11 menit baca

Mengakui Kesalahan Perbuatan Terhormat Masyarakat Beradab

Oleh: Harsutejo

Mengenang Dengan Rasa Malu. Sejarah selama 32 tahun rezim Orde Baru bergelimang dengan apa yang selalu mereka tuduhkan kepada musuh-musuh politik mereka ‘tujuan menghalalkan segala cara’, dengan sistimatik mereka praktekkan sendiri. Warisan kampanye Orba selama 32 tahun masih meninggalkan dampaknya yang jauh, termasuk persepsi sejarah G30S yang telah menjadi bagian dari jalan pikiran dan perasaan jutaan orang Indonesia. Dengan landasan itu pula telah dilakukan upaya politik kekuasaan lama yang tidak rela kehilangan kekuasaannya.

Selama 32 tahun dongeng dan fitnah kekejian Gerwani misalnya terus menerus dipompakan ke dalam benak seluruh rakyat Indonesia, kepada anak-anak sekolah melalui buku-buku sejarah, film, sebagian diabadikan dalam berbagai relief monumen Lubang Buaya yang sampai kini masih dipelihara. Dengan tepat Prof Dr Azyumardi Azra, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menekankan perlunya mengenang sejarah tertentu dengan rasa malu, agar kita dapat belajar dengan lebih tepat terhadap kejadian sejarah itu untuk melangkah ke depan dengan keadaban antara korban dan pelaku kenistaan. Selanjutnya Prof Azyumardi mengemukakan empat dimensi pemaafan, (1) Pemaafan dimulai dengan penilaian moral; dalam konteks Islam disebut muhasabah, saling menghitung dan menimbang peristiwa pahit yang telah melukai, melakukan introspeksi dan penilaian moral terhadap kejadian itu. (2) Memutuskan restitusi, kompensasi kepada korban, atau hukuman kepada pelaku. Pemaafan tidak selalu menghapuskan hukuman, namun harus menghentikan pembalasan dendam. (3) Menumbuhkan empati kepada pelaku, bagaimanapun ia manusia biasa. (4) Mengembangkan pemahaman bahwa pemaafan murni diperlukan guna memperbarui hubungan antar manusia, kesiapan hidup berdampingan secara damai dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing. 1)

Adakah Kesatria Orba? Dalam wawancara dengan The Wallstreet Journal dan Omaha World Herald pada 24 April 2001, mantan Senator AS Bob Kerrey menyatakan pengakuannya atas perbuatan tentara AS di Vietnam. Salah satu operasi yang dipimpin Letnan Kerrey (ketika itu 25 tahun) terdiri dari 7 tentara komando elite AL AS pada 25 Februari 1969 terhadap desa Thanh Phong di Delta Mekong. Pada malam itu ia mengaku ditembaki lebih dulu oleh Vietkong yang tak bisa dilihatnya, di tempat yang menurut info intelijen ada pertemuan musuh. Atas perintahnya pasukan AS membalas menembak, hasilnya 21 Vietkong terbunuh seperti yang tercantum dalam surat pujian yang menyertai bintang tertinggi ke empat Bronze Star untuk keberaniannya. Ketika ia mengetahui bahwa yang terbunuh hanya rakyat sipil, perempuan dan anak-anak. “…Saya begitu malunya sampai saya ingin mati… Saya disebut sebagai seorang pahlawan dan menyimpan ini di dalam hati.” Dapat ditambahkan bahwa 17 hari setelah kejadian itu, Kerrey kehilangan sebagian kaki kanannya dalam suatu pertempuran. Untuk itu ia mendapat Medal of Honor.

Departemen Luar Negeri Propinsi Ben Tre Delta Mekong, Vietnam pada 27 April menyatakan bahwa operasi itu telah membunuh 13 anak, 5 perempuan dan satu kakek sebagai yang dikemukakan seorang saksi mata. Serangan brutal itu merupakan kejahatan perang. Jubir Kemlu Vietnam menyatakan bahwa untuk menemukan damai di hati mereka, cara terbaik bagi Kerrey dan yang lain yang berperang di Vietnam dengan mengambil tindakan konkret dan spesifik untuk menyumbang penyembuhan bekas luka perang di Vietnam. Sementara itu versi lain disampaikan oleh bekas anak buah Kerrey, Gerard Klann. Kepada The New York Times Magazine 29 April ia mengatakan ketika pencarian terhadap gerilyawan Vietkong tak menemukan apa pun, Kerrey memerintahkan pasukan mengumpulkan penduduk sipil dan membunuh mereka. Kisah Klann ini dikuatkan oleh saksi mata seorang perempuan Pham Tri Lanh (62 tahun) yang mengatakan pasukan itu telah membunuh 20 penduduk sipil termasuk 13 anak dan seorang perempuan hamil. Saksi mata lain Bui Thi Luom (44 tahun), penduduk setempat menyatakan pasukan AS masuk ke desanya dan membunuh 15 orang keluarganya. Ia yang ketika itu berumur 12 tahun, satu-satunya anggota keluarga yang selamat. Menurut tajuk Kompas 30 April 2001 sebaiknya pengalaman semacam itu dan yang serupa ditebus dengan sikap ksatria seperti lazimnya diajarkan pendidikan militer. Tajuk berharap tindakan Kerrey mengilhami munculnya semangat baru, jiwa lebih ksatria mengakui kesalahan yang dilakukan masa lalu, selanjutnya merancang program konkrit untuk membantu para korban yang pernah terkena tindak kekerasan masa lalu (Kompas 28,30 April,1 Mei 2001). Itulah perbuatan tentara AS yang dikendalikan oleh pemerintah AS, di samping kejahatan lain seperti pembunuhan, sabotase, perusakan oleh aparat intelijen. Setidaknya seorang Kerrey yang terpandang masih cukup memiliki keberanian moral untuk membuka kedoknya, setidaknya sebagian kedoknya.

Sampai pada pertanyaan, akan adakah pejabat militer dan sipil Orba (serta kelompok lain termasuk lapisan kecil intelektual) yang masih memiliki hati nurani dan keberanian moral yang akan mengakui dosa-dosanya yang berlumuran darah selama tragedi G30S 1965/1966, peristiwa Tanjungpriok, Lampung, Timor Leste, Papua, Aceh dan yang lain? Seorang Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden secara terbuka dengan jiwa besar tanpa risi telah mneyatakan maaf dalam hubungan peristiwa amat berdarah 1965/1966. Kebesaran jiwa Gus Dur telah mendapatkan simpati luas meskipun tidak dinyatakan dalam bentuk yang ramai sebagai berita laris di pasar. Ironis sikap yang dilandasi jiwa besar itu telah juga mendapat reaksi negatif dari sementara orang, bahkan mengecam dan menghujatnya. Agaknya kelompok kecil ini bersikeras hendak menutupi dosa-dosanya sendiri dan bersikukuh mempertahankan kedoknya. Bagaimanapun gaung Gus Dur telah mendapatkan respons sangat bagus dari seorang rektor IAIN seperti tersebut di atas. Dan ini adalah kecenderungan kuat akal sehat pasca perang dingin.

Pelanggaran HAM Berat dan Perikemanusiaan Standar Ganda. Dari jalannya peristiwa sejak 1 Oktober 1965 sampai berlangsungnya pembasmian berdarah terhadap sekelompok rakyat Indonesia merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Pelanggaran ini berlanjut terus berupa penangkapan, penganiayaan, penahanan dan pemenjaraan bertahun-tahun terhadap ratusan ribu korban. Selanjutnya juga kerja paksa, perkosaan, perampasan hak milik dan kehormatan, pemecatan sewenang-wenang, semuanya tanpa proses hukum kecuali hukum kekuatan dan kekuasaan. Pendeknya segalanya ada di ujung laras senapan. Setelah itu pun masih berlanjut lagi dengan pengingkaran hak sipil berupa penandaan kartu identitas berupa KTP dengan tanda ET (eks tahanan politik) cara-cara yang diwariskan rezim Hitler. Pelanggaran ini masih dilengkapi dengan apa yang disebut ‘bersih diri’ dan ‘bersih limgkungan’, suatu konsep anti kemanusiaan yang beradab yang telah memecah belah masyarakat, tindakan kejam yang berdampak mendalam dalam merusak kekerabatan masyarakat Indonesia. Tidak aneh apabila seorang kiai yang penyair, KHA Mustofa Bisri amat teriris pedih hatinya melihat tingkah laku penguasa Orde Baru semacam itu atas nama Pancasila yang disaktikan, menghajarnya dengan puisi keras penuh kepahitan dan sarkasme, sekaligus mencerminkan kenyataan pahit praktek kekuasaan penuh angkara,

“…maka pancasila kalian pun selama ini adalah:

kesetanan yang maha perkasa, kebinatangan yang degil dan biadab,

perseteruan indonesia, kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan / perkawanan,

kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia…” 2)

Diperlukan peninjauan dan pengkajian kembali terhadap seluruh peristiwa besar yang telah berdampak begitu luas. Perlu dibukanya wawasan baru tentang penilaian kembali, bukan saja dari segi kebenaran sejarah, juga diakhirinya standar ganda yang selama ini dianut dan diindoktrinasikan kepada seluruh rakyat oleh penguasa Orde Baru, standar ganda kemanusiaan dalam menyikapi dan menilai pelanggaran hak asasi manusia terhadap sekelompok masyarakat bangsanya sendiri. Kebetulan golongan masyarakat itu bernama kaum komunis, simpatisannya, para pengikut Buang Karno, juga ribuan rakyat yang tidak tahu arti semua itu beserta anak cucunya. Kalau tidak maka perikemanusiaan yang kita jalankan perikemanusian diskriminatif, perikemanusiaan munafik, tidak ada bedanya dengan praktek yang dijalankan oleh rezim nazi Hitler dan rezim apartheid Afrika Selatan yang telah dilindas sejarah itu.

Pelanggaran hak asasi terhadap perempuan yang dijadikan budak seks selama pendudukan tentara Jepang di berbagai negara Asia termasuk Indonesia atau jugun ianfu, secara luas telah dikutuk dan dituntut.3) Pemerintah kerajaan Belanda telah menerbitkan buku yang berisi daftar dan data-data pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilakukan tentaranya selama perang agresinya di Indonesia selama tahun 1945-1949.4) Bangsa dan kerajaan Belanda tidak merasa dipermalukan atau dilecehkan. Mengakui kesalahan merupakan suatu perbuatan terhormat dalam masyarakat beradab.

Selama tragedi G30S 1965 dan kejadian-kejadian yang mengikutinya juga telah terjadi perkosaan yang dilakukan oleh para penguasa yang berseragam maupun yang tidak terhadap tahanan, isteri tahanan, dan anak perempuan tahanan. Bahkan para tapol perempuan muda lebih dulu dijadikan sasaran pesta pora pelecehan seks dan perkosaan sebelum dibantai. Ribuan anak-anak menjadi terlantar, menggelandang, mengidap trauma bukan saja tanpa perlindungan bahkan disingkirkan dan dilecehkan. Dampaknya terhadap mereka ini belum pernah ada penelitian.

Adakah bangsa Indonesia yang selalu disebut beragama, ber Pancasila dan segalanya yang baik yang lain, akan dihinakan dengan pengakuan kesalahan kelompok pelaku? Adakah permintaan maaf terbuka yang didorong oleh kebesaran jiwa itu salah? Hanya karena sasaran itu adalah sekelompok masyarakat Indonesia yang dinamai komunis atau simpatisan komunis? Ketika seorang Kiai yang Presiden Republik Indonesia, meminta maaf dari hati nurani yang bening tanpa takut dihujat suara garang seperti tersebut di atas, seseorang yang dilecehkan seumur anak bungsunya sejak ia menyusuinya di ruang tahanan sebagai tapol sampai ia telah memberikannya beberapa cucu, mengungkap perasaannya lewat seorang cerpenis, “…Karena Presiden RI yang sekarang ini, ketika ia masih seorang kiai yang buta dengan hati yang baik setinggi langit, telah diterangi Tuhan pikirannya untuk meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang seperti aku ini”.5) Pengakuan Komnas HAM akan pelanggaran berat HAM dalam peristiwa G30S 1965 barulah merupakan titik awal.

Rekonsiliasi Dengan Semangat Bhinneka Tunggal Ika. Apa yang dimaksud rekonsilisasi? Siapa atau pihak mana saja yang perlu melakukan rekonsiliasi? Tentu saja hal-hal itu perlu dirumuskan dengan jelas, seperti halnya pengungkapan kebenaran serta tindak lanjutnya baik bagi korban maupun bagi pelaku. Kita semua perlu belajar dari peran bersejarah seorang pemimpin sejati seperti Nelson Mandela yang penuh dedikasi dan kesabaran hampir tanpa batas itu. Mandela seorang revolusioner tulen, berjuang bagi perubahan mendasar negerinya menjadi negara merdeka yang demokratis dengan warga multi etnik, hitam maupun putih, memelopori perjuangan anti kekerasan dan anti balas dendam.

Sejarawan Dr Asvi Warman Adam menyatakan pengusutan kekerasan masa lalu hanya dapat dilakukan dengan tekanan dan desakan politik dari masyarakat. Pengungkapan kebenaran merupakan prasyarat rekonsiliasi. Tidak ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi korban. Perlu penyiapan infrastruktur dan aturan hukum yang mendukung (Asvi Warman Adam Kompas 4 Des. 2000:38). Setidaknya sebagian masalah ini telah ditampung dalam Tap MPR V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang a.l. memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk segera membuat RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pada saat ini baru dalam tahap penyerahan RUU kepada DPR (2003). Banyak orang meragukan kemampuan DPR menghasilkan kinerja yang memuaskan. Memang keliru jika orang mengharapkan hasil segera yang memadai. Pengalaman mengajarkan bahwa segala sesuatu memerlukan perjuangan tak kenal lelah. Di samping itu masalah pelik tragedi 1965 dan akibatnya tidak cuma bisa diatasi oleh pemerintah secara formal, akan tetapi juga diperlukan dukungan dengan upaya seluruh masyarakat sendiri.

Kapan dan dari mana rekonsiliasi dimulai? Mari kita semua merenung sejenak, membersihkan pikiran kita dari segala kemungkinan rekayasa selama berpuluh tahun tentang segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Adakah pendapat, kesan, persepsi, gambaran kita tentang segala sesuatu yang bersangkutan dengan sejarah bangsa kita, khususnya tentang tragedi G30S sudah jelas dan benar adanya? Adakah rekayasa dan fitnah jahat yang telah kita anggap sebagai kebenaran selama ini? Bagaimana dari perspektif pihak korban beserta keluarganya yang jumlahnya jutaan, yang berpuluh tahun diperlakukan tidak adil secara sistimatik bahkan sebelum lahir pun karena harus “bersih lingkungan”? Lalu mereka menjadi “masyarakat diam”? Bagimana menyiasati hal itu dari perpektif Bhinneka Tunggal Ika, bahwa negeri tercinta ini beserta manusia yang mendiaminya begitu berbeda-beda dan beraneka ragam. Mereka, ya kita semua ini, berbeda dan beragam dalam hal suku-suku dan asal keturunan, bahasa, dialek, adat istiadat, agama dan kepercayaan, pandangan, jalan pikiran, cita-cita, ideologi dsb dsb dalam naungan negara RI yang bersatu. “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang lebih takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujuraat:13). Jadi perbedaan dan keragaman itu bukan saja suatu realitas sejarah yang harus diterima dengan saling hormat, bahkan suatu rahmat Tuhan yang harus disyukuri. Ahmad Sahal, Redaktur ‘Jurnal Kalam’ menyatakan jika semua pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah bangsa ini. Bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi. Dalam kerangka sikap inilah kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66. “Ada baiknya kita menyimak anjuran Surah Al Ma’idah ayat 8, ‘Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu bersikap tidak adil (terhadap mereka)’” (Kolom ‘Islam-Maaf- dan PKI’, Tempo 16 april 2000:23).

1) Prof Dr Azyumardi Azra, pidato kebudayaan di TIM, Kompas 12 Nov.2001:6.

2) Mustafa Bisri, Gelap Berlapis-Lapis, Yayasan Al-Ibriz, Rembang & Fatma Press, Jakarta, 1998:52.

3) baca antara lain A Budi Hartono & Dadang Juliantoro, Derita paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1997; Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer, KPG, Jakarta, 2001.

4) Lihat buku De Excessennota, SDU Uitgeverij Koningennegraft, Den Haag, 1995.

5) Martin Aleida, ‘Ode Untuk Sebuah KTP’, Kompas 17 Feb.2002:18.