10 April 2007 — 8 menit baca

Imperialisme adalah musuh kita bersama

Aksi kekerasan yang dilancarkan pada tanggal 29 Maret 2007 oleh kelompok-kelompok yang menamakan diri Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR) - dan kelompok-kelompok lainnya yang sejenis – terhadap massa Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional) yang mau mengadakan appel akbar di Tugu Proklamasi patut mendapat perhatian dari kalangan seluas-luasnya, mengingat seriusnya masalah ini bagi kehidupan demokratis di negara kita Republik Indonesia dan bagi martabat bangsa kita.

Aksi penyerangan yang dilakukan oleh ratusan orang itu terjadi di jalan Jenderal Sudirman – Dukuh Atas, Jakarta, ketika massa Papernas, di antaranya banyak ibu-ibu beserta anak-anak, sedang beramai-ramai dengan konvooi belasan mini-bus dan bus besar menuju tempat Apel Akbar Kebulatan Tekad Nasionalisasi Industri Pertambangan Asing’. Sebagai akibat aksi pengacauan dengan kekerasan tersebut telah rusak 17 kendaraan bermotor dan 27 orang luka-luka. Jadi; aksi pengacauan yang kali ini sudah mengambil bentuk yang keterlaluan kebiadabannya.

Adanya pengacauan secara kekerasan oleh kelompok-kelompok yang sejenis FPI, Front Anti-Komunis Indonesia terhadap Papernas ini menunjukkan kepada kita semua bahwa sebagian kecil sekali dari kalangan Islam di Indonesia masih terus bisa dihasut, ditipu, dan digunakan oleh sisa-sisa kekuatan gelap rejim militer Orde Baru untuk melanjutkan praktek-praktek yang tidak demokratis, melanggar HAM dan hukum, anti-kerakyatan, dan menguntungkan kaum imperialis. (Pada kesempatan yang lain, akan ada tulisan khusus tentang kelompok-kelompok semacam ini).

Dengan menuduh Papernas sebagai organisasi komunis, kelompok-kelompok ini melakukan berkali-kali aksi-aksi terror terhadap berbagai kegiatan Papernas. Pada 18 September 2006, deklarasi Komite Persiapan PAPERNAS di Surabaya mengalami ancaman dan terror serupa; termasuk serangan terhadap kongres pendirian PAPERNAS 18-20 Januari 2007 lalu, di Kaliurang, Jogjakarta, serta Konferensi Daerah (Konferda) I PAPERNAS Jawa Timur di Batu, 4 Maret 2007. Dalam serangan-serangan yang berkali-kali ini selalu dikerahkan ratusan orang, untuk berusaha mengacau dan menggagalkan berbagai pertemuan-pertemuan besar Parpenas, dengan menguar-uarkan teriakan dan selogan-selogan anti-komunis, yang disertai berbagai tindakan kekerasan.

Sisa-sisa kekuatan Orba di belakangnya Aksi-aksi terror, ancaman dan penyerangan terhadap Papernas yang telah dilakukan berkali-kali oleh berbagai kelompok yang menamakan diri sebagai golongan Islam ini sejak diselenggarakannya pertemuan besar untuk deklarasi berdirinya Komite Persiapan Papernas tahun lalu, menunjukkan dengan jelas bahwa aksi-aksi itu dilakukan secara sistematis, dan terencana, serta terkoordinasi oleh satu kekuatan yang berdiri – secara sembunyi-sembunyi – di belakangnya.

Dituduhkannya Papernas sebagai komunis, dan suara-suara “galak” untuk melarangnya di Indonesia (antara lain selogan ““Darah para anggota PAPERNAS halal untuk ditumpahkan”)

menggambarkan bahwa kelompok-kelompok ini sekarang disuruh menjalankan politik yang sudah dijalankan selama puluhan tahun oleh rejim militer Orde Baru, sedangkan sama-sama kita lihat bahwa situasi internasional dan nasional sudah mengalami perubahan.

Kita semua ingat bahwa politik anti-komunis telah dijalankan Suharto dkk untuk menggulingkan presiden Sukarno dengan menghancurkan habis-habisan seluruh kekuatan kiri, terutama kekuatan PKI, yang merupakan tulang-punggung berbagai politik presiden Sukarno yang anti-nekolim (anti- neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme). Seperti yang sudah ditunjukkan sejarah bangsa kita, maka nyatalah bahwa sebagian pimpinan militer Indonesia, di bawah perintah Suharto, dengan politik mereka yang anti-Sukarno dan anti-komunis ini telah menyeret Republik Indonesia ke kubu imperialisme (terutama AS) dalam jangka waktu yang lama sekali.

Selama 32 tahun Orde Baru, rejim Suharto dkk telah menggunakan anti-komunisme sebagai “senjata utama” untuk mempertahankan kekuasaan mereka yang berbau fasisme di samping digunakannya bedil. Artinya, walaupun kekuatan kiri atau kekuatan PKI sudah dihancur-luluhkan melalui cara-cara yang biadab dan tidak berperikemanusiaan sejak pembantaian jutaan orang tahun 65-66, tetapi selama 32 tahun Orde Baru “momok” komunis selalu diuar-uarkan dengan berbagai cara. Dengan selalu menghidup-hidupkan momok komunis ini (yang bohong atau dibikin-bikin ini) rejim militer Suharto berusaha menakut-nakuti orang banyak. Dan dengan menyebar terror ini para penguasa Orde Baru berusaha mematahkan segala macam perlawanan yang tumbuh di kalangan masyarakat.

Situasi internasional sudah berubah

Untuk menjalankan politik anti-komunisme dan anti-Sukarno ini , para penguasa Orde Baru berhasil merangkul, membiayai, menggunakan, membodohi, sebagian kecil kalangan Islam. Dalam jangka yang lama sekali, sebagian kalangan Islam yang fanatik ini telah digiring oleh penguasa militer untuk menjalankan politik yang pro-imperialis AS, sehingga kalangan-kalangan sejenis FPI ini ikut-ikutan getol bersuara bahwa komunismelah tetap merupakan bahaya utama atau musuh pokok dari bangsa Indonesia, dan bukannya imperialisme AS.

Padahal, setelah Perang Dingin dalam bentuknya yang lama sudah berakhir, maka momok komunis di tingkat dunia pun mulai menghilang. Dengan jatuhya blok Soviet, maka kelihatan sekali bahwa imperialisme AS-lah yang menjadi bahaya utama atau musuh pokok bagi banyak negara dan bangsa di dunia, termasuk juga di Indonesia.

Perkembangan situasi internasional menunjukkan dengan jelas bahwa berbagai politik hegemoni imperialisme AS mendapat perlawanan yang makin meningkat dari banyak bangsa dan negara di dunia. Persoalan yang rumit di Timur Tengah, yang disebabkan oleh pertentangan Israel dan berbagai negara Arab (termasuk Palestina), dan oleh agresi AS terhadap Irak, menunjukkan bahwa kerakusan dan kesombongan imperialisme AS mendapat tantangan dari berbagai fihak.. Sekarang ditambah lagi dengan persoalan Iran, yang terancam oleh serangan bersenjata dari AS.

Bagi banyak rakyat di negara-negara Arab serta negara-negara yang berpenduduk Muslim lainnya, makin nyatalah bahwa pada dewasa ini musuh atau bahaya utama adalah imperialisme AS, dan bukannya komunisme atau negara-negara yang dipimpin oleh partai komunis.

Imperialisme AS, melalui sistem kapitalismenya yang dipraktekkan dalam macam-macam bentuk (antara lain; Bank Dunia, IMF, WTO, perjanjian-perjanjian perdagangan bilateral, investasi dalam tambang-tambang di banyak negeri di dunia) tidak saja mendapat kritikan atau kecaman dari banyak fihak, melainkan juga perlawanan dari banyak rakyat di dunia. Ini tercermin dalam berbagai pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh bermacam-macam organisasi rakyat di Seattle, di Mexico, di Porto Allegre (Brasilia), Caracas (Venezuela) Roma, Genoa, Paris, Koln, Berlin, Helsinki, London, Bombay, Karachi, Manila; Seoul, Nairobi, Dakar (Senegal), Afrika Selatan, dan banyak tempat-tempat lainnya di dunia.

Imperialisme AS dilawan oleh banyak rakyat dunia

Adalah menarik sekali untuk diamati bahwa perjuangan melawan berbagai macam kekuatan imperialisme AS ini sekarang tidak lagi hanya dilakukan oleh orang-orang komunis di dunia saja, melainkan juga oleh orang-orang dari berbagai partai politik, bermacam-macam aliran agama dan kepercayaan. Dalam sejarah dunia sampai sekarang, imperialisme (terutama AS) belum pernah mengalami perlawanan dari berbagai rakyat yang seluas sekarang ini. Tidak dapat diragukan lagilah agaknya bahwa pamor imperialisme AS sudah jatuh merosot dan citranya bertambah buruk di mata banyak orang di dunia.

Yang juga patut diperhatikan ialah bahwa suara-suara yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi atau sikap kritis terhadap imperialisme AS (berikut kakitangannya) juga mulai banyak dikeluarkan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Berbagai kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat mengajukan kritik-kritik pedas terhadap politik pemerintah yang bersengkongkol dalam praktek-praktek maskapai-maskapai besar multinasional dan asing Tidak salahlah kiranya, kalau sekarang ini ada orang-orang yang mengatakan bahwa fenomena yang menonjol di dunia sekarang ini, adalah perlawanan yang makin meningkat di banyak negeri, termasuk di Indonesia, terhadap imperialisme AS, dan bukannya terhadap komunisme.

Fenomena yang demikian ini dapat kelihatan lebih jelas lagi kalau kita perhatikan perkembangan di Amerika Latin, di mana berbagai negara sudah bergeser ke “kiri” dan terang-terangan melawan AS, seperti Venezule, Bolivia, Ecuador (ditambah Kuba yang sudah selama 40 tahun melawan AS). Adalah juga menarik untuk diperhatikan bahwa presiden Hugo Chavez menyatakan sedang membangun “sosialisme abad ke-21” di Venezuela, dan bahwa partai yang mengusung Evo Morales meraih kemenangan besar dan mengangkatnya sebagai presiden Bolivia bernama “Gerakan menuju sosialisme”. (Movimiento Al Socialismo).

Papernas adalah partai front

Dilihat dari perkembangan situasi internasional yang demikian ini, maka nampak sekalilah betapa jahatnya kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru yang menggunakan tangan-tangan kelompok-kelompok Islam sejenis FPI untuk melancarkan aksi-aksi terror terhadap Papernas dengan tuduhan bahwa partai ini adalah “partai komunis gaya baru”.

Dengan men-cap Papernas sebagai organisasi komunis atau komunis gaya baru, kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru – dengan mengerahkan kelompok-kelompok sejenis FPI – berusaha mengisolir partai baru ini dari dukungan masyarakat luas, dan berusaha menimbulkan kesan bahwa rakyat luas tidak menyukai kehadiran Papernas di Indonesia.

Tetapi, walaupun sisa-sisa kekuatan Orde Baru bersama-sama kelompok-kelompok sejenis FPI berusaha dengan segala cara dan bentuk untuk menghalangi tumbuhnya perlawanan terhadap neo-liberalisme dan globalisasi yang didominasi oleh imperialisme AS, namun perkembangan politik, ekonomi dan sosial yang makin sangat memburuk di negeri kita akan memberikan jalan lebar kepada lahirnya bermacam-macam kekuatan rakyat, termasuk di antaranya Papernas.

Seperti yang sudah dijelaskan oleh pimpinan Papernas dalam berbagai kesempatan, Papernas adalah partai yang didirikan oleh berbagai organisasi massa rakyat, dan bukan partai komunis Di tingkat nasional PAPERNAS didirikan oleh Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (Hikmahbudhi), Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Sedangkan di tingkat lokal (artinya, di banyak tempat di daerah-daerah), juga banyak sekali organisasi-organisasi rakyat dari berbagai bidang dan kegiatan menjadi inisiator terbentuknya Papernas. Seperti yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan berbagai dokumen partai, program pokok Papernas adalah Tripanji Persatuan Nasional yakni: Mengambil alih Industri Tambang; Menghapus Utang Luar Negeri; serta Membangun Industri Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat. Selogan yang dipakai dalam berbagai kesempatan (termasuk untuk pernyataan dan siaran-siaran) adalah “Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri!”.

Jadi, sebagai partai front, yang mengutamakan persatuan nasional untuk mengajak seluruh bangsa membebaskan rakyat dan negara dari penghisapan modal besar asing dan dari cengkeraman imperialisme (terutama AS) Papernas lambat-laun akhirnya akan mendapat dukungan dan simpati dari berbagai kalangan di Indonesia. Sebab, Tripanji Persatuan Nasional yang merupakan program pokok partai juga sudah menyimpulkan dengan jelas tugas-tugas besar bangsa, yang bisa merupakan platform kerjasama bagi berbagai kekuatan di tanah-air. Di samping itu, selogan “Cukup Sudah Jadi Bangsa Kuli, Bangkit Jadi Bangsa Mandiri!” menunjukkan arah besar dan strategis, yang dapat kita cengkam bersama-sama, dalam perjuangan untuk mengadakan perubahan-perubahan sejati di negeri kita.