21 Maret 2000 — 12 menit baca

"Bahaya laten PKI" adalah hanya slogan untuk terror

Nah, betul jugalah kiranya, dugaan bahwa pernyataan Gus Dur untuk minta ma af kepada para korban pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 akan berbuntut panjang. Sekarang saja sudah mulai banyak reaksi yang macam-macam, baik yang menanggapinya secara positif maupun secara negatif. Perkembangan ini bagus. Sebab, dengan demikianlah kita semua akhirnya bisa sama-sama mengenal sedikit demi sedikit, pandangan orang-orang (tokoh atau bukan) dari berbagai kalangan mengenai persoalan-persoalan besar kehidupan bangsa dan negara kita. Dengan begini, kita semua bisa sama-sama menilai kualitas seseorang - tidak peduli apakah ia menteri, anggota MPR, anggota DPR , pimpinan partai politik, pendeta atau ulama, intelektual, wartawan, atau entah apa lagi lainnya - dalam menyikapi urusan masyarakat atau kepentingan rakyat, atau, singkatnya, urusan MANUSIA.

Tanpa terlalu sinis, agaknya bisalah dikatakan bahwa dengan begitu kita akhirnya mengenal siapa yang suka terus menyebar penyakit dan siapa yang ingin membrantas borok-borok yang sudah diwariskan oleh rezim militer Orde Baru. Tanpa menggunakan kata-kata kasar seperti dungu, picik, cupet fikiran, butek nalar, buta hati nurani dll, kita akhirnya bisa menilai siapa yang mengerti akan arti penting pernyataan Gus Dur itu, dan siapa saja yang karena berbagai sebab (umpamanya : tingkat kebudayaan yang masih rendah, iman yang tidak teguh, tidak faham ajaran Tuhan yang sebenarnya, tidak mengerti arti hak asasi manusia, mementingkan kepentingan sendiri atau golongan sendiri, atau karena segala kelemahan atau kekurangan manusia lainnya dll dll dll) menentang pernyataan Gus Dur.

Karena kita semua mau bersama-sama menegakkan demokrasi, hukum dan keadilan, atau HAM, maka sudah sepantasnyalah kalau kita menghargai hak orang untuk menyatakan pendapatnya. Tetapi, perlu sama-sama kita ingat juga bahwa setiap orang berhak pula untuk mengutarakan pendapatnya untuk menyangkal atau mengomentari (atau entah apa sajalah namanya), pendapat orang yang lain. Misalnya saja, akhir-akhir ini ada seorang (tak perlulah disebut namanya) yang mengatakan, dengan suara galak pula kelihatannya, bahwa tidak perlu minta maaf kepada para korban pembunuhan 65/66 karena itu adalah risiko yang diakibatkan oleh G30S. Ada pula seorang tokoh politik (juga tak usah disebut namanya) yang mengatakan : Yang minta maaf itu kan Gus Dur, yang lain kan tidak!. Ada pula yang mulai mengomentari pernyataan Gus Dur ini dengan menyerukan lagi Awas, bahaya laten PKI.

Nah, kalau ada orang-orang yang begitu itu, lalu apa yang bisa kita bikin? Bisa macam-macam. Pertama, kita doakan saja bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan kepada mereka sehingga pada suatu saat akhirnya ia menyadari bahwa ucapannya itu tidak benar. Kedua, kita mengelus dada sambil menyayangkan bahwa masih ada saja tokoh yang begitu sesat fikirannya. Ketiga, tidak perlu memaki atau menghujat mereka. Ke-empat, belas kasihan kepada mereka bahwa cuma segitu saja pemikirannya mengenai sesama ummat manusia. Ke-lima, kita pertanyakan kuailitas ketokohannya. Ke-enam mengharapkan ia bisa belajar lebih banyak tentang peradaban manusia. Ke-tujuh, berharap bahwa ia bisa cari jamu atau obat-obatan (atau menemui dukun), kalau penyakitnya makin menjadi-jadi. Ke-delapan, kita ucapkan rame-rame, ya Allah, ampunilah mereka. (Sudah, cukup segitu sajalah ungkapan-ungkapan yang sinis. Mohon sudilah kiranya memaafkan, seandainya ada yang merasa tersinggung kehormatannya. Sekarang, yang lebih penting, marilah sama-sama kita fikirkan masalah-masalah secara lebih serius, yaitu yang berikut di bawah ini. Pen).

Apa arti permintaan maaf gus dur

Catatan pendahuluan : tulisan yang berikut ini berpretensi (lugasnya : maunya, atau maksudnya!) sebagai masukan bagi bahan pemikiran para sejarawan Indonesia, para pakar di bidang ilmu politik, ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu kebudayaan, ilmu agama, ilmu psikologi massa, ilmu hukum dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah hak asasi manusia, demokrasi, pengurusan negara dan masyarakat kita. Juga bagi para petinggi pemerintahan, anggota MPR, DPR, lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, pimpinan berbagai partai politik dan LSM. Apa tulisan ini berguna, mohon dibaca dulu, dan kemudian mohon dinilai sendiri. Kalau dianggap tidak berguna, harap dibuang saja di keranjang sampah dan sudah itu dilupakan. Dan, seandainya tidak setuju dengan isi tulisan ini, maka itupun hak kita masing-masing. Jadi, tidak ada masalah.

Persoalan aktual yang menarik untuk kita teliti bersama yalah : mengapa permintaan maaf Gus Dur kepada para korban pembunuhan besar-besaran 65/66, dalam kadar yang berbeda-beda telah menyentak fikiran banyak orang, bahkan mengagetkan orang? Mengapa ada orang-orang (termasuk para pakar dan tokoh-tokoh di berbagai bidang) yang diam saja terhadap pernyataannya ini? Mengapa ada pula yang menentangnya bahkan memprotesnya? Ini semua merupakan tantangan bagi para pakar (atau para tokoh) di bidang masing-masing untuk merenungkannya, menyelidikinya dan menemukan jawabannya. Sumbangan mereka itu semuanya akan berguna untuk mencerdaskan bangsa, untuk meningkatkan peradaban kita semuanya.

Agaknya, bagi mereka yang betul-betul mengerti prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang mendambakan demokrasi, dan yang menghargai martabat sesama manusia, tidak sulitlah untuk mengerti arti penting permintaan maaf Gus Dur. Sebab, masalahnya sudah jelas : lebih dari satu juta orang yang SAMA SEKALI tidak bersalah (termasuk anak-anak dan ibu-ibu) telah menjadi korban pembunuhan besar-besaran sebagai akibat politik pimpinan Angkatan Darat waktu itu. Oleh karenanya, puluhan juta anggota keluarga para korban (termasuk sanak-saudara mereka, baik yang jauh maupun yang dekat) telah mengalami penderitaan lahir dan batin, dalam berbagai bentuk dan berbagai ukuran. Yang sangat keterlaluan yalah bahwa hal yang demikian itu sudah berlangsung selama lebih dari 30 tahun, dan, sampai sekarang!

Walaupun puluhan tahun semasa jaman Orde Baru masalah ini tidak menjadi pembicaraan terbuka, tetapi sebenarnya selama itu pulalah masalah pembunuhan besar-besaran 65/66 ini merupakan luka besar dalam hati jutaan orang. Namun, walaupun masalahnya sudah demikian parah, tetapi tidak banyak orang berani mempersoalkan masalah ini. Oleh karena itu, ketika Gus Dur minta ma af, maka ada orang menjadi kaget, atau tidak mengerti atau menyatakan tidak setuju. Bahkan banyak yang, untuk sementara barangkali, hanya diam saja. Adalah sangat penting bagi kita semua untuk berusaha mengerti mengapa muncul gejala-gejala seperti itu. Sudah demikian parahkah jiwa bangsa kita dirusak oleh rezim militer Orde Baru?

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Mohon sama-sama kita renungkan atau kita tafakurkan pendapat yang berikut ini : di antara serentetan kejahatan besar rezim militer Orde Baru adalah kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI yang dilancarkan secara intensif dan sistematis selama lebih dari 30 tahun. Akibat atau dampak kejahatan politik ini sangat besar dalam fikiran banyak orang, sehingga bisa dimasukkan ke kategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Walaupun rumusannya bisa kedengaran eksesif atau extravagant (berlebih-lebihan), tetapi kalau kita kaji dalam-dalam kedahsyatan akibatnya, maka nalar yang waras akan mengerti tentang logisnya pendapat yang semacam itu. Penjelasannya, secara pokok-pokok, adalah sebagai berikut :

Politik kampanye besar-besaran anti-PKI dan bahaya laten PKI yang dijalankan secara besar-besaran dan menyeluruh selama puluhan tahun ini telah melumpuhkan PKI secara organisasi. Penghancuran organisasi PKI ini dilakukan lewat pembunuhan besar-besaran dalam tahun 65/66, lewat penahanan ratusan ribu orang, yang kemudian diteruskan dengan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap ratusan ex-tapol, lewat berbagai tindakan Kopkamtib dan Bakortanas, lewat Instruksi Mendagri nomor 32/1981, lewat tanda ET dalam KTP, lewat surat bebas G30S/PKI, lewat bersih lingkungan, lewat litsus dll.

Namun, sesudah dihancurkannya organisasi PKI, rezim militer Orde Baru masih terus-menerus, selama puluhan tahun pula, menyebarkan dan mengobarkan slogan awas bahaya laten PKI. Walaupun PKI sudah dihancurkan melalui pembunuhan besar-besaran dan represi atau persekusi yang tiada taranya dalam sejarah modern, tetapi rezim militer Orde Baru telah menggunakan slogan awas bahaya laten PKI selama puluhan tahun sebagai alat untuk terus-menerus mempertahankan suasana terror. Suasana terror, yang diciptakan lewat slogan bahaya laten PKI adalah cara untuk kemudian, dan selanjutnya, membungkam suara siapa saja dari kalangan yang manapun atau golongan yang manapun, yang berani mengkritik praktek dan politik Orde Baru.

Agaknya, sudah sama-sama kita ketahui bahwa politik terror rezim militer ini, secara pokok, sudah berhasil. Buktinya yalah yang berikut ini : ada di antara orang-orang atau tokoh-tokoh yang sekarang ikut bersuara lantang bahaya laten PKI juga, dulu-dulunya, pernah menjadi korban terror dahsyat rezim militer. Dulu-dulunya, mereka tidak pernah berani mengkritik Orde Baru, karena takut dicap termasuk bahaya laten PKI, atau karena memang semata-mata takut. Dalam jangka puluhan tahun - artinya : lama sekali! - banyak kalangan dari berbagai golongan - yang tidak setuju dengan PKI atau yang anti-PKI - juga telah terkena, banyak sedikitnya, oleh dampak terror bahaya laten PKI ini.

Itulah sebabnya, mengapa banyak kaum intelektual, atau pemuka-pemuka agama, atau tokoh-tokoh masyarakat dalam berbagai bidang - yang tidak setuju dengan PKI - juga terpaksa diam membisu saja, walaupun mereka melihat adanya berbagai pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia, baik yang terjadi dalam tahun 65/66, yang terjadi di Aceh, di Lampung, di Tg Priuk, di Timor-Timur dll. Terror ini juga telah membungkam mereka semuanya, dalam jangka lama, mengenai kasus-kasus KKN, penyalahgunaan kekuasaan, dan mengenai kemerosotan moral yang merajalela selama puluhan tahun di kalangan elite kekuasaan. Tetapi, hendaknya kita mengerti jugalah bahwa, pada umumnya, mereka bersikap demikian, karena terpaksa oleh keadaan waktu itu.

Sistem politik yang pantas dikutuk

Kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI adalah politik yang ampuh untuk menyumbat suara kritis dari berbagai golongan selama Orde Baru. Tetapi, masih banyak lagi peran negatifnya lainnya, yang menimbulkan berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang jauh lebih parah lagi bagi bangsa dan negara. Untuk jelasnya, mohon direnungkan bersama-sama masalah-masalah yang berikut ini :

Sesudah terjadinya pembunuhan besar-besaran 65/66 dan ditangkapinya ratusan ribu orang yang tidak berdosa, maka kampanye besar-besaran yang disertai intimidasi atau terror telah diintensifkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Selain untuk melumpuhkan organisasi PKI, kampanye ini juga bertujuan untuk makin menggoyahkan kedudukan politik Presiden Sukarno, yang dianggap telah melindungi atau bersimpati kepada PKI. Agaknya, bagi pimpinan Angkatan Darat waktu itu (mungkin juga CIA, waktu itu) sudah jelas, bahwa untuk menjatuhkan Sukarno haruslah dihancurkan lebih dulu PKI. Jadi, kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI terutama dimaksudkan untuk melumpuhkan SELURUH kekuatan yang mendukung Presiden Sukarno.

Mungkin, sekarang ini penelitian ilmiah dapat dilakukan oleh para sejarawan atau pakar-pakar di bidang lainnya, untuk menstudi tentang cara-cara, bentuk, isi, dan akibat-akibat kampanye yang dilakukan waktu itu. Sebab, dari sebagian akibat parah yang sudah diketahui oleh banyak orang, bisalah kiranya dikatakan bahwa kampanye ini telah merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena dahsyatnya kampanye inilah maka puluhan ribu (bahkan mungkin ratusan ribu) keluarga para korban pembunuhan besar-besaran dan ex-tapol telah menjadi brantakan dalam kesedihan dan penderitaan. Banyak sekali ibu-ibu yang ditinggalkan menderita puluhan tahun bersama anak-anak mereka. Banyak sekali istri yang terpaksa minta cerai, karena suaminya ditahan, atau karena menganggap bahwa suaminya memang orang jahat. Banyak sekali anak-anak yang kemudian menjadi benci kepada orang tuanya sendiri. Banyak sekali orang-orang yang dikucilkan oleh sanak-saudaranya sendiri, baik oleh karena takut, atau memang karena terpengaruh oleh kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI.

Banyak di antara kita sendiri yang pernah mengetahui atau mendengar bahwa begitu parahnya akibat kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI sehingga banyak anak-anak para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 atau ex-tapol terpaksa menyembunyikan jati-diri orang tua mereka, atau bahkan memutuskan untuk tidak mengakui orang-tua mereka. Kita juga melihat sendiri, sampai sekarang ini, bagaimana para ex-tapol atau keluarga para korban pembunuhan besar-besaran 65/66 masih dikucilkan oleh berbagai kalangan dalam masyarakat. Masih saja ada orang-orang yang takut berhubungan dengan para ex-tapol atau sanak-saudara mereka. Patutlah sama-sama kita ingat bahwa jumlah orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI itu berjuta-juta, bahkan puluhan juta. Dan, sekali lagi, sekali lagi perlu ditekankan di sini bahwa itupun berlangsung sudah puluhan tahun. Dan yang lebih serius lagi, mereka itu tidak bersalah apa-apa!!! (tiga kali tanda seru. Pen). Dari sudut inilah kiranya kita bisa mengkategorikan politik rezim militer Orde Baru sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab, watak atau isi politik ini sama jahatnya dengan politik apartheid di Afrika Selatan yang telah dikutuk oleh seluruh dunia itu.

Kejahatan rezim militer Orde Baru menjadi jauh lebih besar lagi kalau kita lihat juga dari sudut berikut : bukan saja pimpinan Angkatan Darat telah bertanggungjawab terhadap pembunuhan besar-besaran tahun 65/66 dan terhadap penderitaan para ex-tapol, tetapi juga telah menciptakan politik yang menyebabkan sebagian masyarakat ikut-ikutan tidak menghargai hak asasi manusia. Untuk lebih jelas, melalui kampanye anti-PKI dan bahaya laten PKI yang intensif itulah rezim militer Orde Baru telah memaksa atau mendorong banyak orang untuk melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dan begitu hebatnya pengaruh dorongan ini sehingga sampai sekarang ini masih terasa -bahkan sama-sama kita saksikan - dampaknya yang amat parah. Kasus percobaan pembunuhan terhadap tokoh Matori Abdul Jalil adalah salah satu contohnya.

Momok palsu ciptaan orba

Dari sejarah rezim Orde Baru sudah dibuktikan bahwa, sebenarnya, slogan bahaya laten PKI telah diciptakan oleh penguasa-penguasa militer (waktu itu) untuk mengokohkan kekuasaan diktatur mereka, sambil mematahkan segala kekuatan yang dianggap membahayakan hegemoni mereka. Bersamaan dengan itu pula, slogan ini juga dipakai untuk melegalisasi - atau menutup-nutupi - segala tindakan yang tidak berdasarkan hukum atau yang bertentangan dengan HAM. Juga dipakai untuk sekedar menakut-nakuti dan menyebarkan kabar bohong, demi kepentingan politik. Masih ingatlah kita ketika selama puluhan tahun permulaan Orde Baru sering dimuat dalam suratkabar atau majalah segala macam berita, yang ternyata tidak ada dasar kebenarannya sama sekali. Umpamanya : rel kereta api rusak disebabkan oleh bahaya laten PKI, tanah longsor juga karena ulah sisa-sisa PKI, waduk jebol atau hutan terbakar atau tiang listrik ambruk juga karena bahaya laten PKI.

Kita semua masih ingat juga bahwa selama Orde Baru, kalau ada kerusuhan sosial, maka yang dikambinghitamkan adalah bahaya laten PKI. Demikian juga kalau ada buruh-buruh yang mengadakan aksi-aksi perbaikan nasib, atau petani-petani yang memprotes penggusuran rumah atau tanah mereka. Yang lebih jahat lagi yalah yang berikut ini : mereka mengadakan pembunuhan politik, tetapi yang dikambinghitamkan adalah bahaya laten PKI juga. Bahkan, pembunuhan dukun santetpun dihubung-hubungkan dengan bahaya laten PKI. Sungguh edan! Begitu seringnya berita-berita semacam ini diucapkan oleh pejabat-pejabat, sehingga akhirnya menjadi tertawaan.

Tetapi, bagi sebagian kalangan masyarakat, manipulasi informasi semacam ini, atau kampanye jahat semacam ini, sangat parah dampaknya bagi pola berfikir mereka. Itulah sebabnya, mengapa ada bagian-bagian masyarakat yang menganggap bagian masyarakat lainnya sebagai musuh yang harus ditumpas habis-habisan. Itulah sebabnya mengapa ada kalangan-kalangan tertentu dalam masyarakat yang tidak menghargai hak asasi manusia. Itulah sebabnya ada kalangan-kalangan tertentu, atau orang-orang tertentu, yang menganggap manusia lainnya sebagai binatang saja.

Dari titik pandang ini, kita bisa lihat bahwa slogan bahaya laten PKI yang sekarang ini masih diteruskan juga oleh golongan-golongan tertentu, merupakan instrumen lama Orde Baru yang telah menyebarkan perpecahan atau permusuhan di kalangan rakyat. Slogan inilah yang telah merusak hak asasi manusia dalam fikiran banyak orang. Slogan ini pulalah yang bisa membikin orang menjadi biadab. Singkatnya, dan padatnya, slogan warisan Orde Baru ini bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang sedang ditanamkan oleh Gus Dur! (HABIS).