07 Maret 2004 — 9 menit baca

Hapuskanlah sumber-sumber dendam demi rekonsialisi

Di tengah-tengah suasana hiruk-pikuk menjelang pemilu yang dibarengi oleh banyaknya berita tentang korupsi yang terus merajalela, ada dua peristiwa yang patut mendapat perhatian dari kita semua, yaitu diadakannya pertemuan Forum Silaturahami Anak Bangsa di Jakarta dan kongres yang diadakan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (‘di Cipanas). Pertemuan Forum Silaturahmi Anak Bangsa diadakan tanggal 5 Maret 20004 di Hotel Hilton, dengan dihadiri Amelia Yani (puteri alm Jenderal A. Yani), Sarjono Kartosuwirjo (putera tokoh DI-TII Kartosuwirjo, Ilham Aidit (putera D.N. Aidit) keluarga tokoh PKI Nyoto, mantan wakil ketua MPR Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo Sutojo, Ilya Arselan (cucu Haji Agus Salim), drg Sugiarto Supardjo (putra Brigjen Supardjo, salah satu tokoh G 30 S), Ahmad Zaedi (cucu Tengku Daud Beureu’eh). dan sejumlah keluarga korban pertikaian di masa lalu lainnya. Sedangkan kongres LPR-KROB di Cipanas dihadiri oleh kira-kira 230 orang dari seluruh Indonesia, untuk membicarakan berbagai masalah yang dihadapi para korban Orde Baru, antara lain masalah rehabilitasi dan masalah kelanjutan putusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Suara Pembaruan (5 Maret) anak dan keluarga korban pertikaian politik masa lalu itu mengimbau bangsa Indonesia untuk menghilangkan dendam sejarah. Mereka mengajak bangsa Indonesia untuk memahami tragedi masa lalu sambil merumuskan upaya bersama menata masa depan Indonesia yang lebih baik

“Kita ingin membangun Indonesia yang bisa bersikap bijak terhadap masa lalunya. Kami keluarga korban sudah memulainya, dan kami berharap pemerintah juga mendukung upaya rekonsiliasi nasional sebagai sarana menata masa depan Indonesia yang lebih baik,’’ kata Sarjono, anak tokoh pendiri Darul Islam, Kartosuwirjo.

Dalam pandangan Amelia Yani, anak Jenderal A Yani, Indonesia tidak bisa bergerak maju jika masih terjebak dalam suasana penuh dendam. “Saya salah satu korban. Ayah saya dibunuh dalam peristiwa G-30-S. Tapi dengan penuh kesadaran, saya ingin dan membuka pintu maaf dan damai untuk siapapun yang melakukan pembunuhan terhadap ayah saya,’’ katanya.

Bagi Amelia, FSAB merupakan upaya awal untuk menata masa depan Indonesia yang lebih baik. Amelia dan Ilham Aidit juga menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaiatan dengan hak dipilih bagi mantan anggota PKI dan keluarganya untuk menjadi caleg. “Putusan tersebut merupakan lompatan sejarah yang besar bagi bangsa ini,’’ tegasnya. Ilham Aidit, anak mantan ketua PKI, DN Aidit menambahkan, putusan MK merupakan kemenangan konstitusi itu sendiri. MK telah menempatkan nilai kemanusiaan diatas segala kepentingan politik.

Sementara itu Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara menggarisbawahi arti penting mekanisme rekonsiliasi nasional sebagai upaya untuk memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban sekaligus mengungkap kebenaran sejarah.” Demikian Suara Pembaruan tanggal 5 Maret 2004.

Sementara itu, suratkabar Jawa Pos tanggal 6 Maret 2004 muat berita yang sama, dengan antara lain menegaskan :

“Dalam acara silaturahmi tersebut, FSAB juga mencanangkan ikrar. Yaitu, menghargai kesetaraan segenap warga negara Indonesia, menghormati hak asasi dan perbedaan setiap warga negara dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia, serta bersikap tidak mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru.

Apakah pertemuan itu akan mengarah ke rekonsiliasi? Amelia Yani mengatakan, pertemuan itu merupakan langkah awal adanya rekonsiliasi. “Arah ke sana ada. Tapi, yang kita inginkan adalah kesetaraan,” ungkapnya. Dia berharap agar dendam masa lalu dihapuskan. Namun, sejarah peristiwa 1 Oktober harus selalu diingat. “Itu adalah sejarah yang tidak boleh dilupakan,” imbuhnya.

Amelia juga menyambut gembira pencabutan pasal 6 (g) UU Pemilu yang memperbolehkan anak-anak eks PKI bisa menjadi caleg. Dia mengharapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mencabut pasal tersebut menjadi jiwa untuk mencabut UU diskriminasi yang lain. Bahkan, Amelia mendukung jika ada anak eks PKI menjadi presiden.

FSAB tak hanya dibentuk untuk menyikapi putusan MK itu. “Acara seperti ini sudah kita gelar empat kali,” katanya. Amelia mengatakan bahwa FSAB berjuang untuk menyetarakan hak anak-anak eks PKI.

Hal senada diungkapkan Ilham Aidit, putra tokoh PKI D.N. Aidit. Menurut dia, tidak ada yang perlu ditakutkan caleg dari putra-putri eks PKI. Ilham sendiri mengangap upaya tersebut terlambat. Namun, hendaknya, pencabutan itu menjadi langkah awal untuk mencabut UU diskriminasi yang lain. Mereka (anak-anak eks PKI) kan juga mempunyai integritas tinggi. Ancaman yang sebenarnya adalah separatis, neoliberalisme dan korupsi,” jelasnya.

Ilham juga berharap Tap No XXV/MPRS tahun 1966 yang melarang ajaran komunisme ditinjau ulang. Peninjauan tersebut sangat logis untuk mendukung kesetaraan hak warga negara. Mengenai upaya Komnas HAM yang mengungkap kejahatan kemanusiaan dalam pasca peristiwa G 30 S, Ilham menyambut dengan baik. Hanya, dia berharap langkah itu tidak hanya dilakukan Komnas HAM. Tapi, juga dilakukan semua komponen bangsa.

Sementara itu, Letjen (Pur) Agus Widjojo mengatakan bahwa ajang silaturahmi nantinya bisa menjadi ajang rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu benar-benar lahir dari hati sanubari anggota FSAB. Agus yakin rekonsiliasi akan berjalan jika ajang silaturahmi tersebut sering dilakukan. Agus juga menilai pencabutan pasal 6 (g) UU Pemilu tersebut merupakan langkah menuju dimensi baru. Hasil MK itu adalah sebuah langkah wawasan kebangsaan yang akan menghilangkan diskriminasi bangsa. “Saya berharap MK tidak berhenti sampai di situ,” katanya. (kutipan dari Jawa Pos selesai)

Sumber Dendam : Politik Orde Baru

Ketika membaca berita tersebut di atas, kita melihat bahwa Forum Silaturahhmi Anak Bangsa sudah memberikan contoh kongkrit kepada seluruh komponen bangsa tentang tekad mereka untuk memberikan sumbangan kepada usaha mempersatukan bangsa dan rekonsiliasi nasional. Ikrar mereka juga bisa diartikan sebagai canang atau peringatan kepada berbagai kalangan yang selama ini menyebar racun perpecahan dan kebencian di kalangan masyarakat luas..

Ditegaskan dalam berbagai pernyataan Forum Silaturahmi Anak Bangsa perlunya dihilangkan rasa dendam sejarah, dengan memahami betul-betul arti tragedi masa lalu. Peringatan FSAB ini perlu dihayati oleh seluruh komponen bangsa : kalangan eksekutif, legislatif dan judikatifan, aparat negara (termasuk militer dan kepolisian), kalangan Islam dan agama lainnya, berbagai golongan etnis dan suku.

Karena, sudah sama-sama kita alami dan saksikan, bahwa selama lebih dari 32 tahun Orde Baru masyarakat Indonesia dikoyak-koyak oleh dendam dan dicabik-cabik oleh berbagai pertikaian yang bersumber pada kepentingan politik dan ideologi (contohnya : anti-Sukarno dan anti-PKI), kepentingan agama (Islam lawan Kristen), kepentingan kesukuan dan ras, kepentingan ekonomi (otonomi daerah dan Pusat), dan juga oleh korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

Sekarang tidak dapat disangkal lagi, bahwa berbagai politik rezim militer Orde Baru telah merupakan sumber dendam yang laten di kalangan masyarakat. Politik yang serba menindas demokrasi, yang melanggar HAM, yang melanggar Konstitusi, yang korup dan sewenang-wenang, telah membikin penderitaan berpuluh-puluh juta orang selama puluhan tahun. Karena itu, wajar sekali kalau berbagai kesalahan parah dan kejahatan rezim militer Orde Baru telah menimbulkan dendam banyak orang dari macam-macam kalangan dan golongan. Di antara mereka itu yang paling banyak dan paling lama menderita adalah para anggota dan simpatisan PKI beserta keluarga mereka.

Hapuskanlah Sumber-Sumber Dendam

Dalam sejarah bangsa Indonesia, barangkali kekejaman rezim militer Orde Baru terhadap golongan kiri-lah yang akan tercatat sebagai halaman yang paling hitam. Mereka itu terdiri dari anggota dan simpatisan PKI beserta organisasi massa buruh, tani, nelayan, pegawai negeri, tentara, wanita, pemuda, mahasiswa dan pelajar. Sebagian terbesar di antara mereka juga merupakan pendukung politik Bung Karno. Mereka telah jadi sasaran pembunuhan massal (kurang lebih 3 juta orang) dan penangkapan sewenang-wenang secara besar-besaran (ratusan ribu orang) dalam tahun-tahun pertama Orde Baru, yang diteruskan dengan berbagai penyiksaan selama puluhan tahun sebagai tapol dan eks-tapol.

Berbagai politik rezim militer Orde Baru merupakan sumber dendam bagi golongan kiri dan pendukung Bung Karno (contohnya : surat bebas G30S, bersih lingkungan, litsus, wajib lapor, TAP MPRS no 25/1966, tanda E.T pada kartu penduduk, berbagai peraturan Kopkamtib, peraturan Kementerian Dalamnegeri No 32/1981 dll). Karena politik yang salah dan jahat ini dilakukan secara besar-besaran dan dalam jangka puluhan tahun pula (bahkan sampai sekarang !!!), maka logislah bahwa menimbulkan rasa dendam banyak orang terhadap rezim militer Orde Baru berikut pendukung-pendukungnya yang paling utama. Perasaan dendam semacam ini adalah wajar, berdasarkan rasa keadilan, dan tidak bisa disalahkan begitu saja. Nalar yang sehat dan hati nurani yang bersih tidak akan membenarkan perlakuan rezim militer yang biadab semacam itu.

Seruan Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang mengajak bangsa untuk menghapuskan dendam, mengingatkan kita semua terhadap kenyataan bahwa masih banyak sisa-sisa politik Orde Baru yang masih diteruskan sampai sekarang. Berbagai penderitaan korban Orde Baru masih terus berlangsung (sampai sekarang !!!) disebabkan masih ditrapkannya peraturan-pertauran terhadap anggota dan simpatisan PKI atau eks-tapol beserta keluarga mereka. Undang-undang, peraturan atau ketentuan yang tidak menghargai HAM dan menghormati Konstitusi ini semuanya merupakan sumber dendam. Jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa untuk menghapus dendam, perlu sekali dihapuskan sumbernya terlebih dulu. Tanpa dihilangkannya segala perlakuan yang tidak adil dan tidak berperikemanusiaan, baik yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat terhadap mereka, maka rasa dendam ini akan sulit dihapus. (Dan ini bukan salah mereka !)

Rekonsiliasi, Rehabilitasi, Mahkamah Konstitusi

Seruan Forum Silaturahmi Anak Bangsa mengenai rekonsiliasi nasional juga mengingatkan kita semua bahwa rekonsiliasi nasional ini memang sudah sangat kita butuhkan dewasa ini. Karena sudah terlalu lama persatuan bangsa kita sudah dirusak oleh rezim militer Orde Baru (ingat, yang terutama : permusuhan terhadap para pendukung Bung Karno, masalah etnis Tionghoa dan perlakuan terhadap golongan pro PKI), sehingga bangsa kita menjadi bangsa yang « sakit ».

Tetapi, bagi kita semua juga jelas bahwa rekonsiliasi juga ada syarat-syaratnya, yaitu adanya rehabilitasi nama baik dan hak-hak penuh para korban (termasuk rehabilitasi Bung Karno) atas kebenaran dan keadilan. Tanpa rehabilitasi begitu banyak orang yang sudah sangat lama disengsarakan dalam penderitaan – padahal mereka tidak bersalah apa-apa ! – rekonsilisasi nasional adalah omong-kosong karena tidak berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Dalam kaitan ini, patut disambut dengan hangat kongres Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru (LPR-KROB) di Cipanas (tgl 2-4 Maret) yang juga membicarakan berbagai masalah rekonsiliasi dan rehabilitasi. Apa yang dibicarakan dalam kongres LPR-KROB ini bisa merupakan sumbangan besar dan penting bagi fihak yang mana pun yang menginginkan adanya kehidupan yang lebih baik bagi seluruh bangsa kita. Oleh karena itu, berbagai kegiatan LPR-KROB ini patut disokong oleh semua fihak yang menginginkan terjadinya rekonsiliasi lewat rehabilitasi. Sudah waktunya sekarang, bahwa pemerintah, DPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, partai-partai politik, dan berbagai Ornop, bekerjasama dengan LPR-KROB untuk menghapuskan sumber-sumber dendam ini.

Adalah menggembirakan kita semua juga bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (mengenai pencabutan undang-undang tentang caleg bagi anggota PKI) mendapat sambutan yang positif dari banyak anggota FSAB dan peserta kongres LPR-KROB. Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga hukum yang tertinggi di negara kita (seperti halnya di sebagian besar negara-negara di dunia) telah melakukan koreksi yang bersejarah terhadap kesalahan serius yang pernah dilakukan berpuluh-puluh tahun oleh pemerintahan Orde Baru dan juga oleh pemerintahan berikutnya.

Rasa keadilan yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi harus dikembangkan terus-menerus dengan berbagai jalan atau cara oleh seluruh komponen bangsa, sehingga sumber-sumber dendam (umpamanya, antara lain TAP MPRS No25/ 1966, “dosa turunan” bagi anak-cucu anggota PKI) akhirnya dapat dimasukkan keranjang sampah sejarah. Hanya dengan cara itulah bangsa kita bukan lagi bangsa yang “sakit”, seperti yang sudah sama-sama kita alami selama hampir 40 tahun ini.