17 Mei 2003 — 9 menit baca

Bongkar terus latar-belakang kerusuhan Mei 1998

Peristiwa kerusuhan bulan Mei tahun 1998 baru saja diperingati dengan beraneka-ragam cara oleh berbagai kalangan di Indonesia. Memang, kejahatan besar-besaran yang terjadi lima tahun yang lalu perlu kita peringati bersama, sebagai renungan, sebagai pelajaran, dan juga sebagai gugatan. Kenyataan bahwa terjadi serentetan kerusuhan, pembakaran, perusakan, dan pembunuhan di berbagai kota pada waktu yang hampir bersamaan membuktikan bahwa ada perencanaan atau pengorganisasian. Artinya, ada para penggeraknya dan para pelakunya, dan, karenanya ada orang-orang yang harus dituntut pertanggungan jawab mereka.

Sebab, oleh karena peristiwa-peristiwa itu ratusan ribu orang - secara langsung, atau tidak langsung - menderita dalam berbagai kadar dan bentuk, dan kehilangan harta benda milik pribadi. Kerugian dan kerusakan material adalah besar sekali, sampai triliunan Rupiah. Sebab, ribuan gedung, toko-toko, kantor dan rumah menjadi hancur, atau dibakar, atau dijarah Namun, kerusakan di bidang mental adalah jauh lebih besar lagi. Ada masalah trauma, ada masalah luka hati, dan ada masalah dendam yang masih terpendam. Karena di samping adanya banyak penganiayaan dan penghinaan, terjadi juga perkosaan terhadap sejumlah besar wanita keturunan etnis Tinghoa.

Peristiwa bulan Mei 1998 menunjukkan dengan jelas bahwa politik rezim militer Orde Baru (yang intinya adalah Golkar dan TNI-AD) adalah sumber utama dari kerusuhan besar-besaran ini. Oleh karena itu memperingati peristiwa bulan Mei 1998 adalah berarti membongkar lebih jauh kejahatan dan kesalahan Orde Baru. Tidak bisa lain. Hubungan antara peristiwa bulan Mei 1998 dan akibat politik Orde Baru adalah erat sekali.

Secara Sistematis Dan Meluas

Menurut Suara Pembaruan tanggal 9 Mei 2003 “Dari keterangan para saksi yang sudah diperiksa, Tim Ad Hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengambil kesimpulan sementara, ada indikasi kerusuhan pada 13-15 Mei 1998 dilakukan secara sistematis dan meluas. Itu berarti juga ada dugaan terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kasus itu.

Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Enny Soeprapto kepada wartawan usai menerima Komite Kerja Tragedi Mei 1998, di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/5). Dia menjelaskan, indikasi kerusuhan itu dilakukan secara sistematis dan meluas karena peristiwa itu terjadi di lima kota besar Indonesia pada saat yang hampir bersamaan dengan pola yang sama.

Polanya, ada pengumpulan massa dan ada provokator yang mendorong massa melakukan penjarahan. Kendati para provokator itu tidak melakukan penjarahan. Selain itu, para provokator juga melakukan pembakaran terhadap toko dan pusat-pusat perbelanjaan yang kemudian diikuti oleh massa.

Pada saat bersamaan, ketika massa melakukan penjarahan dan pembakaran terhadap toko dan pusat-pusat perbelanjaan, aparat keamanan tidak satu pun yang ada di lapangan untuk menghentikan kerusuhan itu. “Kalau saja ada aparat keamanan waktu itu, mungkin kerusuhan itu tidak sampai meluas. Di Jakarta saja ada 57 titik kerusuhan. Sejumlah 27 titik di antaranya terjadi pada saat bersamaan,” katanya.

Ketika ditanya soal rencana pemanggilan saksi dari pihak militer, Enny menegaskan, Tim Ad Hoc Komnas HAM kasus kerusuhan Mei 1998 akan melayangkan surat pemanggilan kepada beberapa jenderal dan mantan jenderal minggu depan untuk dimintai keterangannya. Menurut dia, kehadiran para jenderal dan mantan jenderal itu sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. “Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin salah satu yang akan dimintai keterangannya,” katanya. (kutipan selesai)

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Ham Salahuddin Wahid dalam tulisannya di harian KOMPAS (14 Mei 2003) menyatakan antara lain : “Komitmen terhadap kebenaran, keadilan, dan penghormatan terhadap harkat kemanusiaan, serta dilandasi oleh keinginan agar kasus Mei 1998 tidak terulang, maka Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998. Tim ini telah melakukan pemeriksaan terhadap empat puluh enam saksi korban dan saksi mata. Berdasarkan pemeriksaan itu, kesimpulan sementara menunjukkan, kerusuhan Mei 1998 terjadi secara meluas, terencana, dan sistematis. Unsur meluas dan sistematis ini mengarah pada dugaan keras bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM pada kerusuhan Mei 1998. Tim Ad Hoc selanjutnya akan melakukan penyelidikan projustisia terhadap aparat keamanan, baik polisi maupun tentara yang bertanggung jawab atas keamanan dan penegakan hukum saat itu, mulai dari struktur tertinggi hingga yang terendah.”

Tim Gabungan Pencari Fakta

Peristiwa kerusuhan Mei 1995 tidak boleh dilupakan begitu saja. Mala-petaka yang diciptakan oleh kejahatan besar-besaran ini perlu terus-menerus diperingati. Tidak untuk menyebarkan perpecahan atau memupuk dendam, tetapi untuk menjadi pelajaran bagi bangsa supaya jangan teruilang lagi. Untuk bisa menjadi pelajaran, perlu ditegakkan hukum dan perasaan keadilan. Menegakkan hukum berarti menghukum yang melakukan kesalahan, pelanggaran atau kejahatan. Perasaan keadilan hanya dapat dibangun, kalau hukum benar-benar dapat ditegakkan, dan ditrapkan secara tanpa pandang bulu dan dihormati bersama.

Memang, dalam usaha untuk menyelidiki seluk-beluk kerusuhan besar-besaran ini pernah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. TGPF ini dibentuk atas keputusan Menteri Pertahanan/Pangab, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, dan terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Sejak dibentuk dalam masa tiga bulan TGPF telah melaksanakan tugas-tugasnya yang berakhir pada tanggal 23 Oktober 1998.

TGPF menghasilkan dokumen yang cukup tebal, yang mengandung bahan-bahan yang menarik dan penting tentang latar-belakang kerusuhan bulan Mei, dan berbagai aspek lainnya tentang peristiwa ini. Di antara bahan-bahan itu terdapat rekomendasi TGPF kepada pemerintah tentang langkah-langkah yang oerlu diambil, sebagai tindak lanjut (dokumen penting ini dapat disimak lewat Internet dengan meng-akses http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html)

Tetapi, seperti sama-sama kita saksikan sendiri, meskipun sudah berlangsung bertahun-tahun, laporan TGPF ini tidak mendapat perhatian yang selayaknya dari pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Megawati-Hamzah. Seolah-olah dianggap sepi saja juga oleh DPR. DPR berpendapat bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM dalam kerusuhan Mei 1998. Bahwa DPR; sebagai badan lesgislatif tertinggi yang mewakili kepentingan rakyat mempunyai sikap yang sedemikian negatif adalah patut disayangkan dan bahkan pantas digugat.

Komnas HAM Dan Suara Masyarakat

Akhir-akhir ini Komnas HAM memberi perhatian kepada persoalan kerusuhan Mei 1998 ini, dan Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei juga sudah dibentuk. Selain itu berbagai LSM juga aktif mengangkat lagi masalah pelanggaran berat terhadap perikemanusiaan ini, antara lain : Team Relawan untuk Kemanusiaan, Solidaritas Nusa Bangsa, Gandi, Simpatik, Kalyanamitra dan lain-lain. Perkembangan yang demikian ini penting. Sebab, penyelesaian secara baik masalah kerusuhan Mei 1998 akan mempunyai dampak yang amat positif bagi kehidupan bangsa sebagai keseluruhan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Sebab, penyelesaian kasus kerusuhan Mei bukan hanya persoalan korban jiwa yang 1217 saja, atau perkosaan biadab terhadap ratusan wanita keturunan etnis Tinghoa saja, dan bukan pula hanya persoalan penjarahan, pembakaran, atau perusakan ribuan toko-tkoko dan rumah-rumah di Jakarta, Solo, Surabaia, Medan, Lampung atau Palembang saja. Melalui penyelesaian kasus kerusuhan Mei diharapkan bisa diberantas fikiran-fikiran keliru tentang masyarakat keturunan etnis Tionghoa. Adalah penting untuk disadari bersama bahwa masyarakat keturunan Tionghoa adalah bagian yang sah dari bangsa Indonesia, yang berhak mendapat perlakuan yang berperikemanusiaan sebagai sesama warganegara Republik Indonesia.

Kasus kerusuhan Mei adalah bukti bahwa politik rezim militer Orde Baru selama 32 tahun di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, dan kesukuan adalah tidak sehat atau keliru sama sekali. Pada dasarnya, dalam jangka yang lama sekali politik rezim militer adalah anti-Tionghoa dan anti-RRT atau anti-komunis. Larangan bahasa/huruf dan larangan sekolah Tionghoa (temasuk larangan barongsai) , atau “anjuran” ganti nama, adalah bagian dari sikap politik yang negatif ini. Tetapi, di samping itu para pembesar rezim militer menjalankan politik persekongkolan dengan para “cukong” dengan tujuan untuk memperkaya diri lewat korupsi, pemerasan atau suapan. Para “cukong” ini dijadikan sapi perahan oleh para pembesar rezim Orde Baru. Oleh sebab itulah citra masyarakat keturunan Tionghoa menjadi negatif karena peran yang dimainkan oknum-oknum sejenis Liem Sioe Liong, Bob Hasan, Hendra Raharja, Eddi Tanzil; atau Tommy Winata. Dalam jangka lama nama-nama seperti Siauw Giok Tjan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, yang memberikan corak positif dan pandangan terhormat bagi keturunan Tionghoa, seperti dilupakan banyak orang saja, karena akibat politik Orde Baru.

Pelanggaran Ham Secara Besar-Besaran

Dari ini sudut ini pulalah kelihatan pentingnya mengangkat kembali kasus kerusuhan Mei. Seperti yang dicantumkan dalam ringkasan laporan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dan ditegaskan kembali oleh Komnas Ham ada indikasi yang berdasarkan bukti-bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Dalam hal ini, peran yang dimainkan militer adalah besar sekali dan, karenanya, dituntut pertanggungan-jawab yang besar pula. Masalah peran militer inilah yang harus selanjutnya diusut, diperiksa atau dibongkar. Sebab, seperti sudah dibuktikan oleh pengalaman selama 32 tahun, kalangan militer tertentu telah tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang biadab, termasuk menghasut sebagian kecil golongan Islam, seperti yang terjadi dalam kerusuhan Mei.

Dalam rekomendasi TGPF kepada pemerintah antara lain dinyatakan :”

  1. Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998, dan kemudian menyusun serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan mengungkap serta memastikan peran Letjen. Prabowo dan pihak-pihak lainya, dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.
  2. Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses Yudisial yang sedang berjalan. Dalam rangkaian ini Pangkoops Jaya Mayjen Syafrie Syamsoeddin perlu dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer. Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan mahasiswa (kutipan sebagian dari rekomendasi TGPF selesai)

Mengingat pentingnya penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998 untuk penegakan hukum dan perasaan keadilan, yang amat diperlukan dewasa ini bagi persatuan bangsa dan pembangunan ekonomi, maka perlu sekali kita semua memberikan dukungan sekuat-kuatnya kepada segala usaha; dari manapun datangnya, untuk menuntaskan penyelesaiannya. Dalam hal ini, Komnas HAM perlu didorong terus-menerus, supaya lebih berani dan lebih tegas dalam menjalankan tugasnya. Dengan dukungan yang kuat dan sekaligus pengawasan yang ketat dari opini publik, kita bisa berharap bahwa Komnas HAM akhirnya dapat membikin trobosan-trobosan baru dalam kasus kerusuhan Mei.

Dukungan yang seluas-luasnya dan bantuan yang sekuat-kuatnya kepada Komnas HAM adalah perlu sekali mengingat bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru (dan neo-Orde Baru) masih bisa melakukan sabotase terhadap jalannya reformasi.