Ajarkanlah peradaban dan budaya kemanusiaan kepada bangsa kita. Kalimat ini mungkin kedengaran provokatif. Atau terasa tidak santun. Atau berbau sok. Atau mengandung penghinaan. Atau bisa dianggap entah apa lagi. Karenanya, kalau seandainya ungkapan ini tidak berkenan di hati seseorang, penulis mohon maaf. Tetapi, mohon juga, sudilah kiranya dengan lapang-dada menyimak apa yang dikemukakan dalam tulisan ini selanjutnya.
Sebab, kalimat itu bisa diartikan mempunyai konotasi bahwa bangsa kita bukanlah bangsa yang beradab, atau, bahwa sebagian bangsa kita adalah biadab atau tidak berperi-kemanusiaan. Wajarlah kiranya, kalau karenanya ada orang yang merasa tersinggung perasaannya. Tetapi, dengan harapan bahwa kita semua berani atau bersedia memeriksa persoalan-persoalannya dengan kesejukan hati yang bersih dan kebeningan nalar kemanusiaan, maka mungkin, Insya Allah, bisa kita temukan titik-titik persamaan dalam memandang hal-ikhwalnya. (Kalau pun tidak, maka, tentu sajalah, juga tidak apa-apa. Asal saja, kita semua ingat bahwa kita ini sama-sama manusia).
Masalah peradaban kemanusiaan ini, sejak zaman sebelum Firaun (artinya, lebih dari 5000 tahun yang lalu, jauh sebelum nabi Jesus dan nabi Mohamad atau Budha Gautama dan Kong Hu Chu lahir) sudah menjadi persoalan. Artinya, sudah dipersoalkan, sejak itu, bagaimana mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dengan masyarakat keseluruhan, antara manusia dengan kekuasaan (politik, agama atau kepercayaan), dan antara manusia dengan alam.
Sejak itu, ummat manusia seharusnya sudah bisa belajar dari segala kesalahan dan keburukan, dan selalu bisa berpegang kepada hal-hal yang baik bagi sesamanya. Tetapi, sejarah ribuan tahun sudah membuktikan bahwa walaupun ada kemajuan-kemajuan dalam itu semuanya, namun rupanya ummat manusia masih juga harus belajar terus, sampai sekarang, bagaimana memperbaiki kesalahan dan melawan keburukan, yang dibikin oleh manusia juga.
Semua ini bisa kita renungkan kalau kita meruntun balik ke belakang kembali ke sejarah abad pertengahan ( kekuasaan Jenghis Khan, Perang Salib, meluasnya kerajaan Usmaniah dll) sampai ke Perang Dunia ke I dan ke II, dan perang etnik di Bosnia dan Kosovo dll. Bahwa ummat manusia masih harus terus belajar bagaimana menjadi makhluk Tuhan yang baik (artinya beradab), juga kelihatan nyata sekali dari apa yang terjadi di Indonesia.
Kekuasaan rezim militer Orde Baru yang diciptakan oleh Suharto dkk (terutama TNI-AD, Golkar dan sebagian kecil kalangan Islam) adalah manifestasi yang gamblang betapa sebagian bangsa Indonesia bisa menjadi begitu buas dan melecehkan peradaban. Tanpa merentang-panjangkan segala kebobrokan moral para KONSEPTOR kolektif politik Orde Baru dan kejahatan para AKTOR utamanya (termasuk pendukung-pendukungnya yang paling setia) cukuplah dirumuskan, secara padat dan ringkas, bahwa rezim ini telah melakukan pelanggaran besar-besaran Hak Asasi Manusia terhadap puluhan juta manusia Indonesia, dan, dalam jangka yang lama pula (lebih dari 32 tahun).
Ketika kita semua menyatakan mendambakan reformasi, demokrasi dan rekonsiliasi, maka perlulah agaknya sama-sama kita yakini sedalam-dalamnya bahwa kejahatan rezim Orde Baru terhadap Hak Asasi Manusia, adalah, pertama-tama dan terutama, bersumber pada fikiran manusia-manusia yang melahirkannya (para konseptornya). Kedua, ketiga, keempat dan seterusnya adalah mereka yang menjadi aktor-aktor utamanya, kemudian para pendukung setianya, kemudian mereka yang dipaksa mengikutinya, kemudian yang tertipu, dan seterusnya. Namun, betapapun juga, mereka ini semuanya - dalam kadar yang berbeda-beda - ikut bertanggungjawab. Setidak-tidaknya, secara moral. Dan karena jumlah mereka cukup banyak, maka skala kejahatan ini juga amat luas, dan akibat-akibat buruknya juga amat besar. Akibat kejahatan Orde Baru ini pulalah yang masih sama-sama kita alami sendiri secara nyata di berbagai bidang, dan, sampai sekarang!
Oleh karena itu, memblejedi kejahatan rezim militer Orde Baru (baca : TNI-AD, Golkar, PPP dan konglomerat) adalah wajib hukumnya. Pemblejedan ini perlu dilakukan terus-menerus, dalam setiap kesempatan yang mungkin dan pada tempatnya, secara besar-besaran oleh sebanyak mungkin orang. Usaha reformasi atau rekonsiliasi hanya mungkin, kalau kita semuanya jelas tentang apa yang harus di-reformasi dan apa pula yang harus di-rekonsiliasikan. Reformasi sudah kita nyatakan sebagai program nasional. Yang perlu di-reformasi adalah segala aspek buruk yang diwariskan oleh rezim militer Orde Baru. Untuk itulah perlunya dipaparkannya kesalahan dan kejahatan Orde Baru (untuk tidak memakai istilah pemblejedan), secara jernih, ilmiah, objektif, jujur, dan dengan maksud yang luhur.
Seharusnya, atau seyogyanya, penggelaran kejahatan dan kesalahan rezim militer Orde Baru selalu dibimbing oleh tujuan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia. Jadi, bukan sekedar mau mencelakakan seseorang atau menjelek-jelekkan satu golongan secara sewenang-wenang dan tidak adil. Hanya dengan dasar fikiran semacam itulah kita bisa melakukan pertempuran besar-besaran terhadap sisa-sisa Orde Baru, tanpa terjerumus ke dalam jurang kesalahan yang sama seperti yang dipraktekkan Orde Baru. Pertempuran menghadapi bahaya laten Orde Baru adalah terutama sekali pertempuran politik dan perlawanan moral, untuk mencegah dikangkanginya kembali kekuasaan politik oleh penjahat-penjahat sisa-sisa Orde Baru.
Rezim Orde Baru adalah rezim, yang menurut standard umum opini dunia, merupakan rezim yang melakukan kejahatan besar terhadap ummat manusia, khususnya rakyat Indonesia. Dengan membaca kembali Mukadimah piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (diumumkan tahun 1948, oleh Sidang Umum PBB), maka jelaslah bagi kita semua, bahwa memerangi bahaya laten sisa-sisa Orde Baru adalah sesuatu yang benar. Menajiskan kejahatan-kejahatan atau kesalahan-kesalahannya adalah suatu keharusan bagi bangsa kita.
Mukadimah tersebut berbunyi sebagai berikut (diterjemahkan dari teks asli bahasa Inggris dan dibandingkan dengan teks bahasa Prancis) :
“Mengingat, bahwa penghargaan terhadap martabat (dignity) dan hak-hak yang setara dan tak terpisahkan (equal and inalienable rights) bagi semua anggota keluarga umat manusia (human family) adalah dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengingat, bahwa pengingkaran dan pelecehan (disregard and contempt) terhadap hak manusia telah menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan biadab yang telah menimbulkan kemarahan kesedaran umat manusia, dan bahwa munculnya dunia di mana ummat manusia dapat menikmati kebebasan untuk berbicara dan menganut kepercayaan (freedom of speech and belief) dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan (kemiskinan) telah diproklamasikan sebagai aspirasi bagi semua orang,
Mengingat, bahwa hak-hak manusia perlu sekali dilindungi oleh tegaknya hukum (protected by the rule of law), supaya orang tidak dipaksa, sebagai jalan terakhir, untuk membrontak terhadap tirani dan penindasan,
Mengingat, bahwa adalah sangat perlu untuk mendorong penggalangan hubungan bersahabat antara bangsa-bangsa,
Mengingat, bahwa rakyat-rakyat yang tergabung dalam PBB telah menegaskan dalam piagam ini kepercayaan mereka terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan nilai-nilai perseorangan manusia (dignity and worth of the human person) dan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, dan juga bertekad untuk mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar (to promote social progress and better standards of life in larger freedom),
Mengingat, bahwa negara-negara anggota PBB berjanji untuk mengusahakan dihormatinya dan ditrapkannya secara universal dan nyata hak-hak manusia dan kebebasan fondamental,
Mengingat, bahwa kesamaan pengertian (common understanding) mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini (rights and freedoms) adalah sangat penting bagi pelaksaan piagam ini secara sepenuhnya,
Maka, Sidang Umum (PBB) memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai cita-cita bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa (all peoples and all nations) supaya setiap individu (orang seorang) dan semua badan dalam masyarakat (every organ of society), dengan selalu memegang Deklarasi Universal ini dalam ingatan, berusaha lewat pengajaran dan pendidikan, untuk mendorong dihormatinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini, dan juga lewat peraturan yang secara berangsur-angsur, baik secara nasional mau pun internasional, untuk mendapat pengakuannya dan pentrapannya secara universal dan nyata, baik antara rakyat-rakyat negara-anggota (PBB) sendiri, mau pun antara rakyat dalam wilayah juridiksinya” (teks Mukadimah habis).
Menyimak isi Mukadimah piagam (charter) Deklarasi Universal HAM (PBB) INI terasa sejuk dalam hati dan terang dalam fikiran. Sesuatu yang indah. Karena, di dalamnya tercermin pesan kuat sekali tentang perlunya dihargainya setiap manusia sebagai MANUSIA. Kalau kita renungkan dalam-dalam, maka jelaslah bahwa tujuan ini adalah salah satu di antara yang paling luhur dari segala macam usaha manusia. Kalau kita tambah lagi dengan mencernakan isi ke-30 artikel Deklarasi Universal HAM (harap baca kembali teks yang selengkapnya) maka nyatalah bahwa kita semua masih harus berusaha terus belajar menghayatinya, dan – ini yang paling penting !!! berusaha untuk mentrapkannya bersama-sama.
Apalagi, (digarisbawahi di sini perkataan APALAGI) kalau kita hubungkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh para konseptor dan aktor rezim Orde Baru, maka makin jelas betapalah hebatnya kejahatan mereka terhadap Hak Asasi Manusia. Dan di sinilah letak keseriusannya!. Sebab, suatu rezim atau sekumpulan oknum-oknum yang sudah dengan terang-terangan berani melanggar hak asasi manusia secara besar-besaran, dan dalam jangka begitu lama, dan juga terhadap begitu banyak orang, maka oknum-oknum ini bisa juga tanpa segan-segan melakukan berbuat segala macam kejahatan serius lainnya. Dan inilah yang sudah terjadi selama zaman Orde Baru. Ini pulalah yang harus menjadi pelajaran berharga dan peringatan serius bagi kita semua. (Juga bagi generasi kita yang akan datang).
Dalam bahasa yang lebih polos, dan lebih jelas, adalah begini : bagi suatu rezim (atau sekumpulan oknum-oknum) yang sudah membunuh, meyuruh bunuh, atau membiarkan pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan orang (peristiwa 65/66), memenjara ratusan ribu orang tak bersalah dalam jangka lama, menysiksa ratusan ribu ex-tapol beserta keluarga mereka selama puluhan tahun, menculik dan menghilanglan nyawa banyak orang, maka KKN, penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan demokrasi, adalah soal yang enteng. Dan ini sudah mereka buktikan dalam praktek nyata (kasus Marsinah, aktivis-akivis PRD, peristiwa Lampung, Aceh, Timor Timur dll). Bagi mereka yang tega untuk menghilangkan nyawa banyak orang lain tanpa segan-segan, maka melakukan kejahatan lainnya adalah soal sepele saja. Mereka itu adalah anasir-anasir berbahaya bagi bangsa. Bahaya laten ini harus kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Bukan dengan melibas nyawa mereka, tetapi dengan mengalahkan fikiran-fikiran mereka yang berbahaya bagi penegakan Hak Asasi Manusia, dan melawan politik sisa-sisa Orde Baru yang mau mensabot reformasi.
Dalam Mukadimah piagam Deklarasi Universal HAM diserukan supaya setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat di semua negeri berusaha, lewat pendidikan dan pengajaran, mendorong dihargainya dan ditrapkannya Hak Asasi Manusia. Mengingat apa yang sudah terjadi dalam masa Orde Baru, dan juga SEKARANG ini, maka seruan ini makin terasa lantang panggilannya. Sebab, kita sama-sama melihat bahwa Hak Asasi Manusia masih terus dilecehkan sampai sekarang, terutama oleh orang-orang yang fikirannya terkena racun Orde Baru. Mereka masih berusaha meneruskan pola berfikir yang terbiasa dipraktekkan dalam masa gelap yang penuh dengan kejahatan itu.
Dalam rangka memperjuangan reformasi dan rekonsiliasi, mengungkap kejahatan dan kesalahan Orde Baru adalah salah satu syarat mutlak. Mengungkap kejahatan Orde Baru adalah untuk menghargai dan mentrapkan di bumi Indonesia, Deklarasi Universal HAM. Dan karena hak asasi manusia sudah dilanggar begitu lama, dan korbannya begitu besar, maka seruan untuk menghayatinya dan mentrapkannya adalah tugas nasional yang mendesak. Dihargainya Hak Asasi Manusia adalah urusan kita semua, karena berkaitan dengan semua MANUSIA di Indonesia.
Agaknya, sudah waktunyalah bahwa di negeri kita dilancarkan berbagai macam gerakan besar-besaran untuk menghayati dan mempraktekkan Deklarasi Universal HAM. Alangkah sejuknya suasana hubungan antar manusia di Indonesia di suatu masa, di kemudian hari, ketika piagam universal ini bisa dipelajari di sekolah-sekolah lanjutan, di universitas, di pesantren, dan badan-badan pendidikan lainnya. Atau ketika teks dokumen ini juga sudah bisa dipasang secara jelas menyolok di tempat-tempat umum yang penting, umpamanya stasion kereta-api dan bus, kantor-kantor pemerintahan atau swasta, sehingga tiap pejabat atau tokoh penting dan anggota masyarakat umumnya selalu ingat bahwa tindakan (dan fikiran) mereka dalam melakukan pekerjaan sehari-hari perlu dibimbing oleh prinsip-prinsip kemanusiaan yang tinggi ini.
Kita perlu bersama-sama meyakini, bahwa pentrapan prinsip-prinsip Deklarasi Universal HAM di Indonesia adalah untuk kepentingan kita semua, tidak peduli dari golongan suku yang mana pun, kalangan agama yang mana pun, ras yang mana pun, atau kepercayaan politik dan ideologi yang mana pun. Piagam Deklarasi ini telah disetujui oleh sebagian terbesar ummat manusia di dunia. Hanya orang-orang yang masih terus berfikiran jahat terhadap MANUSIA lainnyalah yang berani menentang prinsip-prinsip Deklarasi ini. Juga di Indonesia.
Lahirnya Deklarasi Universal HAM adalah peristiwa penting bagi rakyat-rakyat seluruh dunia. Seperti yang sudah ditunjukkan oleh pengalaman di berbagai negeri di dunia, ia telah menjadi senjata penting bagi banyak orang untuk melawan berbagai macam tirani, atau berbagai bentuk kejahatan terhadap harga diri MANUSIA, yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh sesuatu kekuasaan, yang datang dari mana pun juga. Laporan periodik berbagai badan internasional, seperti Human Rights Watch, Amnesty International dll, menyampaikan berbagai berita bagaimana perjuangan untuk membela Hak Asasi Manusia ini mengalami kemajuan-kemajuan penting yang menggembirakan.
Dalam konteks situasi politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia, yang sedang mengemban tugas besar reformasi dan rekonsiliasi, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bisa merupakan senjata yang penting bagi berbagai orang, kelompok, atau golongan, untuk melawan dengan berani segala macam kejahatan yang merendahkan martabat manusia. Mukadimah dan ke-30 artikel Deklarasi Universal itu harus bisa menjadi sumber inspirasi dan dorongan semangat KITA BERSAMA dalam perjuangan mulia melawan sisa-sisa Orde Baru.
Marilah kita gunakan bersama-sama senjata ini sebaik-baiknya, di seluruh Indonesia, untuk memberikan arti yang semestinya kepada lambang Bhineka Tunggal Ika dan mentrapkan jiwa Pancasila, sesuai dengan cita-cita para pelopor bangsa dan para pendiri Republik Indonesia, dalam rangka nation-building dan character-building.