14 Mei 2001 — 13 menit baca

Bung Karno seorang Nasionalis Islam dan revolusioner

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (13)

Jadi, apakah bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang nasionalis yang Muslim dan berhaluan fikiran kiri? Ya, tetapi bukan hanya itu saja! Dari sejarahnya sejak muda belia, nyatalah dengan jelas bahwa ia adalah seorang pejuang nasionalis yang tidak tanggung-tanggung. Dalam soal ke-nasionalisme-an, Bung Karno adalah tokoh raksasa. Dan, sebagai seorang nasionalis revolusioner, perjuangannya adalah yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Indonesia sampai dewasa ini. Ia juga bukan seorang Muslim yang sembarangan, yang pengetahuannya tentang Islam hanya dangkal-dangkal saja, atau hanya pura-pura menganut agama Islam. Ia adalah seorang haji, yang pernah menyatakan kalau ia meninggal supaya mayatnya diselimuti dengan bendera Muhammadiyah. Ia juga seorang kepala negara yang revolusioner, yang berpandangan kiri dan tidak anti kepada marxisme dan tidak anti kepada PKI.

Mengingat hiruk-pikuk tentang “sweeping” terhadap penerbitan kiri dan hingar-bingar tentang anti-komunisme yang akhir-akhir ini menjadi “topik” hangat dalam pers dan percakapan banyak orang, maka tulisan yang kali ini mencoba memberikan sekadar sumbangan bahan-bahan untuk pemikiran bersama dalam perdebatan publik dewasa ini. Dan karena HUT ke-100 Bung Karno akan diperingati tidak lama lagi, maka penyajiannya juga diakomodasikan dengan peristiwa ini. Sebab, menampilkan kembali berbagai fikiran Bung Karno dalam konteks yang sekarang ini, mungkin bisa menjadi bahan referensi bagi banyak orang tentang arah yang perlu kita tempuh bersama sebagai bangsa yang beradab.

Sebagai “pembuka” penyajian masalah, maka dikutip di sini bagian-bagian kecil pidato kenegaraan Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1960, yang diambil dari koleksi “Di bawah Bendera Revolusi” jilid dua. Keseluruhan pidato ini agak panjang, dari halaman 395 sampai 435 (40 halaman), dan merupakan kelanjutan dari pidatonya yang amat penting setahun sebelumnya, yaitu yang terkenal kemudian dengan Manifesto Politik (Manipol). Bagi mereka yang ingin mengetahui gagasan-gagasan besar Bung Karno, adalah perlu sekali untuk mempelajari isi kedua pidato ini, di samping pidato-pidatonya yang lain. Sebab, dengan membaca karya-karya aslinya dan mendengarkan pidato-pidatonyalah –yang dipadukan dengan memperhatikan praktek-prakteknya - kita bisa menilai betapa pentingnya ajaran-ajarannya mengenai berbagai masalah besar bangsa.

Akibat Perang Dingin : Komunisto Phobi

Bagian kecil pidatonya tahun 1960 itu adalah sebagai berikut:

”Beberapa tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah di luar negeri, - kemudian juga meniup di angkasa kita -, apa yang dinamakan “perang dingin”. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan progresif berbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran di mana-mana mulailah berjalan pesat.

“Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progresif mudah sekali dicap “Komunis”. Segala apa saja yang menuju angan-angan baru dicap “Komunis”. Anti-kolonialisme – Komunis. Anti exploitation de l’homme par l’homme – Komunis. Anti-feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konsekwen revolusioner – Komunis.

“Ini banyak sekali mempengaruhi fikiran orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan ini pun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya.

“Dus : Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit “takut kalau-kalau disebut kiri”, “takut kalau-kalau disebut Komunis”. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis. Dan, orang-orang yang jiwanya memang objektif ingin menegakkan kapitalisme dan feodalisme, mengucapkan selamat datang kepada peng-capan kiri dan peng-capan Komunis yang dipropagandakan oleh satu fihak daripada perang dingin itu.

“Sampai sekarang masih saja ada orang-orang yang tidak bisa berfikir secara bebas apa yang baik bagi rakyat Indonesia dan apa keinginan Rakyat Indonesia, melainkan à priori telah benci dan menentang segala apa saja yang mereka sangka adalah kiri dan adalah “Komunis”. “Dua sebab subjektif dan objektif itu membuat beberapa golongan dari Rakyat Indonesia menjadi konservatif dan reaksioner, anti-progresif dan anti-revolusioner “ (kutipan dari halaman 406 dan 407)..

Para pembaca yang budiman. Mohon dicatat bahwa pidato ini diucapkan 5 tahun sebelum terjadinya peristiwa G30S, dan setahun sesudah diucapkannya pidato Manifesto Politik (Manipol) dan juga setahun sesudah Kongres PKI ke-6, yang resepsinya dihadiri oleh Bung Karno (tentang hal ini ada catatan tersendiri. Pen.). Waktu itu, Bung Karno sudah mengecam, memperingatkan, bahkan “memarahi” orang-orang yang anti-Marxisme atau anti-Komunis. Kalau dibaca karya-karyanya atau didengar pidato-pidatonya, maka akan nyatalah bahwa hampir dalam semua pidatonya itu tercermin keinginannya yang menyala-nyala (atau cita-citanya yang paling diidam-idamkan- nya), yaitu : tergalangnya persatuan revolusioner dari seluruh potensi bangsa, termasuk golongan komunis.

Persatuan Revolusioner Dan Gotong Royong

Hal yang demikian itu juga nampak jelas sekali dalam bagian lain pidatonya yang itu juga, yang berbunyi sebagai berikut:

“Di Indonesia ini memang telah ada ada tiga golongan-besar “revolutionaire krachten”, yaitu Islam, Nasional, dan Komunis. Senang atau tidak senang, ini tidak bisa dibantah lagi! Dewa-dewa dari Kayanganpun tidak bisa membantah kenyataan ini! Jikalau benar-benar kita hendak melaksanakan Manifesto Politik-USDEK, jikalau kita benar-benar setia kepada Revolusi, jikalau benar-benar kita setia kepada jiwa Gotong Royong, jikalau benar-benar kita tidak kekanak-kanakan tetapi sedar benar-benar bahwa Gotong Royong, Persatuan, Samenbundeling adalah keharusan dalam perjuangan anti imperialisme dan kapitalisme, maka kita harus mewujudkan persatuan antara golongan Islam, golongan Nasional, dan golongan Komunis itu. Maka kita tidak boleh menderita penyakit Islamo-phobi, atau Nasionalisto-phobi, atau Komunisto-phobi!

“Janganlah mengira bahwa saya ini orang yang sekarang ini memberi “angin” kepada sesuatu fihak saja. Tidak! Saya akan bersyukur kepada Tuhan kalau saya mendapat predikat revolusioner. Revolusioner di masa dulu, dan revolusioner di masa sekarang. Justru oleh karena saya revolusioner, maka saya ingin bangsaku menang. Dan justru oleh karena saya ingin bangsaku menang, maka dulu dan sekarang pun saya membanting tulang mempersatukan semua tenaga revolusioner, - Islamkah dia, Nasionalkah dia, Komuniskah dia! “Bukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah “Suluh Indonesia Muda” tahun 1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Di dalam tulisan itupun saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat.” (dikutip dari halaman 414, Di bawah Bendera Revolusi, jilid dua).

Dapatlah dimengerti, kiranya, bahwa ada orang-orang (terutama di kalangan muda) yang “kaget” atau termangu-mangu ketika membaca kutipan di atas. “Ungkapan” yang demikian itu sudah hilang, tidak pernah terdengar lagi, selama lebih dari 30 tahun!!! Dan, mungkin ada juga yang bertanya-tanya dalam hati, apakah betul Bung Karno, sebagai Presiden, Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI pernah mengucapkan hal-hal yang seperti itu? Dan, barangkali juga, ada yang bertanya-tanya mengapa Bung Karno sampai berbicara semacam itu.

Kalau memang betul ada orang-orang yang sampai mempertanyakannya, itulah salah satu di antara bukti-bukti tentang betapa hebatnya “pembrangusan” suara Bung Karno selama puluhan tahun ini oleh Orde Baru/GOLKAR. Itulah bukti juga bahwa bangsa Indonesia telah secara sengaja dibikin “lupa” kepada sejarahnya sendiri. Bahwa bangsa Indonesia (terutama generasi muda) menjadi tidak mengenal sejarah perjuangan Bung Karno adalah dosa besar Orde Baru/GOLKAR. Bahwa dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah hanya disajikan sejarahnya secara superfisial atau sepotong-potong - bahkan dengan konotasi yang negatif – adalah sesuatu yang untuk selanjutnya di kemudian hari harus dikoreksi, dirombak, atau disusun kembali.

Segala Galaanya Untuk Dan Demi Rakyat

Sekarang ini, dan untuk selanjutnya, bangsa kita berhak untuk mengenal sejarah Bung Karno sebaik mungkin atau sebanyak mungkin. Oleh karena itu, buku-buku yang berisi karya-karya aslinya atau gagasan-gagasannya perlu disebar-luaskan secara bebas dan seluas-luasnya. Di samping itu, perlu dianjurkan atau didorong lahirnya berbagai tulisan tentang sejarah perjuangannya, tentang jasa-jasanya kepada rakyat dan bangsa, dan juga tentang kesalahan-kesalahan- nya. Dengan demikian, maka ada bahan atau sarana bagi rakyat dan bangsa untuk mengetahui bahwa rakyat Indonesia pernah mempunyai seorang pemimpin yang besar dan patut dijadikan kebangggaan rakyat. Juga, dengan demikian, rakyat kita tahu juga bahwa Bung Karno telah menjadi korban dari para pendiri sistem politik Orde Baru/GOLKAR.

Rakyat perlu dan berhak tahu, bahwa pengkhianatan para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno, pada hakekatnya adalah juga pengkhianatan terhadap rakyat. Sebab, sejarah sudah membuktikan, secara nyata pula, bahwa Bung Karno memang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak, terutama “rakyat” kecil. Kalau dibaca karya-karyanya dan didengar pidato-pidatonya, maka jelas sekali bahwa titik pusat perjuangannya adalah untuk membebaskan rakyat dari segala macam penindasan dan penghisapan. Oleh karena itulah, sebagai seorang revolusioner yang ingin berjuang untuk kepentingan rakyat kecil, ia telah menciptakan Marhaenisme.

Marhaenisme mengangkat masalah penghisapan dan penidasan “rakyat kecil” yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil – kaum melarat Indonesia – yang dilakukan oleh para kapitalis, tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya. Ungkapan yang sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling terkenal, adalah “l’ exploitation de l’homme par l’homme” (penghisapan manusia oleh manusia). Marhaenisme, yang telah dilahirkannya dan dikembangkannya antara tahun 1930-1933 merupakan pemikiran-pemikiran kiri yang senafas dengan Marxisme. Karyanya ini, seperti banyak karyanya yang lain, menunjukkan dengan jelas bahwa baginya, kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya.

Ketika dewasa ini kita sedang memperingati HUT ke-100 Bung Karno, perlu sekali menyoroti masalah satunya, atau bersatunya, atau kesatuannya jiwa Bung Karno dengan jiwa kerakyatan ini. Untuk itu, barangkali ada gunanya untuk dikutip satu bagian kecil pidatonya tahun 1957, yang berbunyi sebagai berikut :

“Coba ingatkan kembali pergerakan kita dulu sebelum mencapai kemerdekaan. Dulu kita semua adalah “rakyati”, dulu kita semua adalah “volks”. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala fikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu yalah masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat, dulu kita pakai sebagai alat perjuangan. Segenap kekuatan perjuangan kita dulu adalah kekuatan rakyat. (Di bawah Bbendera Revolusi, halaman 285).

“Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, tetap berlaku bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini har us ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkrit; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kekuatan rakyat. Api kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat “rakyat untuk rakyat”. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri” (Di bawah Bendera Revolusi, halaman 286).

Penggulingan Bung Karno: Pengkhianatan Thd Rakyat

Itulah, Bung Karno! Karenanya, orang-orang yang anti Bung Karno (waktu itu, dan juga sekarang) tidak bisa menyerang Bung Karno dengan tuduhan bahwa ia membohongi rakyat, atau menindas rakyat, atau merugikan kepentingan rakyat. Bung Karno tidak bisa diserang dengan dalih bahwa apa yang ia ucapkan adalah berbeda dengan apa yang ia laksanakan. Justru sebaliknya, ia diserang justru karena ia menyuarakan hati nurani rakyat. Ia dimusuhi karena ia bersatu dengan rakyat. Oleh karena itu, penggulingan Bung Karno oleh para pendiri Orde Batu/GOLKAR adalah sesungguhnya pengkhianatan terhadap Amanat Penderitaan Rakyat.

Pengalaman selama Orde Baru lebih dari 32 tahun, yang akibat-akibatnya masih bisa disaksikan sampai sekarang, adalah buktinya. Dewasa ini diperkirakan ada 40 juta orang yang menganggur dan setengah menganggur, tetapi sebaliknya lapisan-lapisan tertentu masyarakat hidup dalam kemewahan yang asalnya adalah dari cara-cara yang haram atau tidak bermoral. Selama puluhan tahun selalu digembar-gemborkan bahwa Orde Baru adalah “orde pembangunan”. Adalah kenyataan yang sama-sama kita saksikan dewasa ini bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah justru orde perusakan secara besar-besaran : semangat revolusioner bangsa sudah dipadamkan, nasionalisme patriotik mengalami erosi besar-besaran, jiwa gotong-royong dimandulkan, persatuan antar-suku diporak-porandakan, kerukunan antar-agama dirusak.

Supaya lebih jelas bahwa penggulingan Bung Karno adalah pengkhianatan terhadap Amanat Penderitaan Rakyat bisa juga kita lihat dari segi-segi yang lain, antara lain : banyak para “elite” yang bicara lantang atas nama rakyat dan demi rakyat tetapi sekaligus juga mencuri kekayaan negara secara besar-besaran. Pelaku-pelaku berat di bidang kejahatan kriminal, kejahatan politik, kejahatan ekonomi kelas kakap, dan kejahatan kemanusiaan masih bebas lenggang-kangkung saja, karena mereka bisa “membeli” aparat-aparat negara. Para pejabat pemerintah dan para politisi (termasuk sebagian besar para pimpinan partai dan anggota “dewan perwakilan rakyat”) sudah mempersetankan missi mereka sebagai pengabdi kepentingan rakyat. Kejujuran sudah menjadi sifat yang langka. Ringkasnya, kehidupan moral sudah mengalami pembusukan secara besar-besaran.

Ajaran Bung Karno Dimusuhi Orde Baru

Sekarang makin jelas, bahwa ajaran-ajaran dan politik Bung Karno, yang sudah menjadi pedoman perjuangan rakyat dan bangsa selama puluhan tahun telah lama ditentang dan dirusak oleh Orde Baru, yang sebagian akibat-akibatnya tergambar seperti di atas. Maka, sekarang makin terasalah adanya kebutuhan untuk mengisi kembali kekosongan spiritual bangsa dengan ajaran-ajaran revolusioner dan kerakyatan Bung Karno. Sebab, ternyata, bahwa Orde Baru selama 32 tahun tidak bisa - dan tidak mungkin !!! – menciptakan pedoman spiritual dan moral bagi rakyat dan bangsa. Bahkan sebaliknya, pedoman yang sudah ada pun telah dicampakkannya. Pancasila pun yang disajikan sebagai “plagiat” selama puluhan tahun, telah diisi oleh Orde Baru dengan praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasilanya Bung Karno.

Kalau kita teliti karya dan sejarah Bung Karno, maka jelaslah bahwa ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan Bung Karno mengenai kehidupan bangsa dan negara adalah revolusioner dan kiri dan mengangkat kepentingan rakyat sebagai panglima. Justru karena itulah maka amat penting untuk menampilkan kembali ajaran-ajarannya pada dewasa ini, demi kepentingan rakyat dan kebaikan kehidupan bangsa sebagai keseluruhan. Menampilkan ajaran Bung Karno dewasa ini mungkin akan ada gunanya bagi para “elite” di berbagai kalangan, supaya mereka ingat kepada tugas dan tanggungjawab mereka masing-masing terhadap kepentingan rakyat. Mungkin ada gunanya juga untuk mengingatkan “mereka” yang sedang “memerangi” buku-buku kiri dan marxist, atau yang mendirikan posko-posko anti-komunis, bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang salah dan, juga, menyesatkan.

Tetapi, mengingat masih besarnya effek racun yang sudah dicekokkan oleh Orde Baru/GOLKAR selama puluhan tahun, bisalah dimengerti bahwa pekerjaan ini tidak mudah, dan akan mengalami rintangan atau menghadapi perlawanan dari mereka-mereka yang ingin tetap meneruskan praktek-praktek rezim militer Suharto dkk. Namun, mengingat akan besarnya kerusakan-kerusakan yang telah dibikin oleh Orde Baru/GOLKAR, maka mau tidak mau, rakyat dan bangsa kita perlu dibangkitkan kembali untuk bisa menempuh jalan yang benar. Dalam rangka inilah penyebaran kembali ajaran-ajaran Bung Karno mungkin akan bisa memberikan sumbangan besar untuk pendidikan bangsa.

Kalau untuk tujuan yang luhur ini masih ada saja yang menentang - melalui berbagai cara dan bentuk-, maka hal yang demikian itu membuktikan bahwa sisa-sisa fikiran dan praktek-praktek Orde Baru (yang telah membodohkan banyak orang!) masih tetap meracuni benak mereka. Karenanya, perjuangan untuk melawan fikiran-fikiran terbelakang semacam ini perlu digelar terus-menerus bersama-sama, demi pendidikan politik dan moral bagi rakyat dan demi peningkatan peradaban dan kebudayaan berfikir bangsa.