11 Oktober 2000 — 10 menit baca

Gotong-royong melawan sisa-sisa Orde Baru

Berbagai gejala dan peristiwa yang terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini membuktikan bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih bercokol di mana-mana, dan masih terus juga melanjutkan peran yang merusak, seperti yang sudah mereka lakukan selama lebih dari 32 tahun. Oleh karena itu, suara teriakan berbagai fihak “Awas, terhadap bahaya laten Orde Baru!” patutlah kiranya sama-sama kita dengarkan dengan serius. Sebab, walaupun Suharto dan Habibie secara resminya sudah “lengser”, tetapi masih banyak pendukung-pendukung Orde Baru yang, dengan berbagai cara dan bentuk, masih tetap berusaha meneruskan praktek buruk dan pola berfikir lama yang akibat parahnya masih terus kita warisi dewasa ini.

Kalau kita amati dengan cermat, nyatalah bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini sekarang menjelmakan dirinya dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka ini, diam-diam atau sembunyi-sembunyi, masih memegang kekuasaan di berbagai lembaga tinggi negara ( DPR, MPR, Mahkamah Agung, DPA dll) dan aparat birokrasi pemerintahan (termasuk di kalangan aparat keamanan). Bahkan, mereka ini bukan hanya terdapat di Pusat (Jakarta) saja, melainkan juga di daerah-daerah di seluruh tanah-air. Pendukung-pendukung Orde Baru ini juga tidak hanya terdapat di kalangan pemerintahan atau badan-badan resmi, melainkan juga di berbagai kalangan masyarakat (kalangan intelektual, agama, kebudayaan, pers, ekonomi).

Walaupun jumlah mereka adalah relatif kecil, tetapi peran atau pengaruh mereka tidak bisa dianggap enteng. Umumnya, mereka ini terdiri dari orang-orang “elite” - dari berbagai tingkat atau jajaran - dalam golongan atau kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh sistem politik Orde Baru. Mereka mendapat berbagai “kenikmatan haram” dari sistem yang bobrok (baca, antara lain : penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, KKN, pembunuhan kehidupan demokratis, pelanggaran Hak Asasi Manusia, pemelintiran sejarah) yang telah berjalan puluhan tahun. Mereka ini pulalah yang, karenanya, tidak rela dengan jatuhnya Orde Baru.

AWAS : Bahaya restorasi Orde Baru!

Dengan kalimat polos atau ekspresi yang kedengarannya kasar atau “sembarangan”, bisalah kiranya dikatakan bahwa para pendukung setia Orde Baru (terutama elite politik dan elite masyarakat di Jakarta dan di daerah-daerah) adalah unsur-unsur busuk yang terdapat di berbagai komponen bangsa. Di antara mereka ini ada yang dengan sadar telah mendukung sistem politik dan praktek-praktek rezim militer Suharto melulu demi kepentingan diri sendiri, atau demi kepentingan kelompok dan golongan (agama, politik, ideologi, ekonomi), tanpa mempedulikan apakah Orde Baru itu sudah merusak tatanan negara dan pemerintahan dan meracuni fikiran banyak orang. Di sinilah letak kejahatan besar dan dosa berat mereka!

Untuk jelasnya, marilah kita sama-sama kita amati dengan teliti sekeliling kita, baik di Jakarta, maupun di daerah-daerah. Tanpa meng-generalisasi secara gebyah-uyah, maka dapatlah kiranya dirumuskan bahwa para koruptor besar adalah pada umumnya (artinya tidak semua!!!) pendukung Orde Baru. Juga yang berikut ini : mereka yang dalam tempo singkat telah bisa menjadi kaya-raya luar biasa dan secara mendadak semasa Orde Baru, adalah orang-orang yang bergelimang dalam lumpur-lumpur KKN. Mereka ini - sekali lagi, pada umumnya - adalah pendukung Orde Baru. Karena itu, kiranya logis jugalah bahwa mereka yang telah pernah mengenyam “kenikmatan haram” secara besar-besaran selama Orde Baru, sekarang ini kecewa atau bahkan sakit hati.

Tetapi, karena kebobrokan sistem Orde Baru sudah makin dikenal oleh opini umum, dan juga karena kerusakan-kerusakan di berbagai bidang yang disebabkan oleh politiknya makin sulit dibantah, maka pendukung-pendukung Orde Baru ini sekarang “bermain cantik” dan mengenakan jubah-jubah baru yang beraneka ragam. Karena mereka tidak bisa lagi – atau tidak berani! - membela Orde Baru secara terang-terangan, maka mereka menyembunyikan diri di balik tabir “reformasi”, sambil terus menyabot usaha-usaha reformasi yang sesungguhnya. Reformasi yang sungguh-sungguh adalah bertentangan dengan kepentingan mereka. Atau dalam bahasa lain yang lebih sederhana : reformasi adalah musuh bebuyutan para pendukung setia Orde Baru.

Dan, karena sisa-sisa kekuatan Orde Baru ini masih cukup kuat di berbagai lapangan kehidupan bangsa (harap ingat, bahwa sistem politik Orde Baru ini telah dicekokkan selama lebih dari 32 tahun) maka bahaya restorasi Orde Baru adalah nyata.

Gotong Royong Melawan Sisa Sisa Orde Baru

Negara dan bangsa kita dewasa ini sedang menjalani masa transisi yang bersejarah, rumit dan cukup gawat. Diktatur militer Suharto dkk baru saja kita tumbangkan, berkat perlawanan massa banyak, terutama para mahasiswa. Seperti yang sudah ditunjukkan oleh pengalaman berbagai negeri di Afrika, Amerika Latin atau Eropa Timur, pergantian suatu rezim otoriter ke rezim yang mendambakan demokrasi, sering diiringi oleh berbagai persoalan-persoalan rumit dan besar yang harus diselesaikan. Dalam kasus Indonesia, apalagi, lebih-lebih lagi! Sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih ada di mana-mana, antara lain - dan terutama – di kalangan TNI-AD, di kalangan partai-partai, di kalangan agama, di kalangan birokrasi. Mereka masih terus berusaha mempertahankan posisi yang pernah mereka kuasai selama puluhan tahun. Bahkan, masuk di akallah kiranya bahwa mereka berusaha untuk me-restorasi Orde Baru, dalam bentuk baru, wajah baru, atau gaya baru.

Dan, di sinilah letak bahayanya. Seperti yang sedang kita saksikan bersama-sama, reformasi berjalan lambat, bahkan macet di berbagai bidang. Untuk sekedar menyebut sejumlah kecil contohnya : Suharto masih belum bisa diadili, demikian juga anak-anaknya dan kroni-kroninya, yang telah menjadi maling-maling besar. “Supremasi hukum” hanyalah menjadi bualan kosong di kalangan elite politik dan ekonomi. Sistem peradilan masih bisa jadi “lahan gemuk” bagi para pejabat kehakiman, kejaksaan dan kepolisian. Kalangan militer - terutama TNI-AD – masih memainkan peran negatif dalam proses reformasi. Kelompok-kelompok tertentu di kalangan agama – yang selama Orde Baru menjadi pendukung setia Suharto dkk – masih terus menyebarkan permusuhan terhadap berbagai kalangan bangsa. Korupsi, yang merajalela selama puluhan tahun, masih terus menjadi budaya.

Menghadapi situasi yang demikian itu, wajarlah kiranya kalau berbagai komponen bangsa mengambil sikap, untuk menyelamatkan jalan reformasi. Reformasi yang sungguh-sungguh berarti pemutusan hubungan dengan sistem politik Orde Baru. Reformasi (yang sungguh-sungguh!) adalah urusan besar seluruh bangsa, untuk membebaskan negara dan rakyat dari masa gelap yang penuh kebobrokan dan penderitaan yang diciptakan rezim militer Suharto dkk selama puluhan tahun. Tugas ini tidak bisa – dan tidak boleh !!! – diserahkan mentah-mentah hanya di tangan para “elite”, baik yang duduk dalam berbagai lembaga negara (DPR, MPR, DPA, Mahkamah Agung dll) maupun para “elite” masyarakat. Reformasi yang sungguh-sungguh tidak akan mungkin bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang masih mempunyai visi politik dan mental Orde Baru, atau oleh para reformis gadungan. Artinya, reformasi yang sungguh-sungguh hanya bisa dituntaskan dengan melawan sisa-sisa Orde Baru, dalam segala bentuknya. Dan, perlawanan ini perlu dilakukan bersama-sama, secara gotong-royong, dengan bantuan - dan kontrol – masyarakat luas.

Front Rakyat Anti Rezim Orde Baru

Agaknya, dalam rangka inilah bisa dilihat pentingnya berbagai inisiatif dari masyarakat, yang bertujuan untuk mengadakan perlawanan terhadap sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan untuk menuntaskan tugas reformasi. Inisiatif ini telah dijelmakan dengan cara membentuk berbagai organisasi, gerakan, forum, komite, atau aksi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak mau menyerahkan penyelesaian urusan-urusan besar bangsa dan negara hanya kepada “kalangan atas” saja.

Kesedaran politik yang demikian itu adalah benar. Apalagi kalau dikaitkan dengan situasi negara dan bangsa kita dewasa ini. Dalam keadaan ketika sisa-sisa kekuatan gelap Orde Baru masih bisa membahayakan reformasi, maka lahirnya segala macam bentuk perlawanan terhadapnya adalah diperlukan. Dari sudut pandang strategis untuk membangun Indonesia Baru yang demokratis, yang berorientasi kepada kepentingan rakyat, yang bersih dari KKN, yang menghargai martabat manusia, eksistensi berbagai organisasi semacam itu adalah merupakan sumbangan positif. Kegiatan atau perjuangan mereka dapat merupakan kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan peran DPR atau MPR. Sebab, seperti halnya pengalaman di banyak negeri, betapapun dikatakan konstitusionalnya suatu parlemen, maka tidaklah bisa dikatakan bahwa “dewan perwakilan rakyat” semacam itu bisa selalu mewakili suara dan kepentingan rakyat.

Dalam kaitan ini, adalah menarik untuk mengamati lahirnya organisasi semacam Front Rakyat Anti Rezim Orde Baru di Jakarta akhir-akhir ini. Konon, dalam front ini bergabung 42 organisasi besar maupun kecil, yang mencakup berbagai golongan atau beraneka sektor dalam masyarakat, antara lain (ma’af bagi organisasi yang tidak disebutkan di sini) : Partai Rakyat Demokratik, Forum Komunikasi Kerukunan 124/27 Juli 1996, Front Nasional Perjuangan Buruh Indoonesia, Gerakan Pemuda Kerakyatan, Serikat Tani Nasional, Yayasan Penilitian Korban Pembunuhan 65/66, Liga Nasional Mahasiswa untuk Demokrasi, Eksponen 27, Paguyuban Korban Orde Baru, PNI Bung Karno 1927, Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, Kesatuan Perjuangan Masyarakat, Persatuan Perempuan Peduli Demokrasi, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri Sipil Korban Rezim Orde Baru, Lembaga Untuk Kemanusiaan dan Keadilan dll dll.

Demikian juga, dengan berbagai alasan seperti yang tersebut di atas, patutlah kiranya disambut dengan gembira lahirnya Komisi Kebenaran dan Keadilan yang dibentuk bersama-sama oleh sebelas ornop (organisasi non-pemerintah) di Jakarta akhir-akhir ini. Komisi yang akan memusatkan kegiatannya pada penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru, terdiri dari Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Gerakan Sarjana Jakarta (GSJ), Yayasan Jurnalis Indonesia (YJI), Iluni UI Jakarta, Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ), Indonesian Corruption Watch (ICW), Pergerakan Demokrasi Sosial (PDS) dan Lapksdem Nahdatul Ulama.

Alat Perjuangan Bersama Untuk Semua

Adalah patut kita amati dengan gembira bahwa dalam Front atau Komite yang tersebut di atas tergabung beraneka-ragam organisasi yang menggeluti dengan serius persoalan-persoalan penting yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa dewasa ini. Ketika jalannya reformasi sudah “diborgol” oleh partai-partai besar di DPR dan MPR, dan ketika aspirasi rakyat “dicekik” oleh para elite, maka kegiatan-kegiatan yang dilancarkan oleh Front dan Komite semacam itu merupakan udara segar dan vitamin dalam perjuangan bersama untuk meneruskan reformasi dan melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru.

Aspek lainnya yang menarik adalah yang berikut : komposisi Front atau Komite tersebut mencerminkan sifatnya yang lintas agama, lintas aliran politik atau ideologi, lintas generasi, lintas suku/etnik. Ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan menegakkan kebenaran dan keadilan adalah berdasarkan kebutuhan objektif masyarakat dewasa ini. Artinya, dengan ungkapan yang lain, bisalah kiranya dikatakan bahwa organisasi semacam Front atau Komite tersebut di atas adalah alat perjuangan untuk semua. Karenanya, sukses-sukses yang diperoleh oleh alat perjuangan yang semacam ini juga akan menguntungkan semua fihak, yang tidak menghendaki kembalinya masa-masa gelap Orde Baru.

Dalam rangka ini pulalah, bisa diharapkan kelahiran sebanyak mungkin Front atau Komite (atau organisasi dalam bentuk-bentuk lainnya) juga di kota-kota besar dan daerah-daerah di seluruh Indonesia. Sebab, semakin banyak organisasi semacam itu bisa dilahirkan di daerah-daerah, maka akan semakin baik untuk kehidupan demokratis dan reformasi. Apalagi, dengan perspektif akan dilaksanakannya politik desentralisasi dan otonomi daerah yang akan datang, maka terbentuknya Front atau Komite semacam itu akan memainkan peran penting sebagai alat alternatif perjuangan rakyat secara regional atau lokal.

Situasi negara kita dewasa ini sudah menunjukkan bukti-bukti dan gejala-gejala bahwa kita tidak boleh membiarkan pengurusan atau pengelolaan negara hanya ditangani oleh “kalangan atas” saja. Apalagi, ketika “kalangan atas” itu masih terdiri dari banyak oknum-oknum reformis gadungan atau sisa-sia kekuatan Orde Baru. Karenanya, ruang demokrasi yang mulai agak melebar sekarang ini perlu direbut oleh semua kekuatan pro-reformasi, untuk bersama-sama, dan terus-menerus, melawan sisa-sisa kekuatan rezim militer Suharto, yang bersembunyi di kalangan militer (TNI-AD) dan diberbagai kalangan lainnya (kelompok Islam tertentu, partai-partai, pers, birokrasi, aparat hukum dan peradilan dll).

Perlu dimengerti secara jelas oleh semua fihak – termasuk semua kekuatan pro-reformasi sendiri - bahwa melawan sisa-sisa kekuatan Orde Baru bukanlah untuk menimbulkan perpecahan, atau sekedar mau membikin sengsara orang, atau untuk tujuan-tujuan nista lainnya. Justru kebalikannya. Melawan sisa-sisa Orde Baru, dalam segala bentuknya, adalah perjuangan politik dengan tujuan untuk mengakhiri perpecahan yang telah ditimbulkan oleh Suharto dkk selama puluhan tahun. Menggulung sisa-sisa Orde Baru adalah syarat mutlak untuk bisa membangun Indonesia Baru yang bersih dari praktek-praktek politik yang telah membikin penderitaan terhadap begitu banyak orang.

Di situlah terletak pentingnya peran dan tugas organisasi non-pemerintah. Masyarakat luas punya hak yang sah untuk ikut bersuara tentang urusan-urusan besar negara dan bangsa. Negara adalah milik rakyat, bukan milik penguasa dan para elit saja. Dan, oleh karenanya, adalah tugas mulia dan sah bagi kita semua untuk secara gotong-royong mengusahakan supaya negara kita tidak lagi bisa dirusak oleh para reformis gadungan dan sisa-sisa kekuatan Orde Baru.