21 November 2003 — 8 menit baca

Hukuman nati bagi para koruptor

Masalah korupsi yang merupakan penyakit kronis dan parah bangsa Indonesia sejak bertahun-tahun akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai dibicarakan oleh berbagai kalangan, berhubung dengan dikeluarkannya pernyataan oleh pengurus besar NU dan pengurus pusat Muhammadiyah soal korupsi. Seperti diketahui kedua organisasi Islam ini telah menyerukan untuk menghentikan korupsi dengan meminta para koruptor dihukum mati.

Selama ini memang seruan untuk memberantas korupsi sudah sering disuarakan oleh berbagai kalangan dan golongan, dan banyak macam aksi atau gerakan juga sudah dilancarkan, tetapi korupsi masih tetap juga merajalela terus dalam masyarakat. Bahkan, korupsi yang terjadi di kalangan elite atau lapisan atas sudah merupakan penyakit kangker ganas yang menyerang besar-besaran bagian-bagian vital tubuh bangsa. Karena ulah mereka itulah bangsa Indonesia menjadi terkenal sebagai salah satu dari bangsa-bangsa yang terkorup di dunia.

Kita selama ini sering disuguhi berita (dan desas-desus) tentang terjadinya korupsi (tegasnya : pencurian uang atau maling) di kalangan atas eksekutif, legislatif dan judikatif negara kita. Ini terjadi tidak saja di Jakarta, melainkan juga di daerah-daerah, setelah diberlakukan otonomi daerah (ingat, pemeo yang sudah lama beredar : desentralisasi korupsi!). Jadi, korupsi sudah menyebabkan pembusukan besar-besaran atau kerusakan parah di bidang moral, terutama moral kalangan atas. Kalau moral di kalangan atas bangsa kita (di berbagai bidang dan berbagai tingkat) sudah makin membusuk dan tidak tertolong lagi, maka kehancuran bangsa dan negara kita tidak dapat dihindari lagi.

Korupsi Di Indonesia Bukan Soal Remeh

Kita semua tahu - sedikit banyaknya - bahwa seperti halnya semua kejahatan atau maksiat, di negeri-negeri seluruh dunia terjadi juga korupsi, dalam berbagai bentuk dan cara. Ini terjadi di Jepang, RRT, Thailand, Filipina, India, Pakistan, Saudi Arabia, Mesir, Prancis, Jerman, Inggris, Amerila Serikat, Amerika Latin dll dll dll. Tetapi, korupsi yang terjadi di Indonesia adalah termasuk yang luar biasa, yang sudah keterlaluan parahnya. Karena, sudah “membudaya”, dan terutama (sekali lagi !) di kalangan atas.

Para koruptor (maling besar) ini terdapat di banyak instansi tertinggi negara kita, di berbagai kementerian, di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, di Kepolisian, di DPR, di BUMN, dan semua jawatan penting-penting. Tetapi, kerusakan moral ini tidak hanya terjadi di kalangan pemerintahan saja, melainkan juga di kalangan masyarakat. Tidak sedikit tokoh-tokoh berbagai partai dan organisasi, termasuk tokoh-tokoh kalangan agama, yang tersangkut dalam masalah korupsi, baik yang besar-besaran maupun yang hanya berskala kecil. Dan, sekali lagi, ini tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Jadi, masalah korupsi di negeri kita bukanlah soal yang remeh. Ini ada hubungannya yang erat dengan masalah bagaimana mengatur kehidupan bangsa, bagaimana menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih, bagaimana menjaga moral bangsa, bagaimana melindungi generasi muda dari pembusukan. Ini juga ada hubungannya yang erat dengan penyelenggaraan demokrasi yang benar-benar sehat, dengan penegakan hukum, dengan memerangi segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Ringkasnya, korupsi yang sudah mencapai tingkat demikian parah di negeri kita sekarang ini sudah menimbulkan kerusakan-kerusakan besar dan bisa membahayakan kehidupan Republik kita.

Hukum Bisa Dibeli Oleh Uang

Dalam menghadapi tindakan kriminal yang disebabkan kerusakan moral, terutama di kalangan atas ini (contohnya, antara lain ; kasus Akbar Tanjung sebagai ketua DPR kita, atau , kasus Jaksa Agung MA Rahman, kasus uang 1,7 trilyun di BNI, kasus capres Wiranto, kasus mobil bodong anak Wapres Hamzah) aparat negara kita sering sekali kelihatan “loyo”, tidak berdaya atau tidak berkutik. Sebab, aparat kepolisian, kejaksaan atau pengadilan, bisa saja diintimidasi, atau dimanipulasi, atau “dibeli” oleh berbagai fihak. Hukum sudah tidak ditakuti atau tidak dihormati oleh banyak orang dan dijadikan barang dagangan oleh para koruptor. Uang sudah bisa membeli segala-galanya, termasuk keadilan.

Banyak di antara para pemimpin, atau para pembesar, atau para tokoh di berbagai bidang, sudah kehilangan kewibawaan atau kehilangan kepercayaan dari masyarakat, karena mereka sudah terkontaminasi atau “ikut bermain” dalam kubangan KKN ini. Sikap ini wajar, dan sah-sah saja, sebab memang mereka itu (para koruptor) sudah tidak berhak lagi untuk dihormati atau disegani lagi, apa pun pangkatnya atau betapa tinggi pun kedudukannya.

Seruan PB Nu Dan PP Muhammadiyah

Mengingat itu semualah maka kita bisa melihat pentingnya seruan Pengurus Besar NU dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai pemberantasan korupsi, dengan menegaskan bahwa para koruptor hendaknya dihukum mati. Banyaknya sambutan positif dari berbagai kalangan yang mendukung seruan ini menunjukkan bahwa sikap tegas dari kedua organisasi Islam terbesar dan terpenting di Indonesia ini sesuai dengan aspirasi banyak orang.

Adalah kewajiban kita semua untuk mendukung ramai-ramai dan sekuat tenaga seruan positif atau gerakan moral yang dicetuskan oleh kedua organisasi Islam penting ini. Seruan, atau tekad yang sudah ditunjukkan oleh kedua organisasi harus bisa dijadikan modal bersama oleh berbagai kalangan untuk dilancarkannya gerakan besar-besaran secara nasional dalam perjuangan menentang korupsi dengan menuntut hukuman mati bagi para koruptor. Gerakan moral secara besar-besaran yang berskala nasional ini akan memungkinkan lahirnya tindakan-tindakan di bidang hukum dan politik untuk melawan korupsi lebih nyata dan lebih kongkrit dari pada yang sudah-sudah.

Untuk itu seruan atau tekad kedua organisasi Islam harus bisa diterjemahkan dalam berbagai aksi-aksi atau kegiatan kongkrit, sehinggga seluruh masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif untuk mengungkap masalah korupsi yang terjadi di sekitarnya. Masalah anti-korupsi harus bisa dijadikan isi dakwah di berbagai kesempatan, umpamanya dalam ceramah-ceramah agama, dalam acara-acara pengajian, dalam khotbah-khotbah di mesjid, dan berbagai pertemuan lainnya. Dalam hal ini peran pesantren-pesantren dan berbagai lembaga pendidikan Islam lainnya adalah sangat penting. Demikian juga peran berbagai organisasi Islam (pemuda, pelajar, mahasiswa, wanita, cendekiawan, pengusaha, dll dll dll).

Kalau berbagai organisasi atau golongan atau kalangan Islam ini tidak berhasil bisa diajak berpartisipasi dalam gerakan besar-besaran menentang korupsi dan menuntut hukuman mati para koruptor, maka seruan atau tekad kedua organisasi besar Islam ini hanya akan merupakan usaha sia-sia saja, untuk kesekian kalinya.

Kegagalan Misi Islam Di Indonesia

Seruan kedua organisasi Islam ini terasa lebih penting lagi , kalau kita ingat bahwa Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta ini sebagian terbesar beragama Islam, dan negeri kita menduduki tempat ke-4 di dunia. Jumlah penduduk yang memeluk agama Islam di Indonesia adalah jauh lebih besar dari pada jumlah penduduk Islam negeri mana pun juga.

Tetapi, dengan amat sedih kita menyaksikan juga bahwa banyak sekali kejahatan, maksiat, KKN, penyalahgunaan kekuasaan terjadi di “kalangan atas” masyarakat kita, yang sebagian terbesar terdiri dari orang-orang Islam. Artinya, kalau Indonesia terkenal sebagai negeri yang termasuk terkorup di dunia, maka sebagian terbesar dari korupsi itu juga dilakukan oleh orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai pemeluk Islam. Ini terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, baik di kalangan pemerintahan pusat maupun pemerintahan propinsi dan kabupaten, termasuk kalangan DPRD.

Merajalelanya korupsi di Indonesia adalah cermin kebobrokan moral masyarakat, dan kerusakan iman banyak orang, termasuk dan terutama di kalangan atasan. Dan parahnya kebobrokan moral atau besarnya kerusakan iman ini bisa diartikan sebagai salah satu di antara kegagalan misi Islam di Indonesia. Oleh karena itu, tekad PB NU dan PP Muhammadiyah untuk memberantas korupsi adalah langkah penting atau usaha besar dalam mewujudkan - secara positif dan kongkrit - misi Islam di Indonesia. Pada gilirannya, gerakan besar-besaran ini, kalau berhasil dijalankan dengan sukses, akan merupakan sumbangan yang besar sekali bagi kekokohan, dan kesehatan, atau keselamatan Republik milik bersama kita.

Jenazah Para Koruptor

Sikap para alim ulama di kalangan NU mengenai korupsi adalah menarik. Contohnya : Dalam salah satu hasil Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang digelar empat hari di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta (bulan Juli tahun 2002) telah disepakati oleh para ulama bahwa para pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi terhadap uang negara, boleh tidak disholatkan jenazahnya. Disebutkan juga bahwa menurut ajaran Islam, para koruptor layak untuk dihukum dari potong tangan hingga pidana mati, karena telah mengambil uang rakyat dan meninggalkan kesengsaraan bagi rakyat. Melalui Komisi Masail Waqi’iyah Siyahsiyah Munas Alim Ulama, disepakati bahwa utang negara dan korupsi termasuk perbuatan tercela, sehingga hukumannya pun berat. (Suara Pembaruan, 29 Juli 2002).

Tetapi, rupanya, kesepakatan bahwa « para pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi terhadap uang negara, boleh tidak disholatkan jenazahnya ini » mendapat tentangan dari fihak-fihak tertentu dan dianggap « terlalu keras », maka masalah ini kemudian hilang begitu saja ditelan angin. Kali ini, mudah-mudahan, seruan untuk hukuman mati bagi koruptor bukan saja tidak mendapat perlawanan yang berarti dari fihak mana pun juga, tetapi sebaliknya, mendapat dukungan yang luas sekali.

Sebab, seruan atau gerakan untuk menuntut hukuman mati bagi koruptor ini tidak ditujukan terhadap salah satu partai, satu golongan atau kalangan saja, melainkan ditujukan terhadap semua koruptor tanpa pandang bulu. Lagi pula, korupsi sudah merupakan kejahatan parah yang merusak Republik kita dan merugikan rakyat kita secara besar-besaran. Sudah jelas bahwa para koruptor – terutama yang besar-besar - adalah pengkhianat bangsa dan negara. Dilihat dari sudut kepentingan orang banyak dan kepentingan negara, hukuman mati bagi koruptor adalah hukuman yang sepatutnya dan semestinya.

Sebab, kebanyakan koruptor yang besar-besar adalah orang-orang yang sudah kaya-raya, dan yang sudah bisa hidup dengan mewah. Jadi, mereka melakukan korupsi umumnya karena keserakahan untuk hidup dengan kekayaan yang berlebih-lebihan, tidak peduli melalui jalan yang haram, dan atas kerugian banyak sekali orang. Untuk mencegah wabah penyakit menular ini jangan terus bisa menjalar kemana-mana dan merangsang orang lain untuk meniru, maka tindakan tegas perlu diambil.

Hukuman mati bagi 10 atau 20 koruptor besar di antara ribuan (atau puluhan ribu) koruptor sudah merupakan peringatan yang cukup menakutkan bagi banyak orang yang mau mengkhianati kepentingan orang banyak dan merugikan negara.