12 menit baca

Rekonsiliasi nasional amatlah perlu

Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia

Kata pengantar : “Renungan tentang HAM dan demokrasi di Indonesia” ini tidaklah berpretensi sebagai makalah ilmiah ataupun sesuatu yang bersifat “study” khusus mengenai HAM dan demokrasi di Indonesia. Tulisan ini lebih menyerupai ungkapan berbentuk pamflet (tulisan yang bernuansa ejekan atau sindiran dan mengandung gugatan) mengenai berbagai soal aktual yang sedang dihadapi oleh negara dan rakyat Indonesia, yang diutarakan dari sudut pandang pribadi penulis atas dasar pemahamannya tentang prinsip-prinsip HAM dan demokrasi.

Akhir-akhir ini makin sering kita dengar atau kita baca kata-kata Rekonsiliasi Nasional. Akan datanglah saatnya, entah kapan, bahwa masalah rekonsiliasi nasional ini akan menjadi topik perbincangan yang besar di negeri kita. Apa iya, begitu tanya Anda? Memang, sulitlah kiranya untuk menyatakan dengan pasti. (Dukun-dukun yang paling saktipun mungkin akan ragu untuk berani memastikan ya atau tidaknya, walaupun akan menggunakan segala mantra dan doa. Pen).

Tetapi, apapun yang akan terjadi, dan bagaimanapun sejarah akan diputar olehNya, kita semua yang yang mendambakan demokrasi, penegakan HAM, keadilan dan dihormatinya hukum, perlulah bersama-sama, sejak sekarang dan dengan berbagai cara, merenungkan masalah rekonsiliasi nasional yang amat penting bagi kehidupan bangsa kita ini. Soalnya, adalah suatu kesalahan besar dan juga dosa yang tidak terampuni lagi kalau kita membiarkan bangsa kita masih terus berkubang dalam kotoran dendam dan berbagai racun pertentangan yang telah merusak generasi sekarang, dan lebih-lebih lagi kalau juga akan terus merusak generasi yang akan datang.

Rekonsiliasi antara fihak yang mana?

Sebelum bersama-sama menelaah rekonsiliasi nasional antara siapa dan siapa atau fihak yang mana dengan yang mana, ada baiknya untuk sama-sama kita samakan — setidak-tidaknya, kita dekatkan dulu penafsiran kita bersama tentang kata rekonsiliasi. Untuk tidak tenggelam dalam polemik bertele-tele yang berkonotasi akademis atau bertafsirkan hukum yang njlimet, kita longok sajalah berbagai kamus umum yang bisa kita temukan masing-masing. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Balai Pustaka (Dep. P&K) edisi kedua. Di situ disebutkan bahwa rekonsiliasi berarti : perbuatan memulihkan pada keadaan semula, atau perbuatan memperbarui seperti semula. Kalau direntangpanjangkan, memang penjelasan itu bisa saja kita anggap sudah mencakup berbagai masalah yang sama-sama akan kita coba membahasnya.

Tetapi, karena yang ingin kita telaah adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan politik, atau sikap hidup dalam kemasyarakatan, atau antar-hubungan dalam kehidupan berbangsa, maka baik juga kita simak berbagai kamus atau buku (asing maupun bukan) yang lain. Maka, kita akan jumpai di situ berbagai penjelasan yang kiranya lebih cocok untuk kita pakai dalam menafsirkan, bersama-sama, arti rekonsiliasi ini. Antara lain, yang menyebutkan bahwa kata rekonsiliasi mengandung pengertian : merujukkan fihak-fihak yang bertentangan, atau mencari perdamaian di antara fihak-fihak yang berselisih pendapat atau kepentingan, atau mengusahakan pendekatan antara fihak-fihak yang bermusuhan. Nah, dalam rangka pengertian itu dululah kita coba sama-sama memasuki persoalannya.

Dalam menghadapi situasi negara dan bangsa yang awut-awutan seperti yang kita saksikan dewasa ini, maka bisa saja di antara kita yang menjadi bingung. Mengapa keadaan bisa menjadi begini? Apa-apa saja sebabnya? Apakah keadaan semacam ini akan berlangsung masih lama lagi? Bagaimana perspektif penyelesaiannya? Memang, perlulah kiranya kita akui dengan jujur bahwa tidak mudah untuk menjawab semua pertanyaan itu. Persoalan yang ruwet sudah terlalu banyak (sudah berjibun, kata orang), dan sebab-sebabnyapun sudah tumpang-tindih tidak karuan lagi. Ini kita lihat dalam masalah pertentangan antar suku, agama, ras (contoh sekedarnya : peristiwa saling bantai di Maluku, pembakaran gereja di berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa, pembakaran toko-toko). Juga dapat kita lihat dalam persoalan politik dan ekonomi (sekelumit contohnya : masalah Aceh, Irian Jaya, tuntutan otonomi dll). Atau kita lihat juga dalam pertentangan antara kekuatan-kekuatan pro-reformasi dan kekuatan status-quo (baik yang tertutup maupun yang tersembunyi). Masih ada lagi – yang cukup serius juga –, yaitu antara para pelanggar HAM dan korban-korbannya (contoh yang menyolok adalah kasus eks-tapol, kasus Tg Priok, kasus peristiwa 27 Juli dll).

Jadi, jelas, cukup rumit! Lalu, kalau sudah demikian, bisa saja ada orang yang bertanya-tanya dari mana dimulai rekonsiliasi nasional dan bagaimana caranya, dan lagi pula, apa tujuannya?

Perbenturan dengan sisa-sisa Orde Baru

Adalah menggembirakan bahwa, sedikit demi sedikit, kian banyak orang yang menyadari bahwa keruwetan berbagai persoalan parah dewasa ini telah dilahirkan dari rahim sistem politik Orde Baru. Makin gamblang jugalah bagi banyak orang, baik di Indonesia maupun di luarnegeri, bahwa menggilanya KKN, penginjakan hak-hak demokrasi, kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, kerusakan budi pekerti di berbagai kalangan atasan, pembusukan moral secara besar-besaran dalam kehidupan bangsa, bersumber pada sistem politik otoriter rezim militer Suharto dkk.

Sekarang makin bertumpuk bukti-bukti, yang bisa disaksikan dengan jelas sehari-hari – dan juga dimana-mana –, bahwa akibat sistem politik yang telah berlangsung 32 tahun itu telah merusak mental dan moral banyak orang. Dalam jangka puluhan tahun, DPR dan MPR (dan terutama Cilangkap) telah menjadi pabrik segala peraturan atau undang-undang yang merugikan kepentingan rakyat, yang melanggar HAM dan juga merusak tatanan negara. Istana Negara atau Binagraha (juga rumah di jalan Cendana) telah merupakan tempat pembantaian demokrasi, tempat melacurkan Pancasila, tempat kumuh-moral bagi persekongkolan maling-maling besar dan konglomerat.

Tidaklah berlebih-lebihan kiranya kalau dikatakan bahwa segala keburukan atau kebusukan yang kita saksikan dimana-mana dewasa in adalah anak kandung rezim militer otoriter yang dikelelola oleh Suharto dkk selama 32 tahun. Ini cukup lama. Dan, karena militerisme ini dijalankan dengan efisiensi tinggi di bidang indoktrinasi, di bidang intimidasi, di bidang manipulasi sejarah, maka pengaruhnya juga masih cukup luas dan mendalam di kalangan masyarakat. Di samping itu, pendukung-pendukung setia Orde Baru juga masih terus, sampai sekarang, berusaha menguasai lapangan dengan berbagai cara dan berbagai bentuk kegiatan.

Jadi, kalau dikaji dalam-dalam, dan kalau dicemati dengan teliti, maka akan nampak jelaslah bahwa pada dasarnya, pertentangan pokok yang termanifestasi dalam berbagai persoalan dewasa ini adalah perbenturan antara pola berfikir secara Orde Baru yang berhadapan dengan pola berfikir pro HAM, pro-reformasi, pro-kepentingan rakyat. Ini sedang terjadi di kalangan elite pemerintahan, di kalangan DPR atau DPD, di kalangan elite perekonomian nasional, di kalangan militer, di kalangan intelektual dan di masyarakat luas.

Rekonsiliasi nasional kita butuhkan

Kita semua sedang menyaksikan, dengan kegembiraan yang kadang-kadang bercampur dengan perasaan was-was, bahwa setelah negara dan bangsa dipimpin oleh Gus Dur, maka berbagai langkah mulai bisa diayunkan untuk mengadakan perbaikan dan perombakan, untuk menyetop proses pembusukan dan kehancuran yang diwariskan oleh Orde Baru. Demokratisasi di berbagai bidang sedang diletakkan dasar-dasarnya. Penegakan hukum juga sudah mulai diusahakan, walaupun dengan susah-payah. Langkah-langkah untuk memeriksa kembali peristiwa 27 Juli sudah dimulai, rencana berbagai kalangan untuk mengangkat kembali peristiwa Tanjung Priuk juga sudah dilontarkan, pemeriksaan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh juga terus dilakukan. Menteri Menkumdang Yusril telah ditugaskan untuk menangani orang-orang yang terpaksa klayaban puluhan tahun di luarnegeri. Persoalan KKN di bidang kehutanan mulai dibongkar. Perampokan besar-besaran oleh pimpinan berbagai bank pemerintah dan swasta juga terus diusut, walaupun mendapat hambatan atau halangan yang bermacam-macam.

Di antara langkah-langkah yang amat penting yang sudah dilakukan oleh Gus Dur adalah di bidang militer. Dari apa yang sudah kita saksikan, maka kelihatanlah bahwa Gus Dur – sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar rakyat berusaha untuk men-demilitarisasikan kehidupan negara dan bangsa kita. Kalau usaha Gus Dur ini berhasil, maka langkah ini akan tercatat dalam sejarah bangsa kita sebagai sumbangan yang amat besar. Sebab, kita semua menyaksikan, atau mengalami secara pribadi, bahwa sejarah hitam Orde Baru tidak bisa dipisahkan dari peran militer. Atau, dengan kalimat lain, bisalah dirumuskan bahwa Orde Baru, pada hakekatnya adalah Orde militer, atau rezim militer, atau diktatur militer. (Apakah istilah ini terdengar terlalu keras bagi telinga orang-orang tertentu? Pen.)

Selama 32 tahun, kekuasaan militer inilah yang telah menciptakan – dengan dukungan berbagai kalangan – struktur kekuasaan dan tatanan politik yang mematikan demokrasi. Rezim militer inilah, yang melalui berbagai kemasan dan menggunakan banyak cara, telah menciptakan serentetan pemerintahan secara berturut-turut selama 32 tahun, yang tidak mengindahkan HAM, telah mengkentuti demokrasi, telah memalsu sejarah. Diktatur militer ini jugalah yang telah memungkinkan seorang yang bernama Suharto telah mengangkangi kekuasaan begitu besar dan juga begitu lama, sehingga bapak pembangunan ini bisa menimbulkan kerusakan-kerusakan besar-besaran sampai begini parah, terutama di bidang moral.

Dari mana rekonsiliasi nasional dimulai?

Bahwa rekonsiliasi nasional kita butuhkan, ini sudah jelas. Terutama setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Sebab, untuk pembangunan ekonomi, bangsa kita (di bawah pemerintahan Gus Dur) memerlukan persatuan nasional. Dan persatuan nasional yang kokoh hanya bisa dibangun kalau ada rekonsiliasi nasional antara berbagai komponen bangsa. Sedangkan, kita menyaksikan sendiri bahwa dewasa ini terdapat berbagai macam friksi, gesekan, atau pertentangan antara berbagai komponen bangsa, yang diwariskan oleh sistem politik Orde Baru.

Maka, dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa melihat segi-segi yang amat positif langkah-langkah Gus Dur untuk men-demiliterisasi-kan kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita. Rekonsiliasi nasional hanya bisa betul-betul kita ciptakan dengan membersihkan diri kita masing-masing dari pola berfikir Orde Baru, dan dengan melakukan perlawanan terus terhadap mereka yang masih mau mempertahankan konsep-konsep salah, yang membikin perpecahan bangsa. Untuk itu, kita harus terus-menerus membongkar keburukan-keburukan sistem politiknya dan praktek-prakteknya. Dengan begitu, maka akan makin jelaslah arah yang mau kita tuju, dan lebih gamblang pulalah jalan salah yang manakah yang harus kita tinggalkan, untuk selama-lamanya.

Rekonsiliasi nasional adalah tujuan yang mulia, yaitu menciptakan kedamaian nasional yang sejuk di hati banyak orang. Kedamaian yang memanusiakan antara sesama manusia. Ini merupakan tugas nasional besar yang harus kita pikul bersama-sama. Tetapi, rekonsiliasi nasional, kalau mau yang sungguh-sungguh, memerlukan syarat-syarat. Rekonsiliasi nasional tidak akan kokoh, kalau tidak didasarkan atas perasaan keadilan, dan perasaan keadilan sulit dicapai tanpa ditegakkannya hukum. Penegakan hukum adalah penting untuk mencari kebenaran, dan kebenaran harus berdasarkan kenyataan.

Perlulah kiranya sama-sama kita ingat bahwa rekonsiliasi nasional melibatkan unsur-unsur penting atau faktor-faktor utama dalam kehidupan bangsa kita. Di antara unsur-unsur utama yang perlu dirujukkan adalah antara pelanggar HAM (dalam hal ini sisa-sisa kekuatan Orde Baru, dalam segala bentuknya, termasuk pola berfikir) dan para korban sistem politik Orde Baru, yang jumlahnya begitu banyak (sekedar catatan untuk ingatan kita bersama, antara lain : peristiwa 65/66, Aceh, Tg Priok, kasus 27 Juli, kasus penculikan aktivis PRD, perlakuan terhadap eks-tapol dll).

Begitu besarnya pekerjaan rekonsiliasi nasional ini, sehingga ada orang-orang yang pesimis bahwa akan bisa dilaksanakan, setidak-tidaknya dalam masa dekat. Ini bisa dimengerti. Sebab di samping besarnya pekerjaan, persoalannyapun cukup rumit juga. Perlu kita sadari bersama, bahwa rekonsiliasi nasional juga mencakup masalah peristiwa 65/66, yang akibatnya telah melahirkan monster Orde Baru. Peristiwa 65/66 adalah cikal bakal matinya demokrasi di Indonesia selama 32 tahun. Oleh karenanya, mengingat pentingnya masalah ini bagi kelangsungan kehidupan bangsa, maka cepat atau lambat, masalah ini pada akhirnya toh juga harus diselesaikan bersama-sama secara baik dan adil. (Tulisan habis di sini dulu!).

Tambahan : Karena dalam tulisan ini sering sekali disebut-sebut soal HAM, maka sekedar untuk menyegarkan ingatan kita bersama, maka berikut di bawah ini disajikan saripati cuplikan ayat-ayat Deklarasi Universal HAM, yang, disana-sini, bisa ada kaitannya dengan isi tulisan ini.

Yaitu :

  • Semua mahluk manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama. Mereka mempunyai kenalaran dan kesedaran dan kewajiban untuk bertindak secara bersahabat terhadap sesamanya (artikel pertama).
  • Martabat setiap orang berdiri di atas (mengungguli) semua perbedaan ras, warna kulit, bahasa, kepercayaan agama, pandangan politik, asal keturunan (artikel ke-2).
  • Semua individu berhak untuk hidup, untuk menikmati kebebasan dan keamanan bagi pribadinya (artikel ke-3).
  • Tidak seorangpun dibolehkan mengalami perbudakan dalam segala bentuknya (artikel ke-4).
  • Tidak seorang boleh disiksa (torture) atau mendapat hukuman dan perlakuan yang kejam, yang tidak berperikemanusiaan dan yang merendahkan martabat manusia (artikel ke-5).
  • Semua orang mempunyai kedudukan yang sama, dan tanpa kecuali, di depan hukum. Dan setiap orang berhak untuk mendapat perlidungan hukum (artikel ke-7).
  • Setiap orang berhak untuk mengadukan semua pelanggaran HAM yang dialaminya di depan pengadilan yang kompeten (artikel ke-8).
  • Seorangpun tidak boleh secara sewenang-wenang ditangkap, ditahan atau di-exilkan dalam pengasingan (artikel ke-9).
  • Semua orang berhak menuntut agar urusannya bisa diperiksa secara adil dan juga secara terbuka oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak). Seorang yang dituduh melakukan tindakan delik haruslah dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu bisa dibuktikan secara sah oleh pengadilan terbuka. Dalam pemeriksaan di depan pengadilan itu, haruslah ada jaminan yang cukup bahwa si tertuduh bisa didampingi oleh pembela (artikel ke-11).
  • Di suatu negeri, semua orang berhak untuk bersikulasi secara bebas atau menentukan tempat tinggal menurut pilihannya. Semua orang berhak untuk meninggalkan semua negeri, termasuk negerinya sendiri dan untuk kembali kenegerinya sendiri (artikel ke-13).
  • Menghadapi suatu persekusi, semua orang berhak untuk mencari asile (tempat perlindungan) dan mendapatkan perlindungan dari negeri lain (artikel 14).
  • Semua orang berhak untuk memperoleh kewarganegaraan. Tidak seorangpun boleh dicabut kewarganegaraannya, kecuali orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan atau prinsip PBB (artikel ke-14).
  • Semua orang mempunyai hak kewarganegaraan. Tidak seorangpun bisa dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang, dan juga untuk dirobah kewarnegaraannya secara sewenang-wenang (artikel ke-15).
  • Semua orang berhak untuk mempunyai kebebasan berfikir, keyakinan dan agama. Hak ini meliputi hak untuk mengganti agama atau kepercayaannya, memanifestasikannya secara sendirian atau secara bersama-sama, lewat pendidikan, lewat praktek atau upacara (artikel ke 18).
  • Semua orang berhak atas kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat. Kebebasan ini berarti bahwa seseorang tidak perlu takut untuk mempunyai fikiran/pendapat, atau takut untuk mencari dan memperoleh informasi atau ide (gagasan), tanpa memandang perbatasan, dan lewat cara yang bagaimanapun juga (artikel ke-19).
  • Seseorang mempunyai hak untuk mengadakan rapat atau menjadi anggota sesuatu perkumpulan yang bertujuan damai. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menjadi anggota sesuatu perkumpulan (artikel ke-20) – Cuplikan habis.