14 July 2002 — 10 menit baca

Beginilah kualitas DPR kita

Penolakan DPR terhadap pembentukan Pansus Buloggate II untuk memeriksa Akbar Tanjung dalam kaitannya dengan dana sebesar Rp 40 milyar, yang kemudian disusul oleh berbagai kesepakatan (persekongkolan?) antara partai-partai dalam menghadapi Sidang MPR yang akan datang, memberikan pertanda buruk bahwa reformasi sudah macet dan juga bahwa berbagai macam pembusukan dalam kehidupan bernegara makin menjadi lebih parah lagi. Karena itu, bisalah dimengerti bahwa banyak orang makin menjadi lebih pesimis (dan lebih prihatin!) tentang hari kemudian negeri kita. Dan wajar pulalah bahwa banyak orang marah dan “brontak” terhadap perkembangan yang menyedihkan ini. Tidak sedikit orang yang sudah kehilangan kepercayaan kepada kemampuan, kesungguhan, kejujuran, dan keteguhan iman para “tokoh” (kalangan atas) negeri kita untuk menghentikan proses pembusukan kehidupan bernegara dewasa ini.

Ketidakpercayaan, pesimisme, kemarahan atau “rasa brontak” berbagai kalangan ini ada dasarnya, kalau melihat beraneka-ragam sikap atau tingkah-laku sebagian kalangan atas, baik yang “berkuasa” di lembaga eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, lembaga keagamaan, maupun dunia usaha swasta. Sikap mereka itu (mohon catat, memang tidak semuanya!) sudah sedemikian buruknya terhadap kepentingan negara dan rakyat, sehingga banyak di antara kita yang mempertanyakan : apakah masih bisa diadakan perbaikan?. Kalaupun akan diperbaiki, maka harus dimulai dari bidang yang mana? Dan, pula, bagaimana caranya?

Barangkali, ada yang berpendapat bahwa yang lebih dulu perlu diperbaiki adalah, terutama sekali, sistem politik. Kalau sistem politik baik, maka banyak masalah bisa diselesaikan. Atau, mungkin ada yang mengira bahwa untuk bisa mengadakan perbaikan dalam sistem politik, perlu adanya perbaikan ekonomi. Atau, ada pula yang meyakini bahwa untuk bisa menjalankan sistem politik yang baik dan memperbaiki ekonomi, perlu ditegakkan hukum. Ada pula pendapat bahwa untuk bisa menegakkan hukum perlu adanya sistem pendidikan yang baik. Mungkin, itu semuanya ada benarnya. Namun, apakah itu semuanya mungkin diwujudkan dengan baik, kalau para tokohnya di masing-masing bidang justru berakhlak rendah, bersikap a-sosial terhadap sesama ummat, atau tidak bermoral terhadap kepentingan negara dan kepentingan rakyat banyak, atau tidak mempunyai iman yang teguh?

Power Tends To Corrupt (Kekuasaan cenderung untuk membusuk)

Entah, sudah berapalah banyaknya seminar atau konferensi serius yang sudah diselenggarakan oleh berbagai kalangan selama ini untuk membicarakan tentang pentingnya penyelenggaraan “good and clean government” (pemerintahan yang baik dan bersih), tentang pemberantasan korupsi, tentang pentingnya penegakan hukum dan sistem peradilan yang baik, atau tentang buruknya penyalahgunaan kekuasaan, atau tentang penyelenggaraan demokrasi secara benar. Namun, berhubung dengan besarnya kerusakan parah di berbagai aspek kehidupan bernegara dan kehidupan berbangsa dewasa ini, maka hasilnya terasa amatlah kecil sekali.

Kerusakan-kerusakan besar dan parah di berbagai bidang kehidupan di negara dewasa ini sering atau banyak dilatarbelakangi oleh adanya korupsi, atau pengejaran - secara membabi-buta atau berlebih-lebihan – harta keduniawian. Perebutan pengaruh atau kekuasaan sering dimotori oleh tujuan utama untuk penumpukan harta-benda dan kemewahan, tanpa mengindahkan apakah caranya halal atau tidak dan apakah merugikan kepentingan umum atau tidak. Dengan kalimat lain, pemupukan kekuasaan, yang sering dicapai dengan menggunakan uang secara haram (dan cara-cara yang bathil), didorong oleh keserakahan untuk meraup harta-benda yang makin lebih besar lagi. Oleh karenanya, di kalangan pemegang kekuasaan terjadi banyak pembusukan. Ini kelihatan nyata di kalangan “atas” bidang eksekutif, legislatif, judikatif, partai politik, kalangan agama, dan wiraswasta. Ungkapan terkenal “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (artinya : Kekuasaan cenderung untuk membusuk, dan kekuasaan absolut juga membusuk secara absolut”) sudah banyak terjadi selama ini di negeri kita. Gejala-gejalanya tidak hanya nampak di tingkat kepresidenan dan wakil-kepresidenan saja, melainkan juga di MPR, DPR, Mahmakah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian, Gubernuran, Kabupaten, DPRD, bahkan kecamatan!. Pembusukan “kekuasaan” di berbagai tingkat (dan di berbagai bidang) adalah manifestasi kebobrokan moral yang amat parah di negeri kita. Marilah sama-sama kita simak salah satu contohnya, seperti yang berikut ini:

DPRD Bagi Bagi Uang Kepada Para Anggotanya

Menurut siaran Detikcom tanggal 13 Juli 2002, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat akan melakukan pemanggilan terhadap Gubernur Jabar R. Nuriana berkaitan dengan kasus dana kaveling dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pos anggaran 2.14) sebesar Rp 25 miliar. Dana itu diterima tunai oleh anggota DPRD Jabar masing-masing sebesar Rp 250 juta. Pos anggaran itu sebetulnya ditujukan untuk kegiatan eksekutif, bukan dialokasikan untuk anggota dewan. Namun, ketua DPRD Jabar (H. Eka Santosa) menjelaskan bahwa “soal dana yang dikucurkan itu sudah sesuai prosedur, karena sudah dianggarkan dan pengalokasiannya pun sudah disetujui dan disahkan anggota dewan”. Ia bahkan menegaskan kalau dibandingkan dengan daerah lain , dana yang dianggarkan dalam APBD Jawa Barat untuk legislatifnya masih tergolong rendah. “Di Jateng yang APBD dan PAD-nya saja lebih rendah dari Jabar, alokasi anggaran untuk DPRD-nya mencapai Rp 80-an miliar. Di Jabar ini hanya Rp 39 miliar”, tegasnya.

Masih menurut Detikcom, anggota DPRD dari komisi A (A. Rizal Fadillah) secara resmi telah mengirimkan surat kepada pimpinan dewan untuk segera membahas kasus pemberian uang kaveling kepada anggota DPRD itu, untuk memulihkan citra dewan. Di samping mengusulkan pembahasan kasus itu, Rizal juga mengajak kepada seluruh anggota DPRD Jawa Barat untuk mengembalikan dana tersebut kepada fihak eksekutif (Pemda Jabar), sedangkan ia sendiri sudah punya niat untuk mengembalikan dana tersebut.

Para pembaca yang budiman! Mohon sama-sama kita coba simak, dari berbagai segi, arti yang terkandung dalam berita tersebut di atas. Sebab, dalam konteks situasi di negeri kita dewasa ini, kasus dana yang diberikan DPRD Jawa Barat untuk kaveling para anggotanya, bisa dijadikan semacam barometer tentang “kultur” atau pola fikiran para tokoh masyarakat kita terhadap urusan-urusan kepemerintahan, ketatanegaraan, kemasyarakatan. Kasus ini juga merupakan “cermin” tentang sikap moral tokoh-tokoh negeri ini terhadap kepentingan rakyat banyak, terhadap kepentingan diri sendiri atau kelompok dan golongan sendiri. Sebab, dari apa yang sudah tersiar dalam pers selama ini, nyatalah bahwa kasus yang serupa di Jawa Barat juga terjadi di daerah-daerah lain, dalam bentuk dan skala yang berbeda-beda.

Pengkhianatan Kepada Kepentingan Rakyat

Sebagai sekedar catatan bersama, maka patut disebutkan di sini bahwa berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat (setelah Banten terpisah) berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa. Sedangkan, DPRD Jawa Barat terdiri hampir 100 anggota (dengan perincian : PDI-P 26 orang, Golkar 20, PPP 14, PKB dll 12, TNI/Polri 11, partai-partai lain 13).. Menurut Web-site (Internet) Pemda Jawa Barat, di antara anggota-anggota DPRD Jawa Barat terdapat 37 orang yang menyandang gelar Haji, 9 orang gelar Sarjana Hukum, dan 43 yang bergelar Ir, Dr, Drs, SE.

Jadi, kalau mengikuti keterangan ketua DPRD Jawa Barat H. Eka Santosa (dari PDI-P), maka dewan yang komposisinya demikian itulah yang sudah menyetujui atau mengesahkan pengucuran dana sebesar Rp 25 miliar (atau 39 miliar?) dari APBD untuk kaveling para anggota dewan. Dan pengucuran dana ini sudah sesuai dengan prosedur dan sudah dianggarkan pula alokasinya. “Jadi tidak ada masalah”, menurutnya. Nah, justru di sinilah letak persoalan yang bisa diperdebatkan atau direnungkan oleh berbagai fihak, menurut nalar dan hati nurani masing-masing.

Umpamanya, renungan yang berikut : dari segi formalitas, DPRD provinsi memang mempunyai peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam menjalankan tugasnya, dan juga mempunyai kewenangan untuk memutuskan sesuatu, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, apakah dana (mohon dicatat : ini dana publik!) yang sebesar Rp 25 miliar itu patut dikucurkan, atau kasarnya : dibagi-bagi, kepada para anggota dewan untuk kaveling mereka? Apalagi kalau diingat bahwa para anggota “dewan perwakilan rakyat” itu sudah menerima gaji pokok yang sudah lebih dari “lumayan” (menurut ukuran umum ) di samping banyaknya berbagai tunjangan atau pendapatan/pemasukan “extra” lainnya? Tambah lagi, kalau diingat bahwa masih begitu banyak persoalan-persoalan parah dan menyedihkan yang sedang dihadapi oleh “rakyat kecil” (pendidikan di kalangan anak muda, pertolongan bagi petani-petani miskin, pengangguran di kalangan kaum buruh yang di PH-kan, tempat tinggal yang layak bagi penduduk miskin kota dll dll). Kalau kita ingat bahwa utang negara kita (utang dalamnegeri dan luarnegeri) dewasa ini sudah begitu besar, nyatalah bahwa putusan DPRD Jawa Barat soal kasus dana kavling ini bukan hanya merupakan skandal politik dan moral yang berat, melainkan sudah merupakan pengkhianatan kepada rakyat!.

Kejahatan Moral Kolektif

Memang, sesudah jatuhnya Orde Baru, dan dengan dilangsungkannya Pemilu yang lalu, ada kemajuan (sedikit!!!) dalam kehidupan demokratis negeri kita. Kalau dibandingkan dengan situasi puluhan tahun ketika DPR dan DPRD dikangkangi sekitar 65% sampai 74 % oleh Golkar, maka sekarang situasinya agak berbeda. Namun, gambaran yang diberikan oleh DPRD Jawa Barat bisa menimbulkan pertanyaan besar : apakah dewan yang serupa ini bisa dikatakan sudah benar-benar mewakili kepentingan atau aspirasi rakyat? Dengan kalimat lain yang lebih polos (kasar) : apakah sekumpulan orang-orang yang serupa itu memang berhak menamakan diri “dewan perwakilan rakyat” yang sungguh-sungguh? Apakah justru tidak menyerupai kumpulan mafia di bidang politik ? Atau, bukankah dewan yang serupa ini justru merupakan persekongkolan kejahatan moral? Apakah dewan yang serupa ini bisa dikatakan sebagai pengejawantahan demokrasi? Ini semua bisa dipertanyakan.

Dengan melihat berbagai gejala yang sudah muncul di negeri kita selama ini, maka bisalah kiranya direnungkan bahwa apa yang terjadi di DPRD Jawa Barat bukanlah suatu kekhususan yang berdiri sendiri atau terlepas dari “kultur berfikir” pemegang “kekuasaan” di negeri kita, baik besar maupun kecil, baik di tingkat yang paling atasan maupun yang bawahan. Apa yang terjadi di DPRD Jawa Barat juga menunjukkan kenyataan yang pahit, bahwa gelar yang disandang oleh seorang anggota dewan belum tentu bisa menjamin kualitas dan integritas seseorang dalam membela kepentingan negara dan masyarakat luas, atau dalam keteguhan iman mereka masing-masing dalam melawan kemungkaran dan kebathilan.

Kasus pembagian dana publik sebesar Rp 25 miliar kepada anggota DPRD Jawa Barat juga membuktikan bahwa suatu “dewan perwakilan rakyat” bisa saja melakukan kesalahan kolektif, bahkan kejahatan moral kolektif, terhadap kepentingan umum yang “diwakilinya”. Dalam kaitan ini, patutlah kiranya sama-sama kita telaah yang berikut ini : bukankah kasus dana Rp 25 miliar ini , pada hakekatnya (!!!) satu bentuk KORUPSI KOLEKTIF, yang dilakukan secara terang-terangan dan “sesuai dengan prosedur dan menurut alokasi yang anggarannya sudah disetujui secara sah oleh dewan”?. Yang lebih-lebih perlu diprihatinkan adalah bahwa begitu banyak “tokoh” (yang bergelar Haji dan bertitel berbagai macam kesarjanaan) sudah secara beramai-ramai menyetujui persekongkolan nista dalam “merampok” (terlalu keras?) harta milik umum.

Kalau gejala serupa ini dibiarkan berkembang dan menjalar terus ke tempat-tempat lain, maka pola berfikir secara mafia ini pada akhinrya bisa lebih mengganas lagi sehingga menimbulkan kerusakan-kerusakan yang lebih besar lagi (antara lain : terhadap kehidupan demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat, penyalahgunaan kekuasaan, pelecehan HAM dll). Perkembangan semacam inilah yang harus bersama-sama kita cegah sekuat tenaga, dengan berbagai cara dan jalan. Sebab, berbagai pertanda buruk sudah mulai mengarah kepada bahaya ini.

Dalam contoh-contoh lain, yang telah diberikan oleh pengalaman di Indonesia sendiri dan juga di negara-negara lain di dunia, telah ditunjukkan bahwa parlemen (nasional maupun regional) belum tentu selalu bisa menjunjung tinggi dan melaksanakan demokrasi. Memang, dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan modern di di negara-negara di dunia, pada umumnya (kecuali di negara-negara otoriter, seperti halnya selama rezim Orde Baru) parlemen dianggap sebagai instrumen demokrasi guna menyalurkan aspirasi rakyat masing-masing.

Namun, apakah parlemen kita (DPR, dan juga kebanyakan DPRD kita) sudah betul-betul bisa menjadi instrumen demokrasi untuk menyalurkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya? Pertanyaan ini bisa kita renungkan bersama ketika kita bicara tentang kasus dana Rp 40 milyar Buloggate II (Akbar Tanjung) dan kasus dana RP 25 milyar untuk kaveling para anggota DPRD Jawa Barat. Dalam kaitan ini, alangkah tepatnya uangkapan Mahbub Junaedi ketika mengatakan : “Demokrasi itu bisa dibunuh di dalam lembaga demokrasi oleh para demokrat dengan cara-cara demokratis.” Sebagai mantan ketua PB NU, pimpinan GP Ansor dan wartawan senior (Ketua PWI Pusat, pemimpin redaksi Duta Masyarakat) kalimatnya ini mempunyai arti yang dalam. Apalagi, kalau kita hubungkan dengan praktek-praktek yang sedang terjadi di negeri kita dewasa ini, baik yang di Jakarta maupun yang di daerah-daerah.