19 July 2002 — 11 menit baca

Ibu Megawati, bantinglah setir, sebelum terlambat

Tulisan yang kali ini dibuat dengan jari-jari yang terasa berat di komputer, dan juga dengan hati yang setengah-setengah, atau dengan fikiran yang belum mantap (atau tidak matang?) tentang bagaimana harus bersikap terhadap Ibu Megawati, yang sekaligus adalah presiden Republik Indonesia, pimpinan tertinggi PDI-P dan puteri Bung Karno. Terasa sekali, ketika akan menuangkan tulisan ini, ada “kecampur-adukan” yang cukup rumit, karena di dalamnya ada masalah emosi, di samping bertumpuknya fikiran atau renungan tentang berbagai masalah yang sudah, sedang (dan yang mungkin akan) terjadi di negeri kita.

Dan, rupanya, kesulitan yang dihadapi penulis mengenai soal sikap terhadap Ibu Megawati ini juga terdapat di berbagai kalangan, terutama di kalangan : para pencinta ajaran-ajaran Bung Karno, para ex-tapol beserta keluarga mereka, para korban Orde Baru pada umunya, para penentang politik rezim Suharto, orang-orang yang anti-KKN, mereka yang mendambakan reformasi atau perobahan, mereka yang memperjuangakan kepentingan rakyat kecil, orang-orang yang menginginkan adanya perbaikan-perbaikan fondamental dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Dari apa yang sama-sama kita baca dalam pers negeri kita, atau dari tulisan-tulisan dalam Internet, maka nampaklah secara jelas bahwa banyak orang yang kecewa terhadap berbagai langkah atau kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Ibu Megawati, baik sebagai presiden, sebagai ketua PDI-P, maupun sebagai puteri Bung Karno. Kekecewaan ini sebagiannya sudah berobah menjadi kemarahan, bahkan sikap menentang (kasarnya, perlawanan). Ini nampak jelas dari aksi-aksi yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa, angkatan muda (antara lain PRD), dan berbagai organisasi non-pemerintah. Bahkan, ada yang menganggap Presiden Ibu Megawati (dan Wakil Presiden Hamzah Haz) sudah berkhianat terhadap rakyat, dan menuntut agar mempertanggung-jawabkan pengkhianatan mereka tersebut dengan cara mengundurkan diri (pernyataan Lembaga Bantuan Hukum Rakyat, Jakarta, tanggal 18 Juli 2002)

Siapakah Ibu Megawati Itu?

Dalam tulisan-tulisan terdahulu, penulis (seperti halnya banyak sekali orang lainnya di negeri kita!) pernah menaruh harapan yang besar sekali bahwa dengan kemenangan PDI-P dalam pemilu 1999, dan naiknya Ibu Megawati sebagai presiden Republik Indonesia, maka akan terjadi perobahan-perobahan besar dan fondamental untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan parah yang telah dibikin oleh Orde Baru selama kira-kira 30 tahun. Dukungan politik, moril (dan emosionil) terhadap Ibu Megawati telah berhasil menjadikan PDI-P sebagai partai terbesar dalam DPR. Kalau kita renungkan dalam-dalam, maka faktor-faktor kemenangan Ibu Megawati beserta PDI-Pnya, antara lain (!) adalah :

  • Banyak para pendukung ajaran Bung Karno (yang jumlahnya amat besar sekali, dan terdiri dari berbagai partai, suku, agama dan golongan)) mengharapkan dari sosok Ibu Megawati, puteri Bung Karno, sebagai pewaris ajaran-ajaran beliau, dan juga penerus perjuangan beliau
  • Sebagai pencinta ajaran-ajaran Bung Karno dan pendukung politik Bung Karno, mereka melihat pada kemenangan Ibu Megawati sebagai kemenangan mereka sendiri, mengingat bahwa Bung Karno telah dijatuhkan, kemudian disiksa, sampai meninggal dunia, secara lahiriyah maupun bathiniyah oleh Orde Baru (TNI dan Golkar).
  • Banyak di antara para korban Orde Baru (terutama sekali para keluarga yang dibunuh secara besar-besaran di tahun 1965, dan para ex-tapol beserta keluarga mereka, (yang kebanyakan -tidak semua! - adalah simpatisan PKI beserta ormas-ormas di bawah pengaruh PKI, memperkirakan bahwa Ibu Megawati menaruh simpati atau rasa solidaritas terhadap mereka.
  • Karena Ibu Megawati sendiri (beserta PDI-nya) pernah dalam jangka lama telah dimusuhi atau diperlakukan secara tidak adil oleh Orde Baru/Golkar (antara lain kasus Kongres PDI di Medan, peristiwa 27 Juli 1996), maka banyak orang menaruh simpati kepada Ibu Megawati.
  • Secara pokok, Ibu Megawati telah didukung oleh sebagian terbesar orang-orang yang menentang Orde Baru.
  • Ketika dari 48 partai yang ikut Pemilu sebagian terbesar tidak menampilkan diri sebagai penentang sisa-sisa kekuatan Orde Baru, maka banyak orang memandang PDI-P sebagai partai yang bisa diandalkan (di samping PRD, PUDI dan beberapa partai lainnya).

Singkatnya, kemenangan Ibu Megawati (PDI-P) dalam pemilu adalah berkat dukungan berbagai golongan dalam masyarakat yang menentang Orde Baru dan menginginkan adanya perobahan-perobahan besar untuk keluar dari masa gelap selama 30 tahun. (Sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama : Alangkah besarnya semangat pengorbanan rakyat dalam mendirikan begitu banyak posko-posko diberbagai daerah, dengan beaya dari kantong mereka sendiri, atau dalam beraneka-ragam aksi-aksi lainnya untuk memenangkan pemilu 1999)

Tetapi, Bagaimana Sekarang?

Walaupun masih banyak persoalan yang bisa dipertanyakan (dan diperdebatkan!) tentang sebab-sebab atau latar-belakang dijatuhkannya presiden Abdurahman Wahid (Gus Gur) dan digantikannya oleh Ibu Megawati dalam SI MPR, banyak orang menaruh harapan kepada kepemimpinan Ibu Megawati sebagai presiden Republik Indonesia dalam meneruskan reformasi dan memperbaiki kehidupan demokratis lebih lanjut. Terutama, dalam menghadapi kegiatan-kegiatan partai GOLKAR dan partai-partai Islam (dan berbagai golongan dalam masyarakat) yang masih belum bisa membebaskan diri dari pola berfikir dan praktek-praktek Orde Baru Sebab, reformasi dan perlawanan terhadap sisa-sisa kekuatan Orde Baru (terutama Golkar dan militer) adalah aspirasi rakyat, yang dengan gemilang telah, dan terus, dimanifestasikan dalam beraneka-ragam gerakan generasi muda (terutama mahasiswa).

Namun, setelah Ibu Megawati memegang kendali pemerintahan, nampaklah gejala bahwa ia terlalu “diikat” oleh aliansi (persekutuan) dengan berbagai kekuatan yang mendukungnya (partai-partai dan militer), di samping kurangnya keberanian untuk mengadakan “dobrakan-dobrakan” yang berarti, sesuai dengan aspirasi rakyat banyak. Umpamanya, pemberantasan korupsi masih berjalan seret, walaupun sejumlah orang-orang sudah mulai diperiksa dalam rangka kasus BLBI, Bulog, Pertamina, BPPN dll. Menghadapi masih banyaknya gejala korupsi di kalangan tokoh-tokoh eksekutif, legislatif, judikatif dan wiraswasta, Ibu Megawati sebagai presiden masih kelihatan kurang tegas (contohnya, antara lain : “membangkangnya” banyak pejabat negara untuk mengisi formulir KPKPN, kasus-kasus para tokoh yang disinyalir melakukan kecurangan dll). Kelemahan Ibu Megawati dalam hal pembrantasan korupsi menimbulkan kesan bagi banyak orang bahwa ia memang tidak berani bertindak, atau tidak mau bertindak karena berbagai perhitungan atau kalkulasi.

Di bidang penegakan hukum, juga belum nampak perobahan yang berarti di bawah pemerintahan Ibu Megawati (dan Hamzah), dan pembusukan masih berjalan terus. Kasus penolakan Pansus Buloggate II (Akbar Tanjung) oleh DPR, yang merupakan persekongkolan besar-besaran antara berbagai kekuatan politik (terutama antara PDI-P dan Golkar) adalah puncak pembusukan di bidang politik dan hukum dan moral, sekaligus. Di bidang HAM juga ada tanda-tanda yang mulai mengkuatirkan. Diberitakan bahwa Ibu Megawati sudah mengeluarkan ucapan yang kurang patut sebagai kepala negara, yaitu mencabut kewarganegaraan sejumlah pemuda-pemuda yang dianggap menghinanya (karena telah menginjak-injak fotonya). Mungkin karenanya pulalah, maka kepolisian Aceh telah berani menangkap 7 aktivis wanita karena mencoreng moreng poster Presiden Ibu Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

Kiranya, tidak perlulah direntang-panjangkan lagi dalam tulisan ini, betapa buruknya situasi ekonomi bagi “rakyat kecil” dewasa ini, karena selalu sama-sama kita saksikan sehari-hari (sekedar sekelumit contoh : besarnya pengangguran di kota-kota besar dan pedesaan, banyaknya TKW yang terpaksa melacur di negeri-negeri asing, anak-anak yang sulit masuk sekolah). Sebaliknya, di kalangan “atas” masih terus menjadi-jadi perlombaan kemewahan, yang kebanyakan diperoleh dengan cara-cara kedurjanaan. Kebobrokan moral di kalangan “atas” adalah faktor penting proses pembusukan di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan masyarakat luas. Krisis multi-dimensional dan parah yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini sudah melanda bidang politik, ekonomi, sosial dan (sekali lagi, untuk kesekian kalinya!) bidang moral.

Ibu Megawati Perlu Banting Setir

Dalam kaitannya dengan itu semuanya, maka dengan berat hati atau keprihatinan yang dalam, kita bisa mendengar atau membaca betapa makin banyaknya orang yang kecewa terhadap Ibu Megawati, baik sebagai kepala negara, ketua PDI-P maupun sebagai puteri Bung Karno. Ini bukan hanya kelihatan dari sikap yang diambil Rahmawati, atau Sukmawati, atau Indira Damayanti Sugondo (anggota DPR fraksi PDI-P yang mengundurkan diri, karena ia tidak setuju dengan sikap DPP PDI-P tentang kasus Akbar Tanjung), atau Dr Ciptaning saja. Seperti sudah bisa kita baca, cukup banyak kader-kader PDI-P yang mempertanyakan mau ke manakah PDI-P ini dibawa oleh Ibu Megawati, dengan adanya instruksi untuk menyokong Sutiyoso tetap sebagai gubernur Jakarta Raya.

Kekecewaan banyak orang terhadap Ibu Megawati kelihatannya makin meluas dan mendalam. Ada yang kecewa karena menganggap bahwa ia tidak mewarisi atau tidak menghayati ajaran-ajaran bapaknya. Ada yang menilai bahwa ia tidak mewarisi (untuk lunaknya : hanya sedikit, kalaupun ada) kebesaran jiwa Bung Karno. Yang mungkin agak keterlaluan adalah adanya ungkapan seseorang bahwa Ibu Megawati sebenarnya “phobie” (takut) terhadap ajaran-ajaran Bung Karno, atau pada hakekatnya, “kiri-phobie”. (Dalam konteks ini, adalah menarik disiarkannya berita oleh Tim Hasta Wahana (16 Juli 2002) tentang terbentuknya di Blitar Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Insan Pencinta Bung Karno (DPP HIP-BK) yang beranggotakan 31 organisasi sospol/kemasyaratan).

Apapun penilaian berbagai orang terhadap Ibu Megawati, satu hal yang jelas-jelas mengherankan (dan mengecewakan!) banyak orang adalah sikap politiknya terhadap Golkar. Sebab, apapun kalkulasi yang dipakai oleh Ibu Megawati (beserta pendukung-pendukungnya di DPP PDI-P) namun persekongkolan dengan Golkar adalah sesuatu yang amat serius dalam kehidupan politik (dan kehidupan moral!!!) di negeri ini. Sekedar untuk ingatan kita bersama, Fraksi PDIP menduduki 181 kursi MPR (26%), sedangkan Fraksi Golkar menempati 151 kursi MPR (21,7%). Jadi, persekongkolan keduanya mendominasi 47,7% kursi MPR. Nah, justru di sinilah letak persoalannya.

Apakah demi mempertahankan kekuasaan, maka Ibu Megawati (PDI-P) akan meneruskan aliansi (kasarnya : persekongkolan) dengan Golkar, yaitu suatu kekuatan politik yang secara jelas-jelas telah mendatangkan begitu banyak kerusakan dan penderitaan bagi banyak orang selama lebih dari 30 tahun? Sekarang ini, makin banyak orang yang meyakini bahwa sebagian terbesar dari berbagai masalah parah yang dihadapi rakyat kita adalah warisan Orde Baru, yang motor utamanya adalah Golkar (bersama ABRI waktu itu). Karena itulah, maka generasi muda kita (antara lain gerakan mahasiswa) menjadikan Golkar (beserta politiknya) sebagai sasaran reformasi. Persekutuan antara PDI-P dan Golkar bisa mengaburkan atau “merabunkan” pandangan banyak orang terhadap sifat hakiki Golkar. Bahkan, persekutuan ini bisa berkembang menjadi “perlindungan” bagi Golkar, yang mestinya jadi sasaran perjuangan reformasi.

Dari sudut lain, bisa dilihat bahwa persekutuan ini pada akhirnya (dan pada hakekatnya) akan menjadikan PDI-P sebagai “tawanan” Golkar. Kalau sudah sampai demikian, maka habislah sudah cerita. Sebab, lalu, apanya lagikah arti kata “Perjuangan” yang dicantelkan pada PDI-P ? Perjuangan untuk siapa, atau untuk apa? Atau, apa dan siapa pula yang dijadikan sasaran perjuangan? Sungguh, pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh para “petinggi” PDI-P.

Sebab, Golkar yang sampai sekarang masih menguasai sebagian terbesar birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan, adalah pada hakekatnya sasaran perjuangan reformasi. Jadinya, bersekutu dengan Golkar adalah pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi, yang merupakan aspirasi rakyat. Perlu pula diingat bersama bahwa reformasi sudah ditetapkan dalam TAP MPR.

Kita semua akan melihat, mungkin tidak lama lagi di masa yang akan datang, bahwa persekongkolan antara PDI-P dan Golkar ini mengurangi dukungan banyak orang terhadap PDI-P. Perlulah kita ingat bersama bahwa PDI-P justru lahir dalam suasana dan dengan semangat “perjuangan” melawan Orde Baru (jelasnya : Golkar dan Abri, waktu itu). Dan pula, PDI-P telah dibesarkan dan didukung oleh banyak orang yang menentang Golkar (dan Abri).

Akan dapat kita amati, bahwa persekutuan dengan Golkar tidak akan membikin PDI-P menjadi besar, baik sebagai kekuatan moral maupun sebagai kekuatan politik. Pada akhirnya, persekutuan dengan Golkar haanya akan lebih menguntungkan Golkar dari pada PDI-P sendiri, karena persekutuan ini melemahkan kepercayaan banyak orang terhadap integritas para tokoh PDI-P. Ini akan mengakibatkan berkurangnya dukungan kepada PDI-P sebagai partai atau sebagai kekuatan politik. Kalau dukungan rakyat kepada PDI-P makin merosot terus, maka daya “perjuangan”-nya juga akan makin anjlog. Dan kalau pun PDI-P tidak akan menjadi partai gurem, tetapi akan bisa dicemoohkan orang sebagai kerbau (bukan banteng) yang tidak bertanduk lagi!

Sekali lagi, (untuk kesekian kalinya) kiranya patut ditegaskan bahwa PDI-P telah menjadi kekuatan besar karena dukungan banyak orang yang menentang Orde Baru. Dan PDI-P akan tetap besar; bahkan bisa menjadi lebih besar lagi, kalau - dengan tegas dan teguh – terus melawan Golkar dan sisa-sisa Orde Baru, dalam segala bentuknya. Oleh karena itu, mungkin sekarang masih belum terlambat bagi para pendukung PDI-P (dan mereka yang anti Orde Baru) untuk mendorong atau menganjurkan (melalui berbagai cara dan bantuk) kepada Ibu Megawati untuk berani “banting setir” , dan meninggalkan jalan berbahaya yang bisa menyesatkan arah “perjuangan” PDI-P.

Perlulah kiranya, secara ramai-ramai, disampaikan pesan (atau kasarnya, peringatan) tentang pentingnya menimbang-nimbang antara kepentingan jangka dekat mempertahankan kekuasaan dan kepentingan jangka jauh dan lebih besar, yaitu pengabdian kepada kepentingan dasar “rakyat bawah” yang merupakan bagian terbesar bangsa kita. Tetapi, apakah dalam rangka konstelasi politik atau imbangan kekuatan dewasa ini, Ibu Megawati akan berani dan akan bisa “banting setir”? Ini merupakan persoalan cukup rumit yang bisa diperdebatkan atau direnungkan bersama-sama.

Persoalan-persoalan lain yang juga patut direnungkan adalah : apakah PDI-P perlu mengkhianati asprasi rakyat banyak demi mempertahankan kekuasaan sampai Pemilu tahun 2004? Dan apakah karena mengkhianati aspirasi rakyat itu PDI-P akan bisa memperoleh kemenangan dalam Pemilu yang akan datang? Kalau tetap bersekutu terus dengan Golkar, lalu apa lagi yang akan di”perjuangkan” oleh PDI-P?

Mengingat itu semuanya, maka tulisan ini ditutup dengan mengutip kembali judulnya : “Ibu Megawati, bantinglah setir, sebelum terlambat sekali!”