pemberian suapan itu umumnya dilakukan oleh orang-orang sudah kaya atau kecukupan hidupnya dari gaji atau penghasilan mereka. Mereka mau terlibat dalam segala macam kejahatan atau pelanggaran, hanyalah karena keinginan untuk menumpuk kekayaan atau hidup bermewah-mewah secara berlebih-lebihan, dan bukannya terpaksa karena kesulitan hidup sehari-hari. Jadi, mereka melakukan korupsi (atau kejahatan-kejahatan dalam bentuk lainnya), disebabkan karena rusaknya moral mereka atau bejatnya iman mereka. (Perlulah kiranya kita ingat juga bahwa banyak sekali yang melakukan korupsi itu terdiri dari orang-orang yang kelihatannya saja rajin sembahyang, mengucapkan sumpah jabatan, atau melakukan berbagai ritual agama dengan “saleh” !).

Adalah penting – dan juga juga sangat menarik ! – kalau kita perhatikan bahwa “kalangan atas” yang dewasa ini tersangkut dalam berbagai korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu pada umumnya terdiri dari orang-orang yang bersimpati kepada Orde Baru, atau, yang telah “dididik” dan dibesarkan dengan jiwa dan pandangan-pandangan pro-Suharto dan, karenanya, anti-Bung Karno atau anti-kiri. Oleh karena itu, dapatlah kiranya kita tarik kesimpulan bahwa, pada umumnya (jadi tidak semua !) koruptor di kalangan birokrasi dan kejahatan-kejahatan di kalangan konglomerat hitam, terdiri dari orang-orang yang telah diuntungkan oleh sistem politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan Orde Baru, atau, orang-orang yang berhaluan kanan, yang reaksioner dan karenanya tidak bermoral.

Korupsi adalah satu dengan sisa-sisa Orba

Dari sudut pandang inilah kelihatan pentingnya perjuangan berbagai kalangan dan golongan masyarakat dalam melawan segala macam koruptor yang sudah lama merajalela di negara kita. Jadi, perjuangan melawan korupsi adalah bagian penting untuk menghancurkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru. Sebab, kekuatan sisa-sisa Orde Baru (atau Orde Baru jilid II) adalah juga terletak di jaring-jaringan berbagai korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan (di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, ekonomi, kebudayaan, dan agama). Ini kelihatan sekali kalau kita perhatikan sepak-terjang Golkar (juga partai-partai lainnya) dan tingkah-laku para konglomerat hitam selama ini.

Dari segi ini pulalah kita bisa mengerti bahwa sisa-sisa Orde Baru (atau Orde Baru jilid II), pada dasarnya, tidak mempunyai kepentingan untuk terberantasnya segala macam korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan secara tuntas, dewasa ini maupun di masa yang akan datang. Sebab, kekuatan Golkar (dan sisa-sisa Orde Baru lainnya) adalah justru karena korupsi dan segala macam penyalahgunaan kekuasaan. Jadi, terberantasnya korupsi atau dihabisinya segala macam penyalahgunaan kekuasaan akan melemahkan kekuatan sisa-sisa Orde Baru. Dengan pandangan semacam ini kita bisa mengerti bahwa kekuatan sisa-sisa Orde Baru akan berusaha terus untuk mencegah suksesnya pemberantasan korupsi, dengan bermacam-macam jalan dan cara.

Itulah sebabnya, kita semua patut menyadari bahwa selama Orde Baru jilid II (artinya : pemerintahan SBY-JK ) masih berkuasa terus, maka partai Golkar akan tetap merupakan partai yang paling kaya atau paling kuat, dibandingkan dengan partai-partai lain. Karena itu pulalah Golkar sudah berani sesumbar bahwa dalam Pemilu tahun 2009 nanti akan memperoleh suara sebanyak sekitar 30 %. Ini berarti bahwa Golkar ingin akan tetap terus menduduki dominasi dalam parlemen dan pemerintahan yang akan datang. (Dalam Pemilu tahun 2004 partai Golkar memperoleh 21,58% suara atau 24 juta suara). Dengan perspektif yang begini ini, nyatalah dengan jelas bahwa negara kita tidak akan mengalami perubahan-perubahan besar dan radikal, yang bisa membawa perbaikan hidup rakyat banyak.

Tidak mungkin ada perubahan besar dengan Golkar

Dari pengalaman selama 32 tahun Orde Baru ditambah dengan 10 tahun pasca-Suharto (jadi hampir setengah abad) kita dapat melihat – dengan gamblang sekali – bahwa Golkar sama sekali bukanlah partai politik yang memperjuangkan masyarakat adil dan makmur, yang memihak kepada kepentingan rakyat kecil atau rakyat miskin, yang melindungi negara dan bangsa dari dominasi ekonomi asing. Sudah terbukti pula, melalui praktek yang panjang selama Orde Baru, bahwa Golkar bukanlah partai yang menjunjung tinggi-tinggi demokrasi dan HAM. Karenanya, seperti sama-sama kita saksikan, sudah banyak sekali kalangan atau golongan dalam masyarakat yang mengutuk atau menghujat berbagai politik dan tindakan pemerintah.

Mengingat itu semuanya, kiranya kita semua perlu merenungkan, dengan dalam-dalam dan dari berbagai segi, tentang hari kemudian negara dan bangsa kita. Sebab, sudah jelaslah bahwa dengan kekuasaan politik yang tetap didominasi oleh Golkar (dan partai-partai lainnya yang mendukung Orba Jilid II) seperti sekarang ini tidak akan mungkin ada perubahan radikal atau perbaikan besar bagi rakyat Indonesia. Sejak sekarang sudah dapat diramalkan bahwa Pemilu 2009 pun akan melahirkan kekuasaan dan sisitem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang sama saja, seperti yang sudah kita saksikan selama ini sampai sekarang.

Kasus suapan sebesar 6 miliar Rupiah yang diterima jaksa Urip Tri Gunawan hanyalah merupakan salah satu di antara banyak korupsi dan kejahatan yang sedang merajalela di negara kita. Banyaknya korupsi dan berbagai kejahatan di “kalangan atas” negara kita menunjukkan adanya krisis moral yang parah sekali. Adanya krisis moral yang sangat parah ini termanifestasi (sebagian kecil saja) dalam tersangkutnya Gubernur dan sejumlah pimpinan tertinggi Bank Sentral (Bank Indonesia) serta banyak anggota DPR dalam masalah dana yang berjumlah 100 miliar Rupiah, juga diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo karena soal korupsi, juga diperiksanya sejumlah mantan Gubernur dan bupati. Di samping itu ada masalah besar di kalangan Asuransi ABRI, yang mengharuskan salah seorang pelakunya (Tan Kian) mengembalikan uang sebasar 13 juta $US kepada negara.

Sampai kapankah keadaan akan begini terus?

Banyaknya kasus-kasus korupsi atau berbagai penyelewengan kekuasaan lainnya di lembaga eksekutif, legilatif, dan judikatif, sejak lama sampai sekarang ini, membikin orang bertanya-tanya sampai kapankah negara dan bangsa kita akan begini terus ? Kiranya, kita semua perlu menyadari bahwa dengan kekuasaan politik yang seperti sekarang ini, korupsi dan segala macam penyelewengan kekuasaan akan tetap berlangsung terus.

Karenanya, kita semua sudah harus membuang jauh-jauh segala ilusi atau semua utopi bahwa kekuasaan politik semacam yang dipegang partai-partai dewasa ini bisa mengakhiri segala kebobrokan moral dan kebrengsekan penyelenggaraan negara kita. Kekuasaan politik semacam yang sedang memerintah sekarang ini sama sekali sudah tidak bisa diharapkan untuk berubah banyak. Karena itu, kekuasaan politik yang sekarang ini harus dirubah, atau diganti, atau digeser, atau direbut, demi munculnya kekuasaan politik baru yang betul-betul pro-rakyat dan setia membela “wong cilik” atau rakyat miskin, yang jumlahnya besar sekali !

Kesadaran akan perlunya perubahan atau penggantian kekuasaan politik dengan yang baru sama sekali perlulah dibangun, dibangkitkan, dan dipupuk oleh seluruh kekuatan demokratis dan pro-rakyat, melalui berbagai cara, bentuk dan jalan. Bermacam-macam aksi-aksi sosial-ekonomis untuk menuntut perbaikan hidup perlu dikembangkan sebanyak mungkin. Dilancarkannya berbagai gerakan-gerakan dari macam-macam organisasi untuk melawan korupsi, dan menutut adanya penyelenggaraan pemerintahan yang baik juga merupakan cara yang amat penting dalam mendorong perjuangan untuk merubah, atau menggeser atau merebut kekuasaan politik dari tangan golongan-golongan yang pro Orde Baru.

Perlunya merubah/mengganti kekuasaan politik

Maraknya beraneka-ragam aksi-aksi massa yang sudah mulai bergejolak di berbagai daerah di seluruh Indonesia akhir-akhir ini adalah perkembangan baik ke arah kebangkitan kesedaran akan perlunya perubahan atau penggantian kekuasaan politik ini. Aksi-aksi massa tersebut, yang di sana-sini masih berisi tuntutan sosial-ekonomis dan tambal sulam, perlulah kiranya ditingkatkan isi dan tujuannya, yaitu menjadi perubahan kekuasaan politik, yang bisa melahirkan sistem politik, ekonomi dan sosial yang baru, yang pro-rakyat banyak, terutama rakyat miskin.

Memang, perjuangan untuk merubah kekuasaan politik untuk dijadikan pro-rakyat adalah tidak gampang. Ini tidak hanya di Indonesia saja, melainkan juga di banyak negeri di dunia. Tetapi, perkembangan situasi di berbagai negara Amerika Latin menunjukkan bahwa perubahan-perubahan besar dalam sistem politik, ekonomi, sosial adalah hanya mungkin setelah terjadi perubahan atau penggeseran kekuasaan politik. Ini jelas sekali di Venezuela dan Bolivia, dan dalam kadar atau derajat yang berbeda-beda juga di Cili, Argentina, Brasilia.

Seperti halnya di Venezuela dan Bolivia, perubahan besar atau perbaikan radikal di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan telah dimungkinkan berkat adanya pimpinan Hugo Chavez dan Evo Morales, yang bersama-sama dengan gerakan rakyat di dua negeri ini membangun kekuasaan politik yang baru, dan menggantikan kekuasaan politik yang korup dan reaksioner. Untuk bisa adanya perubahan besar dan perbaikan radikal di Indonesia juga diperlukan munculnya pemimpin (atau sejumlah tokoh-tokoh) yang bisa mempunyai peran seperti yang dimainkan oleh Hugo Chavez atau Evo Morales, dan seiring dengan itu, juga diperlukan berkembangnya gerakan rakyat besar-besaran seperti yang terjadi di Venezuela dan Bolivia. Jelaslah bahwa tokoh-tokoh semacam ini tidak bisa diharapkan muncul dari partai Golkar atau partai-partai lainnya yang mendukung Orba Jilid II. Golkar (dan partai-partai lainnya yang sehaluan dengan Golkar) adalah penghalang besar terhadap lahirnya kekuasaan politik yang pro-rakyat.

Indonesia membutuhkan kekuasaan politik yang baru

Mengingat hal-hal itu semua, kiranya bagi seluruh kekuatan demokratis yang betul-betul mendambakan adanya perubahan besar demi kepentingan rakyat terbanyak, dan terutama rakyat miskin, tidak ada jalan lain yang perlu ditempuh kecuali berusaha - dengan berbagai cara dan jalan – merubah atau menggeser atau mengganti kekuasaan politik yang ada sekarang ini. Kalau kekuasaan politik sudah bisa diganti atau digeser, maka bisalah diharapkan tidak akan ada lagi ibu hamil tua yang mati kelaparan bersama anak-anaknya seperti yang terjadi di Makassar, atau begitu banyak bayi-bayi yang menderita karena kekurangan gizi dj Indonesia Timur, atau lebih dari 40 juta orang yang hidup miskin sekali di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Juga, hanya dengan mengganti kekuasaan politik dengan yang betul-betul pro-rakyatlah maka kasus-kasus sejenis masalah BLBI akan bisa dibrantas habis-habisan.

Singkatnya, negara dan bangsa Indonesia sudah makin membutuhkan terjadinya perubahan atau penggantian kekuasaan politik dengan yang baru, yang pro-rakyat, yang bisa digunakan untuk membangun masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi 17 Agustus 45 Untuk itu, segala gerakan atau kegiatan berbagai kalangan dan golongan dalam masyarakat di samping untuk menghadapi berbagai persoalan jangka dekat, seyogianyalah juga selalu ditujukan untuk mengembangkan kekuatan guna tercapainya tujuan besar :yaitu penggantian kekuasaan politik dengan yang baru.