11 April 2005 — 7 menit baca

Arti Konferensi Bandung dan peran sejarah Bung Karno

Tidak lama lagi akan dilangsungkan peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika atau Konferensi Bandung. Seperti diakui oleh banyak sejarawan dan pakar politik di dunia, Konferensi Bandung adalah peristiwa yang amat besar dalam sejarah dunia modern. Konferensi Bandung telah memberikan sumbangan yang amat besar bagi perjuangan rakyat-rakyat – terutama rakyat-rakyat Afrika – dalam membebaskan diri dari kolonialisme. Konferensi Bandung juga pernah disebut-sebut sebagai kebangkitan bangsa-bangsa yang berwarna melawan penjajahan dan penghisapan bangsa-bangsa yang berkulit putih.

Di masa yang lalu, di bawah pimpinan Bung Karno, Konferensi Bandung pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Bukan saja kebanggaan bagi bangsa Indonesia, melainkan juga kebanggaan banyak sekali bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Tetapi, seperti sama-sama kita saksikan sendiri selama puluhan tahun Orde Baru, kecemerlangan Konferensi Bandung telah lama menjadi pudar, bahkan pernah mati atau padam. Karenanya, sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk generasi barunya, tidak mengenal secara baik pentingnya Konferensi Bandung bagi bangsa Indonesia dan bagi sejarah dunia.

Dalam banyak buku-buku pelajaran sejarah di berbagai negeri di dunia dicantumkan bagian-bagian yang berkaitan dengan Konferensi Bandung. Selama puluhan tahun Orde Baru, dalam buku-buku pelajaran sejarah di negeri kita, memang ada disebut-sebut Konferensi Bandung atau Konferensi AA dalam tahun 1955 itu. Tetapi, biasanya hanya serba singkat atau seolah-olah « sepintas lalu » saja, dan tanpa penjelasan betapa penting peran yang dipegang Bung Karno dalam peristiwa bersejarah itu.

Seperti dalam hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan Bung Karno, maka rezim militer Suharto dkk juga melakukan « de-Sukarnoisasi » terhadap sejarah Konferensi Bandung. Hal ini bisa dimengerti, sebab jati-diri rezim militer Orde Baru adalah bertentangan atau berlawanan sama sekali dengan « roh » Konferensi Bandung, yang pada pokoknya adalah anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Dan, justru, « roh » anti-imperalisme dan anti-kolonialisme inilah « jati-diri » Bung Karno, yang disandangnya sejak perjuangannya di masa muda-belianya dalam tahun 20-an.

Konferensi Bandung Dan Bung Karno Adalah Satu

Kalau kita telaah dalam-dalam latar belakang lahirnya rezim militer Orde Baru, maka akan mengertilah kita secara gamblang mengapa Orde Baru, pada dasarnya ( !) tidak mau menjunjung tinggi semangat Konferensi Bandung atau, bahkan, telah berusaha « mengerdilkan » atau « membunuh »-nya. Sebab, rupanya, banyak tokoh Orde Baru yang beranggapan bahwa menjunjung tinggi Konferensi Bandung adalah berarti sama saja dengan menjunjung tinggi nama Bung Karno.

Anggapan ini tidak salah, karena memang bisa dikatakan bahwa nama Bung Karno adalah satu dengan Konferensi Bandung. Konferensi Bandung adalah salah satu di antara berbagai realisasi gagasan Bung Karno. Bung Karno adalah salah satu di antara motor-motor penting (kalau tidak yang terpenting) penggerak Konferensi AA di Bandung.

Kita bisa melihat dengan lebih jelas lagi sekarang ini bahwa Bung Karno inilah yang dimusuhi oleh sebagian pimpinan TNI-AD (waktu itu), yang bersekutu dengan kekuatan imperialisme (terutama AS) beserta konco-konconya di dalamnegeri, sebelum dan sesudah terjadinya G30S. Kekuatan imperialisme dan kolonialisme (Barat) sudah melihat makin sangat berbahayanya tokoh Bung Karno bagi kepentingan mereka, dengan terselenggaranya Konferensi Bandung dalam tahun 1955.

Kita ingat bahwa sesudah selesainya Perang Dunia ke –II, timbullah Perang Dingin antara blok Barat dan blok Timur, yang kemudian melahirkan berbagai peristiwa penting dalam dunia, antara lain pecahnya Perang Korea. Lahirnya Republik Indonesia dan Republik Demokratik Vietnam dalam tahun 1945 yang disusul oleh diproklamirkannya RRT dalam tahun 1949, menyebabkan terjadinya perubahan penting dalam peta geo-politik di Asia. Imperialisme AS, yang kuatir melihat bahaya « komunis » melebar kemana-mana di Asia, memperkuat pangkalannya di Korea Selatan , di Jepang (Okinawa), di Taiwan, di Filipina, di Thailand dan di Indo-Cina. SEATO, yang merupakan tumpuan penting bagi AS dalam mengontrol Asia Tenggara (dan terutama Indonesia) pun kemudian telah dibentuk. Dalam suasana politik internasional yang demikian itulah Konferensi Bandung telah diselenggarakan.

Dudukkan Nama Bung Karno Pada Tempatnya

Sekarang ini, ketika Konferensi Bandung (atau Konferensi AA) akan diperingati secara besar-besaran di Indonesia, perlulah kiranya kita ingat bersama bahwa memperingati peristiwa penting ini tanpa berusaha mendudukkan nama dan peran Bung Karno pada tempatnya yang sebenarnya (dan selayaknya !) adalah sesuatu yang perlu dikutuk. Adalah untuk kebaikan kita semua, kalau - dalam bentuk dan cara yang bagaimanapun juga - nama dan peran Bung Karno bisa dicerminkan secara sepatutnya dalam kesempatan ini. Juga melalui peringatan 50 tahun Konferensi Bandung ini kita semua bisa terus mengupayakan « merehabilitasi » nama dan peran sejarah Bung Karno, yang sudah dicemarkan atau dirusak begitu hebat oleh rezim militer Orde Baru selama puluhan tahun.

Dengan mendudukkan Bung Karno pada tempat yang selayaknya dalam peringatan 50 tahun Konferensi Bandung ini, maka bangsa kita bisa mengkoreksi kesalahan monumental yang sudah dibuat oleh Orde Baru terhadap tokoh besar bangsa kita. Tetapi, sebaliknya, kalau sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih mau terus bersitegang urat leher berusaha « men-de-Sukarnoisasikan » peringatan Konferensi Bandung, maka ini berarti bahwa dosa besar Orde Baru terhadap Bung Karno masih tetap terus ditanggung oleh mereka.

Dengan kalimat yang lebih tegas (atau ungkapan lain yang lebih kasar) : memperingati setengah abad Konferensi Bandung dengan « mempreteli » atau menghilangkan nama dan peran Bung Karno dari dalamnya berarti sama dengan MENIPU SEJARAH. Peringatan semacam itu hanya menjadi pesta-pesta besar dan mewah (dan mahal !) yang juga merupakan sandiwara yang dimainkan oleh penipu-penipu, yang sebenarnya sama sekali tidak mengerti apa arti « Semangat Bandung » yang sesungguhnya. Oleh karena peringatan peristiwa penting ini diselenggarakan di Indonesia, maka masalah mendudukkan nama dan peran Bung Karno pada tempat yang sepatutnya ini adalah soal yang amat serius yang harus dipikirkan oleh kita semua, dan terutama oleh Panitia Penyelenggara dan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab.

Jangan « Memboncengi » Konferensi Bandung

Tidak lama lagi kita semua bisa mengamati sampai di manakah Presiden Susilo Bambang Yudoyono akan bisa (atau akan mau) mengakui jasa, nama, dan peran Bung Karno dalam peringatan setengah abad Konferensi Bandung yang akan datang. Dan, kita semua tentunya ingin tahu juga bagaimana visinya atau pemahamannya, sebagai presiden/kepala negara, mengenai « Semangat Bandung » (Bandung Spirit) dan Dasa Sila Bandung, yang pernah terkenal di dunia.

Pastilah Presiden SBY, dan berbagai tokoh terkemuka Indonesia lainnnya, pada kesempatan ini akan menyanjung-nyanjung tinggi Konferensi Bandung, dan mungkin pula berjanji akan mewarisi atau meneruskan berbagai prinsip agung yang telah diputuskan. Tetapi, hanya menyanjung-nyanjung saja Konferensi Bandung tanpa menghormati Bung Karno adalah sebenarnya penipuan dan kemunafikan, atau « mencuri » jasa besar orang lain hanya untuk menjual omong kosong belaka.

Kita semua (termasuk Presiden SBY atau tokoh-tokoh bangsa kita lainnya) sama sekali tidak berhak dan tidak patut hanya « memboncengi » kebesaran Konferensi Bandung, yang merupakan hasil gemilang Bung Karno dan kawan-kawannya pada waktu itu. Artinya, kita tidak boleh bicara muluk-muluk tentang Konferensi Bandung tetapi tidak menghargai pelaku utamanya atau pemrakarsanya, yaitu Bung Karno. Apalagi, peringatan 50 tahun ini digelar di hadapan dunia internasional, yang sedikit banyaknya mengetahui tentang perlakuan rezim militer Orde Baru terhadap Bung Karno, arsitek Konferensi Bandung.

Ketika kita memperingati setengah abad Konferensi Bandung, kita akan menyadari betapa besarnya keagungan gagasan Bung Karno mengenai perjuangan rakyat-rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme, dalam segala bentuknya dan segala caranya, termasuk dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Kalau kita lihat situasi internasional dewasa ini, dan situasi aktual di banyak negeri, maka kelihatan bahwa banyak gagasan besar Bung Karno masih relevan atau masih cocok untuk dijadikan pedoman. Kebenaran visinya yang jauh dan jernih tercermin dalam perjuangan rakyat berbagai negeri yang tertuang dalam pertemuan-pertemuan raksasa di Seattle, Porto Allegre (Brasilia), Genoa (Itali), Bombay, Paris, untuk menentang neo-liberalisme dan globalisasi, dan membela kepentingan ekonomi dan politik negeri-negeri miskin di dunia.

Jangan Lupakan Peran Dan Jasa Bung Karno

Karena itu, kita semua akan bisa menyaksikan bahwa Bung Karno dihormati oleh banyak tokoh di dunia, dan namanya cukup harum bagi banyak rakyat di berbagai negeri yang berjuang demi kebebasan dan keadilan. Adalah satu hal yang menyedihkan sekali, kalau bangsanya sendiri, bangsa Indonesia, tidak tahu menghargai pemimpinnya sendiri, hanya karena akibat « de-Sukarnoisasi » selama lebih dari 32 tahun yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru.

Dari segi ini, nyatalah kelihatan dosa besar dan kesalahan monumental yang dibuat oleh Suharto (beserta konco-konconya yang terdekat) terhadap bangsa, karena telah dengan berbagai cara - termasuk cara halus, tersembunyi dan secara sistematis - telah membusukkan nama Bung Karno, sehingga sebagian rakyat Indonesia tidak mengenal sama sekali jasa dan kebesaran beliau bagi sejarah bangsa.

Mengingat itu semuanya, adalah untuk kebaikan bagi bangsa kita seluruhnya, dan juga untuk kebaikan generasi kita yang akan datang, kalau dalam memperingati setengah abad Konferensi Bandung yang bersejarah ini, nama, peran dan jasa Bung Karno tidak kita lupakan.