97 menit baca

Kumpulan berita Kasus Munir

Muchdi Terbukti Menyuruh Bunuh Munir

Selasa, 8 Juli 2008 JAKARTA, SELASA - Peran mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr dalam pembunuhan aktiVis HAM Munir makin jelas. Muchdi disangka menyuruh melakukan pembunuhan terhadap Munir. Pasal yang dikenakan terhadap Muchdi yakni pasal 340 juncto 55 ayat 1 kesatu UU KUHP dengan ancaman maksimal hukuman seumur hidup.

“Pasalnya 340 dan 55 KUHP. Menyuruh melakukan (pembunuhan Munir),” tegas Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga di Kejagung, Jakarta, Selasa (8/8).

Penjelasan ini diberikan Ritonga setelah tim penyidik Mabes Polri melimpahkan berkas perkara Muchdi Pr ke Kejagung. Menurut Ritonga, berkas perkara Muchdi telah diterima Kejagung sejak Senin (7/7).

Dalam kasus Munir, Ritonga mengatakan bahwa Munir tewas karena dibunuh. Hal tersebut berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang isinya menghukum mantan pilot Garuda Pollycarpus dengan hukuman 20 tahun penjara. Polly dinyatakan terbukti bersama-sama membunuh Munir.

“Nah, Pak Muchdi sebagai apa? Menyuruh melakukan. Pembuktian bahwa ini pembunuhan sudah ada. Tidak seperti waktu perkara Pollycarpus, “ tegas Ritonga. Menyuruh melakukan itu sama dengan dalang? “Dalang itu kan bahasa politik. Dalam UU KUHAP, itu yang menyuruh melakukan,” tambah Ritonga.

Bukti-bukti yang diungkap antara lain adanya hubungan telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi Pr. Temuan Polri, terdapat 41 kali percakapan antara Polly dengan Muchdi melalui telepon. Sayangnya, isi percakapan tidak dapat dibuka. “Sudah dibawa ke Amerika, tapi yang tercatat hanya ada telepon masuk dan keluar saja,” tambah Ritonga.

Selain itu, bukti surat permintaan dari institusi yang diduga BIN kepada PT Garuda untuk menugaskan Pollycarpus berangkat ke Singapura, juga sudah diperoleh. Lagi-lagi, dokumen asli tersebut hilang di tas milik mantan Dirut PT Garuda Indra Setiawan. Dokumen tersebut hilang ketika mobil Indra diparkir di Hotel Sahid. “Kita peroleh kloning dari komputer. Kan dari komputer itu, filenya ada. Itu yang kita kloning,” tambannya.


Kejagung: Berkas Muchdi Diumumkan 14 Juli

Kompas, 8 Juli 2008 JAKARTA, SELASA - Kejaksaan Agung telah menerima pelimpahan berkas kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan tersangka Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi PR dari Bereskrim Polda Metro Jaya sejak kemarin, Senin (7/7).

Pemeriksaan berkas tersebut akan memakan waktu tujuh hari sehingga akan diumumkan sekitar tanggal 14 Juli mendatang. “Saat ini penyidikan masih dalam tahap penelitian apakah syarat formil dan materiil sudah dipenuhi,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum AH Ritonga di Kejaksaan Agung, Selasa.

Ritonga menjelaskan, tim jaksa penyidik kasus ini terdiri atas jaksa dari Jampidum, Kejati DKI; Kejari Jaksel yang dipimpin Sirus Sinaga sebagai Kepala Subbidang Keamanan dan Ketertiban Umum; dan Aspidum DKI Agus Riswanto.

Menurutnya, berkas yang akan diperiksa termasuk rekaman percakapan dan bukti surat. Kemungkinan Muchdi akan dikenai Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. (M10-08)


awapos,, 20 Juni 2008

Otak Kasus Munir Terbongkar

Muchdi Pr Terancam Hukuman Mati

JAKARTA - Konspirasi pembunuhan aktivis HAM Munir terkuak. Polisi akhirnya menemukan sosok di belakang layar yang selama ini diyakini menggerakkan terpidana 20 tahun Pollycarpus Budihari Priyanto menghabisi Munir pada 7 September 2004.

Dia adalah mantan Deputi V Penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN) yang juga mantan Danjen Kopassus Mayjen (pur) Muchdi Purwoprajono. Mabes Polri pun menetapkan purnawirawan kelahiran Jogjakarta 13 April 1948 itu sebagai tersangka. ‘‘Besok (hari ini, Red) kami pindahkan dan lakukan penahanan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok,” kata Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri tadi malam (19/6).

Muchdi dijemput penyidik di Apartemen Sahid, Jakarta Pusat, tadi malam (19/6). Operasi tertutup yang dipimpin langsung oleh Kabareskrim itu berjalan mulus. ‘‘Pak Mathius Salempang (ketua tim teknis penyidik kasus Munir, Red) yang turun menjemput tersangka. Dia (Muchdi) lantas dibawa ke Bareskrim,” kata sumber Jawa Pos yang ikut penangkapan.

Sumber lain memastikan, setidaknya tiga temuan baru yang meyakinkan polisi atas keterlibatan mantan perwira yang dicopot dari posisi Danjen Kopassus oleh Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto sebagai buntut kasus penculikan 97. Kasus penculikan itu dibongkar oleh Munir.

Yang pertama, kesaksian agen madya BIN Budi Santoso yang masih berdinas di Pakistan. Budi yang hingga kini belum pernah muncul di pengadilan dan publik itu mengatakan, pada 6 September 2004, Polly menelepon dan mengatakan bahwa dirinya terbang ke Singapura bersama Munir. ‘‘Pada 7 September-nya, Polly -sapaan Pollycarpus- kembali telepon sepulang dari Singapura, sambil mengatakan, ‘saya dapat ikan besar’,” tirunya.

Kesaksian Budi yang berdinas pada Direktorat 5.1 itu melengkapi kesaksian sebelumnya yang digunakan jaksa dalam peninjauan kembali (PK) kasus Munir dengan terdakwa Polly.

Saat itu, kepada polisi yang memeriksanya pada 3 dan 8 Oktober 2007, Budi mengakui mengenal Polly pada 14 Juni 2004. Dia berjumpa Polly di ruang kerja Muchdi di Kantor BIN.

Saat itu Budi diperintah Muchdi untuk membawa uang Rp 10 juta. Tapi, Budi tidak tahu uang itu untuk apa. Proses ini oleh Budi dicatat dalam buku kasnya yang juga disita polisi. Budi juga mengaku sering ditelepon dari HP maupun nomor rumah Polly. Isinya menanyakan posisi Muchdi.

Bukti baru lain adalah kesaksian dua anak buah Muchdi saat masih aktif berdinas di BIN. “Kedua orang yang berstatus sipil itu menguatkan bahwa Polly memang benar sering bertemu Muchdi. Semua ini dirangkaikan dengan fakta jika ada 41 hubungan telepon antara nomor milik Muchdi dengan nomor milik Polly di seputar hari pembunuhan Munir,” bebernya.

Namun, sumber itu mengakui jika polisi belum berhasil mengetahui isi percakapan di dalam hubungan dalam nomor telepon tersebut. Tapi, bukti dan saksi-saksi di atas menjadi tambahan bahwa Muchdi terkait kasus Munir. Apalagi, hingga kini mantan Pandam VI/Tanjungpura itu selalu membantah dirinya terkait kasus Munir. Muchdi bahkan sempat mendatangi redaksi Jawa Pos pada 2006 lalu untuk mengklarifikasi jika dirinya tidak terkait kasus pembunuhan pendiri Kontras itu.

Lalu apa motif Muchdi menyuruh Polly -yang juga diyakini agen BIN- menghabisi Munir? “Biar nanti pengadilan yang membuka. Yang jelas, ini tidak melibatkan institusinya. Ini hanya tindakan oknum,” sambung sumber lain.

Muchdi dijerat menggunakan pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) juncto pasal 55 (1) KUHP (menyuruh dan memberi kesempatan dalam perbuatan pidana). Ancaman hukumannya maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup atau dua puluh tahun.

Saat ditanya Jawa Pos soal Munir beberapa jam sebelum ditangkap polisi di Kantor DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Jl Brawijaya IX, Jaksel, Muchdi tidak mau menanggapi. “Kalau tidak ada urusannya dengan parpol, saya tidak mau jawab,” ujarnya gusar.

Ketika ditanya lagi, jawaban wakil ketua umum Gerindra itu tetap sama. “Ini di parpol ya, jangan tanya yang lain. Saya nggak mau jawab,” ujarnya dengan nada meninggi.

Begitu pula Polly, yang kukuh mengaku tidak mengenal Muchdi. Saat dibesuk Jawa Pos di Lapas Sukamiskin, Bandung, Senin lalu (16/6), mantan pilot Garuda itu mengaku tidak terlibat dalam kasus Munir, apalagi disuruh Muchdi membunuh Munir (Jawa Pos, 17/6).

Suara lelaki kelahiran Solo 26 Januari 1961 tersebut bahkan meninggi saat ditanya soal Budi Santoso. “Saya juga pingin tahu wajah Budi yang mana? Ngaku-nya kolonel, BIN lagi, tapi saya coba temuin dalam sidang, dia tidak datang,” tegasnya.

Lalu, bagaimana lanjutan proses yang akan dilakukan polisi setelah menangkap Muchdi? Kabareskrim Bambang mengatakan, polisi akan melengkapi berkas Muchdi. Lantas, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan melalui kejaksaan. Prinsipnya, tambah Bambang, berkas Muchdi segera dinyatakan lengkap (P-21) setelah dilengkapi berkas pemeriksaan tersangka.

Menurut Bambang, hingga kemarin, polisi belum menemukan calon tersangka lain di luar Muchdi. “Kecuali nanti berkembang di pengadilan,” ujarnya.

Hasil Tim Pencari Fakta Munir yang dibentuk berdasar keppres pada 2005 menyatakan, Munir tewas akibat pembunuhan oleh permufakatan jahat. Dugaannya, ada operasi intelijen dari beberapa kalangan di BIN. Kepala BIN saat itu, Jenderal (pur) Hendropriyono, pernah digugat Munir. Polly hanyalah bagian dari operasi tersebut. Aktor yang terlibat dalam kasus itu dipisah menjadi aktor perencana operasi, aktor penyedia fasilitas, dan aktor pelaksana operasi.

Juru bicara tim pengacara Muchdi, Zaenal Maarif, yang datang ke Bareskrim Polri beberapa saat setelah kliennya ditangkap polisi menolak istilah “penangkapan”.

Menurut Zaenal, kliennya memenuhi penggilan dengan didampingi seorang pengacaranya.

Tapi, pengakuan itu, agaknya, bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Polisi benar-benar bergerak cepat dan tidak ingin kecolongan. Meski demikian, dalam jumpa persnya tadi malam, Bambang tidak menyebut Muchdi ditangkap, tetapi dijemput. “Kami jemput dia (Muchdi) di sebuah tempat,’’ kata Bambang.

Di bagian lain, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen mengaku belum tahu bahwa ada permintaan Muchdi untuk melibatkan Badan Pembinaan Hukum TNI dalam membela kasusnya. “Tidak ada,” ujarnya. Secara teknis, menurut Sagom, Muchdi tidak bisa didampingi pihaknya karena pada waktu kejadian yang bersangkutan sudah berstatus purnawirawan.

Selain Komjen Pol Bambang Hendarso, tim penjemput juga melibatkan Direktur I Keamanan dan Transnasional Brigjen Badrodin Haiti. Mereka berpakaian sipil dan tidak mengendarai mobil dinas. Bambang menggunakan Kijang Krista. Badrodin menumpang Kijang Innova.

Beberapa petugas Gegana juga dilibatkan dalam iring-iringan empat mobil yang membawa Muchdi. Saking cepatnya, Jawa Pos yang stand by di pintu belakang Bareskrim Polri tidak sempat memotret Muchdi saat dibawa masuk. Yang jelas, Muchdi mengenakan kacamata dan topi.

Munir dibunuh pada 7 September 2004. Saat itu suami Suciwati itu hendak melanjutkan studi ke negeri Belanda. Namun, bapak dua anak itu tidak pernah sampai ke Negeri Tulip tersebut dalam keadaan hidup saat racun arsenik memenuhi aliran darahnya. Belakangan, sebelum Muchdi, polisi telah memproses Polly, mantan Dirut Garuda Indra Setiawan, dan mantan chief secretary Airbus 330 Rohainil Aini.

Juga ada dua orang tersangka lain yang belum juga dikenai proses hukum -karena akan direhabilitasi-, yakni Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti. Dua nama itu awalnya diduga ikut meracun Munir di atas pesawat Garuda yang terbang dari Jakarta ke Singapura pada hari nahas tersebut. Namun, belakangan polisi merevisi bahwa lokasi peracunan bukan di dalam pesawat, melaikan di Bandara Changi, Singapura.

Di tempat terpisah, istri almarhum Munir, Suciwati, belum merasa puas atas proses hukum terhadap Muchdi. Sebab, dia menganggap, ada pihak lain yang lebih berperan sebagai pembuka akses perencanaan konspirasi pembunuhan Munir. ‘‘Polisi harus mampu mengungkap pelaku tersebut,’’ kata Suciwati.(naz/bay/rdl/agm)


Muchdi Tetap Bantah Kenal Polly

Kompas, 20 Juni 2008

Pemeriksaan terhadap Muchdi Pr di Mabes Polri terkait kasus pembunuhan berencana terhadap mantan aktivis HAM Munir masih berlanjut. Kepada mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut, hingga pukul 12.10 WIB telah diajukan 36 pertanyaan seputar hubungannya dengan Pollycarpus.

M Luthfie Hakim, kuasa hukum Muchdi Pr, mengatakan, apa yang dijawab kliennya sama dengan apa yang pernah ia sampaikan pada persidangan yang digelar sebelumnya. Pada intinya, jelas Lutfie, Muchdi Pr membantah mengenal dan berkomunikasi dengan Pollycarpus Budihari Priyanto. “Ia diajukan 36 pertanyaan, baik bersifat administratif dan substansi persoalan. Pada dasarnya jawabannya sama, tidak mengenal Pollycarpus,” ujar Luthfie kepada wartawan seusai mendampingi kliennya dalam pemeriksaan di Mabes Polri, Jumat (20/6). Sekitar pukul 12.15, pemeriksaan dihentikan sementara, menunggu selesainya shalat jumat. Pemeriksaan lanjutan akan dimulai sekitar pukul 13.3. Kuasa hukum Muchdi Pr berencana menuntaskan pemeriksaan pada hari ini dengan menjawab semua pertanyaan yang diajukan.

“Dari malam hingga saat ini kita tuntaskan pemeriksaan. Pak Muchdi tidak tahu-menahu soal kasus Munir. Semuanya tertuang di BAP,” ujarnya. Ia juga membantah hubungan telepon antara kliennya dan Pollycarpus sebagaimana ditemukan dan disampaikan pihak KASUM.

Hubungan telepon yang dimaksud adalah hubungan antarorang per orang yang terlibat dalam percakapan tersebut, bukan hubungan antarnomor telepon kedua belah pihak. Terkait surat penugasan terhadap Pollycarpus sebagai aviation security yang dibuatnya, Muchdi juga membantah.

Adapun dengan surat yang berkop BIN itu Pollycarpus akhirnya bisa terbang bersama Munir pada 7 September 2004 lalu. Ia terbang sebagai ekstra kru Garuda dan kemudian turun di Bandara Changi, Singapura. Menurut keterangan Luthfie, Muchdi membantah memberikan surat tersebut kepada Pollycarpus. Dia juga membantah membuat dan mengeluarkan surat perintah penugasan untuk Pollycarpus tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Muchdi mengatakan tidak memiliki komputer di ruang kerjanya. “Pak Muchdi mengatakan tidak memiliki fasilitas di ruangan kerjanya atau ruang-ruangan lain yang dipakainya,” Luthfie menjelaskan.

Muchdi, lanjutnya, adalah seseorang yang gagap komputer, jadi tidak masuk akal jika kliennya dianggap telah membuat surat sebagaimana yang pernah terungkap dalam persidangan-persidangan kasus pembunuhan Munir di PN Jakarta Pusat sebelumnya. “Beliau itu gagap komputer, enggak ngerti komputer, di ruang kerjanya juga tidak ada komputer. Tidak pernah memerintahkan orang lain untuk membuat surat itu. Sementara surat yang dimaksudkan itu diketik pakai komputer,” ujar Luthfie. Dengan kondisi keterbatasan yang dialami Muchdi itu, ia membantah mengeluarkan surat untuk Pollycarpus. “Beliau juga tidak kenal dengan dengan Pollycarpus. Jadi tidak mungkin mengeluarkan surat tersebut,” tegasnya.

Secara terpisah Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Bambang Kuncoko menyatakan, bukti-bukti hasil penyidikan dan keterangan saksi-saksi lain, menguatkan keterlibatan dia dalam perencanaan pembunuhan Munir. “Boleh saja tersangka membantah. Tapi bukti-bukti yang kita miliki ditambah keterangan saksi-saksi lain menguatkan keterlibatan tersangka dalam pembunuhanm Munir,” tegas Bambang. (SMS/UGI)


Muchdi Minta Tolong Para Tokoh Muhammadiyah Kompas, 20 Juni 2008

Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr meminta sejumlah tokoh dan petinggi Muhammadiyah agar bersedia menjaminkan penangguhan penahanan bagi dirinya. Permintaan itu diajukan Muchdi lewat kontak telepon dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah.

, Zainal Ma’arif, kontak telepon untuk meminta pertolongan sejumlah tokoh dan pimpinan Muhammadiyah itu dilakukan dari Bareskrim Mabes Polri di sela-sela penyidikan, Jumat (20/6). “Sejumlah tokoh Muhammadiyah sudah dikontak untuk diminta memberikan jaminan penangguhan penahanan,” kata Zainal Ma’arif seusai mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan.

Beberapa tokoh Muhammadiyah yang telah dikontak itu adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif, mantan Rektor Univesitas Muhammadiyah Malang dan Surakarta, Malik Fajar. Muchdi meminta bantuan para tokoh Muhammadiyah ini karena memiliki kedekatan. Selama ini Muchdi menjabat sebagai Ketua Umum DPP Tapak Suci Muhammadiyah, organisasi yang mewadahi pecak silat di bawah naungan Muhammadiyah.

Di luar tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut, masih ada beberapa tokoh lain yang dikontak lewat telepon untuk dimintai kesediaannya memberi jaminan penangguhan penahanan. Beberapa tokoh itu diantaranya adalah Ketua MUI Cholid Ridwan dan Ketua PBNU Hasyim Muzadi. Namun Zainal Ma’arif tidak menyebutkan hasil pembicaraan lewat telepon itu, apakah para tokoh tersebut menyanggupi permintaan Muchdi untuk memberikan jaminan penangguhan atau tidak. Sebelum, Zainal Ma’arif memastikan Muchdi akan mengajukan penangguhan penahanan ke Bareskrim Mabes Polri pada Senin pekan depan (23/6). Namun jaminan yang diberikan baru berasal dari pihak keluarga Muchdi dan kuasa hukumnya. (Persda Network/Sugiyarto)


Penangkapan Muchdi, Babak Baru Polisi

Radio Nederland 20 Juni 2008

Penangkapan Mayjen purnawirawan Muchdi Purwopranjono dalam kasus pembunuhan aktivis hak-hak asasi manusia Munir, merupakan prestasi bagi polisi. Pasalnya, selama zaman orde baru, polisi yang bagian ABRI, selalu berada di bawah tentara. Apa yang mendorong polisi berani melakukan tindakan ini. Lagi pula, akankah keberanian polisi terus berlanjut untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir ini? Ikuti wawancara Radio Nederland Wereldomroep dengan prof. Satjipto Rahardjo, pakar polisi di Semarang, Jawa Tengah: Satjipto Rahardjo [SR]: Saya kira itu satu fenomena yang sehat, yang bagus karena memang seharusnya begitu ya. Jadi kita tidak membicarakan masa lalu tapi memang saya kira seharusnya seperti itu. Jadi polisi itu sebagai alat negara, itu harus menjadi satu-satunya institut domestik yang mengatur tentang keamanan dan ketertiban.

Oleh karena itu siapa pun juga, golongan apa pun juga, institusi apa pun juga di masyarakat itu perlu menghormati itu. Nah, sekarang dengan kejadian yang baru-baru ini, kita melihat bahwa apa yang selama ini dicita-citakan, terutama sekali sesudah Reformasi yaitu apa yang disebut sebagai supremasi sipil ini menjadi terdorong maju oleh peristiwa yang terjadi tersebut. Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: Apakah bapak bisa menceritakan kenapa terjadi perubahan ini? Selama ini yang digambarkan bahwa polisi itu selalu berada di bawah tentara, gejala apa ini pak?

Tidak imbang SR: Secara internasional atau universal, tugas polisi adalah menjaga keamanan dan ketentraman. Tetapi di dalam periode pemerintahan presiden Soeharto, itu keadaannya cukup unik dilihat dari kacamata itu. Karena polisi masuk di dalam satuan ABRI, dan di situ, terus terang saja, polisi menempati kedudukan yang tidak imbang, tidak setara dengan komponen militer lainnya.

Terutama sekali Angkatan Darat, tapi juga Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Jadi itu dengan perobahan polisi keluar dari ABRI, itu perkembangan ke arah yang lebih baik sudah mulai terjadi. Dan ini rupa-rupanya berkembang terus sampai yang terakhir adalah kejadian yang baru-baru ini dialami di Indonesia. RNW: Apakah mungkin polisi mendapat dukungan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan ini? SR: Itu bisa terjadi kalau polisi itu di belakangnya ada satu dukungan politik. Dan dalam hal ini saya kira peranan presiden SBY cukup besar, di dalam memunculkan polisi benar-benar sebagai alat negara, di mana semua harus tunduk kepada polisi.

Dukungan politik RNW: Menurut banyak kalangan bahwa polisi hanya akan menangkap Jendral Muchdi saja. Apakah menurut pak Satjipto, polisi dapat menangkap orang-orang kelas kakap lainnya seperti misalnya Jendral Hendropriyono? SR: Kalau dari segi profesionalisme, saya kira polisi bisa melakukan itu. Tapi itulah tadi, harus ada dukungan politik yang kuat. Di sini dengan kasus yang terakhir itu saya lihat memang peranan kekuatan politik yang mendukung polisi ada di situ.

Nah, sekarang tinggal kita melihat dan berharap bahwa untuk selanjutnya apabila akan terjadi polisi harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada Mayor Jenderal Muhdi itu, mudah-mudahan polisi tetap mendapat backing kekuatan politik. RNW: Kalau misalnya backing politiknya menyusut nanti, jadi bagaimana ini? Apakah kasus ini akan tetap terbuka jadinya tanpa ada keberanian polisi?

SR: Melihat pengalaman di masa lalu, bahwa polisi itu bersama-sama dengan ABRI dan dia malah merupakan kekuatan yang inferior terhadap komponen ABRI lainnya, untuk waktu-waktu sekarang ini masih dibutuhkan kekuatan politik untuk memberikan support kepada polisi itu.


Radio Nederland, 20 Juni 2008

Muchdi Pr Akhirnya Dicokok,

Tapi Ada “Dalang Lebih Tinggi”

Laporan Aboeprijadi Santoso

Masih ada “dalang lebih tinggi” dalam perencanaan pembunuhan pejuang HAM Munir, demikian LSM Kontras, menyusul penahanan Mayjen purnawirawan Muchdi Purwoprandjono sebagai tersangka. Mantan kepala BIN Jenderal Hendropriyono “harus diperiksa” tegas mantan anggota Tim Pencari Fakta TPF Kasus Munir, Asmara Nababan.

Maka “patahlah sudah mitos bahwa orang kuat tak tersentuh hukum,” komentar Direktur Imparsial, Rachland Nasshidik. Muchdi, mantan Deputy V Badan Intelejen Negara BIN Bidang Penggalangan dan mantan Danjen Kopassus, tidak menyerahkan diri, melainkan ditahan, pukul 7 malam kemarin. Inilah pertama kali seorang mantan petinggi TNI diancam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Penahanan Mayjen Muchdi Pr, tak pelak lagi, merupakan kemajuan penting dalam proses kasus pejuang HAM Munir yang tewas dalam penerbangan ke Amsterdam 7 September 2004. Namun proses Muchdi bisa alot. Juru bicara Tim Pembela Muchdi Zaenal Maarif menyambut lega bahwa Babinkum, badan pembela hukum perwira TNI, akan turun tangan. Dia bahkan membantah Muchdi menjadi telah tersangka.

Zaenal Maarif: “Lho sekarang belum boleh dikatakan sebagai apa.” (Kok menyerahkan diri?) Karena jam 10 ada undangan, beliau tidak bisa datang, maka baru bisa memenuhi undangan malam ini. Nanti kita lihat dulu.” (Polisi punya bukti-bukti baru untuk menetapkan dia sebagai tersangka) “Oh iya. Tetapi kan Pak Muchdi dan kita tim kan juga mempunyai beberapa hal yang menunjukkan bahwa Muchdi tidak pernah terlibat sama sekali. Babinkum juga akan ikut. Kalau Babinkum saya dengar mau turun, maka akan sama-sama kita.”

Dicokok Sambutan lega Tim Pembela Muchdi ini menarik karena Babinkum sebenarnya sudah lama tidak diikutsertakan dalam perkara hukum perwira TNI, misalnya dalam sengketa soal pemanggilan Komnas HAM. Tak jelas mengapa badan tsb kini turun. Muchdi kemarin malam dijemput di Apartemen Sahid dan menuju Mabes Polri ditemani tak kurang oleh Kabareskrim Komjen Pol. Bambang Hendarso Danuri. Juru bicara Tim Pembela, Zaenal Maarif, menyebut Muchdi “memenuhi undangan”, bukan “menyerahkan diri”. Namun penjemputan Muchdi yang dikawal Brigjen Pol. Mathius Salempang menunjukkan bahwa Muchdi sebenarnya dicokok. Hendarso dan Salempang adalah dua tokoh kunci yang bekerja keras dan berjasa membongkar peranan Muchdi. Siang kemarin diketahui Muchdi masih meramaikan tampilan partai baru Gerindra, Gerakan Indonesia Raya, yang dipimpin Letjen pur. Prabowo Subijanto. Muchdi menjabat Wakil Ketua I dari kendaraan politik baru sahabatnya tersebut.

Bukti kuat Tiga bukti kuat dianggap menyudutkan Muchdi. Pertama, hubungan telepon dengan Pollycarpus Budihari Priyanto sebanyak 41 kali seputar hari-hari kematian Munir. Kedua, pengakuan mantan Direktur Garuda Indra Setiawan bahwa dirinya diminta Muchdi mengatur agar pilot Pollycarpus ikut penerbangan yang ditumpangi Munir. Ketiga, kesaksian bawahan Muchdi, Budi Santoso, yang diminta memberi uang kepada Polly dan melakukan transaksi tersebut.

Polly akrab dengan Muchdi seperti “berpacaran,” kata kalangan pegiat HAM di Kontras. Namun hingga kini keduanya membantah hal itu, bahkan Zaenal Maarif bersikukuh Muchdi tak kenal Polly. Rachland Nasshidik tertawa mendengar bantahan tsb, “itu bisa menjadi joke of the year,” katanya. Yang menarik, seperti dilaporkan Tim Pencari Fakta TPF Kasus Munir, nomor telepon Muchdi di kantor adalah nomor khusus yang hanya dapat diakses orang dalam. Polisi juga memiliki alat-alat bukti kuat termasuk daftar telepon dalam komputer Muchdi yang memuat nomor Polly. Apa pun motifnya, yang terang, Mayjen Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus berkat kampanye keras Munir yang mengungkap penculikan aktivis oposisi tahun 1998.

Pejabat tinggi Maka pekerjaan rumah berikut aparat hukum adalah membuktikan apakah dan siapa pejabat tinggi lain yang terlibat. Mantan anggota TPF Kasus Munir, Asmara Nababan menyatakan Jenderal Hendropriyono harus diperiksa karena dia waktu itu Kepala BIN yang pasti, paling tidak, patut, mengetahui kasus yang melibatkan elemen-elemen BIN. “Dia harus diselidiki apa dia tahu siapa yang memerintahkan,” demikian Asmara. Di Jakarta orang tak sangsi lagi, selain Muchdi, banyak kalangan terlibat pembunuhan Munir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat memetik bekal legitimasi yang penting baginya untuk pemilu dan pilpres 2009. Tapi kasus Munir yang dinilainya sebagai “ujian sejarah” ini harus tuntas lebih dulu, dan tidak berhenti pada Mayjen Muchdi Pr __


Antara, 20 Juni 2008

Muchdi Siap Hadapi Situasi Terburuk

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR menyatakan siap menghadapi situasi terburuk, terkait dengan statusnya sebagai tersangka kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir.

Kawan dekat Muchdi, Robbie Mukaf, mengemukakan hal itu usai menjenguk Muchdi yang kini terus menjalani pemeriksaan oleh penyidik di Gedung Badan Reserse Kriminal, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat.

“Dia (Muchdi, red) siap menghadapi segala risiko yang dihadapi,” kata anggota Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI ini.

Menurut dia, anak, isteri dan keluarga Muchdi lainnya juga telah siap dengan segala sesuatu yang akan menimpanya.

Mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AD ini mengaku prihatin dengan kondisi yang menimpa sahabatnya sesama alumni Akademi Militer tahun 1970.

“Kalau ada kawan yang ditahan berarti kan dalam kesulitan. Itu yang membuat kami prihatin,” katanya.

Untuk itu, para alumni Akmil 1970 akan menyediakan tim pengacara kendati Muchdi sudah punya pengacara sendiri.

Selama menjalani pemeriksaan, Muchdi cukup sehat.

“Tadi pagi, ada dokter yang memeriksanya dan Pak Muchdi dinyatakan sehat,” katanya.

Sebagai prajurit TNI, katanya, Muchdi siap berkorban untuk bangsa dan negara.

“Hidup dan matinya untuk bangsa dan negara,” katanya menegaskan. (*)


Antara, 19 Juni 2008

Muchdi PR Tersangka Baru Kasus Munir Resmi Ditahan

Medan (ANTARA News) - Mabes Polri resmi menahan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR yang ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir.

“Kepada yang bersangkutan (Muchdi PR, red) memang sudah kita layangkan surat panggilan untuk datang besok. Tapi tadi jam 19.00 WIB Pak Muchdi dengan diantar oleh tim pengacaranya menyerahkan diri kepada tim penyidik Bareskrim Mabes Polri,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira, kepada wartawan di Hotel Grand Angkasa, Medan, Kamis malam.

Dia menjelaskan, status mantan Deputi V BIN itu telah ditetapkan sebagai tersangka sehingga usai menjalani pemeriksaan maka Muchdi langsung ditahan Bareskrim Mabes Polri.

“Status yang bersangkutan memang telah ditetapkan sebagai tersangka dan sekarang dalam proses pemeriksaan dan kepada yang bersangkutan akan dilakukan penahanan. Sementara pasal yang dituduhkan yaitu pasal 340 KUHP pembunuhan berencana dan junto pasal 55 KUHP turut serta,” ujarnya.

Menurut dia, kendati Muchdi pernah menjadi pejabat di BIN, namun Polri belum menemukan adanya keterlibatan lembaga tersebut dalam kasus pembunuhan Munir.

“Hingga kini oknum yang ditahan masih yang bersangkutan dan belum ada indikasi institusi yang terlibat. Yang jelas sedang dalam proses pemeriksaan dan hasilnya kita belum tahu,” tegasnya.

Kehadiran Abubakar Nataprawira di Medan adalah untuk mendampingi kunjungan kerja Kapolri Jenderal Pol Sutanto selama dua hari di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.(*)


Antara, 19 Juni 2008

Suciwati: Muchdi Jalan Menuju

Dalang Pembunuhan Munir

Jakarta (ANTARA News) - Suciwati, istri mendiang aktivis HAM Munir mengharapkan dengan penetapan Muchdi PR sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir tersebut bisa menjadi jalan untuk menangkap dalang pembunuhan suaminya.

“Ini langkah maju dari kepolisian dengan keberaniannya. Kita berharap ini diproses secara tuntas, kalau ada dalangnya ya terus dikejar,” kata Suciwati yang dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis malam menanggapi ditetapkannya Muchdi PR sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir oleh Mabes Polri.

Suciwati mengatakan Muchdi PR bukanlah perencana dan pelaku tunggal pembunuhan Munir.

“Kalau kasus ini banyak melibatkan orang BIN (Badan Intelijen Negara). Ada Deputi II ada Deputi V yang memberikan perintah, dan ada Waka BIN, sedangkan yang memimpin BIN waktu itu adalah AM Hendropriyono. Ini memang perlu pendalaman,” kata dia.

Suciwati berharap pihak kepolisian mempunyai keberanian untuk menuntaskan kasus pembunuhan suaminya tersebut.

Senada dengan Suciwati, Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) Asmara Nababan menduga mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR bukan satu-satunya aktor intelektual dibalik pembunuhan aktivis HAM Munir.

“Ini membuka jalan untuk menentukan tersangka berikutnya,” katanya di Jakarta, Kamis malam, menanggapi penetapan mantan petinggi BIN itu sebagai tersangka kematian Munir.

Dia menilai penetapan Muchdi sebagai tersangka merupakan langkah strategis untuk menjerat aktor intelektual lainnya tersebut.

Nababan meyakini pihak-pihak tertentu yang terkait dengan Muchdi memiliki andil dalam pembunuhan Munir. “Dari kalangan intelijen,” kata Nababan tentang dugaan identitas pihak yang terkait dimaksud.

Nababan menambahkan, KASUM sangat mengapresiasi kinerja kepolisian dalam mengungkap misteri kematian Munir. Dia menilai, kepolisian sangat mendukung upaya pengungkapan kebenaran di balik kematian Munir.

Menurut dia, kinerja kepolisian itu harus didukung oleh kejaksaan sebagai pihak yang berwenang melayangkan tuntutan. Nababan berharap kejaksaan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat dan bersungguh-sungguh menjaga proses penegakakan hukum berada pada jalur yang tepat.

“Kita harus pantau peran kejaksaan,” katanya menegaskan.

Seperti diberitakan, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan aktivis HAM Munir oleh Mabes Polri.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira menyatakan Muchdi diduga melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana junto pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.

Dengan pasal tersebut, Muchdi mendapatkan ancaman hukuman 20 tahun penjara, seumur hidup atau hukuman mati.(*)


Antara, 15 Juni 2008

Tersangka Baru Kasus Munir Hendak Lari

Jakarta, (ANTARA News) - Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum) mensinyalir tersangka baru kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir yang akan segera ditangkap oleh Mabes Polri hendak kabur.

Koordinator Kasum, Usman Hamid di Jakarta, Minggu mendesak Polri untuk mempercepat penangkapan agar tersangka tidak melarikan diri.

“Langkah penangkapan harus disertai tindakan penahanan sampai ke pengadilan karena kami menduga tersangka akan berupaya melarikan diri,” katanya.

Selain itu ada pula upaya untuk menghilangkan saksi dan alat bukti yang diperlukan bagi penuntutan oleh jaksa dan pembuktian oleh hakim di pengadilan.

“Untuk itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu diefektifkan,” katanya.

Kasum mendesak DPR mengaktifkan lagi tim kasus Munir untuk memantau jalannya proses persidangan.

Lembaga lain yang harus memantau persidangan nanti adalah Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komnas HAM.

“Pemantauan berlapis amat perlu guna mencegah politisasi kasus ini untuk Pemilu 2009,” katanya.

Ia menyatakan, adanya tersangka baru kasus pembunuhan Munir merupakan langkah maju.

“Tersangka itu harus mengungkap siapa yg menyuruh dan merencanakan serta dalangnya,” katanya.

Ia berharap agar penangkapan itu tidak menunggu waktu lebih lama lagi sebab aparat penegak hukum terlalu lama membiarkan para pelaku pembunuhan Munir.

Kapolri Jenderal Pol Sutanto sebelumnya menyatakan, penyidik Mabes Polri belum menangkap tersangka itu sebab polisi harus memperkuat bukti-bukti agar tidak kandas di pengadilan.

Kejaksaan Agung sendiri juga telah membentuk tim jaksa penuntut umum untuk menangani kasus ini.

Dalam kasus ini, dua orang telah divonis hakim yakni mantan pilot maskapai penerbangan Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto dengan hukuman 20 tahun penjara dan mantan Dirut PT Garuda Indra Setiawan dengan hukuman satu tahun penjara.

Sekretaris pilot Airbus 330 PT Garuda Ruhainil Aini divonis bebas oleh hakim dalam kasus tersebut.

Munir tewas karena diracun saat berada di pesawat Garuda nomor penerbangan GA 974, Senin, 7 September 2004 yang terbang dari Jakarta menuju Amsterdam.(*) COPYRIGHT © 2008 Ketentuan Penggunaan


Harian Global, 18 Maret 2008

UNI EROPA DESAK SBY TUNTASKAN KASUS MUNIR HINGGA AKARNYA

Parlemen Uni Eropa mendesak pemerintah Indonesia menuntaskan kasus Munir hingga akarnya. Desakan itu tertuang dalam Written Declaration nomor 98/2007 tertanggal 13 Maret 2008.

Deklarasi itu dibacakan oleh Koordinator KASUM Usman Hamid di kantor International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Jl Mampang Prapatan 11 No 23, Jakarta Selatan, Senin (17/3) Usman menyatakan, 412 dari 795 Anggota parlemen atau sekitar 52 persen menyetujui pernyataan tersebut sebagai sikap resmi parlemen Eropa.

Poin penting dalam deklarasi tersebut yakni pertama, meminta pemerintah RI secepatnya melakukan segala sesuatu agar memastikan seluruh pihak yang bertanggung jawab di semua level atas kematian Munir dibawa ke pengadilan.

Kedua, mendesak Komisi dan Dewan Uni Eropa terus memantau penyelidikan kasus Munir saat ini.

Ketiga, menginstruksikan Presiden Uni Eropa untuk menindaklanjuti desakan ini seluruh pemerintah dan perlemen dari negara anggota UE, Presiden RI SBY, Ketua DPR RI Agung Laksono, dan Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid.


Jawapos, 20 Febeuari 2008,

Suciwati Minta SBY Tangkap Muchdi

JAKARTA - Istri mantan aktivis HAM almarhum Munir, Suciwati, tak kenal menc ari keadilan untuk suaminya yang terbunuh secara tragis di pesawat Garuda. Janda dua anak itu kemarin mendesak Presiden SBY untuk segera menetapkan status mantan Deputi Penggalangan BIN Muchdi Purwopranjono (Muchdi P.R.) sebagai tersangka.

“Saya secara pribadi mendorong presiden untuk memerintahkan adanya penyelidikan terhadapnya (Muchdi), kalau perlu langsung penangkapan,” ujar Suciwati dalam jumpa pers bersama KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) di Kantor Kontras, Jakarta, kemarin (19/2). Sejumlah anggota KASUM yang hadir kemarin adalah Asfinawati, Kartika Rahayu, Choirul Anam, John Muhamad, dan Edwin Partoli.

Menurut Suciwati, misteri kasus pembunuhan suaminya yang diracun dengan arsenik pada 2004 itu kini semakin gamblang. Keterangan dari tersangka mantan Dirut Garuda Indra Setiawan beserta Budi Santoso sebagai saksi di persidangan kasus Munir semakin menguatkan keterlibatan Muchdi yang juga mantan komandan Kopassus itu. “Dukungan presiden bisa memperkuat kekuatan Polri untuk bisa memeriksa dia,” ujar Suci.

Choirul Anam dari divisi hukum KASUM menambahkan, penyelidikan terhadap Muchdi P.R. harus segera dilakukan. Sebagai seorang mantan perwira tinggi, tidak tertutup kemungkinan bahwa Muchdi akan melakukan lobi-lobi tingkat elite untuk menghambat penetapan dirinya sebagai tersangka. “Persoalan di sini adalah koneksi Muchdi yang kuat bisa menghentikan aturan hukum yang ada di tingkat lapangan,” ujar Choirul.

Selain persoalan klasik tersebut, KASUM menilai Muchdi adalah salah satu penghambat jalannya persidangan kasus Munir. Beberapa keterangan Muchdi saat dipanggil saksi di persidangan dianggap menyesatkan. Di antaranya adalah pengakuan dia yang tidak merasa kenal dengan Polly dan mengakui nomor HP miliknya dalam print out, namun tidak merasa dirinya menelepon. Padahal, empat saksi lain yang dipanggil saat itu -Indra, Budi, M As92ad, dan Raden Padma- mengakui adanya relasi antara Muchdi dan Polly. “Logikanya sederhana, kebohongan (Muchdi) dalam persidangan tentu patut dicurigai,” ujar Asfinawati, aktivis KASUM bidang hukum lainnya.

Suci menambahkan, yang diupayakan itu sebenarnya bukan untuk mengejar kemen angan dalam kasus kematian suaminya. Bagi dia, yang terpenting saat ini adalah semua yang terlibat dalam pembunuhan Munir segera diperiksa untuk mendapatkan kejelasan secara hukum. “Menang kalah tidak penting. Bagi saya, pengungkapan kebenaran atas kasus ini yang terpenting,” ujar Suci. (bay/tof)


Rabu, 20 Februari 2008,

Dianggap Serangan kepada Pribadi Muchdi

Dihubungi terpisah, kuasa hukum Muchdi P.R., Mahendradatta menyatakan, desakan Suciwati dan KASUM yang meminta pemerintah menetapkan kliennya sebagai tersangka dianggap sebagai tekanan. Dia melihat hal itu sudah merupakan serangan kepada pribadi, dalam hal ini memojokkan Muchdi secara tidak langsung . “Selain menekan, ini penggiringan aparat hukum dari sejumlah kelompok agar menetapkan klien kami sebagai tersangka,” ujar Mahendradatta kemarin (19/2).

Menurut dia, keterangan sejumlah saksi yang menyatakan ada hubungan antara Polly dan Muchdi memang telah terbukti benar adanya. Namun, yang harus diklarifikasi saat ini bahwa kejelasan bukti tersebut hanyalah sebatas bukti kebenaran relasi. “Faktanya, memang terbukti adanya relasi. Namun, itu tidak merujuk adanya bukti hubungan sampai di rencana pembunuhan (Munir),” ujarnya mengingatkan.

Mahendradatta lantas mengecam balik sikap pihak yang menginginkan agar Muchdi segera ditetapkan sebagai tersangka. Dia menuding sikap tersebut hanyalah stigma karena Muchdi adalah orang BIN. “Polly itu punya hubungan dengan LSM dan gereja. Apakah karena status BIN sebagai lembaga intelijen maka dengan mudah dituduhkan,” kata Mahendradatta balik bertanya.

Selain itu, Mahendradatta melihat adanya motif persaingan politis dalam kasus tersebut. Sebagai seorang petinggi BIN, saat itu Muchdi adalah perwira yang memegang rahasia-rahasia negara ketika Megawati menjabat presiden. “Lihat saja pejabat-pejabat BIN yang dituduh. Muchdi (PR), Nurhadi Djazuli (mantan sekretaris utama BIN), dan Hendropriyono (mantan kepala BIN). Itu sangat politis,” ujarnya mengecam balik.


Media Indonesia, 5 Februari 2008

Polisi Pegang Surat Penugasan Pollycarpus

Polri dikabarkan telah memegang surat penugasan Pollycarpus Budihari Priyanto yang dibuat dan ditandatangani Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Asya’ad. Surat yang ditujukan kepada mantan dirut Garuda Indra Setiawan itu sempat hilang karena dicuri.

Namun, saat dikonfirmasi, Kabareskrim Polri Komjen Bambang Hendarso Dhanuri, dia enggan berkomentar. “Saya tidak berkomentar soal pernyataan-pernyataan di luar penyidikan tentang kasus Munir. Kita lihat ke depan. Yang jelas, kalau ada bukti yang perlu ditindaklanjuti, maka akan kita tindaklanjuti,” katanya di Jakarta, Selasa (5/2).

Menurut seorang pejabat Polri yang enggan disebut namanya, polisi sudah mendapatkan keterangan siapa yang menyuruh Asya’ad membuat surat itu.

Sedangkan Asya’ad, kata pejabat Polri itu, sudah dimintai keterangan dan dia memang tidak terkait. Dari penyidikan Polri, Asya’ad memang dikenal sebagai pejabat polos di kalangan BIN, yang tidak mengetahui rencana pembunuhan Munir.

Menurut seorang anggota BIN, seharusnya, polisi bisa mengetahui siapa pembuat surat itu dan siapa yang meminta dan menggunakan surat itu. Dalam buku SOP (standar operasi prosedur) BIN, akan diketahui, siapa yang meminta dan sebagai user surat itu.

Pejabat BIN itu juga membenarkan, bahwa Asya’ad memang hanya diperdaya. Dia tidak tahu ada rekayasa skenario untuk memakai nama Asya’ad.

“Asya’ad adalah taat pada SOP. Dia birokrat tulen dan sangat patuh pada hukum,” kata pejabat BIN itu.

Sementara itu, soal kemungkinan pelaku pembunuhan Munir lebih dari dua orang, dan adanya tersangka yang akan ditetapkan Bareskrim, Bambang Hendarso meminta pihaknya diberi waktu. “Sekarang masih dalam penyidikan intensif,” katanya.

Begitu juga saat ditanyakan soal uang pemberian Rp10 juta dari Muchdi PR ke Pollycarpus, melalui Budi Santoso, Bambang hanya berkata, “Pemeriksaan Pollycarpus masih terus berjalan. Pokoknya semuanya berjalan sebagaimana proses penyidikan,” ujarmya.*****[gospol]


anjarmasinpost , 26 Januari 2008

Suci: Mestinya Seumur Hidup Polly Divonis 20 Tahun Penjara

JAKARTA, BPOST - Pollycarpus Budihari Priyanto kembali harus memasuki bilik penjara. Mahkamah Agung, Jumat (25/1) menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada bekas pilot Garuda itu karena terbukti membunuh tokoh pegiat HAM, Munir.Tengah malam tadi, Polly dieksekusi petugas Kejagung.

Saat dijemput di rumahnya, Polly sempat mengibarkan bendera Merah-Putih. “Ini negaraku. Saya tidak bersalah,’ teriaknya.Namun, dengan pendekatan persuasif, petugas bisa membawanya ke Lapas Cipinang.Polly yang mengenakan jaket biru didampingi sang istri, Herawati. Mereka menumpang mobil Panther B 2107 BQ milik Kejagung.Dalam putusannya, MA menyatakan dakwaan primer yang diajukan kejaksaan yakni Polly turut serta dalam pembunuhan Munir terbukti. “Ia kena (dakwaan) pokoknya (Primer),” kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga mengutip putusan MA.

Djoko Sarwoko, salah satu majelis hakim PK, menyatakan Pollycarpus terbukti terlibat pembunuhan aktivis HAM, Munir.Putusan MA itu mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kejaksaan dalam kasus pembunuhan Munir. Sebelumnya, PN Jakpus memvonis Polly dengan 14 tahun penjara dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.Namun MA dalam putusan kasasinya pada 3 Oktober 2006 memvonis Polly dua tahun penjara. Polly juga dinyatakan tidak terbukti membunuh Munir, namun hanya terbukti menggunakan dokumen palsu perjalanan.

Vonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim PK terhadap Polly, ditanggapi dingin oleh Suciwati, istri mendiang Munir. Dia menyatakan tidak puas dengan putusan MA memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara.”Saya tidak puas. Saya harus kehilangan Munir, itu menyakitkan. Sangat pantas jika dia (pollycarpus) dihukum seumur hidup,” tandas ibu dua anak itu.Menurut Suci, yang lebih penting dari putusan MA segera ditindaklanjuti para aparat penegak hukum untuk tidak sebatas menghukum Pollycarpus.

“Tapi, siapa di belakang Polly juga harus ikut diproses secara hukum juga,” ujarnya.Di sisi lain, Polly kecewa. Pilot senior Garuda ini geram MA mengganjarnya 20 tahun penjara. “Ini sungguh aneh, vonis PK lebih tinggi dari hukuman sebelumnya yang hanya 14 tahun penjara,” tandasnya di kediamannya di Kompleks Pamulang Permai, Blok B No 1, Tangerang.Meski begitu dia menyatakan tidak akan menyerah.”Saya siap menghadapi semuanya. Bahkan, saya siap ditembak mati, dengan catatan memang saya bersalah,” tegas nya.Dia pun mengancam langkah hukum lagi.

“Saya akan ajukan PK!” tegasnya.Bidik BINSuciwati sendiri mengaku tetap penasaran karena belum ada satu orang pun dari Badan Intelijen Negara (BIN) yang disentuh hukum.”Saya hanya ingin, kasus seperti ini tidak terjadi kembali dan menimpa siapapun. Hakim sudah jelas menyatakan ini adalah pembunuhan politik,” tandasnya.

Karenanya dia berharap pemerintah menyentuh para petinggi BIN yang diyakininya terlibat dalam pembunuhan suaminya. Suci menyebut beberapa petinggi BIN yang dianggapnya layak dipertanyakan.Menurut Suci , Muchdi PR sudah seharusnya ditangkap atau setidaknya segera dilakukan proses hukum. Termasuk As’ad (wakil kepala BIN) dan Hendropriyono yang ketika itu Kepala BIN.Seakan menanggapi, Jaksa Agung Hendarman Supan tengah membidik sejumlah anggota BIN yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Munir.Pollycarpus bakal tidak sendirian menyandang dosa kasus Munir.

Mantan Dirut Garuda, Indra Setiawan dan Sekretaris Chief Pilot Airbus 330 PT Garuda, Rohainil Aini, terdakwa lainnya, dituntut selama 1 tahun 6 bulan penjara dan 1 tahun penjara.Ketua tim jaksa penuntut umum, Didik Afrhan, meyakini keduanya terbukti menerbitkan surat tugas kepada Pollycarpus untuk bisa satu pesawat dengan Munir. Persda Network/yls/yat/ade/had


ntara, 25 Januari 2008

Kontras Belum Puas Terhadap Penuntasan Kasus Pembunuhan Munir

Jakarta (ANTARA News) - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan belum puas terhadap penuntasan kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga Ketua Pertama Kontras, Munir, meski Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan vonis 20 tahun penjara terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa ketidakpuasan itu didasari kenyataan bahwa aktor intelektual di balik kematian Munir belum tertangkap.

“Kami belum mengatakan puas, karena bagaimana pun juga kami masih tetap menunggu aktor intelektualnya tersentuh,” katanya.

Putusan MA, menurut dia, harus dijadikan jembatan bagi polisi dan kejaksaan untuk menjerat aktor intelektual tersebut.

Meski belum puas, Usman menghargai putusan MA yang menunjukkan bahwa bukti atau keadaan baru yang diajukan dalam Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut dianggap masuk akal dan mempunyai kekuatan hukum.

“Itu menunjukkan MA betul-betul mempertimbangkan bukti baru yang diajukan,” katanya.

Putusan itu, menurut Usman, adalah terobosan dalam kasus kejahatan politik, meski tetap tidak akan menghilangkan penderitaan korban dan keluarga korban.

“Putusan ini sejalan dengan temuan dan kesimpulan tim pencari fakta terdahulu yang meletakkan pembunuhan Munir sebagai konspirasi politik,” kata Usman menambahkan.

Majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang memeriksa dan mengadili permohonan PK kasus pembunuhan Munir menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto.

Permohonan PK tersebut diputus dalam rapat musyawarah MA dengan Ketua Majelis Hakim, Bagir Manan, dibantu hakim anggota, H. Parman Soeparman, Djoko Sarwoko, Paulus Efendi Lotulung, dan Harifin A. Tumpa.

Putusan bernomor 109/pk/pid/2007 sekaligus membatalkan putusan MA sebelumnya bernomor 1185K/pid/2006 tertanggal 3 Oktober 2006, yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Pollycarpus, karena dianggap bersalah menggunakan surat tugas palsu. (*)


Tempo Interaktif, 26 Januari 2008

Polly Digelandang ke Cipinang

Terpidana dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, kemarin malam dijemput paksa aparat kejaksaan dan langsung dibui di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Bekas pilot Garuda Indonesia itu dibawa dari rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, disertai istrinya.

Sesaat sebelum memasuki mobil Kijang LX warna perak milik kejaksaan, di depan puluhan wartawan yang mengerumuninya, Polly sempat mengibas-ibaskan bendera merah-putih yang digenggamnya sambil berteriak, “Merdeka. Demi merah-putih, demi negara….”

Sambil mengatakan bahwa dirinya tak bersalah, pilot Airbus yang diberhentikan dari Garuda sejak 1 November 2006 itu juga memastikan akan menempuh upaya hukum yang masih tersedia. “PK (peninjauan kembali) milik saya.”

Polly dijatuhi hukuman penjara 20 tahun setelah Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Selain terbukti membunuh, Mahkamah Agung juga menyatakan Polly bersalah atas pemalsuan surat tugas yang dilakukannya.

Tak terlihat ada pengacara ketika petugas membawa Polly. Dari informasi yang dihimpun Tempo, aparat yang membawa Pollycarpus berasal pengadilan negeri Tangerang, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jakarta. Tampak pula diantaranya jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggii DKI Jakarta Didik Farkhan.

Tim ini datang pukul 22.02 WIB dengan menggunakan tiga mobil dan membawa salinan putusan Mahkamah Agung sebanyak enam lembar. Setelah lima menit melakukan briefing di depan rumah Pollycarpus bersama wakil ketua RT setempat, sekitar 10 orang petugas masuk ke dalam rumah dan dipersilakan masuk oleh salah seorang kerabat Pollycarpus.

Selama 20 menit panitera dari PN Jakarta Pusat membacakan salinan putusan tersebut. ketika dibacakan, dari balik jendela terlihat Pollycarpus didampingi oleh Hera istrinya, yang sesekali menangis sambil mengusap kepala suaminya. Setelah itu tim panitera keluar rumah, sementara Polly masuk ke dalam kamar.

Sekitar 20 menit kemudian Polly keluar rumah sambil dikawal ketat petugas dan dikerubungi wartawan. Kepada wartawan, Pollycarpus menegaskan dirinya tidak terlibat pembunuhan Munir. “Anjing saya sakit saja saya rawat, bagaimana saya bisa membunuh Munir?’” katanya.

Sekali lagi Pollycarpus menegaskan peninjauan kembali oleh jaksa ini cacat hukum, “Yang berhak mengajukan PK adalah saya,” katanya. Dia mengatakan dirinya mau dibawa petugas karena ingin mentaati prosedur hukum yang berlaku. Mustafa Moses


Tempo Interaktif, 25 Januari 2008

Pollycarpus Dihukum 20 Tahun Penjara TEMPO Interaktif, Jakarta:Majelis Hakim Peninjauan Kembali perkara pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir menghukum terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto 20 tahun penjara. Polly terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dan pemalsuan surat.

“Putusan ini berarti mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Nurhadi yang membacakan putusan itu, Jumat (25/1).

Majelis hakim yang memutus perkara bernomor 109/PK/PID/Tahun 2007 terdiri dari Bagir Manan sebagai ketua majelis, dan anggota majelis Parman Suparman, Djoko Sarwoko, Paulus E Lotulung, dan Harifin A. Tumpa.

Hakim Agung Djoko Sarwoko mengatakan putusan ini diambil setelah mempertimbangkan adanya kekeliruan putusan hakim sebelumnya dan bukti baru yang diajukan. “Majelis sependapat bahwa alasan permohonan PK bisa diterima,” katanya kepada wartawan, Jumat (25/1).

Menurut Djoko, putusan menghukum Polly diambil secara bulat oleh majelis hakim. “Kelima hakim berpendapat sama,” katanya.

Sebelumnya, Pollycarpus pernah dijatuhi hukuman 14 Tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun di tingkat kasasi, Polly hanya diganjar hukuman dua tahun penjara dan tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. “Sekarang kami putuskan Pollycarpus itu pelaku pembunuhan,” ujarnya.

Djoko mengatakan majelis berpendapat bahwa pembunuhan Munir tidak terjadi dalam penerbangan pesawat antara Jakarta-Singapura. Namun dia tidak merinci dugaan majelis hakim soal lokasi pembunuhan Munir.

Hal itu, kata Djoko, jelas merubah dakwaan jaksa yang mengatakan pembunuhan terjadi dalam penerbangan antara Jakarta-Singapura. Namun menurut majelis Peninjauan Kembali, dakwaan hanya sebuah arah pemeriksaan perkara. “Tidak ada masalah jika tempat dan waktunya itu berbeda antara dakwaan dan putusan, hal itu dipengaruhi faktor pembuktian,” ujarnya.

Soal motif, menurut Djoko, majelis Peninjauan Kembali tidak bisa memastikan. Namun ia menduga Munir dibunuh karena masalah politik.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS), Usman Hamid berharap kasus pembunuhan Munir tidak berhenti sampai di putusan peninjauan kembali. “Masih ada aktor intelektual yang berkeliaran, itu juga harus dikejar dan ditangkap,” katanya.


Antara, 6 September 2007

Kasum Ungkap “Jendela” Keterlibatan BIN Dalam Kasus Munir

Surabaya (ANTARA News) - Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) mengungkap saat ini sudah ada “jendela” yang mengarah kepada dugaan kuat atas keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN), dalam kasus kematian aktivis HAM, Munir.

“Sudah ada jendela ke arah positif dalam pengungkapan kasus Munir. Arahnya, bukti-bukti dalam sidang PK (Peninjauan Kembali) sudah menunjuk dugaan keterlibatan BIN itu,” kata aktivis KASUM, Choirul Anam, di Surabaya, Kamis.

Dalam “Refleksi Kematian Munir (2004-2007)” yang juga menampilkan mantan direktur LBH Surabaya M Zaidun SH MH (dekan FH Unair) dan Ketua PusHAM Unair Bambang Budiono, ia mengemukakan, ada empat jenderal BIN yang diduga kuat terlibat dalam kasus pembunuhan Munir.

“Jendela dalam kasus Munir antara lain bukti rekaman 41 kali percakapan telepon Pollycarpus dengan orang BIN, kemudian bukti pengakuan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan bahwa perpindahan Pollycarpus dari pilot menjadi administrasi keamanan Garuda atas permintaan BIN, dengan surat resmi,” katanya.

Namun, kata aktivis “Human Right Working Group” (HRWG) itu, surat yang diakui Indra Setiawan dalam persidangan itu sudah dihapuskan dari “file” BIN, dan bahkan surat yang dipegang Indra Setiawan pun sudah dirampok di perjalanan.

“Ada juga dua saksi yang mengarah ke BIN, yakni Sentot Waluyo dan Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok yang merupakan agen BIN golongan III. Sentot adalah pembuat empat skenario pembunuhan Munir, sedang Ucok adalah aktivis mahasiswa yang memata-matai kegiatan Munir,” katanya menjelaskan.

Empat skenario pembunuhan Munir adalah ditabrak di jalan, disantet, dibunuh di kantornya, dan diracun di rumahnya. Namun empat skenario itu tidak dipakai dan akhirnya diganti dengan skenario racun arsenik di bandara Changi, Singapura.

“Jadi, Sentot dan Ucok merupakan implementator lapangan untuk pembunuhan Munir dengan kendali Deputi I BIN, yakni Manunggal Maladi. Kemudian keduanya juga berkoordinasi dengan Deputi VI BIN Muchdi PR dan Waka BIN As`ad,” katanya mengungkapkan.

Selain itu, pengakuan pengacara Adnan Buyung Nasution yang sempat dimintai bantuan Waka BIN As`ad untuk mengingatkan Munir agar berhati-hati dengan tindakannya, juga menguatkan “jendela” itu.

Penyalahgunaan BIN

Choirul Anam berpendapat, kendala pengungkapan dugaan keterlibatan BIN dalam kasus Munir adalah ada-tidaknya sikap kooperatif BIN untuk pemeriksaan empat jenderal BIN.

“Masalahnya, apakah Kepala BIN Syamsir Siregar mau mereformasi BIN dengan mengizinkan pemeriksaan empat jenderal, yakni Hendropriyono (mantan Kepala BIN), As`ad (Waka BIN), Manunggal Maladi (Deputi I), dan Muchdi PR (Deputi VI),” katanya menegaskan.

Menurut dia, BIN secara institusi tidak bersalah, namun BIN harus mau “membersihkan” anggotanya yang menyalahgunakan BIN untuk kepentingan pribadi. Sebab, mereka menjadi “duri dalam daging” bagi BIN sendiri.

“Saya kira, BIN harus kooperatif bila diminta kesaksian empat jenderal dalam sidang lanjutan. Tapi polisi saat ini masih menyiapkan saksi manager Coffe Bean di bandara Changi dan penjemput Pollycarpus,” katanya.

Tentang alasan BIN “menghabisi” Munir SH, ia mengatakan ada empat alasan, yakni Munir cukup kritis terhadap RUU BIN sebagai upaya mereformasi BIN yang selama ini melibatkan birokrat hingga ke tingkat RT/RW untuk aktivitasnya.

“Alasan lainnya adalah Munir juga kritis terhadap rencana pembentukan BIN di daerah-daerah, protes Munir atas keterlibatan Hendropriyono yang masih aktif sebagai tim pemenangan Megawati Soekarnoputri, dan kasus Talangsari yang melibatkan Garuda Hitam bentukan Hendropriyono,” katanya.

Senada dengan itu, Ketua PusHAM Unair Bambang Budiono menyatakan, reformasi BIN merupakan “kunci” demokrasi di Indonesia, karena BIN selama ini memang sering disalahgunakan untuk praktek-praktek anti-demokrasi.

“Kalau BIN tidak direformasi, saya kira demokrasi di Indonesia masih belum maksimal. Apalagi BIN sampai saat ini masih menjadi satu-satunya lembaga yang tak tersentuh demokratisasi,” katanya.(*)

Copyright © 2007 ANTARA


Jawapos, 27 Agustus 2007,

Beber Semua Kartu Truf

Jaksa Agung Isyaratkan Kejutan di Rekaman baru

MAGELANG - Jaksa Agung Hendarman Supandji akan mengeluarkan seluruh kartu truf untuk memenangkan PK (peninjauan kembali) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Lima rekaman yang masih disimpan, yang isinya pembicaraan para tersangka dengan saksi, akan diputar dalam sidang lanjutan. “Isinya, ya… nantinya didengerin saja,” ujar Jaksa Agung Hendarman Supandji di sela-sela mengikuti reuni SMAN 1 Kota Magelang kemarin.

Lima rekaman itu bakal lebih ’dahsyat’ dibanding rekaman komunikasi Pollycarpus dengan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan yang menggegerkan itu. Seperti diketahui, pada rekaman pertama yang sudah dikonsumsi publik, Polly mengaku semua petinggi seperti Ketua MA Bagir Manan dan Jaksa Agung Hendarman Supandji sebagai orang yang bisa diatur dengan istilah ’orang kita’.

Menurut Hendarman, dalam rekaman itu (rekaman yang akan dipublikasikan), yang penting bukan sekadar menyebut nama-nama seperti dirinya, yang terungkap dalam persidangan beberapa waktu lalu. “Tetapi, di situ ada… Sudahlah, nanti Anda dengar sendiri di pengadilan,” ungkapnya, tak jadi melengkapi jawabannya.Dia menyebut wartawan tidak jeli dalam menyimak isi rekaman yang diputar dalam persidangan.

Padahal, isi rekaman itu menjadi salah satu bukti keterlibatan Pollycarpus dalam pembunuhan Munir. “Yang disebut-sebut dalam pembicaraan Polly dengan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan itu tak hanya saya, tapi banyak,” tandasnya.Dalam sidang PK yang akan digelar kembali 29 Agustus itu, penyidik juga akan mengklarifikasi pernyataan Ongen Latuihammalo yang mencabut kesaksiannya. Ongen menarik pernyataan karena mengaku ditekan saat diperiksa. Untuk itu jaksa akan menghadirkan tiga penyidik polri yang memeriksa Ongen.

“Ya, kami akan memanggil tiga atau empat penyidik. Siapa mereka, saya belum mendapat informasi dari Kejari Jakarta Pusat,” kata Poltak Manullang, koordinator jaksa penuntut umum (JPU) sidang PK kasus Munir, saat dihubungi tadi malam.Dari informasi yang diterima Jawa Pos diketahui, para penyidik yang dipanggil, antara lain, Brigjen Pol Mathius Salempang (ketua teknis tim penyidik), Kombespol Pambudi Pamungkas, dan Kompol Daniel Tifaona. Mereka adalah tim penyidik yang memeriksa Ongen untuk keterangan pada berita acara pemeriksaan (BAP).Di tempat terpisah, Kepala Kejari (Kajari) Jakarta Pusat Bambang Rukmono juga mengatakan belum tahu nama-nama penyidik yang dipanggil.

“Saya perlu melihat lagi daftar namanya besok (hari ini) di kantor,” ujar Bambang. Yang jelas, dalam surat panggilan, kejaksaan mengagendakan pemanggilan tiga hingga empat penyidik.Meski demikian, Poltak dan Bambang mengatakan, selain para penyidik, kejaksaan memastikan memanggil saksi ahli (bidang toksiologi) I Made Agus Gelgel Wirasuta. “Kami hanya mengagendakan I Made Gelgel karena hanya nama beliau yang ada dalam memori PK,” jelas Poltak.Menurut Poltak, kesaksian para tim penyidik diperlukan untuk menggugurkan pernyataan Ongen yang mengklaim ditekan saat disidik di Mabes Polri.

“Ini agar muncul kesaksian yang jujur,” kata Poltak. Selain mengonfrontasi Ongen dengan penyidik, lanjut Poltak, kejaksaan dapat memanggil pengacara Ongen, Ozhak Sihotang dan Tommy Sihotang, pada sidang PK. Alasannya, dua pengacara tersebut dalam pernyataan persnya memperkuat keterangan Ongen yang mengklaim ditekan saat penyidikan. “Kalau memang perlu, mengapa tidak. Kami bisa memanggil siapa saja,” tegas Poltak, yang mantan Kajari Brebes.Ditanya apakah JPU akan memutar rekaman audio-visual penyidikan Ongen dan rekonstruksi di Coffee Bean di Bandara Changi, Singapura, Poltak menyatakan belum perlu.

“Rekaman kan sudah diputar (pada sidang sebelumnya),” jawabnya.Menurut Poltak, kejaksaan berupaya menghadirkan para saksi untuk memperkuat hasil penyidikan. Kejaksaan berupaya memperoleh fakta material untuk membuktikan bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto merupakan pelaku utama kasus tewasnya Munir. “Ini sesuai misi kami dalam mengajukan PK (kasus Munir),” jelas Poltak.Sebelumnya, saat diperiksa di PN Jakarta Pusat, Ongen mencabut keterangan di BAP yang menyatakan pernah melihat Pollycarpus bersama Munir di Cofee Bean. Dia hanya melihat orang yang tidak dikenal, tetapi bukan Pollycarpus. Di hadapan majelis hakim, Ongen mengatakan terpaksa menuangkan pernyataan bahwa dirinya melihat Pollycarpus karena ditekan penyidik.

Dalam jumpa pers pada 23 Agustus lalu, dua pengacara Ongen, Ozhak dan Tommy, membeberkan tekanan penyidik kepada kliennya. Tekanan tersebut diterima kliennya secara berlanjut setiap penyidikan. Misalnya, pada pemeriksaan 2-3 April saat Ongen diminta diperiksa di Polda Metro Jaya. Dia diancam akan dicekal ketika menolak memberikan keterangan seperti yang diminta penyidik. Padahal, status Ongen selama ini hanya sebagai saksi. Pada pemeriksaan 20 April, Ongen juga mendapat tekanan saat diperiksa di safe house Mako Brimob, Kelapa Dua. Bahkan, kala itu Ongen mengklaim sampai pingsan.Berbagai pernyataan Ozhak dan Tommy dibantah Mathius. Dia menegaskan tidak pernah memeriksa Ongen. (agm)


Majalah Tempo, 20 - 26 Agustus 2007 Roger, Roger, Intel Sudah Terkepung

Sidang peninjauan kembali kasus Munir bakal menyeret petinggi Badan Intelijen Negara (BIN). Polisi akan menghadirkan sejumlah saksi kunci yang memastikan keterlibatan lembaga spion itu. Di depan hakim, para saksi berencana membeberkan pelbagai skenario untuk melenyapkan sang aktivis. Pelan-pelan keping demi keping misteri itu terkumpul. Tapi bisakah puzzle raksasa itu akhirnya utuh dan sang dalang diseret masuk bui?

DUA pria itu berbeda latar belakang. Yang satu mantan direktur utama sebuah perusahaan milik negara, yang lain bekas aktivis yang mengaku pernah jadi fotografer. Datang dari ”gunung” dan ”laut”, keduanya pada Kamis pekan lalu bertemu dalam ”belanga” bernama Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di ruang tunggu lantai III mahkamah itu mereka dikelilingi enam polisi berpakaian safari dengan senapan M-16 terhunus: dua menjaga pintu, dua berdiri di tengah ruangan, dan dua lainnya mengawasi tangga. Puluhan anggota Satuan Tugas Antiteror bersiaga di luar ruang.

Pria pertama adalah Indra Setiawan, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia. Di usia 56 tahun, wajahnya segar dan badannya tetap tegap meski sejak April lalu ditahan di Markas Besar Polri. Yang lainnya, pria gering 35 tahun, bernama Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok. Kepada polisi, ia mengaku sebagai agen muda Badan Intelijen Negara (BIN).Sidang peninjauan kembali perkara pembunuhan aktivis Munir, yang digelar satu lantai di bawah ruang tunggu itu, rencananya bakal mempertemukan Indra dan Ucok dalam satu panggung. Keduanya sama-sama menyebut peran BIN dalam operasi pelenyapan Munir, 7 September tiga tahun silam.

Sayang, menjelang makan siang, hakim menskors sidang atas permintaan tim pembela. Di bawah kawalan ketat polisi, keduanya digelandang meninggalkan mahkamah. Pengakuan keduanya menjadi dasar Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali atas perkara ini. Sebelumnya, Oktober tahun lalu, Mahkamah Agung membebaskan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot senior Garuda terdakwa kasus ini, dari hukuman 14 tahun yang dijatuhkan pengadilan di bawahnya.

l l lJULI 2004, dua bulan sebelum Munir mangkat. Di Restoran Bengawan Solo di lantai dasar Hotel Sahid, Jakarta, Indra Setiawan yang baru saja bertemu dengan beberapa kolega bergegas menuju meja Pollycarpus. Keduanya lalu bersalaman. Ia punya janji bertemu dengan sang pilot yang dikenalnya sejak 2003 itu.

”Ia meminta waktu kepada saya untuk membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan operasi penerbangan,” kata Indra kepada penyidik, 4 Juni lalu, seperti ditirukan sumber Tempo. Setelah berbasa-basi sejenak, Pollycarpus memaparkan pelbagai kelemahan operasi penerbangan Garuda. Menurut Indra, Pollycarpus, misalnya, menyebutkan banyaknya penumpang yang menghilangkan paspor agar bisa mencari suaka ke negara lain. Pollycarpus juga menyebut adanya penumpang gelap tanpa tiket serta awak pesawat yang kerap menyelundupkan barang terlarang.Pollycarpus, masih menurut Indra kepada polisi, menyatakan bersedia membantu menangani masalah itu. Lalu ia menyodorkan amplop tertutup kepada Indra. Isinya surat berkop dan distempel Badan Intelijen Negara, berklasifikasi rahasia, yang ditujukan kepada Direktur Utama Garuda itu.Menurut Indra, surat itu ditandatangani oleh M. As’ad, Wakil Kepala BIN, dan ditembuskan ke Kementerian BUMN.

Di situ tertulis, Garuda merupakan perusahaan yang vital dan strategis sehingga keamanannya perlu ditingkatkan. ”Untuk itu, Pak As’ad meminta agar Pollycarpus ikut diberi tugas sebagai aviation security,” kata Indra kepada polisi. Kepada Tempo, Pollycarpus membantah adanya pertemuan itu. ”Pilot dan direktur utama itu jaraknya sangat jauh, tak gampang saya bertemu Pak Indra. Apalagi bertemu di Hotel Sahid, bukan di kantor,” ujarnya. Pertentangan bos dan anak buah ini membuat Mohammad Assegaf mundur dari posisinya sebagai pengacara Indra. Kini ia hanya mendampingi Pollycarpus.Adapun pada 11 Agustus 2004 Indra mengeluarkan surat penugasan kepada Pollycarpus untuk menjadi staf perbantuan di unit corporate security.

Ada empat tugas yang diberikan kepada Pollycarpus, antara lain memberikan rekomendasi solusi atas berbagai masalah, khususnya yang berkaitan dengan keamanan penerbangan dan urusan internal Garuda. Penugasan ini di luar kelaziman Garuda, karena diberikan tanpa melibatkan bagian personalia.Berdasarkan surat itu, Pollycarpus mengubah jadwal penerbangan pada 6 September 2004. Semula ia dijadwalkan terbang ke Peking, Cina, pada tanggal itu, namun pindah ke penerbangan Garuda 974 menuju Singapura. Pesawat inilah yang ditumpangi Munir dalam perjalanannya menuju Amsterdam, Belanda.

Di atas pesawat, Pollycarpus menawarkan tempat duduk eksekutif miliknya kepada Munir yang bertiket ekonomi.Polisi menuduh Pollycarpus memindahkan Munir ke kursi eksekutif agar sang aktivis bisa cepat turun ketika transit di Bandara Changi, Singapura. Dengan begitu, tersedia waktu lebih panjang untuk mengakhiri hidup Munir. Jika tetap di kursi kelas ekonomi, penumpang butuh 10-15 menit untuk keluar pesawat.Di pengadilan, Pollycarpus mengaku segera menuju Hotel Novotel Apollo bersama awak lainnya setelah pesawat mendarat di Changi. Tapi, seperti tertulis dalam memori peninjauan kembali, ada dua saksi yang melihat ia tetap berada di ruang transit bersama Munir. Mereka adalah Asrini Utami Putri, mahasiswi Indonesia di Jerman penumpang kursi 2J, dan Raymond ”Ongen” Latuihamallo, pemusik yang duduk di kursi 50H.

Kepada polisi, Asrini mengatakan melihat Pollycarpus, Munir, dan Ongen di Coffee Bean. Mereka duduk menghadap ruang merokok dan money changer. Adapun Ongen menyatakan melihat Pollycarpus meninggalkan tempat pemesanan sambil membawa dua gelas minuman. Setelah itu, menurut Ongen, Pollycarpus dan Munir berbincang-bincang sambil minum.Keterangan Asrini dan Ongen itu juga dijadikan bukti baru oleh kejaksaan untuk menjerat Pollycarpus. Jamuan di Coffee Bean itu diduga sebagai saat masuknya racun arsenik ke tubuh Munir. Itu sebabnya, setengah jam kemudian, ketika pesawat hendak lepas landas menuju Amsterdam, ia mulai merasa mual. Di ketinggian 40 ribu kaki di langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat mengudara, Munir tergolek di lantai beralaskan selimut. Dari bibirnya keluar air liur tak berbusa. Telapak tangannya dingin dan membiru. Malaikat menjemput ketika ia jauh di angkasa.

l l lTELEPON Raden Patma berdering pada 7 September 2004 sore. Seorang aktivis mengabarkan bahwa Munir tewas di dalam pesawat Garuda. Ia segera meneruskan kabar ini ke Sentot Waluyo, seorang agen muda BIN, yang dijawab rekannya itu, ”Biarin Munir meninggal.” ”Ruang kerja Pak Sentot di Gedung K Direktorat 22 lantai 2, dekat toilet, dekat dengan kandang rusa. Saya sering membuat laporan di tempat kerjanya,” kata Raden alias Ucok kepada polisi, seperti disampaikan sumber Tempo. Ia berusaha meyakinkan polisi bahwa dirinya benar-benar mengenal lingkungan BIN.Ucok tak kaget atas kematian Munir. Kepada polisi, ia mengaku sudah terlibat sebelumnya dengan rencana pembunuhan Munir.

Caranya, dengan pengamatan dan monitor, meneror, menyantet, dan meracun. ”Munir harus dibunuh sebelum pemilihan presiden karena membahayakan,” tuturnya, seperti tertulis dalam berita acara pemeriksaan polisi.Operasi itu, menurut Ucok, melibatkan antara lain Manunggal Maladi, Deputi Kepala BIN Urusan Penyelidikan Dalam Negeri, dan Wahyu Saronto, Deputi Urusan Kontra-Intelijen. Ia bahkan mengatakan pernah bersama-sama Wahyu Saronto dan Sentot mencari rumah paranormal Ki Gendeng Pamungkas di Baranangsiang, Bogor. ”Tapi tidak bertemu,” katanya.

Kepada Koran Tempo, Februari 2005, Manunggal membenarkan mengenal Sentot dan Ucok. ”Sentot memang anak buah saya. Tapi secara kelembagaan baik saya maupun Sentot tidak berencana melenyapkan Munir. Ucok hanya informan dari Sentot. Pada 2003, dia pernah berniat mengganggu Munir. Tapi Sentot melarangnya,” kata Manunggal. Adapun Wahyu Saronto tak bisa dikontak untuk dimintai konfirmasi.Kepala BIN Syamsir Siregar membantah pengakuan Ucok. ”Ia bukan orang BIN. Tangkap saja dia, bikin cerita saja,” ujarnya menegaskan. Abdullah Makhmud Hendropriyono, Kepala BIN pada September 2004, juga menyangkal. ”Santet-menyantet tidak ada dalam kultur kami,” ujarnya.Nama Ucok dan Sentot sebenarnya sudah muncul dalam pembicaraan internal tim pencari fakta (TPF) kasus Munir, sebuah badan yang didirikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menuntaskan misteri itu.

Syahdan, seorang pensiunan jenderal yang kini jadi petinggi negara membocorkan kepada TPF empat skenario yang disiapkan intelijen untuk membunuh Munir. Keempatnya adalah meracun, menyantet, menabrak, mengebom aktivis itu. Sayangnya, ”Kami tidak dapat mengidentifikasi secara konkret skenario itu, termasuk orang-orang yang disebut terlibat,” kata Asmara Nababan, wakil ketua tim pencari fakta. Apalagi saat itu polisi masih ”ogah-ogahan” menuntaskan kasus Munir. Walhasil, nama-nama baru itu lenyap begitu saja.Sumber Tempo di BIN menyebutkan, Ucok direkrut oleh Sentot yang waktu itu KAUP I BIN.

Tapi, menurut sumber itu, kredibilitas Ucok diragukan karena beberapa kali mengusulkan operasi palsu kepada atasannya. Untuk menangkis pengakuan Ucok, BIN kabarnya akan mengirimkan kesaksian tertulis Sentot kepada polisi. Di mana Sentot sekarang berada? Tak jelas. Seorang sumber mengabarkan Sentot kini bertugas di Gunung Kidul, Yogyakarta. Tapi pelacakan Tempo di kawasan itu hanya menemui jalan buntu. Adapun Ucok, yang ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menolak berkomentar. Ia mengunci bibir ketika Tempo melempar pertanyaan.

l l lINDRA Setiawan mulai panik dua bulan setelah kematian Munir, ketika sang aktivis dipastikan tewas karena racun arsenik. Kepada Pollycarpus, ia mengatakan ingin bertemu dan berkenalan dengan M. As’ad. ”Baik, Pak, nanti saya hubungi dan mintakan waktu untuk Pak Indra agar bisa bertemu,” kata Polly seperti dikutipkan Indra kepada polisi.Beberapa hari setelah itu, Pollycarpus mengabarkan bahwa Indra akan diterima di kantor BIN, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Di markas spion itu, Indra mengaku ditemui seseorang yang belakangan ia ketahui sebagai Muchdi Purwoprandjono, Deputi Kepala BIN Urusan Penggalangan. Baru beberapa saat kemudian As’ad ikut bergabung.Indra mengatakan sebenarnya ingin menanyakan kepada As’ad soal surat penugasan untuk Pollycarpus.

Tapi, karena ada Muchdi, ia membatalkan niatnya. ”Saya tidak kenal dengan beliau, jadi saya tidak menyinggung surat untuk Pollycarpus itu,” kata Indra menjelaskan.Setelah diperiksa polisi sebagai saksi pada awal 2005, Indra menyatakan pernah menghubungi As’ad. Ia bertanya, ”Pak, kok jadi begini? Garuda dibawa-bawa.” Menurut Indra, As’ad menjawab, ”Nggak apa-apa, tenang saja. Pak Indra nggak usah khawatir, nanti bisa diselesaikan.”Kepada polisi, Indra mengatakan juga pernah menghubungi As’ad menanyakan arsip surat yang dikirim kepadanya. Pertanyaan itu dijawab As’ad dengan janji untuk mengecek. Beberapa hari kemudian, ketika bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta, As’ad memastikan kepada Indra bahwa arsip surat soal Polly sudah dimusnahkan.Indra juga mengaku beberapa kali menelepon Muchdi—ketika para pejabat Garuda diperiksa, tatkala Pollycarpus ditahan, dan sewaktu Pollycarpus dituntut hukuman seumur hidup.

Menurut Indra, semuanya dijawab Muchdi dengan kalem, ”Nggak apa-apa, nanti bisa selesai, Pak Indra.”Di mana surat rahasia dari As’ad kepada Indra Setiawan itu disimpan? Menurut Indra, surat itu ikut raib pada saat mobil BMW-nya dibobol maling di Hotel Sahid, Jumat 31 Desember 2004. Ia mengatakan, surat itu disimpan di dalam tas, ditumpuk dengan aneka tagihan, majalah, alat tulis, juga tongkat pendek dan batu-batuan. Diterima Indra dari Pollycarpus di Hotel Sahid, surat itu hilang di hotel yang sama. Hotel bintang lima itu memang tempat favorit Indra untuk menerima koleganya.

”Ia datang ke tempat itu dua-tiga kali dalam sepekan,” kata Antawirya J. Dipodiputro, pengacaranya.Seorang anggota satuan pengamanan Hotel Sahid yang bertugas pada tanggal itu membenarkan adanya pencurian. ”Saya langsung menghubungi Polsek Tanah Abang, karena itu tindakan kriminal. Selain polisi, petugas keamanan dari Garuda yang dihubungi Pak Indra kemudian juga datang,” katanya kepada Tempo.Sayang, Tempo belum berhasil memperoleh konfirmasi dari As’ad dan Muchdi. Telepon keduanya tak diangkat ketika dikontak. Orang-orang yang dikenal dekat dengan mereka pun tak bersedia menghubungkan Tempo dengan keduanya. Suara bantahan datang dari M. Luthfie Hakim, penasihat hukum Muchdi P.R.

”Dari Pak Muchdi saya dengar bahwa pertemuan itu tidak pernah ada,” katanya. Kepala BIN Syamsir Siregar bersuara lebih nyaring. ”Surat dari Pak As’ad itu tidak ada. Masak, kami berani memerintahkan (direktur utama) BUMN,” katanya.Kesaksian Indra dan Ucok yang menjadi senjata andalan jaksa dipastikan akan mendapat tangkisan dari para pejabat BIN dan pengacara Pollycarpus di pengadilan. Untuk sementara, mereka juga akan terus dikelilingi beberapa lelaki dengan M-16 terhunus.Budi Setyarso


Jawapos, 24 Agustus 2007,

Kejagung Pegang Lima Rekaman

Pembicaraan Para Tersangka dan Saksi Pembunuhan Munir

JAKARTA - Kejaksaan Agung masih menyimpan banyak “senjata rahasia” untuk menjerat para tersangka pembunuh aktivis HAM Munir. Selain rekaman mantan Dirut Indra Setiawan dan Pollycarpus Budihari Priyanto yang menggegerkan pengadilan itu, kejaksaan masih memiliki sedikitnya lima rekaman pembicaraan tersangka, saksi, dan pihak-pihak lain.

“Ada lebih dari lima percakapan saksi yang direkam. Itu semua penting. Isinya sama dengan BAP (berita acara pemeriksaan),” ungkap Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Abdul Hakim Ritonga setelah menghadiri pelantikan sepuluh pejabat eselon II kejaksaan di gedung Kejagung kemarin (23/8).

Ditanya apakah salah satu rekaman berisi pembicaraan tersangka atau saksi dengan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN), Ritonga menolak menjawab. Dia juga belum dapat memastikan rekaman-rekaman tersebut akan diperdengarkan di depan hakim, termasuk dalam sidang tersangka Indra dan Rohainil Aini. Yang pasti, lima rekaman yang belum menjadi konsumsi publik itu bisa sama menggegerkan seperti pembicaraan Polly-Indra.

Menurut Ritonga, untuk sidang PK, rekaman pembicaraan Indra dengan Polly itu dianggap sudah cukup menguatkan novum. “Tak perlu lagi diputar yang lain,” jelas jaksa eselon I yang baru tiba dari ibadah umrah tersebut.

Ritonga menegaskan, rekaman yang diputar saat sidang PK benar-benar berisi pembicaraan Indra dengan Polly. “Itu suara Polly,” kata Ritonga. Dia juga tidak tahu maksud Polly yang menyebut sejumlah nama, termasuk Ketua MA Bagir Manan dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, sebagai “orang-orang kita”.

Soal perlu tidaknya memanggil beberapa nama yang diklaim Polly sebagai “orang-orang kita”, Ritonga menyerahkan itu kepada majelis hakim. “Tanya saja ke hakimnya,” ujar mantan kepala Kejati Sulawesi Selatan tersebut.

Ritonga juga mengomentari langkah Ongen Latuihammalo yang mencabut sebagian kesaksiannya dalam BAP. Dia mengatakan, pencabutan itu tidak mengurangi substansi PK yang diajukan jaksa. “Eksistensinya tetap ada,” kata Ritonga. Kejaksaan, lanjut Ritonga, juga belum tahu klaim Ongen yang pernah ditekan Ketua Tim Penyidik Kasus Munir Mabes Polri Brigjen Mathius Salempang hingga dia harus mencabut kesaksiannya.

Sebelumnya, rekaman pembicaraan Indra dengan Polly menghebohkan sidang PK. Di situ terkuak seluruh isi pembicaraan Polly dengan Indra, termasuk klaimnya yang menyebut Bagir dan Hendarman sebagai “orang-orang kita”.

Dalam rekaman tersebut, Polly juga menyinggung surat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad kepada Indra. Polly membeberkan, surat tersebut dipastikan sudah tidak ada. Dia juga menjamin, tembusan surat tersebut ke BUMN juga telah diamankan oleh “orang-orang kita”. Dengan isi rekaman tersebut, Polly praktis menjadi terpojok oleh suara ucapannya sendiri.

Ongen Beber Tekanan

Pengacara Ongen Latuihammalo, Ozhak Sihotang dan Tommy Sihotang, membeber tekanan polisi kepada kliennya. Menurut mereka, tekanan itu tidak hanya dilakukan dalam satu waktu, namun berlangsung beberapa waktu tertentu.

Tekanan tersebut dimulai saat Ongen diminta datang ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa pada 2 April 2007. “Klien kami datang pada tanggal itu mulai pukul 10.00 pagi. Awalnya dibiarkan, lalu diperiksa hingga pukul 06.00 pada 3 April,” kata Ozhak dalam jumpa pers di Jakarta kemarin (23/8).

Tak berhenti di situ, pada 3 April itu Ongen diminta datang kembali ke kantor polisi pukul 10.00 dan di-BAP kali pertama hingga pukul 02.00 dini hari pada 4 April. Pada tanggal tersebut, Ongen sempat pulang dan kembali lagi ke kantor polisi pukul 10.00-pukul 19.00. Pada pukul 23.00, Ongen terbang ke Belanda.

Saat itulah, menurut Ozhak, datang tekanan dari Ketua Teknis Penyidik Munir Brigjen Pol Mathius Salempang. “Kalau tidak menurut, Ongen akan dicekal,” ujarnya. Dalam lanjutan sidang PK kasus Munir pada Rabu (22/8), Ongen memang mencabut salah satu kesaksiannya dalam BAP yang menyatakan bahwa dirinya melihat Pollycarpus membawa dua gelas serta berbincang dengan Munir sambil minum di Coffee Bean, Changi, Singapura. Ongen beralasan dirinya bersaksi seperti itu karena ditekan Salempang.

Ozhak menambahkan, tekanan juga datang saat Ongen pulang dari Belanda pada 20 April. Sejak itu, penyanyi lagu-lagu Kristiani tersebut dibawa ke safe house di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, hampir satu bulan hingga 17 Mei. Dalam kurun itu, lelaki kelahiran Maluku tersebut di-BAP polisi dua kali pada 20 dan 21 April. “Polisi beralasan itu untuk keamanan saksi, tapi klien kami malah merasa tak pernah aman,” tegasnya.

Bahkan, Ozhak menceritakan, saat diperiksa penyidik Polri, Ongen pernah pingsan karena tidak kuat menghadapi tekanan. “Saksi kok diperlakukan begitu. Seharusnya, saksi kan dicintai. Ongen itu seniman dan tidak ada hubungannya dengan kasus Munir,” timpal Tommy.

Salempang kembali menegaskan bahwa dirinya tidak menekan Ongen. “Tidak pernah karena saya tidak pernah memeriksa Ongen dan dia selalu didampingi pengacaranya. Saya juga tidak pernah mengatakan cekal-cekal begitu,” ungkapnya saat ditemui di Mabes Polri kemarin.

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto enggan berkomentar banyak soal keterangan Ongen. Dia hanya meminta agar masyarakat tidak memercayai kesaksian pria yang bernama asli Raymond Latuihamallo tersebut.

Ditanya wartawan usai mengikuti sidang paripurna khusus DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin, Sutanto menegaskan bahwa tidak ada lagi cara-cara kekerasan dalam pemeriksaan setelah masa reformasi ini. “Pada era reformasi, tidak ada yang begitu-begitu (tekanan dalam pemeriksaan, Red),” tegasnya.

Adanya nama Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan yang disebut dalam hubungan telepon Polly-Indra juga tidak sekonyong-konyong membuat polisi perlu memanggil dia. Sutanto menyatakan hingga kini belum perlu memeriksa Bagir. “Nggak ada,” katanya sambil meneruskan langkah menuju mobil.

Namun, lulusan terbaik Akpol ’73 tersebut tidak menampik kemungkinan adanya pemanggilan orang-orang yang disebut dalam rekaman pembicaraan Polly-Indra. “Tunggu penyelidikan. Pada saatnya akan dilakukan. Kepolisian juga menyelidiki dengan mengumpulkan bukti-bukti serta saksi-saksi,” ujar Kapolri yang beberapa kali diulang.

Begitu pula saat ditanya soal pernyataan Polly yang menyebut sejumlah nama yang termasuk golongan “orang-orang kita”. Sutanto justru meminta agar wartawan bersabar. “Tunggu saja tanggal mainnya,” ujarnya.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar tak mau berkomentar banyak. Hanya sepatah kalimat diulang-ulang saat belasan wartawan mengejar dia setelah mengikuti acara yang sama di gedung DPR/MPR kemarin. “Ngapain kalian nanya aku?” katanya bernada tinggi.

Dia tak lagi menghiraukan pertanyaan-pertanyaan wartawan dan memilih “melarikan diri” ke mobilnya sambil sesekali menepis alat perekam wartawan yang menghalangi jalannya. “Kita serahkan saja kepada pengadilan. Proses hukum yang berjalan,” tegasnya berulang-ulang. (agm/naz/cak)


Jawapos, 23 Agustus 2007,

Polly Terpojok Suara Sendiri

Sidang PK Kasus Munir

JAKARTA - Kejutan mewarnai sidang lanjutan peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri (PN) Jakpus kemarin. Jaksa penuntut memutar hasil sadapan pembicaraan Pollycarpus Budihari Priyanto dengan mantan Dirut Garuda Indra Setiawan.

Rekaman selama 21 menit yang tidak dimasukkan dalam memori PK itu memperkuat hubungan Polly dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Polly mengakui bahwa suara dalam rekaman itu memang suaranya.

Di dalam pembicaraan yang disadap pada Mei lalu, saat Indra sudah berada di tahanan Rutan Bareskrim Polri itu, terdapat sejumlah hal, termasuk soal surat Wakil Kepala BIN As’ad yang pernah diberikan Polly kepada Indra.

“Tenang saja, barang-barang (surat, Red) itu sudah nggak ada semua. Kalau di tempat Pak Indra sudah tidak ada, ya sudah. Sudah aman,” kata Polly dalam rekaman tersebut.

Indra melanjutkan, “Saya khawatir kalau ada copy-nya di BUMN.”

Polly menjawab, “Oh, tidak ada. Yang di BUMN juga sudah hilang. Itu orang kita semua.”

Mantan kopilot Airbus 330 Garuda itu juga mengatakan bahwa “orang-orang kita” itu selalu mewanti-wanti dirinya supaya tenang. “Kita semua bekerja bahkan sampai di pucuk atas,” ujar Polly.

Indra menyebut surat yang ditandatangani oleh As’ad dan diberikan kepada Indra itu memang sudah hilang saat mobil Indra kemalingan di Hotel Sahid, Jakarta, pada 31 Desember 2004. Menurut Indra, surat As’ad yang menugasi Polly sebagai staf perbantuan di Unit Corporate Security itu semakin memperkuat niatnya untuk menandatangani surat tugas Polly nomor Garuda/DZ-2007/04 tanggal 11 Agustus 2004 (Jawa Pos, 10/8).

Tidak hanya itu, dalam rekaman tersebut, Polly bahkan menyebut beberapa nama pejabat tinggi negara sebagai “orang kita”. “Pak Bagir Manan, ketua MA (Mahkamah Agung), dan wakilnya itu orang kita semua,” ujarnya.

Ekspresi Polly tampak tegang saat rekaman itu diperdengarkan. Beberapa kali lelaki kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu mengatupkan tangannya.

Dia pun memukul-mukul dagunya saat rekaman memperdengarkan kalimat soal penggantian mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang diklaim sebagai perbuatan “orang kita”. “Petruk (sebutannya pada Abdul Raham Saleh, Red) diganti, yang ngganti orang kita, grup kita,” ujarnya. Untuk itu, Polly berani menjamin Indra bakal bebas seperti nasibnya.

“Novum itu nggak bakal ada. Bapak (Indra, Red) dicari untuk mengejar saya. Itu sebenarnya permainan polisi supaya SBY (Presiden SBY, Red) tidak diubek-ubek LSM. SBY ini jadi presiden dari LSM. Saya sudah bertemu Hary Tjan yang punya CSIS,” tambahnya.

Untuk itu, dia meminta Indra untuk tenang dan konsisten menjawab tidak tahu saat diperiksa polisi hingga masa penahannya habis. “Polisi di dalam terpecah belah. Ada yang ambisi naik pangkat,” tambah Polly.

Polly juga menyebut penyidik Polri sebagai Pramuka. “BAP buatannya Pramuka. Dulu seolah-olah saya begini. Saya turutin saja. Padahal, saya nggak pernah. Nanti lawan di pengadilan. Itu kebobrokannya Pramuka,” ujar Polly.

Tak hanya soal itu, Polly juga menjamin Indra dari pengalaman spritualnya. “Saya sudah ke Jatim, ke petilasannya Raden Wijaya dan petilasan Mahapatih Gadjah Mada,” lanjut Polly, disambut tawa pengunjung sidang. Polly pun ikut tertawa mendengar perkataan yang pernah dilontarkannya itu.

Apa tanggapan Polly setelah sadapan itu diperdengarkan? Meski mengakui suara di rekaman adalah suaranya, Polly menolak substansi rekaman. “Nanti dalam tanggapan saja (sidang selanjutnya, Red). Itu saya hanya menyenangkan (Indra) seperti ketika saya dulu di dalam tahanan,” tambahnya. Polly menolak menjelaskan maksud “Bagir Manan orang kita”.

Indra tampak puas begitu sadapan diperdengarkan. “Ini adalah keterangan tambahan saya. Ini dari hati nurani saya. Makanya saya katakan, kendati saya tidak ada bukti karena surat itu hilang. Demi kebenaran dan keadilan,” tambahnya.

Begitu pula un yang dia sampaikan ke koran ini saat hendak masuk mobil menuju ke Rutan Bareksrim Mabes Polri. “Alhamdullilah,” katanya. Di persidangan Indra juga mengatakan sempat dipertemukan dengan As’ad oleh Polly. Dalam pertemuan itu, hadir Muchdi P.R., petinggi BIN yang lain.

Tak hanya keterangan Indra yang memojokkan Polly. Kesaksian Raden Muhammad Patma Anwar alias Ucok dan Asrini Utami Putri -yang kemarin juga dijadikan saksi- juga memojokkan Polly.

Ucok, misalnya, menyatakan pernah melihat Polly di parkiran BIN pada Juni 2004 saat dirinya dibonceng Sentot Waluyo. Ucok mengaku mantan aktivis PRD dan wartawan. Dia menyebut pernah berdinas sebagai agen intelijen dengan pangkat III c.

“Polly saat itu keluar dari sedan hitam dengan kemeja putih. Arah masuk sebelah kiri. Kurang lebih 5 meter dari saya. Saya baru belakangan mengetahui dia itu Polly dari media,” akunya. Begitupun kesaksian Asrini Utami Putri yang mengaku melihat Munir bersama-sama dengan Polly dan seseorang berambut panjang di Coffe Bean, Changi, Singapura. Jaksa dan penyidik Polri menyakini di situlah racun arsenik diduga masuk ke tubuh Munir.

Perempuan berkulit putih itu mengatakan dua kali melihat Polly dari samping, yakni ketika dia berjalan dan kembali ke Gate D 42 saat hendak terbang ke Belanda. “Mereka duduk dalam satu meja, berbincang-bincang biasa saja,” ujar perempuan yang membawa tas ungu tersebut. Saat dikejar jaksa Eddy Saputra, Asrini memastikan bahwa lelaki berambut gondrong itu adalah Ongen Latuihamalllo.

Namun, kesaksian Asrini tersebut dibantah Ongen, yang kemarin (22/8) juga menjadi saksi dalam sidang yang dipimpin Andriani Nurdin itu. Ongen bahkan mencabut keterangan dalam BAP yang menyatakan bahwa dirinya melihat Polly membawa dua gelas serta berbincang dengan Munir sambil minum di Coffee Bean.

“Itu tidak benar. Saya ditekan akan ditetapkan sebagai tersangka jika tidak mengaku begitu oleh penyidik Polri,” katanya yang langsung disambut teriakan histeris istri Polly, Josepha Hera Iswandari.

Menurut Ongen, dia tidak kenal lelaki yang bersama Munir itu. “Bukan, bukan dia. Saya tidak mau ambil pusing dengan orang itu,” katanya seraya melihat Polly yang berada dua meter di sebelah kanannya.

Baginya, pengadilan adalah kepanjangan tangan Tuhan sehingga harus memberikan kesaksian yang sebenarnya. “Yang benar apa yang saya sampaikan di sini,” tegas saksi yang juga penyanyi lagu kristiani itu.

Ongen menyebut penyidik yang menekannya adalah Ketua Tim Teknis Penyidik Kasus Munir Brigjen Pol Mathius Salempang. Ketika dihubungi koran ini, Karo Analis Bareskrim Polri itu menolak pengakuan Ongen. “Saya tidak memeriksa, bagaimana mau menekan dia? Lagi pula kalau saya ketemu dia, selalu ada penyidik lain dan pengacaranya,” kata jenderal bintang satu itu.

Salempang siap hadir dalam sidang PK berikutnya yang akan mengkonfrontasi keterangannya dengan Ongen. Selain nama-nama di atas, saksi lain yang dihadirkan dalam sidang itu adalah Joseph Ririmase yang mengaku mengenalkan Asrini kepada Ongen saat berada di Changi.

Sidang PK itu berakhir pada pukul 13.00. Pengamanan sidang terlihat mencolok dan ketat. Setiap pengunjung diharuskan melewati dua pintu metal detector dengan puluhan polisi menenteng AK 47, MP 5, dan M4. Jadwal sidang yang lain juga ditiadakan.

Dikonfirmasi terpisah, Bagir Manan menolak tuduhan Polly. Pejabat asal Lampung tersebut mengaku tak kenal Polly dan Indra. “Itu pasti bohong, luar biasa bohongnya,” ujar Bagir ketika ditemui di gedung MA kemarin sore. Bagir melanjutkan, jika Polly bisa berbohong soal dirinya, tak tertutup kemungkinan dia juga berbohong untuk hal-hal yang lain.

“Dalam konteks apa bisa klaim ’orang kita’. Saya tidak punya saham Garuda,” ujar Bagir sambil tersenyum. Apalagi bila tuduhan tersebut dikaitkan dengan dugaan bahwa dirinya anggota BIN, itu sama sekali tidak masuk akal. Meski begitu, Bagir mengaku tak akan menempuh upaya hukum terkait dengan tudingan tersebut. Bagir juga menegaskan, hasil sadapan Indra-Polly bisa dijadikan alat bukti.

Dari gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), dua jaksa penuntut umum (JPU) kasus Munir, Poltak Manullang dan Noor Rohmad, mengadakan jumpa pers terkait dengan sidang PK kasus Munir. Poltak menegaskan, keterangan Ongen yang mencabut kesaksian soal keberadaan Polly di Coffee Bean tidak menyulitkan posisi kejaksaan.

“Sebenarnya, tidak ada saksi, termasuk Ongen, yang mencabut keterangan. Ongen hanya mengingkari sebagian kecil keterangannya,” kata Poltak. (ein/naz/agm)


Media Indonesia, 17 Agustus 2007

BIN Desak Polri Ungkap Tuntas

Kasus Munir

JAKARTA–MIOL: Badan Intelijen Negara (BIN) mendesak kepolisian segera menangkap orang-orang yang mengaku sebagai anggota BIN dan terlibat dalam konspirasi pembunuhan aktivis HAM Munir.Hal itu diungkapkan Kepala BIN Syamsir Siregar setelah mengikuti upacara penurunan bendera Merah Putih dalam rangkaian peringatan Kemerdekaan RI ke-62 di Istana Kepresidenen Jakarta, Jumat (17/8) sore.

Menurut Syamsir, BIN tidak pernah memiliki anggota yang namanya tercantum dalam BAP terbaru kasus Munir yang diajukan ke pengadilan dengan tersangka baru.”Mereka itu bukan orang BIN, hanya ngaku-ngaku. Saya sudah minta kepada polisi mereka ditangkap saja,” kata Syamsir.Ia menambahkan, BIN tidak bisa mengakui keberadaan seseorang yang bukan anggotanya. Apalagi kalau seseorang itu mengaku diperintah BIN untuk membunuh seorang warga negara.

“Bagaimana kami bisa mengakui kalau orangnya tidak ada di tempat kami. Apalagi dia mengaku sebagai anggota BIN golongan tiga, tidak benar itu. Dia (dari) tempat lain mungkin,” cetus Syamsir.Ia menjelaskan, BIN tidak akan berani meminta sebuah lembaga untuk memasukkan anggotanya dalam jajaran lembaga itu. “Masa kami berani memerintahkan BUMN. Yang benar saja, apa hak saya memerintahkan,” ujar Syamsir. (Far/OL-06)


Jawapos, 17 Agustus 2007,

Jaksa Ungkap Rekomendasi BIN

Pengakuan Mantan Dirut Garuda,

Novum Sidang PK Munir

JAKARTA - Sejumlah novum (bukti baru) dibeberkan dalam sidang pengujian peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir di PN Jakarta Selatan kemarin. Pollycarpus Budihari Priyanto yang menjadi termohon ikut hadir. Koordinator JPU (Jaksa Penuntut Umum) Poltak Manulang membeberkan kesaksian mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dan agen Badan Intelijen Nasional (BIN) Raden Mohamad Patma Anwar alias Ucok yang dijadikan novum itu.

Menurut Poltak, Indra Setiawan mengaku yang menandatangani surat tugas Polly bertindak atas permintaan tertulis dari Wakil Kepala BIN As’ad. Sementara Ucok, tambahnya, dalam BAP mengaku mendapat tugas dari Deputi II BIN Manunggal Maladi untuk membunuh Munir sebelum pilpres.Salah satu upaya yang pernah ditempuh saksi (Ucok) adalah menyantet Munir dengan bantuan Ki Gendeng Pamungkas. “Namun, santet tersebut tidak berhasil karena Munir punya keris,” ujar Poltak diikuti tawa sebagian pengunjung sidang. Sidang itu dijaga aparat keamanan.Meski mengaku tak kenal Polly, Ucok menjelaskan pernah melihat mantan pilot Garuda itu di tempat parkir kantor BIN dengan menggunakan mobil Volvo hitam. Selain dua saksi tersebut, dalam novum JPU akan menghadirkan beberapa saksi, termasuk Asrini Utami Putri.

Perempuan yang satu pesawat dengan Munir menuju Belanda tersebut mengaku melihat Munir duduk di Coffee Bean Bandara Changi, Singapura, bersama Polly dan Raymond J.J. Latuihamallo alias Ongen. Sedangkan kesaksian Ongen, dirinya melihat Polly di Coffee Bean. “Saat saksi (Ongen, Red) masuk Coffee Bean, saksi melihat Pollycarpus baru dari counter pemesanan minuman sambil membawa dua gelas minuman,” ujar Poltak. Dia menambahkan, Ongen juga mengaku melihat Munir berbincang dengan Pollycarpus sambil minum. Berbekal keterangan saksi-saksi dan didukung keterangan ahli, JPU mengubah locus delicti (lokasi kejadian perkara, Red) dari pesawat Garuda (dalam penerbangan) yang didakwakan sebelumnya, menjadi Bandara Changi. Walau perbuatan materiil diduga dilakukan di Bandara Changi, tambah Poltak, karena bekerjanya alat di atas pesawat Indonesia, hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan dalam kasus ini.

“Kami minta ketua Mahkamah Agung menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana penjara pembunuhan berencana dan menjatuhkan pidana dengan pidana seumur hidup dan membebankan biaya perkara kepada terpidana sebesar Rp 5.000,” tegas Poltak. Polly yang datang dengan penampilan ala koboi tampak terkonsentrasi menyimak pembacaan PK itu.Poltak lantas membeberkan alasan pengajuan PK. Menurut dia, ada kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan MA sebagai judex jurist. Hal itu menyebabkan Polly bebas dari dakwaan pertama, yakni membunuh Munir dan hanya dikenai hukuman pidana dua tahun atas dakwaan kedua, yakni menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangan Jakarta-Singapura. JPU menganggap MA lalai mempertimbangkan keterkaitan antara surat palsu dan kematian Munir.

“Bahwa tidak masuk akal seorang pilot senior seperti terpidana melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu hanya untuk dapat menikmati pergi ke Singapura dan tidur di hotel,” ujar Poltak.Menurut Poltak, surat palsu juga bisa diperlakukan sebagai alat bukti surat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir. “Karena menggunakan surat palsu tersebut merupakan sarana atau modus operandi oleh terpidana untuk dapat melakukan pembunuhan terhadap korban,” ujarnya. Mendengar hal tersebut, Polly yang selama pembacaan memori dakwaan tampak mengeryitkan dahi langsung emosi berkata, “Bohong… Itu bohong.” Suaranya nyaris tak terdengar ke barisan JPU. JPU juga merasa perlu mengungkapkan dasar hukum pengajuan PK oleh kejaksaan, yang menjadi polemik.

Menurut Poltak, meski pasal 263 ayat 1 KUHAP memberi hak kepada terdakwa atau ahli waris untuk mengajukan PK, dalam hukum acara tersebut tidak ada larangan secara eksplisit bagi jaksa untuk mengajukan PK. Apalagi, masih ada korban kejahatan yang belum mendapat kejelasan siapa pembunuh Munir. “Karena itu, perlu menggeser perspektif ketentuan hukum acara pidana dari offender oriented (upaya terdakwa, Red) menjadi victim oriented (upaya korban, Red) dan dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif atau keadilan sosiologis,” ujar pengacara paro baya tersebut. Indra dan Ucok Batal BersaksiDua saksi kunci Kejaksaan Agung, yakni mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dan agen Badan Intelijen Nasional (BIN) Raden Mohamad Patma Anwar alias Ucok juga hadir dalam persidangan. Tapi, keduanya batal bersaksi untuk membuktikan keterlibatan Polly dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.Meski hadir, keduanya tak terlihat wartawan karena disembunyikan aparat.

Penjagaan yang ketat menunjukkan betapa pentingnya pengamanan terhadap kedua saksi tersebut. Tak hanya sekitar 20 personel polisi berseragam yang disebar di sekeliling gedung pengadilan. Setidaknya 10 aparat berbaju safari hitam dan membawa senjata laras panjang berada di beberapa titik lokasi persidangan. Wajah dingin dan pandangan menyelidik diarahkan ke hampir semua pengunjung sidang. Mereka tak hanya berada di luar ruang sidang, tapi juga di dalam ruangan. Beberapa pria berambut cepak terlihat dalam ruang sidang utama PN Jakarta Pusat yang terletak di lantai II.Dalam sidang yang dimulai pukul 10.05 tersebut, JPU yang dikomandani Poltak Manulang bersikukuh memperdengarkan keterangan kedua saksi tersebut hari itu juga. “Kalau ditunda, kami akan mengalami kesulitan, mengingat status salah satu saksi sebagai tersangka,” ujar Poltak diikuti seruan persetujuan dari istri Munir, Suciwati, beserta beberapa aktivis Kontras yang berada di ruang sidang.

Namun, ketua majelis hakim Andriani Nurdin memilih menyetujui permintaan kuasa hukum termohon PK, Pollycarpus. Dia minta waktu untuk mempelajari berita acara pemeriksaan (BAP) sebelum keterangan saksi diperdengarkan dalam persidangan.”Demi kesetaraan, kami beri waktu pada kuasa termohon untuk mempelajari BAP. Sidang dilanjutkan Rabu (22/8) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi,” ujar Andriani diikuti teriakan, “Hidup hakim,” dari istri Polly, Josepha Hera Iswandari.Tim kuasa hukum Polly yang dipimpin M. Assegaf langsung menyampaikan bantahan usai pembacaan memori PK. Selain menolak argumentasi pengajuan PK oleh jaksa, penasihat hukum menyinggung perubahan dakwaan terhadap Polly yang sebelumnya diduga membunuh di pesawat Garuda menjadi di Changi.

“Dasar yang dijadikan alasan memori PK JPU sudah tidak lagi sesuai dengan hakikat dan tujuan PK untuk menghidupkan dakwaan lama,” ujar salah satu penasihat hukum Polly, Imron Halimy. Dimintai tanggapannya, Polly mengaku tak pernah ke Coffee Bean bersama Munir. Pilot yang bertahun-tahun mengoperasikan pesawat hingga ke luar negeri itu juga mengaku tak pernah tahu lokasi Coffee Bean. “Saya turun dari pesawat langsung ke bus dan menuju hotel. Ada saksinya,” ujarnya dengan nada tinggi. Pria 46 tahun itu pun bersikukuh tak membunuh Munir. Dikaitkan dengan BIN, pria berkacamata itu lantas menolak. “Saya tidak tahu di mana kantor BIN. (Apalagi, Red) mobil saya merah, bukan Volvo hitam,” ujarnya.

Terkait pin merah putih di topi koboinya, pria kelahiran Solo tersebut mengaku ada hubungannya dengan peringatan hari kemerdekaan RI. “Ini nasionalisme saja. Saya kan orang Indonesia,” ujarnya.Secara terpisah, Suciwati mengungkapkan, pihaknya berharap penegak hukum dapat mengungkap siapa saja yang punya andil atas kematian suaminya, termasuk beberapa oknum BIN yang diduga terlibat. “Ini pembunuhan yang penuh konspirasi,” ujarnya.Dengan rambut kuncir kuda, Suciwati mengatakan akan memantau terus jalannya persidangan. (ein)


Jawapos, 10 Agustus 2007,

Hendro Tak Yakin As’aTerlibat

Nama yang Disebut Dalam Novum PK Kasus Munir

JAKARTA - Sidang perdana peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan Munir kemarin berlangsung singkat. Sebab, termohon PK Pollycarpus Budihari Priyanto tidak menghadiri sidang yang digelar di PN Jakarta Pusat tersebut. Karena itu, jaksa tidak jadi membeberkan novum (bukti baru) untuk menjerat kembali terdakwa Pollycarpus.”Menurut pasal 265 KUHAP, pemohon (PK) harus hadir. Karena jaksa yang mengajukan, secara a contrario (sebaliknya) termohon juga harus hadir. Majelis memutuskan memanggil termohon (Pollycarpus, Red) sekali lagi,” ujar Ketua Majelis Hakim Andriani Nurdin ketika memimpin sidang.

Majelis memutuskan menggelar sidang lagi Kamis pekan depan (16 Agustus).Pollycarpus tidak datang dengan alasan sakit diare. Mantan pilot Garuda itu mengutus istrinya, Yosepha Hera Iswandari, untuk memberikan surat dokter ke pengadilan. “Ke dokter baru tadi malam (Rabu, 8/8). Badannya sudah tidak enak sejak sehari sebelumnya,” ujar Hera sambil menunjukkan surat keterangan dokter. Surat itu dikeluarkan dokter Setyo dari Pamulang Medical Centre. Di surat itu tertulis bahwa Pollycarpus harus beristirahat tiga hari pada 9-11 Agustus.

“Sekarang suami saya di rumah. Kami (Pollycarpus, Red) punya hak untuk berhalangan karena sakit,” katanya. Dia juga mengatakan bahwa hingga kini pihaknya belum memberikan kuasa kepada pengacara mereka sebelumnya, M. Assegaf dan Adnan Wirawan cs. Meski persidangan hanya berlangsung lima menit, ruang sidang utama di lantai II PN Jakarta Pusat dijaga ketat. Tiga lelaki bersafari menenteng senjata laras panjang jenis steyer. Mereka berjaga-jaga di kursi belakang sambil memperhatikan keselamatan jaksa penuntut.

“Saya tak minta dikawal, tapi memang ada,” kata Poltak Manulang, anggota jaksa PK.Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, kejaksaan tidak mempermasalahkan penundaan persidangan PK kasus Munir. “Kalau termohon (Pollycarpus, Red) tidak datang, majelis hakim memang dapat menunda persidangan,” kata Hendarman yang ditemui usai inspeksi mendadak (sidak) di gedung Kejati DKI kemarin.Novum yang akan dibeber jaksa dalam PK Polly memang bisa membuat heboh.

Dari bocoran yang didapat koran ini (Jawa Pos, 9/8) PK tersebut berisi sejumlah kesaksian dan bukti yang dikumpulkan penyidik Bareskrim Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Misalnya, kesaksian Joseph, Putri, Ongen, Ucok, dan Indra Setiawan.Indra, misalnya. Dia bersaksi bahwa dirinya menandatangani surat tugas Polly nomor Garuda/DZ-2007/04 tanggal 11 Agustus 2004. Surat itu menugasi Polly sebagai staf perbantuan di Unit Corporate Security karena permintaan tertulis pejabat intelijen pada Juni atau Juli 2004.

Namun, surat dari pejabat intelijen itu hilang saat mobilnya kemalingan di Hotel Sahid, Jakarta, 31 Desember 2004. Polly telah membantah tudingan tersebut.Dalam kesaksiannya, Indra menyebut pejabat itu sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad. Kesaksian Indra tersebut diakui narasumber koran ini, mulai Adnan Wirawan (pengacara Polly) hingga Wira Antawirya (pengacara Indra). Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri juga mengakui kendati diplomatis.”Tapi, ini kok tidak mungkin (As’ad terlibat). Apa karena As’ad (pejabat BIN dari) sipil lalu disebut,” kata Adnan yang tak lagi membela Indra setelah memojokkan Polly dengan kesaksian surat dari As’ad itu. Bagaimana pendapat polisi?

“Itu (nama As’ad) nantilah,” jawab Bambang ketika ditanya adanya nama As’ad dalam kesaksian Indra saat dicegat di tangga Bareskrim kemarin.Sementara itu, Hendarman yang dua kali dikonfirmasi, menolak berkomentar ketika disinggung nama As’ad. Pada konfirmasi pertama, dia justru balik bertanya dari mana wartawan koran ini memperoleh bocoran memori PK kasus Munir.Koran ini berupaya menghubungi As’ad melalui telepon genggamnya sejak Rabu lalu (8/8). Tapi, yang menerima ajudannya. Dia berjanji menyampaikan kepada As’ad dan akan menghubungi balik koran ini jika As’ad bersedia diwawancarai.

“Nanti saya sampaikan kepada Bapak (As’ad),” katanya seraya minta nomor telepon koran ini untuk dihubungi. Namun, dia tak pernah menghubungi. Saat dikontak kembali tadi malam, telepon genggam As’ad tak lagi diangkat.Komentar datang dari mantan pimpinan As’ad di BIN, Hendropriyono. “Saya prihatin kasus ini tidak juga selesai. Saya tidak pernah dengar soal (nama As’ad disebut dalam kesaksian kasus Munir) itu. Saya bingung masalahnya berkembang,” kata Hendro.

“Saya berani sumpah mati bawah saya tidak masuk dalam kasus itu. Saya ini muslim. Untuk Pak As’ad mudah-mudahan tidak benar karena Pak As’ad itu orang baik. Anda tahu sendiri,” sambungnya.Sementara itu, tersangka Indra, bersama Rohainil Aini (sekretaris chief pilot Airbus Garuda), pagi ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Ini menyusul telah P-21-nya (sempurna, Red) berkas kedua orang yang ditahan sejak April lalu itu. Mereka disangka ikut dalam konspirasi pembunuhan Munir. Keterangan itu disampaikan Kabareskrim. (ein/naz/agm) «:: Kembali


Jawapos, 9 Agustus 2007,

Bukti Baru Sebut Petinggi Intelijen

Sidang PK Kasus Munir

JAKARTA - Sidang perdana PK (peninjauan kembali) kasus pembunuhan Munir di PN Jakarta Pusat hari ini bakal seru. Jaksa akan mengungkapkan kesaksian beberapa orang untuk menguatkan dugaan adanya konspirasi serta perencanaan yang matang di balik tewasnya pejuang HAM itu.

Bahkan, memori PK yang akan dibacakan di depan majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin tersebut menyebut nama seorang pejabat intelijen (bukan mantan Deputi V BIN Muchdi P.R.). Jaksa sangat berharap novum (bukti baru) itu bisa kembali menjerat Pollycarpus Budihari Priyanto dan pelaku lain yang terlibat pembunuhan biadab tersebut.

Juru Bicara PN Jakarta Pusat Heru Pramono meminta agar jaksa menghadirkan Polly dalam persidangan PK kasus Munir itu. “Sebab, jaksa yang mengajukan PK,” katanya ketika dihubungi kemarin (8/8). Sidang PK dijadwalkan dilaksanakan mulai pukul 09.00.

Menurut dia, kehadiran Polly sangat penting. Dia harus memberikan tanggapan atas novum yang diajukan jaksa. “Kalau besok (hari ini, Red) belum hadir, kami tetap meminta jaksa menghadirkan,” tegas Heru yang juga duduk sebagai anggota majelis hakim PK Polly tersebut.

Dari bocoran yang didapatkan koran ini, PK itu berisi sejumlah kesaksian serta bukti yang berhasil dikumpulkan penyidik Bareskrim Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Misalnya, kesaksian Joseph, Putri, Ongen, Ucok, dan Indra Setiawan. Tiga nama pertama adalah penumpang Garuda GA 974, pesawat yang ditumpangi Munir pada 6 September 2004, beberapa jam sebelum aktivis HAM itu ditemukan tewas.

Dalam memori PK, Ucok disebut sebagai mantan aktivis yang tahu rencana pembunuhan Munir, termasuk melalui santet, namun dibatalkan. Indra merupakan mantan Dirut Garuda yang kini mendekam di tahanan Bareskrim Polri dengan sangkaan terlibat kasus Munir.

Jaksa juga melengkapi bukti barunya dengan hasil uji laboratorium toksiologi LLC, Seattle, AS, yang menjelaskan bahwa Munir mati karena racun arsen.

Dalam memori PK, Joseph bersaksi bahwa dirinya mengenalkan Putri kepada Ongen, teman kecilnya di Maluku, saat pesawat transit di Changi, Singapura. Joseph adalah karyawan Garuda. Putri adalah anak karyawan Garuda yang saat itu bersekolah di Jerman. Putri sempat melihat Munir duduk di Coffee Bean, Changi, bersama Ongen dan Polly.

Di Changi itu pula Ongen melihat Polly membawa dua gelas serta berbincang dengan Munir sambil minum. Pengacara Ongen, Ozhak Sihotang, membenarkan bahwa kliennya melihat Polly. “Ongen sudah memberikan keterangan soal itu dan sudah selesai. Keterangan tersebut sudah tidak dicabut. Dia hanya memberikan keterangan apa yang dia lihat,” ujar Ozhak saat itu (Jawa Pos, 4/8).

Bagaimana dengan kesaksian Ucok yang dalam memori PK disebut mengetahui rencana pembunuhan Munir melalui santet, tapi akhirnya batal? Saat koran ini menemui dia di Jakarta, dirinya tak mau berkomentar. “No comment. Yang jelas, saya tidak kenal Polly dan saya juga tidak kenal Munir,” tegasnya.

Kesaksian Indra, dirinya menandatangani surat tugas Polly bernomor Garuda/DZ-2007/04 tanggal 11 Agustus 2004 yang menugaskan Polly sebagai staf perbantuan di Unit Corporate Security karena permintaan tertulis pejabat intelijen. Namun, surat dari pejabat intelijen itu diakui hilang saat mobil dirinya kemalingan di Hotel Sahid, Jakarta, 31 Desember 2004.

Kesaksian Indra soal pejabat intelijen itu (Indra menyebut nama dan jabatannya, Red) membuat bekas bos Garuda itu ditinggal pengacaranya, M. Assegaf dan Adnan Wirawan cs yang juga pengacara Polly, sekitar dua bulan lalu. “Kami mundur karena ada konflik antara keterangan Polly dan Indra,” kata Adnan tadi malam.

Keterangan itu adalah pengakuan Indra kepada polisi bahwa dirinya pernah bertemu Polly di Hotel Sahid. Di hotel itulah, menurut Indra, Polly menyerahkan surat dari petinggi intelijen tersebut. Peristiwa itu terjadi pada Juni atau Juli 2004. Namun, Polly, yang telah dikonfrontasi dengan Indra, membantah kesaksian tersebut.

“Polly mengaku tak pernah melakukan itu. Dengan demikian, di antara keterangan yang bertentangan ini, kami harus memilih dan menimbang mana yang bobotnya paling masuk akal,” tambah Adnan.

Menurut dia, mana mungkin seorang anak buah (Polly, Red) bisa memerintah direktur utama (Indra, Red) untuk menemuinya. Juga, apa mungkin intelijen menyuruh orang untuk membunuh, lalu menulis surat. “Ini Pak Indra ditekan atau bagaimana? Tapi, tak masuk akal,” sambungnya.

Namun, pengacara Indra saat ini, Wira Antawirya, mengatakan bahwa yang diakui kliennya adalah fakta. Tapi, apa benar suratnya hilang? “Justru itulah. Ini nanti bisa dijelaskan dalam pengadilan. Yang jelas, kesaksian itu tidak kami cabut,” jawabnya. Hingga kini, belum ada jadwal kapan Indra diperiksa sebagai saksi dalam sidang PK Munir.

Polly sendiri tak bisa dimintai komentarnya. Dua hari koran ini berusaha menghubungi mantan pilot Garuda itu, tapi tak tersambung. Pada 29 Juli lalu, saat menggelar syukuran di rumahnya, suami Hera tersebut mengatakan bahwa dirinya sama sekali tak terlibat dan mengenal pejabat intelijen. Dia juga mengaku siap menghadapi PK tersebut.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji tampak terkejut ketika dikonfirmasi bahwa salah satu isi novum adalah permintaan tertulis pejabat intelijen kepada Indra terkait penugasan Polly sebagai staf perbantuan pada unit corporate security. “Anda dapat informasi (nama pejabat itu) dari mana? Saya nggak bisa ngasih pernyataan,” kata Hendarman kepada koran ini kemarin (8/8).

Hendarman juga menolak berkomentar soal keterangan saksi yang memergoki Polly -sebelum kematian Munir- terlihat berada di parkir kantor intelijen untuk bertemu dengan “bos-bos” intelijen. Namun, jaksa agung tidak menolak pernyataan koran ini. “Kalau saya buka sebelum sidang, berarti saya melegalkan rahasia negara dibocorkan. Saya bisa dianggap melanggar undang-undang,” jelasnya berhati-hati.

Menurut dia, kejaksaan berusaha tidak membocorkan isi novum dalam memori PK kasus Munir. Begitu pun, sikap Kabareskrim Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri yang dicegat koran ini di parkir Bareskrim Polri awal pekan lalu dan ditanya soal nama pejabat intelijen tersebut sesuai dengan pengakuan Indra. “Untuk dia (pejabat intelijen), itu nantilah,” katanya lalu buru-buru masuk gedung.

Polly memang tengah dibidik kembali pasca putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2006. Putusan itu membebaskan Polly dari dakwaan pertama sebagai pembunuh berencana -yang telah divonis 14 tahun oleh keputusan PN Jakpus dan PT DKI-, tapi menyatakan Polly terbukti dalam dakwaan kedua. Dakwaan kedua itu adalah soal penggunaan surat palsu dan Polly divonis bersalah dua tahun penjara. PK tersebut juga akan dijadikan tangga untuk menguak kasus itu lebih dalam. (naz/agm/ein)


Jawapos, 4 Agustus 2007,

Jaksa Agung Ungkap Nama Baru

ke Suciwati

Bahan PK, Terkait Pembunuhan Munir

JAKARTA - Upaya aparat untuk menguak misteri kematian Munir lewat peninjauan kembali (PK) dilnilai mencapai kemajuan signifikan. Jaksa Agung (Jakgung) Hendarman Supanji menjelaskan ada novum (bukti baru), yakni ada nama-nama baru yang bisa melengkapi rangkaian peristiwa pembunuhan aktivis HAM itu.

Hendarman mengungkapkannya secara tertutup kepada Suciwati. Tak sia-sia istri Munir terus gigih menanyakan perkembangan PK atas bebasnya Pollycarpus Budihari Priyanto (Polly) dalam kasus Munir.

Suciwati tiba di Kejagung pukul 10.10. Dia ditemani Sekretaris Eksekutif KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir) Usman Hamid dan aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Hendardi. Mereka diantar Kapuspenkum Kejagung Thomson Siagian menemui Hendarman di ruang kerjanya.

Pertemuan di lantai II gedung utama Kejagung itu berlangsung tertutup. Puluhan wartawan hanya bisa menunggu di terasnya.

Tepat pukul 11.15, Suciwati dkk keluar dari gedung utama. Usman langsung dirubung wartawan. Menurut Usman, pertemuan bertujuan memperoleh informasi lengkap mengenai pengajuan PK kasus Munir, termasuk materi alat bukti baru alias novum.

“Penjelasan (Hendarman) itu cukup menyeluruh, baik fakta maupun keadaan baru untuk memperkuat langkah jaksa agung menuntut kembali Polly dalam pembunuhan berencana terhadap Munir,” kata Usman setelah pertemuan. Selain itu, PK menjadi tangga untuk mengungkap konspirasi di balik pembunuhan Munir sehingga ditindaklanjuti dengan mengejar nama-nama lain di luar Polly.

Menurut Usman, dari novum dapat diketahui siapa-siapa yang terlibat dalam konspirasi, baik yang melibatkan PT Garuda Indonesia maupun Badan Intelijen Negara (BIN). “Semua disebutkan, baik saksi, tersangka, maupun terpidana (Polly), termasuk orang yang membawa gelas (berisi arsenik) kepada Munir,” kata koordinator Kontras itu. Selain itu, ada keterangan lain yang mengindikasikan bahwa konspirasi tersebut tidak semata-mata inisiatif PT Garuda, melainkan permintaan dari luar maskapai pelat merah tersebut.

Praktis, novum PK tersebut memuat secara gamblang siapa yang membunuh Munir, mengapa pembunuhan itu terjadi, siapa yang meminta, bagaimana pelaku dapat membunuh, dan atas bantuan siapa terjadi pembunuhan.

Selain itu, lanjut Usman, ada nama-nama baru selain yang selama ini disebut, baik dari PT Garuda maupun BIN. “Saya nggak bisa menyebut nama-nama baru tersebut sesuai dengan permintaan jaksa agung. Yang jelas, dari pandangan kami, novum itu cukup meyakinkan dan bisa dibuktikan oleh majelis hakim,” jelas alumnus Universitas Trisakti tersebut. Suciwati dkk diminta menunggu sidang PK yang sedianya dilaksanakan 9 Agustus mendatang.

Dari informasi koran ini saksi yang dimaksud adalah Ongen Latuihammalo, orang yang melihat gelas minuman untuk Munir Dia ini adalah musisi asal Maluku, penumpang sepesawat dengan Munir di Garuda 974 dari Jakarta-Singapura-Belanda pada 6 September 2004, sebelum Munir akhirnya ditemukan tewas dengan racun arsenik di tubuhnya. Pengacara Ongen, Ozhak Sihotang, yang dihubungi tadi malam tak membantah dugaan tersebut.

“(Benar) Ongen sudah memberi keterangan soal itu dan sudah selesai. Keterangan itu sudah tidak dicabut lagi. Dia hanya memberi keterangan apa yang dia lihat,” katanya. Menurut Ozhak, kliennya sebenarnya sudah pernah menceritakan dirinya melihat Polly membawa dua gelas minuman dan berbincang-bincang dengan Munir dalam sebuah wawancara TV. “Itukan sudah pernah disiarkan di TV,” tambahnya.

Peristiwa ini terjadi di Coffee Bean, Bandara Changi, Singapura. Dalam jumpa pers yang digelar awal Juli, Ongen tak berbicara terbuka dan hanya mengatakan Munir ada di Coffe Bean bersama dengan seseorang yang dirinya tidak kenal. Polly sendiri berulangkali menyangkal jika dirinya berada di Coffe Bean. Mantan pilot Garuda itu bahkan mengaku tidak tahu di mana letak Coffe Bean.

Apakah Ongen kini siap dikonfrontasi dengan Polly terkait kesaksiannya itu? “Ini kepentingan penyidik kalau perlu terserah penyidik,” jawabnya. Saat ini Ongen juga sudah tidak lagi mendapat pengawalan dari polisi sebagaimana saat di awal-awal dirinya disebut terlibat kasus ini. “Waktu itu yang memberi pengamanan kan penyidik lalu sekarang dianggap sudah ya sudah,” tambahnya.

Dalam kesempatan berbeda Hendarman mengatakan jika dalam pertemuan dengan Suciwati disampaikan fakta-fakta yang normatif. ’”Saya menjelaskan apa saja temuan (dalam novum). Saya sampaikan beberapa novum,” ujar Hendarman. Menurut Hendarman, ada fakta-fakta baru, baik yang sudah dimuat di media massa, maupun yang belum dibuka.

Soal keterlibatan lembaga lain, Hendarman mengatakan, fakta tersebut bukan termasuk alat bukti. “Yang namanya alat bukti tersebut adalah saksi, surat, dan petunjuk. Itu sudah saya sampaikan,” jelas Hendarman.

Di tempat lain, Kapuspenkum Thomson Siagian menambahkan, kejaksaan tetap meyakini bahwa Polly merupakan pelaku pembunuhan Munir. “Itu berdasarkan alat bukti,” ujar Thomson. Dia menegaskan, jika pengajuan PK berhasil maka “tangga-tangga” berikutnya akan dilanjutkan, khususnya mengungkap keterlibatan nama-nama lain. (agm/naz)


Tempo Interaktif, 23 Mei 2007

Suciwati Terbang ke Kanada

TEMPO Interaktif, Jakarta:Istri mendiang aktivis hak azasi manusia Munir, Suciwati, terus menggalang dukungan dari masyarakat internasional untuk mengungkap kasus kematian suaminya. Pada Selasa (22/5) lalu, dia terbang ke Kanada. “Dalam kunjungan 10 harinya itu, dia akan bertemu dengan parlemen, media, dan kelompok-kelompok masyarakat di sana,” ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, ketika dihubungi Tempo, Rabu (23/5) lalu.

Menurut mantan anggota Tim Pencari Fakta Kasus Kematian Munir ini, posisi Kanada di Perserikatan Bangsa Bangsa sangat penting. Negara ini salah satu anggota yang aktif dan berpengaruh dalam menelurkan kebijakan-kebijakan strategis, seperti pembuatan resolusi dan aturan internasional semacam kenvensi. “Mereka mengundang Suciwati untuk mengetahui perkembangan hak azasi manusia di Indonesia dan upaya pemerintah kita dalam mengungkap kasus kematian Munir,” paparnya.

Dia berharap negara di Amerika Utara itu, secara multirateral, bisa memainkan pengaruhnya untuk membantu pengungkapan kasus Munir. Secara bilateral, Usman berharap agar dalam hubungan dengan Indonesia, Kanada bisa menempatkan isu hak azasi manusia dan pengungkapan kasus Munir sebagai proiritas pembicaraan diplomatik.

Selain itu, kata Usman, bantuan teknis hukum forensik, dan teknologi bisa diberikan oleh Kanada. Bantuan seperti ini penting, karena dalam pengungkapan kasus Munir, pemerintah Indonesia selalu beralasan kalau keterbatasan soal tiga hal itu yang menjadi kendala utama. “Jangan sampai, ketika ada negara yang mau membantu, pemerintah setengah hati menerimanya. Kalau ini terjadi, sama saja dengan setengah hati mengungkap kasus Munir,” ujarnya.

Sebelumnya, Suciwati sudah melakukan beberapa kali kunjungan ke negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Australia, untuk menggalang dukungan internasional atas kematian suaminya. Menurut Usman, seharusnya Suciwati berangkat ke sana bersama dia. Namun karena kesehatan dirinya turun dan harus masuk ke rumah sakit, hanya Suciwati yang berangkat sendirian ke sana. “Rencananya, 2 Juni nanti Suciwati kemabali ke Indonesia.” Raden Rachmadi


Tempo Interaktif,, 16 Mei 2007

Suciwati Banding Kasus Munir Tim kuasa hukum Suciwati mengajukan banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan salah satu gugatan mereka terhadap manajemen PT. Garuda. “Hanya satu dari lima inti gugatan yang baru dikabulkan,” kata ketua tim kuasa hukum, Asfinawati di Kantor Kontras Jakarta hari ini.

Menurut dia, ada dua gugatan penting yang justru tidak dikabulkan pengadilan. Pertama, tuntutan untuk mengaudit PT Garuda Indonesia oleh tim independent. Kedua, permohonan maaf di media publik. “Tidak ada permohonan maaf yang disampaikan Garuda kepada Suciwati dan keluarganya, meski sudah dinyatakan bersalah,” ujarnya.

Asfi mengatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pihak Garuda bersalah hanya karena lalai dalam menangani penumpang yang sakit. Menurut dia banyak fakta di pengadilan, seperti keberadaan kru dengan surat resmi yang cacat hukum dan pemindahan tempat duduk Munir yang terbukti ilegal. “Tapi tidak dimasukkan dalam kontruksi putusan,” ujarnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan salah satu gugatan Suciwati yang mewajibkan Garuda dan tergugat lainnya membayar secara tanggung renteng kepada Suciwati sebesar Rp. 664.209.900. Majelis hakim menilai Garuda lalai dalam penanganan darurat penumpang sehingga menyebabkan meninggalnya Munir.

Rafly Wibowo

  • *

Media Indonesia, 10 Mei 2007

Arman Minta Hendarman Tidak Lupa Kasus Munir

JAKARTA–MIOL: Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengingatkan penggantinya, Hendarman Supandji tidak melupakan penyelesaian kasus Munir dan sejumlah kasus besar lainnya.”Jangan lupakan kasus Munir, tokoh penegak HAM yang diracun di maskapai penerbangan nasional. Skandal paling memalukan penegak hukum nasional. Saya mendesak Pak Soetanto mencari novum dan yang membunuh harus bertanggung jawab,” katanya tanpa teks dalam sambutan serah terima jabatan Jaksa Agung di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Rabu (9/5).

Arman, begitu biasa Abdul Rahman disapa, mengingatkan agar Hendarman juga tidak melupakan kasus BLBI dan kasus Soeharto.Arman juga meminta agar kejaksaan berhati-hati dalam menangani kasus BLBI. Karena Presiden SBY sudah menegaskan tidak akan membongkar kebijakan yang telah dibuat pendahulunya. Sedangkan kasus pidana Soeharto jangan diperdebatkan lagi karena telah ada putusan pengadilan.Hendarman berkomitmenHendarman menyatakan komitmennya akan menyelesaikan kasus-kasus besar tersebut.

Semua itu akan saya laksanakan. Tidak ada prioritas karena semua akan dilaksanakan secara bersamaan.”Hendarman dalam sambutannya juga menegaskan untuk melanjutkan pembaharuan kejaksaan melalui pembenahan internal. Dia juga akan bekerja sama dengan instansi penegak hukum lainnya agar lebih efisien dan efektif.Arman juga meminta masyarakat menghentikan polemik penghentian dirinya sebagai Jaksa Agung. “Saya meminta stop perdebatan akademis tentang penghentian saya. Biarkan Hendarman bekerja dengan tenang dan kita wajib mendukungnya.”Kepada aparat kejaksaan, Arman meminta tetap memakai hati nurani dalam menegakan keadilan. “Karena kalau semakin lama menjadi aparat penegak hukum timbangan keadilan makin berkurang.”

Dalam sambutannya yang santai dan diiringi canda tawa tersebut, Arman yang mengenal Hendarman saat kuliah di kenotariatan UI tersebut tidak menyesal telah mengorbitkan dan membesarkan nama Hendarman. Karena Arman merasa bukan politisi yang mengejar karir”Saya mengklaim telah melahirkan Jaksa Agung baru. Kakak yang baik melahirkan adik yang baik, jangan bikin malu kakak ya!” kata Arman yang langsung disambut gelak tawa undangan dan hadirin.Dalam serah terima jabatan kemarin sejumlah undangan hadir. Seperti pengacara senior Adnan Buyung Nasution, Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan (FPDIP), anggota Komisi III Panda Nababan (FPDIP). (Xat/OL-02).


Jawapos, 4 Mei 2007,

Terkabul Sebagian, Istri Munir Kecewa

JAKARTA - Suciwati, istri almarhum aktivis HAM Munir, kecewa setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya mengabulkan sebagian di antara gugatan perdatanya. Dari sebelas pihak di PT Garuda Indonesia yang digugat, hanya dua yang dipersalahkan terkait dengan kasus kematian suaminya.

Majelis hakim juga memutuskan bahwa kematian Munir dalam penerbangan GA 974 jurusan Singapura-Amsterdam akibat kelalaian. Dua orang yang dipersalahkan berdasar putusan perdata itu adalah pilot in command (PIC) Pantun Matondang (tergugat IX) dan PT Garuda (tergugat I).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin menuding Pantun sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kelalaian yang mengakibatkan kematian Munir. Menurut majelis, PIC lalai. Pantun tidak melakukan konsultasi dengan ground officer ketika ada penumpang dalam pesawatnya yang sakit serius.

Padahal, dalam Basic Operations Manual (BOM) No 5.2.1 ada aturan jika penumpang sakit serius, PIC harus melakukan konsultasi dengan senior attendance soal perlu atau tidak pesawat mendarat darurat. “PIC melanggar hak subjektif Munir untuk diangkut dengan selamat,” ujar hakim anggota Sutiyono.

Argumennya adalah setiap orang bertanggung jawab tidak hanya kepada kerugian akibat perbuatannya, tapi juga atas kelalaian yang diperbuat. Pantun dianggap bertanggung jawab secara penuh terhadap penerbangan berdasar pasal 23 UU no 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. “PIC telah melakukan perbuatan melawan hukum,” tambah Sutiyono.

Majelis juga menjerat PT Garuda Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, majelis hakim melakukan refinding (penemuan hukum) dengan mempergunakan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di samping Konvensi Warsawa Tahun 1999. “Perusahaan pengangkutan tidak bisa lepas dari tanggung jawab terhadap penumpang yang luka ataupun meninggal berdasarkan kelalaian,” tambah Kusriyanto.

Tergugat lain, yakni mantan Dirut Garuda Indra Setiawan dan Rohainil Aini -keduanya kini ditahan polisi- dan Pollycarpus Budihari Priyanto (mantan terdakwa kasus pembunuhan Munir) tidak dipersalahkan. Tindakan tergugat itu dinilai tidak berkaitan dengan kelalaian yang mengakibatkan kematian Munir di pesawat.

Itu berarti hakim menolak dugaan adanya konspirasi yang melibatkan awak Garuda. “Soal siapa, bagaimana, dan di mana Munir diracun merupakan kewenangan hakim pidana untuk menentukannya sehingga dianggap tidak terkait dengan kasus ini,” tambah Sutiyono.

Meski ada yang dipersalahkan, tidak otomatis seluruh gugatan Suci diterima. Hanya satu gugatan di antara sebelas gugatan yang diterima, yakni soal ganti rugi. Tapi, ganti rugi yang harus dibayar dua tergugat jauh dari yang diminta. Suci menggugat uang ganti rugi sebesar Rp 14,3 miliar yang meliputi ganti rugi materiil, imateriil, dan jasa pengacara.

Namun, dalam sidang yang dimulai pukul 10.45 kemarin itu, hakim hanya memerintah dua tergugat membayar secara tanggung renteng sebesar Rp 664.029.900 dengan perincian Rp 624.209.900 sebagai ganti rugi materiil dan Rp 40 juta sebagai ganti rugi imateriil.

Putusan tersebut kontan mengecewakan Suci yang siang itu sengaja duduk di barisan para pengacara. “Saya kecewa karena dua hal yang penting malah tidak dipenuhi,” kata ibu dua anak itu.

Dua hal penting yang tidak dipenuhi adalah audit investigasi Garuda terkait penyalahgunaan armada tersebut untuk tujuan pembunuhan dan permintaan maaf Garuda kepada publik.

Soal total gugatan materiil dan imateriiil yang dipenuhi majelis hakim, Suciwati mengatakan, “Berapa pun harganya, itu tentu tidak akan bisa mengganti Munir.” Suciwati mengaku akan berpikir lebih dulu soal langkah hukum lebih lanjut.

Pengacara Suciwati yang juga Direktur LBH Jakarta Asfinawati mengatakan, putusan hakim yang menyatakan bahwa Garuda melanggar hukum karena lalai saat Munir sedang kesakitan melawan racun arsen yang mengalir di tubuhnya harus ditindaklanjuti oleh polisi. “Apakah keputusan Garuda tidak mendarat itu hanya soal kelalaian atau memang sudah di-setting demikian,” katanya. (ein/naz)


Tempo Interaktif, 24 April 2007

Polisi Diminta Umumkan Hasil Percakapan

Kasus Munir

TEMPO Interaktif, Jakarta:Mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, Asmara Nababan, meminta kepolisian segera mengumumkan hasil investigasi dan penyelidikan tentang percakapan antara Pollycarpus dan Deputi Kepala Badan Intelijen Negara Muchdi PR. dari hasil pemeriksaan laboratorium di Amerika Serikat.“Ini untuk menghindari keragu-raguan di masyarakat. Jadi sebaiknya segera diumumkan,” ujarnya di sela-sela diskusi tentang kontroversi intelijen dalam penerbangan, di Jakarta Media Center, Selasa (24/4) sore.

Menurut Asmara, soal hasil percakapan tersebut ada dua pendapat yang beredar. Yakni antara yang mengatakan belum diselesaikannya analisis hasil percakapan oleh Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika dan yang sudah. Asmara sendiri mendengar infromasi sejauh ini FBI sudah menyelesaikan tugasnya dan diserahkan kepada polisi. Asmara berpendapat, TPF mengumpulkan data tentang begitu intensnya hubungan telepon yang terjadi sebelum dan setelah kematian Munir. Mereka menduga ada hubungan antara percakapan itu dan terbunuhnya Munir. Tapi hal itu tidak bisa sembarangan dan harus dibuktikan oleh polisi.

“Jadi polisi harus memperdalam dugaan TPF apakah benar BIN terlibat,” katanya. Tentang dugaan keterlibatan yang mengarah pada kelompok Megawati, Asmara mengatakan TPF belum mempunyai dan menemukan bukti keterlibatannya. Menurut dia, Munir memang selalu kritis terhadap pemerintah, khususnya militer dan intelijen. Asmara juga mengatakan beberapa petinggi militer dan intelijen pernah meminta agar Munir tidak terlalu kritis dan keras terhadap militer dan intelijen. Ia menceritakan, Adnan Buyung Nasution pernah diminta oleh Muchdi, dan Todung Mulya diminta oleh Hendropriyono untuk menasehati Munir agar tak terlalu kritis.

Tapi, dia meminta terhadap masalah ini masih harus dibuktikan. Secara terpisah, Suciwati, istri Munir, meminta polisi harus menelusuri indikasi, motif, dan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Termasuk indikasi pembunuhan terkait pemilihan presiden. “Ini memang harus ditelusuri. Perlu kerja keras untuk membuktikan itu,” kata Suciwati. Ia juga mengatakan bahwa semua pihak yang dinilai terlibat harus memberi penjelasan tentang terbunuhnya Munir. Dian Yuliastuti